You are on page 1of 41

1.

HARGA DIRI RENDAH KRONIS

Definisi Harga Diri Rendah Kronis

Harga diri rendah kronis merupakan penilaian negatif seseorang terhadap


diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung
(Schult dan Videbeck, 1998).

Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronis

a. Mengkritik diri sendiri


b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Tidak menerima pujian
e. Penurunan produktivitas
f. Penolakan terhadap kemampuan diri
g. Kurang memperhatikan perawatan diri
h. Berpakaian tidak rapi
i. Selera makan berkurang
j. Tidak berani menatap lawan bicara
k. Lebih banyak menunduk
l. Bicara lambat dengan nada suara lemah

Rentang Respons Konsep Diri

Respons Adaptif Respons Maladatif

Konsep Diri Harga Diri Kerancuan


Aktualisasi Diri Depersonalisasi
Positif Rendah Identitas

 Aktualisasi diri: pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan diterima
 Konsep diri positif: individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi sosial
 Harga diri rendah: transisi antara respons konsep diri adaptif dengan
maladaptif
 Kerancauan identitas: kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis
 Depersonalisasi: perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan ansietas, kepanikan, serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain

Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronis

Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan


orangtua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai
tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak
realistis.

Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah Kronis

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya


anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas.

Mekanisme Koping Harga Diri Rendah Kronis

a. Aktivitas lari dari krisis identitas


b. Aktivitas mengganti identitas sementara
c. Aktivitas yang memperkuat rasa diri
d. Mambuat identitas tak bermakna

Pohon Masalah Harga Diri Rendah Kronis

Resiko tinggi perilaku kekerasan



Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi sosial

HARGA DIRI RENDAH KRONIS

Koping individu tidak efektif
2. ISOLASI SOSIAL

Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari
interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa dia kehilangan hubungan
akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi perasaan, pikiran, prestasi,
atau kegagalan. Individu mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak
ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain
(Balitbang, 2007).

Tanda dan Gejala Isolasi Sosial

a. Kurang spontan
b. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
c. Ekspresi wajah kurang berseri
d. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
f. Mengisolasi diri
g. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
h. Asupan makanan dan minuman terganggu
i. Retensi urin dan feses
j. Aktivitas menurun
k. Kurang energi
l. Rendah diri
m. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi
tidur)
Rentang Respons Sosial

Respons Adaptif Respons Maladatif

Menyendiri (solitude)
Merasa Sendiri
Otonomi Manipulasi
(loneliness)
Bekerja Sama (mutualisme) Impulsif
Bergantung (dependent)
Saling Bergantung Narsisme
Menarik Diri (withdrawal)
(Interdependent)

 Menyendiri: apa yg telah dilakukan, merupakan cara untuk evaluasi diri


 Otonomi: kemampuan invidu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan, dan hubungan sosial
 Bekerja sama: individu mampu untuk saling memberi dan menerima
 Saling bergantung: kondisi saling bergantung antara satu dengan lainnya
 Menarik diri: individu kesulian dalam membina hubungan dengan orang
lain
 Bergantung: individu sangat bergantung pada orang lain, sehingga individu
mengalami kegagalan dalam mengembangkan rasa percaya diri
 Manipulasi: individu berorientasi pada diri sendiri dan tujuan yang hendak
dicapainya tanpa peduli dengan orang lain dan lingkungan, serta
cenderung menjadikan orang lain sebagai objek

Faktor Predisposisi Isolasi Sosial

a. Faktor tumbuh kembang. Bila tugas-tugas dalam perkembangan tidak


terpenuhi, maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang
nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga. Masalah dalam komunikasi dapat
menimbulkan ketidakjelasan (double blind) yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga
yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
c. Faktor sosial budaya. Di masyarakat masih banyak ditemui keluarga yang
menganut norma yang salat, seperti keluarga yang mengasingkan setiap
anggota keluarganya yang tidak produktif seperti lansia, berpenyakit
kronis, dan penyandang cacat. Hal tersebut bisa menimbulkan seorang
individu mengalami gangguan dalam hubungan sosial.
d. Faktof biologis. Otak merupakan organ yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial, misalnya pada klien skizofrenia
yang mengalami masalah dalam hubungan sosial karena adanya struktur
yang abnormal pada otak.

Faktor Presipitasi Isolasi Sosial

a. Faktor eksternal. Misalnya stresor sosial budaya (keluarga).


b. Faktor internal. Misalnya stresor psikologis yang terjadi akibat ansietas
yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya.

Mekanisme Koping Isolasi Sosial

a. Splitting
b. Reaksi formasi
c. Proyeksi
d. Isolasi
e. Idealisasi terhadap orang lain
f. Devaluasi diri
g. Identifikasi proyektif

Pohon Masalah Isolasi Sosial

Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan



Perubahan persepsi sensori: halusinasi Defisit perawatan diri
↑ ↑
ISOLASI SOSIAL → Intolerasi aktivitas

Harga diri rendah kronis ← Koping individu tidak efektif

Koping keluarga tidak efektif
3. HALUSINASI

Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu objek tanpa


adannya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
panca indera. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa
suara, pengelihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman.

