You are on page 1of 40

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Mata

RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto

Laporan Kasus
Konjungtivitis Viral Akut OS

Disusun Oleh
Meyselina Iwan
11 – 2016 – 117

Ditujukan Kepada :
dr. Astrid, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini,
penulis bisa menyelesaikan tugas laporan kasus yang diberi judul “Konjungtivitis
Viral Akut OS”.
Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai “Konjungtivitis Viral Akut OS” dan merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Astrid, Sp.M yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dan memberikan pengarahan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan
bantuan dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan
saran dan masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga laporan
kasus ini membawa manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 2 Mei 2018

1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus :
SMF ILMU PENYAKIT MATA
RSPAD Gatot Soebroto
Tanda Tangan
Nama : Meyselina Iwan
NIM : 11.2016.117
Dr. Pembimbing : dr Astrid , Sp.M ----------------

STATUS PASIEN
I. Identitas
Nama : An. F
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Tanjung Priuk
Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2018

II. Anamnesis
Dilakukan Autoanamnesis pada tanggal 30 April 2018

Keluhan utama : mata kiri merah


Riwayat Penyakit Sekarang :
Tiga hari sebelum periksa di poli Mata RSPAD pasien mengeluh mata kiri nya
merah, yang tampak pada bagian yang seharusnya berwarna putih serta kelopak
mata sebelah dalam baik atas maupun bawah. Pasien merasakannya sejak tiga hari
yang lalu hingga saat ini. Awalnya saat baru bangun tidur pasien merasakan gatal
dan terdapat kotoran/ belek yang lebih banyak dari biasanya di mata kirinya.
Keluhan bertambah berat setiap kali pasien mengucek matanya. Semakin lama
terasa semakin merah, terasa panas, gatal, bengkak, dan berair. Cairan yang keluar
2
tidak berwarna, tidak berbau dan encer. Pasien juga merasakan mengganjal saat
membuka dan menutup mata akibat bengkaknya daerah mata yang merah dan
kelopak mata atasnya. Pasien merasakan seperti kelilipan. Pasien memiliki
kebiasaan beraktivitas main di luar / lapangan yang terkena paparan debu. Hal ini
adalah pertama kalinya bagi pasien.

Pasien sudah melakukan upaya pengobatan dengan membeli obat tetes mata namun
tidak ada perbaikan / cepat kambuh lagi gatal di mata kirinya.

Pasien menyangkal adanya nyeri, silau, pandangan kabur, riwayat trauma


sebelumnya, demam.

Riwayat Penyakit Dahulu


a. Umum
- Asma : tidak ada
- Alergi : tidak ada
- Rhinitis Alergi : tidak ada

b. Mata
- Riwayat sakit mata sebelumnya : tidak ada
- Riwayat penggunaan kaca mata :tidak ada
- Riwayat operasi mata : tidak ada
- Riwayat trauma mata sebelumnya : ada pada kelopak mata kiri atas dan
mata berdarah terkena tendangan bola beberapa bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Penyakit mata serupa : tidak ada
- Penyakit mata lainnya : tidak ada
- Asthma : tidak ada
- Alergi : tidak ada

3
III. Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : tidak dilakukan
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36.7˚C
Pernapasan : 22 x/menit
Kepala : normocephali
Mata : lihat status ophtalmologis
Hidung : simetris, sekret –
Mulut : simetris, kering - , sianosis –
Tenggorokan : tidak dilakukan
Leher : tidak tampak pembesaran KGB / Tiroid
Jantung : BJ 1/2 murni reguler, murmur -, gallop -
Paru-Paru : simtetris, normovesikuler +/+ , Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan -, bising usus +
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

