You are on page 1of 21

Laporan kasus

Dengue Haemorragic Fever

Oleh:
dr. Eka Sri Indra Putri

Pembimbing:
dr. NUR AISYAH, M.Kes

PROGRAM INTERNSIP
PERIODE NOVEMBER 2017-2018
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGKINANG
KABUPATEN KAMPAR
2017
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Demam dengue/ dan demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic Fever/
DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.5
2. ETIOLOGI

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus

dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4

yang semua nya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah

dengue. Keempat serotipe ini ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan

serotipe terbanyak.5

3. PATOFISIOLOGI

Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan membedakan

demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding

pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia

dan diatesis hemoragik. Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan

menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke


daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak dengan mengakibatkan

menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit.6

Jika seseorang digigit nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue masuk

bersama darah yang dihisapnya. Dalam tubuh nyamuk, virus dengue akan

berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh

nyamuk dan sebagian besar virus tersebut berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam

tempo 1 minggu, jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu sehingga siap dipindahkan

ke orang lain.7 Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel

hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia

sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan

tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan

terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka

perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.5,8

Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue

adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan

hipotesis immune enhancement.9 Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan

oleh Suvatte, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda,

respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan

transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat

di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus

dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang

selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan


peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke

ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan

natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada penderita renjatan berat,

volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung

selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan

menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.9

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak

langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai

risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang

telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi

yang berikatan dengan reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai

tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan

keadaan hipovolemia dan syok.9

Gambar 1. Hipotesis secondary heterologous infection 5,6

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 3

1. Supresi sumsum tulang

2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada

fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi

megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses

hematopoeisis termasuk megakariopoesis.


Kadar trombopoeitin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis

sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi

trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,

konsumsi trombosit selama proses koagulopatidan sekuestrasi di perifer. Gangguan

fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan

kadar b-hemoglobin dan PF4 yang merupakan degranulasi trombosit.2

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang

menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya

koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi

koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik

(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga kberperan melalui aktivasi faktor XIa

namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).3

Hipotesa Kupulotiasis

Adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen otokonia
yang terlepas dari macula utrikulus yang berdegenerasi, menempel pada permukaan
kupula semisirkularis posterior yang letaknya langsung di bawah makula
urtikulus.Debris ini menyebabkannya lebih berat daripada endolimfe sekitarnya,
dengan demikian menjadi lebih sensitif terhadap perubahan arah gravitasi. Jika pasien
berubah posisi dari duduk ke berbaring dengan kepala tergantung, seperti pada tes
Dix Hallpike, kanalis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula
bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan
vertigo.6,7

Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang


menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya nistagmus dan keluhan vertigo.
Gerakan posisi kepala yang berulang akan menyebabkan otokonia terlepas dan masuk
ke dalam endolimfe, hal ini yang menyebabkan timbulnya fatigue, yaitu
berkurangnya atau menghilangnya nistagmus/vertigo, disamping adanya mekanisme
kompensasi sentral.7

Nistagmus tersebut timbul secara paroksismal pada bidang kanalis posterior


telinga yang berada pada bidang kanalis posterior telinga yang berada pada posisi di
bawah, dengan arah komponen cepat ke atas.

Hipotesa Kanalitiasis

Menurut hipotesa ini debris otokonia tidak melekat pada kupula, melainkan
mengambang di dalam endolimfe kanalisis posterior. Pada perubahan posisi kepala
debris tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, endolimfe bergerak menjauhi
ampula dan merangsang nervus ampularis. Bila kepala digerakkan tertentu debris
akan ke luar dari kanalis posterior ke dalam krus komunis, lalu masuk ke dalam
vestibulum, dan vertigo/nistagmus menghilang.5,6,7

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue. Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7
hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah
tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan yang adekuat.10
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan
fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari,
disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan
sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi
perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh
lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi
syok.
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil
dan diuresis membaik.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3). Trombositopenia umumnya
dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai
dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan
atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi dapat dilakukan pemeriksaan
hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang
dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.3
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama
(lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini,
seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi
genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih
cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal
serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif
semu.5
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah
60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, sedangkan
pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.5
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5

