You are on page 1of 7

Dampak AQ terhadap Stress

Kecerdasan merupakan suatu potensi dasar seorang individu untuk berpikir,


menganalisis, dan mengelola tingkah lakunya di dalam lingkungan. Ciri kecerdasan
adalah dapat menilai, memahami secara menyeluruh, dan memberi alasan dengan
baik. IQ (Intellegence Quotient) merupakan keseluruhan kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara logis, terarah, mengelola, dan menguasai lingkungan
secara efektif. IQ berpusat pada otak kiri yang bersifat logis, sekuensial, linear dan
rasional. Cara berpikir tersebut sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal,
menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta
simbolisme (DePorter dan Hernacki, 2001: 36). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kecerdasan akademik, atau IQ, merupakan salah satu kecerdasan yang
berorientasi hal-hal yang bersifat logis dan rasional, obyektif, empiris, prapersonal.
Hasil kerja IQ yang berpusat pada otak kiri adalah hal yang bersifat pasti, dan bekerja
tahap demi tahap dengan alur yang prosedural dan teratur, sehingga menghasilkan
hal-hal yang bersifat realistis dan sistematis.

EQ (Emotional Quotient) merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan


sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik
dan berhubungan dengan orang lain. Menurut Peter Salovely and John Mayer, EQ
adalah kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi. Menurut Purba (2011),
menjelaskan bahwa emotional Quotient sebagai kemampuan di bidang emosi, yaitu
kemampuan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semangat
optimisme dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (empati). Pendapat
tersebut sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Goleman (2008), EQ
mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengatur suasana hati,
berempati dan mampu menjalin hubungan sosial dengan baik, kemampuan
menyelesaikan konflik serta mampu untuk memimpin.
EQ juga merupakan suatu sikap tanggung jawab atas harga diri, kesadaran
diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan
merasakan atas timbulnya tuntutan/ gejolak jiwa sehingga dapat teratasi secara
kondusif dan harmonis. Kecerdasan emosional merupakan gabungan dari semua
kemampuan emosional dan kemampuan sosial untuk menghadapi seluruh aspek
kehidupan. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan, memahami
dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional berpangkal
pada otak kanan. Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan
holistik (DePorter dan Hernacki, 2001). Menurut Danah Zohar, kecerdasan emosional
berada pada jaringa saraf otak kanan, cara berpikirnya bersifat asosiatif, tipe berpikir
emosional, sifat pikirannya fleksibel, tidak akurat, proses psikologisnya bersifat
personal (Pasiak, 2004:136). Dari apa yang dikemukakan diatas dapat dikatakan
bahwa kecerdasan emosional merupakan himpunan dari kecerdasan sosial. yang
bersifat asosiatif, emosional, etis , dan empatis. EQ, yang berpusat pada otak kanan
melahirkan sikapsikap personal, menekankan pada pengenalan diri, dan hubungan
antar pribadi, sikap dan perilaku sosial yang positif.
SQ (Spiritual Quotient) merupakan sumber yang diilhami, menyemangati dan
mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu. Menurut
Stoltz (2005) menyatakan bahwa dalam meraih kesuksesan bukan IQ (Intelligence
Quotient), EI (Emotional Intelligence), maupun SQ (Spiritual Quotient) yang
berperan besar dalam diri seseorang, namun juga diperlukan AQ (Adversity
Quotient).
Adversity quotient merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan
menghadapi kesulitan dan mampu mengatasi kesulitan tersebut, serta mampu
melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensinya. Menurut Agustian (2001),
adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi
kesulitan dan bertahan hidup”. Secara sederhana adversity quotient dapat
didefinisikan sebagai kecerdasan individu dalam menghadapi kesulitan dan bertahan
dari kesulitan tersebut. Jika seseorang berhadapan dengan berbagai kesulitan hidup,
maka kecerdasan yang digunakan adalah Adversity Quotient. Tingkat adversity
quotient individu dinilai berdasarkan aspek-aspek adversity quotient yang terdiri dari
control (kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan kesulitan),
origin-ownership (kemampuan individu dalam mengetahui penyebab dan tanggung
jawabnya terhadap suatu kesulitan), reach (kemampuan individu dalam membatasi
suatu permasalahan agar tidak berdampak terhadap bidang kehidupan yang lain), dan
endurance (kemampuan individu untuk bertahan dan berhubungan dengan persepsi
individu tentang berapa lama kesulitan akan berlangsung). Menurut Stoltz (2015),
adversity quotient dapat menggambarkan motivasi, kreativitas, kinerja,
pemberdayaan, produktivitas, pengetahuan, energy, harapan, dan kebahagiaan
individu dalam mencapai kesuksesan, Selain itu individu yang memiliki skor AQ
tinggi akan memiliki hidup yang lebih bermakna dibadingkan dengan individu yang
memiliki skor AQ rendah (Aarifatunnisa, 2010). Stoltz (2005) menyebutkan bahwa
setiap manusia memiliki dorongan dasar untuk dapat terus meningkatkan taraf
hidupnya, namun sukses atau tidaknya seseorang bergantung pada bagaimana
individu menghadapi berbagai kesulitan.Kemampuan untuk menghadapi kesulitan
dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki agar bisa terus maju dalam kehidupan
adalah adversity quotient („Aarifatunnisa, 2010). Adversity quotient merupakan
kerangka konseptual yang mampu memprediksi seberapa jauh individu dapat mampu
mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hidup, dengan kata lain adversity quotient
mampu memberikan gambaran individu mana yang mampu melampaui harapan atas
kinerja dan potensinya atau individu mana yang gagal dalam mengatasi kesulitan
hidup (Canivel, 2010; Huijuan 2009; Suhariadi, 2009). Stoltz (dalam „Aarifatunnisa,
2010) menyebutkan bahwa adversity quotient suatu potensi yang dimiliki individu
yang dengan potensi ini individu dapat mengubah hambatan menjadi sebuah peluang.
Adversity quotient memiliki lima dimensi dalam menjelaskan potensi
individu dalam menghadapi kesulitan meliputi control, origin and ownership, reach,
dan endurance. Control mengacu pada pengendalian individu terhadap keadaan sulit,
originberhubungan dengan sifat menyalahkan diri sendiri dimana sifat ini memiliki
dua fungsi yaitu sebagai bahan evaluasi dan meningkatkan penyesuaian prilaku,
ownership mengacu pada persepsi individu terkait hasil yang ingin diraih, reach
memanifestasikan sejauh mana dampak dari kesulitan mempengaruhi kehidupan
individu dan endurance mengacu pada seberapa lama kesulitan dan penyebannya
akan berlangsung dalam kehidupan individu (Canivel, 2010; Cornista et al, 2012;
Huijuan, 2009; Santos, 2012).