B. Status Ophtalmologis

Status Lokalis

4
Visus

KETERANGAN OD OS

Tajam penglihatan 1.0 1.0

Koreksi Tidak ada Tidak ada

Addisi Tidak ada Tidak ada

Distansia Pupil 59 mm /57 mm

Kacamata lama Tidak ada Tidak ada

Kedudukan bola mata

KETERANGAN OD OS

Eksoftamus Tidak ada Tidak ada

Endoftalmus Tidak ada Tidak ada

Deviasi Tidak ada Tidak ada

Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

5
Supra silia

KETERANGAN OD OS

Warna Hitam Hitam

Letak Simetris Simetris

Palpebra Superior dan Inferior

KETERANGAN OD OS

Edema Tidak ada Superior

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Ektropion Tidak ada Tidak ada

Entropion Tidak ada Tidak ada

Blefarospasme Tidak ada Tidak ada

Trikiasis Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Superior

Fissura palpebra 10 mm 8 mm

Ptosis Tidak ada Tidak ada

Hordeolum Tidak ada Tidak ada

Kalazion Tidak ada Tidak ada

Pseudoptosis Tidak ada Tidak ada

6
Konjungtiva Tarsalis Superior dan Inferior

KETERANGAN OD OS

Hiperemis Tidak ada Ada

Folikel Tidak ada Ada

Papil Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Anemia Tidak ada Tidak ada

Kemosis Tidak ada Tidak ada

Konjungtiva bulbi

KETERANGAN OD OS

Injeksi konjungtiva Tidak ada Ada

Injeksi Siliar Tidak ada Tidak ada

Perdarahan subkonjungtiva Tidak ada Tidak ada

Pterigium Tidak ada Tidak ada

Pinguekula Tidak ada Tidak ada

Nevus Pigmentosus Tidak ada Tidak ada

Kista dermoid Tidak ada Tidak ada

Kemosis Tidak ada Tidak ada

7
Sistim lakrimalis

KETERANGAN OD OS

Punctum Lacrimal Terbuka Terbuka

Epifora Tidak ada Tidak ada

Tes anel Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Sklera

KETERANGAN OD OS

Warna Putih Putih

Ikterik Tidak ada Tidak ada

Kornea

KETERANGAN OD OS

Kejernihan Jernih Jernih

Permukaan Licin Licin

Ukuran 12 mm 12 mm

Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Infiltrat dan Dendrit Tidak ada Tidak ada

Ulkus Tidak ada Tidak ada

Perforasi Tidak ada Tidak ada

Arkus senilis Tidak ada Tidak ada

8
Edema Tidak ada Tidak ada

Tes Placido Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Bilik Mata Depan

KETERANGAN OD OS

Kedalaman Normal Normal

Kejernihan Jernih Jernih

Hifema Tidak ada Tidak ada

Hipopion Tidak ada Tidak ada

Efek Tyndall Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Iris

KETERANGAN OD OS

Warna Coklat Coklat

Kriptae Jelas Jelas

Bentuk Bulat Bulat

Sinekia Tidak ada Tidak ada

Koloboma Tidak ada Tidak ada

9
Pupil

KETERANGAN OD OS

Letak Di tengah Di tengah

Bentuk Bulat Bulat

Ukuran ± 3 mm ± 3 mm

Refleks cahaya langsung Positif Positif

Refleks cahaya tidak langsung Positif Positif

Lensa

KETERANGAN OD OS

Kejernihan Jernih Jernih

Letak Di tengah Di tengah

Shadow Test Negatif Negatif

Badan kaca

KETERANGAN OD OS

Kejernihan Jernih Jernih

Fundus okuli

KETERANGAN OD OS

Reflex Fundus Positif Positif

10
Papil

- Bentuk Bulat Bulat

- Warna Jingga muda Jingga Muda

- Batas Tegas Tegas

- CD Ratio 0.3 0.3

Arteri Vena 2/3 2/3

Retina

- Edema Tidak Ada Tidak Ada

- Perdarahan Tidak Ada Tidak Ada

- Exudat Tidak Ada Tidak Ada

- Sikatrik Tidak Ada Tidak Ada

Makula Lutea

- Reflex Fovea Positif Positif

- Edema Tidak ada Tidak ada

- Pigmentosa Tidak ada Tidak ada

Palpasi

KETERANGAN OD OS

Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada

Massa Tumor Tidak ada Tidak ada

Tensi Okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tonometri 11.6 mmHg 13.0 mmHg