6. Diagnosis
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria
diagnosis menurut WHO tahun 1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).
Kriteria klinis demam dengue adalah demam akut selama 2-7 hari ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi klinis seperti nyeri kepala, nyeri retro-orbital,
mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung
positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien
demam dengue atau demam berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi
dan waktu yang sama.
Kriteria Klinis:9,10
1. Demam akut mendadak 2-7 hari, bersifat bifasik
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
- Uji tourniket positif
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan melena
Kriteria Laboratoris:
- Trombositopenia (100.000/ mm3 atau kurang)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
 Penurunan hemtokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan
hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue.
Efusi pleura dan atau hipoalbumin, dapat memperkuat diagnosis terutama pada
pasien anemia dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit
dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa demam berdarah dengue.5
WHO (2004) membagi demam berdarah dengue menjadi 4 derajat
berdasarkan tingkat keparahan, yaitu 5
• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan
lain.
• Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit
dingin dan lembab, tampak gelisah.
• Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Berikut ini adalah tabel derajat penyakit infeksi virus dengue 6
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 Leukopenia,
atau lebih tanda: serologi dengue
sakit kepala, nyeri positif
retro orbital,
mialgia, artralgia
DBD I Gejala di atas Trombositopenia
ditambah uji (<100.000/ul), bukti
bendung positif ada kebocoran
plasma
DBD II Gejala di atas Trombositopenia
ditambah (<100.000/ul), bukti
perdarahan spontan ada kebocoran
plasma
DBD III Gejala di atas Trombositopenia
ditambah (<100.000/ul), bukti
kegagalan sirkulasi ada kebocoran
(kulit dingin dan plasma
lembab serta
gelisah)
DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia
dengan tekanan (<100.000/ul), bukti
darah dan nadtidak ada kebocoran
terukur plasma

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
PENATALAKSANAAN

Tidak ada penatalaksanaan spesifik untuk pasien DBD. Terapi untuk DBD

bersifat simptomatik dan kontrol terhadap manifestasi klinis dari syok dan perdarahan

yang terjadi. Pasien yang syok jika tidak ditatalaksana dalam waktu 12- 24 jam akan

mengalami kematian. Manajemen terpenting pada pasien DHF adalah observasi ketat

terhadap tanda vital dan monitoring laboratorium.4

Manajemen demam DBD sama seperti penatalaksanaan DD. Paracetamol

direkomendasisikan untuk menurunkan suhu dibawah 39°C. Pemberian cairan oral

sangat direkomendasikan selama pasien dapat mentolerir cairan yang diberikan

seperti halnya pasien diare. Cairan IV perlu diberikan terutama jika pasien muntah

terhadap makanan atau cairan yang diberikan.


LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AF
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Alamat : sei. pinang
Tanggal Masuk : 23 November 2017

ALLOANAMNESIS
Diberikan oleh : Pasien sendiri
Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Bangkinang dengan keluhan demam tinggi sejak
5 hari SMRS, timbul mendadak, terus-menerus, pasien membeli obat penurun panas
di apotek dan pasien merasa demamnya berkurang namun kembali demam setelah
beberapa jam minum obat. Demam tidak disertai menggigil, keringat dingin (+), otot
dan persendian pegal-pegal, mual (+), muntah (+) sebanyak 1 kali berupa makanan,
nyeri ulu hati, pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, nyeri dirasakan berdenyut-
denyut, dan nyeri di sekitar mata. Tidak ada keluhan adanya flu, batuk, nyeri
menelan, serta sakit gigi. Nafsu makan berkurang, pasien merasa pahit jika menelan.
BAB dan BAK tidak ada masalah.
1 hari SMRS pasien merasa keluhan tidak berkurang. Perdarahan gusi (+),
nyeri ulu hati dan nyeri kepala masih dirasakan. BAB dan BAK tidak ada masalah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mengeluhkan sakit apapun sebelumnya
Alergi Obat
Tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Vital Sign
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 84 kali permenit
Nafas : 20 kali permenit
Suhu : 37,1oC (setelah di berikan pbat penurun panas)

Skala nyeri : 3

Kulit :Teraba hangat, turgor baik, sianosis (-), ikterik (-), pucat (-)
Kepala : Mata isokor, reflek cahaya +/+
Leher : Tidak diperiksa
Thorax :
 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, fasikulasi otot
(+)
 Palpasi : Vokal fremikus simertis kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
 Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rongki (-/-) ,Wheezing(-/-).
Bunyi jantung I dan II normal.Murmur (-), galoop (-).
Abdomen :
 Inspeksi : Simetris
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (+)
 Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral teraba hangat, CRT < 2 detik
Anus dan Genitalia : Tidak diperiksa

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Darah
Hemoglobin : 16 gr%
Leukosit : 2.600 x103 / mm3
Hematokrit : 48.9%
Trombosit : 80.000x 103 / mm3
GDS : 125 mg/dl