Klasifikasi Halusinasi

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subyektif


 Mendengar suara-suara atau
Halusinasi  Bicara atau tertawa sendiri kegaduhan
dengar/suara  Marah-marah tanpa sebab  Mendengar suara yang
 Mengarahkan telinga ke arah mengajak bercakapa-cakap
tertentu  Mendegar suara menyuruh
 Menutup telinga melakukan sesuatu yang
berbahaya
 Melihat banyangan, sinar,
Halusinasi  Menunjuk-nunjuk ke arah bentuk geometris/kartun,
pengelihatan tertentu melihat hantu/monster
 Ketakutan pada sesuatu
yang tidak jelas
 Membaui bau-bauan seperti
Halusinasi  Mencium seperti sedang bau darah, urin, feses, dan
penciuman membaui bau-bauan tertentu kadang-kadang bau itu
 Menutup hidung menyenangkan
 Merasakan seperti darah,
Halusinasi  Sering meludah urin atau feses
pengecapan  Muntah
 Mengatakan ada serangga di
Halusinasi  Menggaruk-garuk permukaan kulit
perabaan permukaan kulit  Merasa seperti tersengat
listrik
 Mengatakan badannya
Halusinasai  Memegang kakinya yang melayang di udara
kinestestik dianggap bergerak sendiri
 Mengatakan perutnya
Halusinasi viseral  Memegang badannya yang menjadi mengecil setelah
dianggapnya berubah bentuk minum soft drink
dan tidak normal seperti
biasanya

Faktor Predisposisi

a. Faktor perkembangan. Jika tugas perkembangan mengalami hambatan


dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami
stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
b. Faktor sosiokultural. Banyak faktor di masyarakat yang menimbulkan
seseorang merasa disingkirkan dan kesepian, apabila hal tersebut tidak
diatasi dapat menimbulkan delusi dan halusinasi.
c. Faktor biokimia. Struktur otak yang abnormal ditemukan pada klien
gangguan orientasi realitas, serta dapat ditemukan atropi otak,
pembesaran ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan
limbik.
d. Faktor psikologis. Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta
adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang
akan mengakibatkan stres dan ansietas yang tinggi dan berakhir dengan
pengkingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
e. Faktor genetik. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang
salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan lebih
tinggi jika kedua orang tua skizofrenia.

Faktor Persiptasi

a. Stresor sosial budaya. Stres dan ansietas akan meningkat bila terjadi
penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang penting,
atau diasingkan dari kelompok dapat menimbulkan halusinasi.
b. Faktor biokimia. Berbagai penelitian tentang dopamin, norepineprin,
indolamin, serta zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan
orientasi realitas termasuk halusinasi.
c. Faktor psikologis. Intensitas ansietas yang ekstrem dan memanjang
disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas.
d. Perilaku. Perilaku yang perlu dikaji pada klien gangguan orientasi realitas
berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan
sosial.

Intensitas Level Halusinasi

Level Karakteristik Halusinasi Perilaku Pasien

Non psikotik
 Ternsenyum/tertawa sendiri
Tahap I  Mengalami ansietas  Menggerakan bibir tanpa
kesepian, rasa bersalah, dan suara
Memberikan rasa ketakutan  Menggerakan mata dengan
nyaman, tingkat  Mencoba berfokus pada cepat
ansietas sedang, pikiran yang dapat  Respons verbal yang lambat
secara umum menghilangkan ansietas  Diam dan berkonsentrasi
halusinasi  Pikiran dan pengalaman
menyenangkan sensori masih ada dalam
kontrol kesadaran (jika
ansietas dikontrol)
 Peningkatan sistem saraf
Tahap II  Pengalaman sensori otak dan tanda-tanda
menakutkan ansietas
Menyalahkan,  Mulai merasa kehilangan  Rentang perhatian
tingkat ansietas kontrol menyempit
berat, secara  Merasa dilecehkan oleh  Konsentrasi dengan
umum halusinasi pengalaman sensori tersebut pengalaman sensori
menyebabkan  Menarik diri dari orang lain  Kehilangan kemampuan
rasa antipati
membedakan halusinasi dari
realita

Psikotik
 Perintah halusinasi ditaati
Tahap III  Klien menyerah dan  Sulit berhubungan dengan
menerima pengalaman orang lain
Tidak dapat sensorinya  Rentang perhatian hanya
mengontrol  Isi halusinasi menjadi atraktif hitungan detik/menit
dirinya sendiri,
tingkat ansietas
berat, halusinasi  Kesepian bila pengalaman  Gejala fisik ansietas berat
tidak dapat sensori berakhir (berkeringat, tremor, dan
ditolak lagi tidak mampu mengikuti
perintah)
 Panik
Tahap IV  Pengalaman sensori menjadi  Potensi bunuh
ancaman diri/membunuh tinggi
Menguasi, tingkat  Halusinasi dapat terjadi  Agitasi, menarik diri, atau
ansietas panik, selama beberapa jam/hari katatonia
secara umum
 Tidak mampu berespons
diatur dan
terhadap perintah yang
dipengaruhi oleh
kompleks
waham
 Tidak mampu berespons
terhadap lebih dari 1 orang