11
Kampus visi

KETERANGAN OD OS

Tes Konfrotasi Lapang pandangan pasien sama Lapang pandangan pasien sama
dengan pemeriksa dengan pemeriksa

IV. Resume
Dari anamnesis pasien anak laki-laki berusia 15 tahun datang ke Poli Mata RSPAD
Gatot Soebroto dengan keluhan mata kiri nya merah sejak 3 hari SMRS. Pasien
merasakan gatal dan terdapat kotoran/ belek yang lebih banyak dari biasanya di
mata kirinya. Keluhan bertambah berat setiap kali pasien mengucek matanya.
Semakin lama terasa semakin merah, terasa panas, gatal, bengkak, dan berair.
Cairan yang keluar tidak berwarna, tidak berbau dan encer. Pasien juga merasakan
mengganjal saat membuka dan menutup mata akibat bengkaknya daerah mata yang
merah dan kelopak mata atasnya. Pasien merasakan seperti kelilipan. Pasien
memiliki kebiasaan beraktivitas main di luar / lapangan yang terkena paparan debu.
Hal ini adalah pertama kalinya bagi pasien. Pasien sudah melakukan upaya
pengobatan dengan membeli obat tetes mata namun tidak ada perbaikan / cepat
kambuh lagi gatal di mata kirinya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Status
ophtalmikus didapatkan OS palpebra superior edema, sikatriks, fissura palpebra 8
mm karena edema. Konjungtiva tarsalis tampak hiperemis dan folikel. Konjungtiva
bulbi tampak injeksi konjungtiva.

V. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

VI. Diagnosis Kerja


OS Konjungtivitis suspek Viral Akut

VII. Diagnosis Banding


OS Konjungtivitis suspek Bakterial Akut
12
VIII. Tatalaksana
 Non Medikamentosa
o Kompres air dingin pada mata kirinya
o Beristirahat dan menghindari kontak dengan keluarga maupun
lingkungan di sekitarnya beberapa hari agar tidak menularkan ke
orang yang sehat. Pasien diberi penjelasan bahwa konjungtivitis bisa
menular melalui udara.
o Memberikan edukasi kepada pasien bahwa konjungtivitis karena
virus merupakan penyakit yang dapat sembuh secara spontan. Pasien
harus menjaga asupan nutrisi sehingga meningkatkan sistem imun.
o Memberikan edukasi kepada pasien untuk tidak mengucek mata,
menghindari paparan debu (dapat menggunakan penutup misalnya
kaca mata hitam).
o Menjaga kebersihan diri dan lingkungan (mencuci tangan,
memisahkan handuk, pakaian, dan seprei pasien dengan keluarga
yang lain).
 Medikamentosa
o Antihistamine = Cetirizine ophthalmic solution 0.24% = 2x1 tetes OS
IX. Prognosis
Konjungtivitis OD OS

1. Ad vitam - Bonam

2. Ad fungsionam - Bonam

3. Ad sanam - Bonam

4. Ad kosmetikum - Bonam

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan
dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan
depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea).
Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi
inflamasi. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
1. Konjungtiva palpebralis
Menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat dibagi menjadi
marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva. 3
a. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar
2 mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus
subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara kulit dan
konjungtiva sesungguhnya.
b. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.
Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada
kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar
tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.
c. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.

2. Konjungtiva bulbaris
Menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah dari sklera
anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang 3mm
dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal.
Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera
bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara kuat pada pertemuan
korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi
berlanjut seperti yang ada pada kornea. 3
Konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat
digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah

14
dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar
terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan
air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

3. Forniks
Bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior
palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan
konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks
superior, inferior, lateral, dan medial forniks. 3

Gambar 1. Struktur anatomi dari conjungtiva

Dikutip dari Khurana AK. Disease of The Conjunctiva. Dalam: Comprehensive


Ophthalmology. 4th edition. New Delhi: New Age International(P) Limited; 2007

15
B. Histologis Konjungtiva
A. Lapisan epitel konjungtiva
Terdiri dari:
a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous lapis
5.
b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial
dari sel silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.
c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lais epitelium: lapisan
superfisial sel silindris, lapisan tengan polihedral sel dan lapisan
dalam sel kuboid.
d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis)
epitelium stratified skuamous.