Adversity quotient merupakan salah satu bentuk kecerdasan yang


melatarbelakangi kesuksesan seorang individu. Tujuan penelitian ini dikarenakan
dunia kerja yang beranekaragam dan kompleks dengan tingginya persaingan,
sehingga banyak individu yang mengalami stress. Individu yang mengalami hal
tersebut dikarenakan kendali diri, asal usul, dan pengakuan diri serta daya tahan yang
kurang kuat untuk menghadapi masalah dalam kehidupannya.

Stoltz (2007) menyatakan komponen dari AQ yaitu : Control, Origin dan


Ownership, reach, dan endurance. Control merupakan kemampuan seseorang dalam
mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa
mendatang. Control menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memiliki kendali
dalam suatu masalah yang muncul. Apakah seseorang memandang bahwa dirinya tak
berdaya dengan adanya masalah tersebut, atau ia dapat memengang kendali dari
akibat masalah tersebut Aspek origin adalah sejauh mana seseorang
mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari
dirinya atau orang lain / lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan
seseorang. Origin menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memandang sumber
masalah yang ada. Apakah ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber
dari dirinya seorang atau ada faktor-faktor lain diluar dirinya. Sedangkan ownership
mengacu pada sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan dan
kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut.
Ownership menjelaskan tentang bagaimana seseorang mengakui akibat dari masalah
yang timbul. Apakah ia cenderung tak peduli dan lepas tanggung jawab, atau mau
mengakui dan mencari solusi untuk masalah tersebut. Reach merupakan aspek untuk
melihat sejauh mana kesulitan akan menyebar dalam kehidupan seseorang dan juga
menunjukkan bagaimana suatu masalah menganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak
berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Reach menjelaskan tentang
bagaimana suatu masalah yang muncul dapat mempengaruhi segi-segi hidup yang
lain dari orang tersebut. Apakah ia cenderung memandang masalah tesebut meluas
atau hanya terbatas pada masalah tersebut saja. Endurance merupakan sejauh mana
kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah, sehingga dapat
dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan
itu akan berlangsung. Endurance menjelaskan tentang bagaimana seseorang
memandang jangka waktu berlangsungnya masalah yang muncul. Apakah ia
cenderung untuk memandang masalah tersebut terjadi secara permanen dan
berkelanjutan atau hanya dalam waktu yang singkat saja. Keseluruhan nilai dari
dimensi ini akan menentukan nilai dari adversity quotient seseorang.