Pohon Masalah Halusinasi

Resiko tinggi perilaku kekerasan



PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI

Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

Asuhan Keperawatan Halusinasi


a. Data yang Perlu Dikaji
1) Alasan masuk RS
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga
merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal
lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke
rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
2) Faktor prediposisi
a) Faktor perkembangan terlambat
 Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan
rasa aman.
 Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
 Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan
b) Faktor komunikasi dalam keluarga
 Komunikasi peran ganda
 Tidak ada komunikasi
 Tidak ada kehangatan
 Komunikasi dengan emosi berlebihan
 Komunikasi tertutup
 Orangtua yang membandingkan anak-anaknya, orangtua
yang otoritas dan konflik dalam keluarga
c) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan
lingkungan yang terlalu tinggi.
d) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup
diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas,
krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
e) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran
vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
f) Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui
kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa
yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih
dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah
kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan
nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %,
seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami
skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara
bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35
%.
3) Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
a) Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b) Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme
penerimaan abnormal).
c) Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan
tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif
adalah kesehatan, lingkungan dan perilaku.
a) Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian,
kelelahan dan infeksi, obat-obatan sistem syaraf pusat, kurangnya
latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b) Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah
tangga, kehilangan kebebasab hidup dalam melaksanakan pola
aktivitas sehari-hari, sukar dala, berhubungan dengan orang lain,
isolasi sosial, kurangnya dukungan sosialm tekanan kerja, dan
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
c) Sikap
Merasa tidak mampu, putus asam merasa gagal, merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang, rendahnya kemampuan
sosialisasi, ketidakadekuatan pengobatan dan penanganan
gejala.
d) Perilaku
Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara
sendiri. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat
tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat
mengidentifikasi adannya tanda-tanda dan perilaku halusinasi
maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar
mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi tentang
halusinasi yang iperlukan meliputi :
 Isi halusinasi
Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan.
 Waktu dan frekuensi
Kapan pengalaman halusianasi munculm berapa kali sehari.
 Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum
halusinasi muncul. Perawat bisa mengobservasi apa yang
dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk
memvalidasi pertanyaan klien.
 Respon klien
Sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien. Bisa dikaji
dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalamana halusinasi. Apakah klien bisa mengontrol
stimulus halusinasinya atau sebaliknya.
4) Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan
tekanan darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang
dirasakan klien.
a) Status mental
 Penampilan : tidak rapi, tidak serasi
 Pembicaraan : terorganisir/berbelit-belit
 Aktivitas motorik : meningkat/menurun
 Afek : sesuai/maladaprif
 Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus
yang ada sesuai dengan nformasi
 Proses pikir : proses informasi yang diterima tidak berfungsi
dengan baik dan dapat mempengaruhi proses pikir
 Isi pikir : berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis
 Tingkat kesadaran
 Kemampuan konsentrasi dan berhitung
b) Mekanisme koping
 Regresi : malas beraktifitas sehari-hari
 Proyeksi : perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggungjawab kepada oranglain.
 Menarik diri : mempeecayai oranglain dan asyik dengan
stimulus internal
c) Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan
ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau pemukiman.
Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan pada klien dengan
halusinasi menurut Keliat (2006) yaitu:
a. Resiko Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
c. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan isolasi sosial.
4. WAHAM

Definisi Waham

Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes, 2000).

Tanda dan Gejala Waham

a. Kognitif: tidak mampu membedakan antara yang nyata dengan yang tidak
nyata, individu sangat percaya dengan keyakinannya, sulit berpikir realita,
dan tidak mampu mengambil keputusan.
b. Afektif: situasi tidak sesuai dengan kenyataan dan afek tumpul.
c. Perilaku dan hubungan sosial: hipersensitif, hubungan interpersonal
dengan orang lain dangkal, depresif, ragu-ragu, mengancam secara
verbal, aktivitas tidak tepat, streotipe, impulsif, dan curiga.
d. Fisik: kebersihan kurang, muka pucat, sering menguap, berat badan turun,
nafsu makan berkurang, dan sulit tidur.

Rentang Respons Perubahan Proses Pikir Waham

Respons Adaptif Respons Maladatif

Pikiran logis Kadang proses pikir Gangguan iisi pikir


terganggu halusinasi
Persepsi kuat
Ilusi Perubahan proses emosi
Emosi konsisten dengan
pengalaman Emosi berlebihan Perilaku tidak
Perilaku seusai Berperilaku yang tidak biasa terorganisasi
hubungan Sosial harmonis Menarik diri isolasi sosial

Faktor Predisposisi Waham

a. Faktor perkembangan. Hubungan interpersonal yang terganggu akibat


kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan dapat meningkatkan
stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
Dimana klien akan menekan perasaannya, sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosinya tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya. Individu yang merasa terasingkan atau kesepian
dapat menimbulkan terjadinya waham.
c. Faktor psikologi. Hubungan yang tidak harmonis, peran
ganda/bertentangan dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan
pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologi. Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak,
pembesaran ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Faktor genetik

Faktor Presipitasi Waham

a. Faktor sosial budaya. Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan


dengan orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia. Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya
diduga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis. Ansietas yang memanjang dan terbatasnya kemampuan
untuk mengatasi masalah, sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.