B. Stroma konjungtiva
Dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus).
a. Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari
jaringan ikat retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat
limfosit diantaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak
terdapat mulai dari lahir tetapu berkembang setelah 3-4 bulan pertama
kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada bayi baru
lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler. 3
b. Lapisan fibrosa Terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih
tebal daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal
dimana pada tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Bergabung
dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar. 3

Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu:


1. Kelenjar sekretori musin.
Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam
epitelium), kripta dari Henle (ada pada tarsal konjungtiva) dan kelenjar

16
Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini menseksresi mukus
yang mana penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. 3

2. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah: 3


a. Kelenjar dari Krause(terletak pada jaringan ikat konjungtiva di
forniks, sekitar 42mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah).
Dan
b. Kelenjar dari Wolfring(terletak sepanjang batas atas tarsus superios
dan sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).

Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade


arteri periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh
dua set pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior yang merupakan
cabang dari arcade arteri kelopak mata; dan arteri konjungtiva naterior yang
merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Cabang terminal dari arteri
konjungtiva posterior beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior
untuk membentuk pleksus perikornea. 3

C. Definisi dan Etiologi


Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Istilah ini
mengacu pada peradangan yang tidak spesifik dengan penyebab yang
beragam. Virus merupakan agen infeksi yang umum ditemukan selain
konjungtivitis bakterial, alergi, dan lan-lain.4
Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab
konjungtivitis. Adenoviral merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis
virus. Beberapa subtipe dari konjungtivitis adenovirus antara lain demam
faringokonjungtiva serta keratokonjungtivitis epidemika. Infeksi mata primer
oleh karena herpes simplex sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya
menimbulkan konjungtivitis folikuler. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh
HSV tipe I walaupun HSV tipe II dapat pula menyebabkan konjungtivitis
terutama pada neonatus.

17
Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster
(VZV), pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum
kontagiosum, vaccinia), serta Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi
oleh pikornavirus menyebabkan konjungtivitis hemoragika akut yang secara
klinis mirip dengan infeksi oleh adenovirus namun lebih parah dan
hemoragik. Molluscum kontagiosum dapat menyebabkan konjungtivitis
kronis yang terjadi akibat shedding partikel virus dari lesi ke dalam sakus
konjungtiva. Infeksi oleh virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan
seiring dengan menurunnya insiden infeksi smallpox. Infeksi HIV pada
pasien AIDS pada umumnya menyebabkan abnormalitas pada segmen
posterior, namun infeksi pada segmen anterior juga pernah dilaporkan.
Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS cenderung lebih berat dan lama
daripada individu lain yang immunokompeten. Konjungtivitis juga kadang
dapat ditemukan pada periode terinfeksi virus sistemik seperti virus influenza,
Epstein-Barr virus, paramyxovirus (measles, mumps, Newcastle) atau
Rubella.1,4

D. Patofisiologi
Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi
permukaan mata (konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk
bagian dalam palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat
dengan sklera pada bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan
kornea. Glandula lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang
terdapat pada konjungtiva bertanggung jawab untuk mempertahankan
lubrikasi mata. Seperti halnya membrane mukosa lain, agen infeksi dapat
melekat dan mengalahkan mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan
gejala kinis seperti mata merah, iritasi serta fotofobia. Pada umumnya
konjungtivitis merupakan proses yang dapat menyembuh dengan sendirinya,
namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan infeksi dan komplikasi yang
berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus tersebut.4

18
E. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala konjungtivitis berbagai etiologi secara umum dapat berupa
hiperemis, epifora, injeksi dan lain sebagainya.3

dikutip dari Amir A. Azari, MD; Neal P. Barney, MD. Conjunctivitis


A Systematic Review of Diagnosis and Treatment. Madison : JAMA. Volume
310, Number 1. 2013.