Menurut (Stoltz, 2007), ada 3 tingkatan AQ, yaitu : Quitters, campers, dan
climbers. Quitters merupakan banyaknya orang yang memilih untuk keluar
menghindari kewajiban dan mundur dari usahanya. Individu tersebut dalah orang-
orang yang berhenti untuk melanjutkan usahanya. Campers merupakan orang-orang
yang mudah puas dengan hasil yang diperolehnya. Mereka tidak ingin melanjutkan
usahanya untuk mendapatkan lebih dari yang didapatkan sekarang. Climbers
merupakan individu yang dengan segala usaha keberaniannya menghadapi setiap
resiko, hambatan, dan tantangan untuk melanjutkan usaha hingga tujuan tercapai.
Mereka selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan
segala hambatan menghalangi usahanya.
Setiap orang pernah mengalami perasaan tertekan atau mengalami ketegangan
yang dikenal dengan istilah stress. Stress merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Manusia tidak akan pernah luput dari pengalaman yang menegangkan di dalam
hidupnya. Cara individu dalam menyikapi kondisi stress pun berbeda-beda antara
individu yang satu dan individu yang lainnya. Hal itu tergantung dari pengalaman
yang dimiliki oleh setiap individu, kepribadiannya, dan kondisi lingkungan hidupnya
(Sukadiyanto, 2010). Stress di butuhkan seseorang sebagai motivasi untuk aktif tetapi
di sisi lain stress bias menimbulkan perasaan tidak nyaman jika seseorang tidak
mampu mengelolanya dan disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengelola stres
(stress management). Suatu peristiwa stress dengan tingkat yang berbeda-beda
merupakan respon individu terhadap kesulitan- kesulitan yang di hadapinya.
Sebagian individu menjadi putus asa, tetapi sebagian lain merasa bersemangat oleh
tantangan yang ditimbulkan peristiwa tersebut. Hal ini selaras dengan konsep
adversity quotient, sehingga adversity quotient berpengaruh terhadap tingkat stres
seseorang.
Berdasarkan hal di atas, kinerja adversity quotient sebagai kecerdasan yang
melatarbelakangi kesuksesan dalam menghadapi tantangan setelah terjadi kegagalan,
mulai banyak digali dan diteliti. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik
melakukan penelitian tentang hubungan Adversity Quotient dengan tingkat stres
akademik pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Riau terkait pengaruh
dan pentingnya Adversity Quotient dalam menghadapi stres. Dalam mengelola dan
mengembangkan adversity quotient pada dasarnya tergantung dari bagaimana
seseorang tersebut merespon dengan tepat kesulitan dan hambatan yang sedang
dihadapinya. Individu yang merespon kesulitan lebih optimis, tidak ragu dalam
mengambil keputusan dan bertindak konstruktif, sedangkan individu yang pesimis
akan bersikap lebih berhati hati dan ragu serta bertindak destruktif, sehingga mereka
kehilangan kesempatan. Adversity quotient dapat ditingkatkan dengan beberapa
langkah yang akan membantu individu dalam menciptakan perbaikan-perbaikan serta
cara individu untuk merespon kesulitan. Langkah tersebut diantaranya dengan
mendengar respon individu terhadap kesulitan yang akan mereka hadapi (listen),
individu harus dapat menjajaki asal usul dan pengakuan atas akibat dari yang telah
dilakukannya (explore), individu juga harus mampu menganalisa bukti-bukti
sehingga individu memiliki sejumlah kendali dalam menghadapi kesulitan (analyze),
serta individu harus dapat melakukan sesuatu untuk mengendalikan kesulitan yang
ada, membatasi lamanya kesulitan itu terjadi (do). Selain meningkatkan adversity
quotient individu, langkah tersebut dapat mengurangi tingkat stres yang dialami
individu

You might also like