Klasifikasi Waham

a. Waham agama. Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan,


diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Waham kebesaran. Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki
kekuatan khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
c. Waham curiga. Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang
berusaha merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
d. Waham somatik. Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.
e. Waham nihilistik. Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal
dunia, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

Pohon Masalah Waham

Resiko kerusakan komunikasi verbal



PERUBAHAN PROSES PIKIR: WAHAM

Isolasi sosial: menarik diri

Harga diri rendah kronis
5. DEFISIT PERAWATAN DIRI

Definisi Defisit Perawatan Diri

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang


mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivtas
perawatan diri secara mandiri seperti mandi, berpakaian/berhias, makan dan
BAK/BAB.

Tanda dan Gejala Defisit Perawatan Diri

a. Mandi (hygiene): tidak mampu dalam membersihkan badan, memperoleh


sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapat peralatan
mandi, mengeringkan tubuh, serta keluar dan masuk kamar mandi.
b. Berpakaian/berhias: kelemahan dalam berpakaian dan mempertahankan
penampilan pada tingkat yang memuaskan.
c. Makan: tidak mampu menelan/mengunyah makanan, menyiapkan
makanan, menangani perkakas, mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d. BAB/BAK (toileting): tidak mampu mendapatkan kamar kecil, beranjak dari
jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah
BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet.

Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri

Resiko tinggi isolasi sosial



DEFISIT PERAWATAN DIRI

Harga diri rendah kronis

Asuhan Keperawatan Defisit Perawatan Diri


Pengakajian
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
gangguan perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Defisit perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias secara
mandiri, dan eliminasi/toileting (buang air kecil/besar) secara mandiri.
Untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah defisit perawatan diri
maka tanda dan gejala yang dapat diperoleh melalui observasi pada pasien yaitu:
1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
2. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak –
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien
laki – laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan secara mandiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
4. Ketidakmampuan defekasi/berkemih secara mandiri, ditandai dengan
defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan
baik setelah defekasi/berkemih. (Keliat, 2011)
Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan untuk pasien
Tujuan
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Tindakan Keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri Saudara dapat
melakukan tahapan tindakan yang meliputi:
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2) Melatih pasien berdandan/berhias
Perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki tentu
harus dibedakan dengan wanita.
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi: Berpakaian, Menyisir rambut,
Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi: Berpakaian, Menyisir rambut,
Berhias
3)Melatih pasien makan secara mandiri
Untuk melatih makan pasien Saudara dapat melakukan tahapan sebagai
berikut:
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
Saudara dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai tahapan
berikut:
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

Tindakan keperawatan pada keluarga


Tindakan keperawatan untuk pasien kurang perawatan diri juga ditujukan untuk
keluarga sehingga keluarga mampu mengarahkan pasien dalam melakukan
perawatan diri.
Tujuan: Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.
Tindakan keperawatan: Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan
cara perawatan diri yang baik maka perawat harus melakukan tindakan kepada
keluarga agar keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung agar
kemampuan pasien dalam perawatan dirinya meningkat. Asuhan yang dapat
dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri sendiri yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri :
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri :
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan keterampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien
6. RESIKO BUNUH DIRI

Definisi Resiko Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1998). Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena psien dalam keadaan stres yang tinggi dan
menggunakan koping maladaptif. Siatuasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide
bunuh diri timbul secara berulang-ulang tanpa rencana yang spesifik atau
percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri.

Rentang Respons Protektif Diri

Respons Adaptif Respons Maladatif

Beresiko Destruktif diri Pencederaan


Peningkatan diri Bunuh diri
destruktif tidak langsung diri

 Peningkatan diri: individu mempunyai harapan, yakin, dan kesadaran diri


meningkat
 Beresiko destruktif: posisi rentang yang masih normal dialami individu yang
mengalami perkembangan perilaku
 Destruktif diri tidak langsung: setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan
fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian
 Pencederaan diri: suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut
cukup parah untuk melukai tubuh
 Bunuh diri: tindakan agresif tang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri hidup

Faktor Predisposisi Resiko Bunuh Diri

Penyebab dan/atau alasan individu terdorong untuk melakukan bunuh diri:

a. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres


b. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti
c. Perasaan marah atau bermusuhan
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan
e. Tangisan minta tolong

Domain faktor resiko yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif diri
sepanjang siklus kehidupan antara lain:

a. Diagnosis psikiatrik. Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri


hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa
(gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia).
b. Sifat kepribadian. Kepribadian yang berhubungan erat dengan besarnya
resiko bunuh diri antara lain antipati, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial. Misalnya pengalaman kehilangan, kehilangan
dukungan sosial, kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis,
perpisahan, atau bahkan perceraian.
d. Riwayat keluarga. Apabila ada anggota keluarga yang memilki riwayat
bunuh diri, maka hal tersebut menjadi faktor penting terjadinya seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.
e. Faktor biokimia. Data menunjukkan bahwa klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat kimia dalam otak seperti adrenalin, serotonin, dan
dopamin.