1. Hiperemia
Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi
konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh
darah konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan
menghilang dalam perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak
pada semua bentuk konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari
pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya

19
merupakan kriteria penting untuk diferensial diagnosa. Seseorang juga
dapat membedakan konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau
keratitis berdasar pada injeksinya. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi:
a. Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended
bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya
saat menuju ke arah limbus).
b. Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau
cirkumcribed pada tepi limbus).
c. Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna
terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).
d. Injeksi komposit (sering).
Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau
struktus yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan
konjungtivitis bakterial, dan penampakan merah susu menandakan
konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan
iritasi dari sebab fisik, seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya,
tetapi mungkin juda didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas
vaskuler (contoh, acne rosacea).

Gambar 2. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva


dikutip dari Lang GK, Lang GE. Conjunctiva. Dalam: Lang GK, Gareis O,
Amann J, Lang GE, Recker D, Spraul CW, Wagner P. Ophthalmology: a
short textbook. New York: Thieme; 2000.
20
2. Discharge ( sekret )
Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah
eksudat(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari
etiologinya.

3. Chemosis ( edema conjunctiva )


Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis
alergik akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokkal
akut atau konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada
konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat
pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang, chemosis mungkin
timbul sebelum adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross.

Gambar 3. Kemosis pada mata


Dikutip dari
http://www.eyedoctom.com/eyedoctom/EyeInfo/Images/Chemosis2.jpg

4. Epifora (pengeluaran berlebih air mata).


Lakrimasi yang tidak normal (illacrimation) harus dapat dibedakan
dari eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai
reaksi dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan
iritasi toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau
juga dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang
hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah
pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi
mukus menandakan keratokonjungtivitis sika.
21
5. Pseudoptosis
Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya
infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema
pada palpebra superior.

6. Hipertrofi folikel
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis,
folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-
abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil
dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak
pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis
klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus
konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik
diinduksi oleh medikasi topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan
miotik. Folikel pada forniks inferior dan pada batas tarsal mempunyai
nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan terletak pada
tarsus(terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis
klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal).
.

Gambar 4. gambaran klinis dari folikel

Dikutip dari James B, Chew C, Bron A. Conjunctiva, Cornea and Sclera. Dalam:
Lecture Notes on Ophthalmology. 9th edition. India: Blackwell Publishing; 2003

22
7. Hipertrofi papiler
Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena
konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika
pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla(bersama dengan
elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,
pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti
kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi
diantara fibril, membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada
kelainan yang menyebabkan nekrosis(contoh,trakoma), eksudat dapat
digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila
berukuran kecil, konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang
halus dan merah normal. Konjungtiva dengan papila berwarna merah
sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau klamidia(contoh,
konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan karakteristik
dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior,
menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant
papillary dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior,
gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila yang
berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area yang
secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka(antara jam 2
dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan
gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari
keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik.

23
Gambar 5. gambaran klinis hipertrofi papiler
Dikutip dari www.onjoph.com

8. Membran dan pseudomembran


Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau
konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan
toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan
kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa
perdarahan(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada
permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan
perdarahan saat diangkat(membran) karena merupakan koagulum yang
melibatkan seluruh epitel.
9. Phylctenules
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi
terhadap toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari
konjungtiva pada mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan
limfositik pada pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi
dari konjungtiva, dasar ulkus mempunyai banyak leukosit
polimorfonuklear.

24
10. Formasi pannus
Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan
Bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema
stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan
lamela kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah.