DIAGNOSA KERJA : dengue haemorragic fever grade II + dispepsia


Terapi
Non Farmakologi :

- Istirahat
- Diet tinggi kalori tinggi protein
- Banyak minum, jenis minuman : air bening, teh manis, sirup, jus buah, susu.
Farmakologi :
- IVFD Ringer laktat 30 gtt/menit.
- Injeksi Ranitidin 50 mg 2x1
- Paracetamol 3 x 500 mg

Prognosis : Ad Bonam
PEMBAHASAN

Pasien Tn.AF , 43 tahun datang ke RSUD Bangkinang dengan keluhan


demam naik turun sejak 5 hari SMRS. Diagnosis pada pasien ini adalah Dengue
Hemorraghic Fever /demam berdarah dengue dengan diagnosis banding demam
thypoid. . Demam yang muncul mendadak dan naik turun disertai dengan adanya
sakit kepala, otot dan persendian pegal-pegal, dan kurangnya nafsu makan. Hal ini
diperkuat dengan hasil pemeriksaan darah rutin yang menunjukkan terjadinya
trombositopenia yang salah satu tanda klinis dari demam berdarah dengue. Sebaiknya
dilakukan pemeriksaan serologi untuk memperkuat diagnosis demam berdarah
dengue.
Jika dilihat dari beratnya DBD, pada kasus ini termasuk DBD Derajat 2
(sedang). Hal ini dipikirkan karena adanya perdarahan spontan, yang terlihat dari
adanya uji rumpled (+), adanya perdarahan gusi. Hal ini terjadi karena meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan
serotonin serta aktivasi sistem vaskuler mengakibatkan berkurangnya volume plasma
sehingga terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan
mencapai puncaknya pada saat renjatan berat, volume plasma dapat turun sampai
lebih dari 30%.
Pada penatalaksanaan di RSUD Bangkinang, infus yang digunakan adalah
IVFD RL. Menurut teori penatalaksanaan pada pasien DBD adalah pemberian infus
yang terbaik adalah IVFD jenis kristaloid (misal: Ringer Laktat) untuk mencegah
terjadinya perembesan plasma ke luar pembuluh darah. Pemberian parasetamol pada
pasien ini diindikasikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri, serta
untuk menurunkan demam.
Ranitidin efektif untuk mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang
berlebihan dan efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum, tukak lambung,
gastritis erosif dan pengobatan alternatif jangka pendek untuk pasien yang tidak dapat
diberikan ranitidin oral. Pada pasien didapatkan memiliki keluhan nyeri ulu hati
disertai mual yang diakibatkan peningkatan asam lambung sehingga dengan
pemberian ranitidin, diharapkan keluhan nyeri ulu hati pada pasien berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI.

2009.

2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.

3. Anggia SD. Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue yang

dirawat di Bagian Ilmu penyakit Dalam Periode 1 Januari- 31 Desember 2005.

Pekanbaru, 2006 : 27-37.

4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.

Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW

dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :

2007.

5. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di

Indonesia. Farmaka. 2007; 5:12-29.

6. Sanford JP. Infeksi Arbovirus dalam Harrison prinsip-prinsip Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi 13. Volume 2. Jakarta : EGC, 1999 : 955-6.

7. Departemen kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue. 2009. [diakses 7 April

2013] http://www.depkes.go.id

8. Chen K, Herdiman T. Pohan, Sinto R. Diagnosis dan terapi cairan pada

demam berdarah dengue. Medicinus: Scientic Journal of Pharmaceutical

Development and Medical Application. 2009; 22: 3-7.


9. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,

Prevention and Control. New edition. Geneva. 2009.

BERITA ACARA PRSENTASI LAPORAN KASUS


Pada hari ini tanggal 22 Desember 2017 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :

Nama Peserta : dr. Rimayanti

Dengan judul/topik : Vertigo Perifer (BPPV)

Nama Pendamping : dr. Nuraisyah, M.Kes

Nama Wahana : RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar

No. Nama Peserta Presentas i No. T a n d a T a n g a n

d r . E k a S r i I n d r a P u t r i
1 1
d r . C i t r a A y u A n g g r e l i
2 2
d r . S h e r t i A m e l i a
3 3
d r . D w i U l f a A n n i s a
4 4
d r . R i m a y a n t i
5 5
d r . E r i z o n
6 6
dr . P a t r i ot F aj ri R a k as i
7 7

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Pendamping

dr. Nur Aisyah, M.Kes

You might also like