Faktor Presipitasi Resiko Bunuh Diri

a. Psikososial dan klinik: keputusasaan, ras kulit putih, laki-laki, usia lebih tua,
hidup sendiri
b. Riwayat: pernah mencoba bunuh diri, riwayat keluarga tentang percobaan
bunuh diri/penyalahgunaan zat
c. Diagnosis: penyakit medis umum, psikosis, penyalahgunaan zat

Mekanisme Koping Perilaku Bunuh Diri

a. Denial
b. Rasional
c. Intelktualisasi
d. Regresi

Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri

Penjabaran Krisis bunuh Tindakan


Motivasi Niat
gagasan diri bunuh diri

- jeritan minta
konsep bunuh tolong
hidup atau mati
diri
- catatan bunuh
diri

Pohon Masalah Resiko Bunuh Diri

Bunuh diri

RESIKO BUNUH DIRI

Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

Asuhan Keperawatan Resiko Bunuh Diri


1. Pengkajian
Pengkajian tingkah laku bunuh diri termasuk aplikasi observasi melekat dan
keterampilan mendemgar untuk mendeteksi tanda spesifik dan rencana spesifik.
Perawat harus mengkaji tingkat resiko bunuh diri, factor predisposisi, factor
presipitasi, mekanisme koping, dan sumber koping pasien. Beberapa kriteria untuk
menilai tingkat resiko bunuh diri seperti pada table berikut:
1) Faktor Resiko
Menurut Stuart dan Sundeen (1987)
Faktor Resiko Tinggi Resiko Rendah
Umur >45 tahun dan remaja 25-45 tahun atau <
12 tahun
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Status perkawinan Cerasi, pisah, Kawin
janda/duda
Jabatan Profesional Pekerja kasar
Pekerjaan Pengangguran Pekerja
Penyakit kronis Kronik, terminal Tidak ada yang
serius
Gangguan mental Depresi, halusinasi Gangguan
kepribadian

2) Faktor Perilaku
a. Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan biasanya dikaitkan dengan program pengobatan yang
dilakukan (pemberian obat). Pasien dengan keinginan bunuh diri memilih
untuk tidak memperhatikan dirinya.
b. Pencederaan Diri
Cedera diri adalah sebagai suatu tindakan membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan diri dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh.
c. Perilaku Bunuh Diri
Biasanya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu sebagai berikut :
1) Ancaman Bunuh Diri
Yaitu peringatan verbal dan non verbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan secara
nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya dan
sebagainya.
2) Upaya Bunuh Diri
Yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri-sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada kematian jika
tidak dicegah.
3) Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut
tidak diketahui tepat pada waktunya.
3) Faktor Lain
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien
destruktif diri (bunuh diri) adalah sebagai berikut: (Stuart dan Sundeen,
1995)
a. Pengkajian Lingkungan Upaya Bunuh Diri
1) Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan.
2) Tindakan persiapan/metode yang dibutuhkan, mengatur rencana,
membicarakan tentang bunuh diri, memberikan barang berharga
sebagai hadiah, catatan untuk bunuh diri.
3) Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan.
4) Pemahaman letalitas dari metode yang dipilih.
5) Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui.
b. Petunjuk Gejala
1) Keputusasaan.
2) Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga.
3) Alam perasaan depresi.
4) Agitasi dan gelisah.
5) Insomnia yang menetap.
6) Penurunan berat badan.
7) Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan social.
c. Penyakit Psikiatrik
1) Upaya bunuh diri sebelumnya.
2) Kelainan afektif.
3) Alkoholisme dan/atau penyalahgunaan obat.
4) Kelainan tindakan dan depresi pada remaja.
5) Demensia dini dan status kekacauan mental pada lansia.
6) Kombinasi dari kondisi di atas.
d. Riwayat Psikososial
1) Baru berpisah, bercerai, atau kehilangan.
2) Hidup sendiri.
3) Tidak bekerja, perubahan, atau kehilangan pekerjaan yang baru
dialami.
4) Stres kehidupan ganda (pindah, kehilangan, putus hubungan yang
berarti, masalah sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin).
5) Penyakit medis kronis.
6) Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan obat.
e. Faktor-Faktor Kepribadian
1) Impulsif, agresif, rasa bermusuhan.
2) Kekakuan kognitif dan negative.
3) Keputusasaan.
4) Harga diri rendah.
5) Batasan atau gangguan kepribadian antisocial.
f. Riwayat Keluarga
1) Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri.
2) Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme, atau keduanya.
4) Faktor Predisposisi
Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri?
Banyak pendapat tentang penyebab dan/atau alas an termasuk hal-hal
berikut.
a. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal.
c. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
e. Tangisan minta tolong.
5) Faktor Presipitasi
a. Psikososial dan Klinik
1) Keputusasaan
2) Ras kulit putih
3) Jenis kelamin laki-laki
4) Usia lebih tua
5) Hidup sendiri
b. Riwayat
1) Pernah mencoba bunuh diri
2) Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri
3) Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat
c. Diagnostis
1) Penyakit medis umum
2) Psikosis
3) Penyalahgunaan zat
6) Sumber Koping
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan factor social dan
cultural. Durkhein membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada tiga
subkategori bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebgai
berikut :
a. Bunuh Diri Egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan social yang buruk.
b. Bunuh Diri Altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
c. Bunuh Diri Anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
7) Mekanisme Koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan
ego yang berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung
adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
2. Diagnosa Keperawatan
DATA ETIOLOGI MK
Ds: Klien memberi kata-kata ancaman, faktor penyebab Resiko bunuh
mengatakan benci dan kesal pada seseorang, diri
klien suka membentak dan menyerang orang
yang mengusiknya jika sedang kesal, atau koping individu inefektif
marah, melukai / merusak barang-barang dan
tidak mampu mengendalikan diri.
gangguan interaksi
Do: Mata merah, wajah agak merah, nada sosial
suara tinggi dan keras, bicara menguasai,
ekspresi marah, pandangan tajam, merusak
dan melempar barang-barang. gangguan konsep diri