Gambar 6. Pannus tampak pada mata pasien konjungtivitis

Dikutip dari Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A


Systematic Approach. 5th edition. hal. 63-81

11. Granuloma
Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat
merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada
kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin
faktor eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma
benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya
nodus limfatikus preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti
sindroma okuloglandular Parinaud.

25
Gambar 7. Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma
okuloglandular Parinaud.
dikutip dari Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach. 5th edition. hal. 63-81

12. Nodus limfatikus yang membengkak


Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di
preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang membengkak
mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik
dari konjungtivitis viral.

Gambar 8. Limfonodi preaurikular dan submandibular

Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang


ringan dan sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.
26
1. Demam faringokonjungtival
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-
kadang tipe 4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam
38,3 - 400C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata.
Folikel sering mencolok pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring.
Penyakit ini dapat terjadi bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair
mata sering terjadi, dapat disertai keratitis superficial sementara ataupun
sedikit kekeruhan di daerah subepitel. Limfadenopati preaurikuler yang
muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien
mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama
(demam, faringitis, dan konjungtivitis).1,2

2. Keratokonjungtivitis epidemika:
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus
subgroup D tipe 8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya
bilateral. Awitan sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang
lain. Mata pertama biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang
dan berair mata, diikuti dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia,
keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan
edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam
sering muncul folikel dan perdarahan konjungtiva. Kadang-kadang dapat
terbentuk pseudomembran ataupun membran sejati yang dapat
meninggalkan parut datar ataupun symblepharon. Konjungtivitis
berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di pusat kornea,
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai parut.1,2

3. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV)


Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan
keadaan luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral,
iritasi, disertai sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul
sebagai infeksi primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering
disertai keratitis herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi

27
eptelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau
ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitis yang
terjadi mumnya folikuler namun dapat juga pseudomembranosa. Vesikel
herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palebra, disertai
edema berat pada palpebra. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah
gejala yang khas untuk konjungtivitis HSV.1,2

4. Konjungtivitis hemoragika akut


Konjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70
dan kadang-kadang oleh virus coxsakie tpe A24. Yang khas pada
konjungtivitis tipe ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam)
dan berlangsung singkat (5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit,
fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, edema
palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva. Kadang-kadang dapat timul
kemosis. Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi umumnya difus, namun
dapat diawali oleh bintik-bintik perdarahan. Perdarahan berawal dari
konjungtiva bulbi superior menyebar ke bawah. Pada sebagian besar
kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan
keratitis epithelia. Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis anterior
dengan gejala demam, malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui
kontak erat dari orang ke orang melalui media sprei, alat-alat optic yang
terkontaminasi, dan air.1,2

Konjungtivitis virus menahun meliputi:


1. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum
Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang
dengan infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak,
berwarna putih-mutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul
molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata apat menimbulkan
konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus
superior, dan mungkin menyerupai trachoma.1

28
2. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster
Blefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia
dan konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang
penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis
yang terjadi umumnya bersifat papiler, namun dapat pula membentuk
folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi.
Pada awal perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar
preaurikula yang nyeri tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra,
entropion, dan bulu mata salah arah. Lesi palpebra dari varicella dapat
terbentuk di bagian tepi ataupun di dalam palpebra sendiri dan seringkali
meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi
lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi.
Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahap-tahap
vesikel, papula, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan
bertambah pembuluh darahnya.1

3. Keratokonjungtivitis morbili.
Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit. Pada
tahap awal konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam
beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer).
Beberapa hari sebelum erupsi kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan
sekret mukopurulen. Bersamaaan dengan munculnya erupsi kulit akan
timbul bercak-bercak koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada
carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi pada anak-anak dan orang
tua.1

F. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu
sangat penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada
penyakit ini, pasien akan mengeluhkan gejala-gala yang berkaitan dengan
proses infeksi (bengkak, merah). Pasien juga dapat mengeluhkan mata

29
berair dan gatal. Keluhan mata merah biasanya menetap dan tidak
bertambah merah setelahnya.
Dari pemeriksaan fisik bisa terdapat riwayat demam. Pada mata dapat
ditemukan injeksi konjungtiva, palpebra hiperemis, sekret serous terutama
di daerah forniks, dan dapat dijumpai folikel. Sebagian dari pasien akan
mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian depan
telinga (preaurikula). Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus
limfatikus di preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang
membengkak mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda
diagnostik dari konjungtivitis viral. 12
Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp untuk melakukan
pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien mengalami pseudo-
membrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada konjungtiva.2
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis
viral adalah kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan
pada infeksi yang menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi
konjungtiva yang atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan
yang diberikan sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat dilakukan. Pada
konjungtivitis virus ditemukan sel mononuklear dan limfosit. Inokulasi
merupakan teknik pemeriksaan dengan memaparkan organism penyebab
kepada tubuh manusia untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu.
Deteksi terhadap antigen virus dan klamidia dapat dipertimbangkan.
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang digunakan
untuk mengisolasi virus dan dilakukan pada fase akut.2

1. Konjungtivitis viral akut


a. Demam faringokonjungtiva
Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari
tanda klinis maupun laboratorium. Virus penyebab demam
faringokonjungtiva ini dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan di
identifikasi dengan uji netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit
virus ini dapat di diagnosis secara serologis melalui peningkatan titer

30
antibodi penetral virus. Namun, diagnosis klinis merupakan diagnosis
yang paling mudah dan praktis. Pada kerokan konjungtiva didapatkan
sel mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan.
b. Keratokonjuntivitis epidemika
Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat
diidentifikasi dengan uji netralisasi. Kerokan konjungtiva
menampakkan reaksi radang mononuklear primer. Bila terbentuk
pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak.
c. Konjungtivitis herpetik
Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama akibat
kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear (karena adanya marginasi
kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea dengan
fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak dalam
pulasan giemsa. Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus memiliki
nilai diagnostik. Pada konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis
biasanya ditegakkan dengan ditemukan sel raksasa pada pewarnaan
giemsa, kultur virus, dan sel inklusi intranuklear.
d. Konjungtivitis New castle
Dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga
gambaran klinisnya.
e. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut
Diagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya.

2. Konjungtivitis Viral Kronis


a. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Bioposi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi
sitoplasma sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi.
b. Blefarokonjungtivitis varicella zooster
Pada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya
mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear,

31
kerokan dari konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva
pada zooster dapat mengandung sel raksasa dan monosit
c. Blefarokonjungtivitis campak
Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali
jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas
giemsa menampilkan sel-sel raksasa

Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis


yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya.
Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis
virus dengan konjungtivitis yang lain serta diagnosis mata merah dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.

32
Tabel 1. Diagnosis Banding Penyakit Mata Merah Berdasarkan Keluhan
Subjektif dan Obyektif.2
Gejala Glaukoma Uveitis Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi
subyektif akut akut
dan
obyektif
Penurunan +++ +/++ +++ - - -
Visus
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi + ++ +++ - - -
siliar
Injeksi ++ ++ ++ +++ ++ +
konjungtiva
Kekeruhan +++ - +/++ - - -
kornea
Kelainan Midriasis Miosis Normal/ N N N
pupil nonrekatif iregular miosis
Kedalaman Dangkal N N N N N
COA
Tekanan Tinggi Rendah N N N N
intraokular
Sekret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar - - - - + -
preaurikular

33
G. Komplikasi
Komplikasi dari konjungtivitis viral, antara lain3:
 Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi
ulkus kornea

H. Penatalaksanaan

dikutip dari Amir A. Azari, MD; Neal P. Barney, MD. Conjunctivitis


A Systematic Review of Diagnosis and Treatment. Madison : JAMA.
Volume 310, Number 1. 2013.