gangguan pola pikir

mencederai diri
sendiri,orang lain dan
lingkungan

Resiko Bunuh Diri

3. Intervensi
Intervensi keperawatan pada pasien
Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat
Tindakan : Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mecoba bunuh
diri, maka perawat dapat melakukan tindakan:
a. Menemani pasien terus menerus sampai dia dapat dipindahkan ke tempat
yang aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang.
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa perawat akan melindungi
pasien sampai pasien tidak ada keinginan untuk bunuh diri.
Intervensi keperawatan untuk keluarga
Tujuan : keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.
Tindakan :
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendiri.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya disekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur.
Intervensi keperawatan untuk pasien dengan isyarat bunuh diri
Tujuan :
a. Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungan
b. Pasien dapat mengungkapkan perasaan
c. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
d. Pasien dapat mengunakan cara penyelesaian masalah yang baik
Tindakan :
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
1. Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2. Memberi pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
3. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
4. Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
pasien.
5. Merencanakan aktivitas yang dapat pasien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara berikut :
1. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah.
2. Mendiskusikan dengan pasien efektivitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
3. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik.
Intervensi keperawatan untuk keluarga dengan pasien isyarat bunuh diri
Tujuan : keluarga mampu merawat pasien dengan resiko bunuh diri.
Tindakan :
a. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri :
1. Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang pernah
muncul pada pasien,
2. Mendiskusikan tentang tanda dan gejela umumnya muncul pada
pasien berisiko bunuh diri.
b. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri :
1. Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien
memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
2. Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien dari perilaku bunuh
diri :
a) Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien di tempat
yang mudah diawasi. Jangan biarkan pasien mengunci diri di
kamarnya atau meninggalkan pasien sendiri di rumah.
b) Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri.
Jauhkan pasien dari barang-barang yang bisa digunakan untuk
bunuh diri, seperti tali, bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau
benda tajam lainya serta zat yang berbahaya seperti obat nyamuk
dan racun serangga.
c) Selalu mengadakan atau meninggalkan pengawasan apabila tanda
dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah melonggarkan
pengawasan, walaupun pasien tidak menunjukan tanda dan gejala
bunuh diri.
3. Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila pasien
melakukan percobaan bunuh diri, antara lain :
1. Mencari bantuan kepada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut.
2. Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas
mendapatkan bantuan medis.
d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi
pasien :
1. Memberi informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan.
2. Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol
secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh diri.
3. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai
prinsip lima benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar
dosisnya, benar cara penggunaanya, dan benar waktu
penggunaannya.
4. Evaluasi
1. Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan
bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan
pasien yang tetap aman dan selamat
2. Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan
percobaan bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan
kemampuan keluarga berperan serta dalam melindungi anggota keluarga
yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
3. Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilah asuhan
keperawatan ditandai dengan hal berikut
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
4. Untuk keluarga yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien dengan resiko bunuh diri, sehingga keluarga mampu melakukan hal
berikut :
a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri
b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi
anggota keluarga yang berisiko bunuh diri.
7. PERILAKU KEKERASAN

Definisi Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku


seseorang yang diarakhkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Bentuk
perilaku kekerasan terhadap diri sendiri berupa melukai diri untuk bunuh diri atau
membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Bentuk perilaku kekerasan
terhadap orang lain berupa tindakan agresif yang bertujuan melukai atau
membunuh orang lain. Bentuk perilaku kekerasan terhadap lingkungan berupa
perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di
lingkungan.

Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

a. Fisik: mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang


mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku, napas pendek,
berkeringat, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat
b. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar, dan ketus.
c. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif
d. Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut
e. Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan
tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme
f. Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keraguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat
g. Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran
h. Perhatian: bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial
Rentang Respons Perilaku Kekerasan

Respons Adaptif Respons Maladatif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

 Asertif: kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain


 Frustasi: kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat
 Pasif: respons lanjutan yang pasien tidak mempu mengungkapkan
perasaan
 Agresif: perilaku destruktif tapi masih bisa dikontrol
 Amuk: perilaku destruktif yang tidak terkontrol

Faktor Predisposisi Perilaku Kekerasan

a. Psikoanalisis. Perilaku agresif merupakan hasil dari dorongan insting.


b. Psikologis. Agresitivitas timbul sebagai hasil dari peningkatan frustasi.
c. Biologis
 Pengaruh neurofisiologik. Sistem limbik dapat menstimulus
timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.
 Pengaruh biokimia. Peningkatan hormon androgen dan
norepineprin serta penurunan serotinin dan GABA pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi perilaku agresif
seseorang.
 Pengaruh genetik. Penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik tipe karotipe XYY yang umumnya dimiliki oleh
narapidana.
 Gangguan otak. Sindrom otak organik berhubungan dengan
berbagai gangguan otak, tumor otak (khususnya pada limbik dan
lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi lobus
temporal terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
d. Perilaku
 Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan ganguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif
terhadap frustasi
 Penekanan emosi berlebihan pada anak-anak atau godaan orang
tua mempengaruhi kepercayaan dan percaya diri individu
 Perilaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga mempengaruhi
penggunaan kekerasan sebagai koping
e. Sosial kultural
 Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Kadang
kontrol sosial yang sangat ketat dapat menghambat ekspresi marah
yang sehat dan menyebabkan individu memilih cara maladaptif
lainnya.
 Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons
terhadap marah yang sehat

Faktor Presipitasi Perilaku Kekerasan

a. Faktor internal: kelemahan, rasa percaya diri menurun, takut sakit, hilang
kontrol
b. Faktor eksternal: penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, kritik

Mekanisme Koping Perilaku Kekerasan

a. Projeksi: memindahkan pikiran atau dorongan atau impuls emosional atau


keinginan-keinginan yang dapat diterima orang lain
b. Mengingkari: menghindari kenyataan yang tidak disetujui dengan
mengacuhkan atau menolak untuk mengakui kenyataan tersebut
c. Reaksi formasi: perkembangan sikap dan pola tingkah laku yang
berlawanan dengan dorongan yang dirasakan dan diinginkan seseorang
Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan



Regimen terapeutik infektif → PERILAKU KEKERASAN ← Halusinasi
↑ ↑ ↑
Koping keluarga tidak efektif Harga diri rendah kronis Isolasi Sosial

Harga diri rendah kronis Berduka difungsional

Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan


1. Pengkajian
Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan
Mengkaji faktor predisposisi dan presipitasi, kondisi klien saat ini,
riwayat keluarga, dan masalah yang dihadapi klien.
a. Faktor predisposisi antara lain :
1) Psikologis
Pengalaman gagal kehidupan yang mengakibatkan perasaan
frustasi , gagal dan tidak berguna.
2) Biologis
Heriditer, gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala,
dan riwayat penggunaan NAPZA.
3) Sosiokultural
Pembelajaran sosial yang membenarkan perilaku kekerasan,
menjadi korban kekerasan.
b. Faktor presipitasi bisa secara internal (perasaan gagal) dan eksternal
(lingkungan yang tidak mendukung, korban kekerasan atau bullying)
Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara fisik maupun verbal,
diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan
dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku
kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.
c. Fisik
Dapat dilihat dari penampilan luar, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh.
d. Hubungan sosial
Klien biasanya memiliki hubungan sosial yang kurang baik.
e. Status mental
1) Dari pembicaraan klien biasanya kasar, keras.
2) Afektif klien labil (emosi cepat berubah-ubah)
3) Interaksi biasanya Bermusuhan, tidak kooperatif, mudah
tersinggung sudah jelas.
Secara lebih jelas, data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui
observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini :
1) Muka merah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Jalan mondar-mandir
6) Bicara kasar
7) Suara tinggi, menjerit, atau berteriak
8) Mengancam secara verbal atau fisik
9) Melempar atau memukul benda/orang lain
10) Merusak barang atau benda
11) Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau
mengontrol perilaku kekerasan
2. Analisa Data
MASALAH
No. DATA FOKUS
KEPERAWATAN
1. DS : Perilaku Kekerasan
- Klien mengatakan saat mempunyai masalah dipendam
sendiri, tidak mau bercerita.
- Klien mengalami masalah emosional seperti putus asa,
peningkatan rasa cemas, panic, marah, permusuhan
DO :
- Pasien tidak banyak bicara, pasien berdiam diri
2. DS: Ketidakefektifan koping
- Klien mengatakan jengkel dan marah pada orang lain
- Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
DO:
- Muka merah dan tegang
- Pandangan tajam
- Mengatuokan rahang dengan kuat
- Mengepalkan tangan
- Jalan mondar-mandir
- Bicara kasar
- Suara tinggi, menjerit, atau teriak
- Mengancam secara verbal atau fisik
- Melempar atau memukul benda atau orang lain
- Merusak barang
- Tidak mampu mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan
3. Intervensi
a. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan
dengan masalah emosional (ketidakberdayaan,putus asa,
peningkatan rasa cemas, panik, permusuhan)
- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x 24 jam
perilaku kekerasan pasien mulai berkurang
- Kriteria Hasil : Didapatkan skor 4 pada indicator NOC
- NOC : Anger Self Restrain