34
Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi
simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan
antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan
pelembab. Kompres dingin pada mata 3 – 4 x / hari juga dikatakan dapat
membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk
penatalaksanaan konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat
memperburuk infeksi.
Sebagai pencegahan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dapat
diberikan Kloramfenikol tetes mata. Kloramfenikol merupakan obat
antimikroba yang memiliki spektrum luas, meliputi bakteri gram negatif dan
gram positif. Senyawa ini memang memiliki sifat bakteriostatik terhadap
kebanyakan mikroorganisme, akan tetapi dapat berfungsi sebagai
bakteriosidal terhadap beberapa jenis bakteri, yakni H. influenzae, Neisseria
meningitidis, and S. pneumoniae. Kloramfenikol efektif dalam melawan
bakteri aerobik dan nonaerobik baik gram positif ataupun gram negatif.
Senyawa ini juga efektif pada rickettsae akan tetapi tidak efektif terhadap
chlamydiae. Bakteri gram negatif bacillus serta bakteri anaerob dapat
diinhibisi secara in vitro, sedangkan pada bakteri gram positif yang bersifat
aerobik bakteri berbentuk kokus meliputi Streptococcus pyogenes, S.
agalactiae (group B streptococci), and S. pneumoniae diketahui bahwa
kloramfenikol lebih sensitif (Katzung, 2006; Brunton et al., 2007).
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut
biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N
meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada
bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia
coli.

35
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Konjungtivitis viral akut1,2
a. Demam faringokonjungtiva
Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat
suportif karena dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen,
lubrikasi, sedangkan pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik
dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya simptomatis dan
pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin
akan mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut,
penggunaan kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea
lebih lanjut sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika
terjadi superinfeksi bakteri.
c. Konjungtivitis herpetik
Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada
anakdiatas satu tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh
sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau
sistemik harus doberikan untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi
ulkus kornea, harus dilakukan debridement korneadengan mengusap
ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati, oenetesan obat anti
virus, dan penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri
harus diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu
bangun. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bias
memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari
suatu proses singkat yang sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang
berkepanjangan. Pada konjungtivitis varicella zooster pengobatan
dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat
acyclovir 400 mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum.
Walaupun diduga steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat
mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat

36
diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan
peermukaan dapat diberikan salep terasilin. Steroid tetes
deksametason 0,1% diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis dan
iritis.
d. Konjungtivitis new castle
Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat
diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-
obat simtomatik.
e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut
Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya
simtomatik. Pengobatan antibiotika spekturm luas, sulfacetamide
dapat digunkan untuk mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan
dapat terjadi dalam 5-7 hari.

2. Konjungtivitis viral kronik1


a. Konjungtivitis Molluscum Contagiosum
Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah
tepi yang memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan
konjungtivitis. Pada kondisi ini eksisi nodul juga menyembuhkan
konjungtivitisnya.
b. Blefarokonjungtivitis varicella zoster
Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi
(800mg/oral 5x selama 10 hari)
c. Keratokonjungtivitis campak
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja
yang dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder.

Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya


cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan juga
bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang memeriksa
pasien. Langkah – langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah mencuci
tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong, serta tidak

37
menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan pasien lain.
Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan untuk
menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah dalam
1 – 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama.2

I. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus
dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat
terjadi apabila tidak ditangani dengan baik.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P,


Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburry’s General Opthalmology. 16th
edition. McGraw-Hill Companies. USA: 2004. p108-112
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2005. p128-131
3. Voughan, Daniel G, Asbury, Taylor. Riordan-Eva, Paul. Oftalmologi Umum
(General Ophthalmology). Ed. 14. Widya Medika, Jakarta : 2000.
4. Scott, IU. Viral Conjunctivitis. 2011. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall
5. Susila, Niti et al. Standar Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. 2009.
6. Budhiastra, P et al. Pedoman Diagnosis dan terapi penyakit Mata RSUP
Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. 2009.
7. Wijana, Nana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Abadi Tegal, Jakarta: 1993. 42-
50.14.

39

You might also like