Indikator 1 2 3 4 5
Identifikasi ketika marah √
Identifikasi ketika frustasi √
Identifikasi situasi yang dapat menumbulkan kemarahan √
Menggunakan strategi untuk mengontrol marah √
Monitor gejala perilaku

- NIC : Anger Control Assistence


1) Membangun saling percaya dengan pasien
2) Membantu pasien mengidentifikasi kemarahannya
3) Instruksikan menggunakan tindakan yang membuat tenang
4) Mendukung pasien menggunakn strategi yang dapat mengontrol
kemarahan
- NIC : Enviromental Management : violence prevention
1) Menghilangkan senjata yang potensial dari lingkungan (seperti
pisau )
2) Batasi pasien menggunakan benda tajam
3) Monitor pasien selama menggunakan benda tajam
4) Tempatkan pasien di kamar dekat dengan nurse stasion

b. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain


- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x 24 jam
klien tidak menunjukkan perilaku kekerasan yang dapat
membahayakan orang lain secara fisik, emosional maupun seksual
- Kriteria hasil : Didapatkan skor 4 pada indicator NOC
- NOC: Aggression self restrain
Indikator 1 2 3 4 5
mengidentifikasi ketika marah √
mengidentifikasi situasi yang memicu permusuhan √
mengidentifikasi ketika merasa agresif √
menggunakan keterampilan resolusi konflik yang efektif √
menahan diri dari ledakan lisan √
menghindari melanggar orang lain ruang pribadi √
menahan diri dari merugikan orang lain √
menahan diri dari menghancurkan properti √
menggunakan aktivitas fisik untuk mengurangi √
terpendam energi
Menggunakan teknik kontrol marah √

- NIC: anger control assistance


1) Jalin hubungan kepercayaan dengan pasien
2) Tenangkan menggunakan pendekatan meyakinkan
3) Tentukan perilaku yang sesuai ekspektasi untuk
mengekspresikan marah, berikan level kognitif dan fungsi fisik
4) Anjurkan pasien mencari perawat atau orang lain selama periode
tekanan yang meningkat
5) Monitor potensial dari serangan yang tak sesuai dan lakukan
tindakan sebelum terjadi ekspresi
6) Cegah perilaku membahayakan fisik jika marah secara langsung
pada diri sendiri atau orang lain
7) Edukasi pasien metode untuk mengatur pengalaman emosi kuat
8) Anjurkan menggunakan kolaborasi dalam memecahkan masalah
9) Berikan umpan balik pada perilaku untuk membantu pasien
mengidentifikasi marah
10) Dampingi pasien dalam mengidentifikasi sumber kemarahan
4. Evaluasi
a. Pasien:
1) Pasien memahami penyebab, tanda gejala dan akibat dari
perilaku kerasnya tersebut
2) Pasien mampu mengontrol perilaku kerasnya dengan cara tarik
nafas
3) Pasien mampu mengontrol perilaku kerasnya dengan cara
memukul kasur dan bantal
4) Pasien dapat mengontrol verbalnya dengan cara
mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar
5) Pasien telah mampu mandiri
b. Keluarga
1) Keluarga memahami masalah yang dirasakan oleh pasien
2) Keluarga mengerti mengenai pengertian,tanda gejala dan proses
perilaku kekerasan pasien
3) Keluarga mengerti cara merawat pasien dengan cara tarik nafas
4) Keluarga mengerti cara merawat pasien dengan pukul kasur atau
bantal
5) Keluarga bisa melatih pasien cara berbicara dengan baik
6) Keluarga dapat memfollow up jika ada tanda kambuh atau
rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Boyd, M.A & Nihart, M.A, 1998. Psychiatric Nuersing cotemporary Practice, Edisi
9th. Philadelphis: Lippincott Raven Publisrs.

Carpenito, L.J, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan (terjemahan). Edisi 8,


Jakarta: EGC.

Cook, J.S., dan Fontaine, K.L. (1987). Essentials of mental health nursing.
California: Addison-Wesley Publishing Company.

Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa. Jakarta

Durkheim, Emile. (1897/1951). Suicide. New York: Free Press

Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP&SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika

Keliat, B.A. 1997. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Keliat, B.A. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Keliat, Budi Anna., dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komuitas CMHN
(Basic Course). Jakarta: EGC

Kusuma, W.1997. Dari A sampai Z Kedaruratan Psiciatric dalam Praktek, Edisi I.


Jakarta: Profesional Books.

Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.

Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi


2005 -2006. Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika

Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.


Yogyakarta : Momedia

Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan


Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Rawlins, R.P & Heacock, PE. 1998. Clinical Manual of Pdyshiatruc Nursing, Edisi
1. Toronto: the C.V Mosby Company.
Riyadi, Sujono; Purwanto Teguh. 2013. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Stuart GW, Sundeen. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa,edisi 5. Jakarta : EGC

Stuart, GW and Laraia. 2005. Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed.
Elsevier Mosby, Philadelphia

Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan).
Jakarta: EGC.

Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC

Townsend, M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan


Psikiatri (terjemahan), Edisi 3. Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama

Yusuf AH dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

You might also like