You are on page 1of 15

APLIKASI BAKTERIOSIN PADA EDIBLE FILM: PERAN

ACTIVE PACKAGING SEBAGAI KEMASAN ANTIMIKROBA


I.B.A.YOGESWARA(1), I.G.AYU WITA KUSUMAWATI(1), N.W. NURSINI(1)
PROGRAM STUDI GIZI, FAKULTAS ILMU KESEHATAN, SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA, TEGAL JAYA DALUNG
Email : ibayogeswara@yahoo.com, wita_kusumawati@yahoo.co.id,
nursini_2811@yahoo.com

INTISARI

Meningkatnya permintaan terhadap makanan siap saji (ready to eat), produsen


makanan berupaya untuk meningkatkan pengendalian kualitas, kesegaran dan
keamanan pangan. Salah satu upayanya adalah dengan pengembangan active
packaging yang dapat berfungsi sebagai absorbsi oksigen, emisi etanol dan flavor,
dan aktivitas antimikroba. Agensia antimikroba dapat ditambahkan langsung ke
bahan pengemas dan dapat bermigrasi ke makanan secara difusi dan secara partisi.
Bakteriosin merupakan sejenis protein antibiotic atau produk metabolit sekunder
dari bakteri yang memiliki berat molekul relatif besar. Efektifitas bakteriosin dalam
menghambat bakteri patogen sangat tergantung dari kemurnian bakteriosin tersebut.
Nisin merupakan salah satu bakteriosin bakteri Lactococcus lactis. Penambahan
nisin secara langsung ke makanan dapat menurunkan aktivitasnya, untuk menjaga
efektifitasnya maka nisin sering ditambahkan pada film. Selain nisin, bakteriosin lain
yang dapat digunakan adalah pediosin. Pediocin merupakan bakteriosin yang
dihasilkan oleh genus Pediococcus spp yang dapat menghambat beberapa bakteri
patogen dan bakteri gram positif. Penggunaan pediosin sangat efektif menghambat
pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada produk daging. Penggunaan nisin dan
pediosin dengan konsentrasi tertentu sangat efektif dalam menghambat beberapa
bakteri pathogen dan bakteri pembusuk. Laju migrasi bakteriosin dari film ke
makanan sangat mempengaruhi efektifitas bakteriosin. Efektifitas bakteriosin pada
film sangat tergantung dari suhu penyimpanan. Penambahan bakteriosin pada film
akan mempengaruhi sifat mekanis dan morfologi dari film

Kata kunci : active packaging, bacteriosin, nisin, pediocin, edible film

ABSTRACT

The growing demands for ready to eat and easy to consume product are
enhancing the necessity to increase the control on quality and food safety, therefore
maintaining their quality, freshness and security. A new tendency in food technology
conservation consist in using active packaging in order to enlarge this safety margin.
Active packaging can act absorbing oxygen, humidity and ethanol, incorporating
taste and flavor and inhibiting pathogens activity. Antimicrobial compound is applied
directly to the packaging material and able to diffused to the food component.
Bacteriocins are ribosomally synthesized antimicrobial peptides produced by
bacteria and has a large molecular weight. The effectivity of bacteriocin in reducing
pathogens is dependent on the purity of bacteriocin compound. Nisin it’s one of the
bacteriocin that produced by L. lactis. However direct surface application of nisin to
food component could reduce it’s activity, thus incorporation of nisin in edible film
frequently applied. Pediocin is a bacteriocin produced by Pediococcus sp and able to
inhibit L. monocytogene in meat product. Varies concentration of nisin and pediocin
it’s very effective to inhibit pathogen and spoilage bacteria. The effectivity of
bacteriocin is affected by diffusion rate of bacteriocin compound. It’s also affected by
the storage temperature. The incorporation of bacteriocin in edible film will affect
the mechanical and physical properties of edible film.

Keywords : edible film, bacteriocin, nisin, pediocin, active packaging

PENDAHULUAN

Semakin meningkatnya permintaan terhadap makanan siap saji (ready to eat) ,

produsen makanan berupaya untuk meningkatkan pengendalian kualitas, kesegaran

dan keamanan pangan. Terjadinya beberapa kasus keracunan makanan yang

disebabkan oleh bakteri patogen telah mendorong pengembangan teknologi

pengawetan pangan untuk mempertahankan kualitas, kesegaran dan keamanan

pangan (Santiago-Silva et al., 2009) yaitu dengan mengembangkan active packaging.


Kemasan aktif (active packaging) merupakan konsep baru dalam pengemasan

pangan yang dapat memberikan beberapa fungsi yang tidak terdapat pada kemasan

biasa. Kemasan aktif dapat berfungsi sebagai absorbsi oksigen, emisi etanol dan

flavor, dan aktivitas antimikroba (Santiago-Silva et al., 2009; Pranoto et al., 2005).
Kemasan antimikroba merupakan bentuk dari kemasan aktif yang dapat

meningkatkan masa simpan produk dan mencegah, membunuh atau mengurangi

pertumbuhan bakteri patogen pada makanan kemasan dan material pengemas

(Sarikus and Seydim,2006; Iseppi et al., 2008). Untuk mengendalikan pertumbuhan

mikroorganisme yang tidak diinginkan pada makanan, beberapa cara dapat dilakukan

yaitu 1. Agensia antimikroba yang bersifat volatile dan non volatile dapat
dicampurkan pada polimer atau 2. Permukaan polimer dapat dilapisi oleh agensia

antimikroba. Kemasan yang dilapisi oleh senyawa antimikroba dapat berfungsi

sebagai pembawa (carrier) agensia antimikroba pada makanan sehingga keamanan

pangan dapat terjaga. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan

kemasan antimikroba dibandingkan dengan penambahan senyawa antimikroba secara

langsung pada permukaan pangan adalah, agensia antimikroba dapat bermigrasi

secara perlahan dari kemasan ke permukaan makanan. Sedangkan, penambahan

agensia antimikroba secara langsung pada makanan dapat menyebabkan inaktivasi

parsial senyawa aktif melalui netralisasi dan evaporasi oleh beberapa komponen yang

terdapat dalam makanan (Pranoto et al., 2005; Sanchez-Gonzales et al., 2013). Oleh

karena itu, cara ini mempunyai efek yang terbatas terhadap ekologi mikroflora yang

terdapat pada permukaan makanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

senyawa antimikroba yang dilapisi pada kemasan dapat menghambat bakteri

pathogen seperti S. aureus, S. enteridis, L. monocytogenes, E. coli O157:H7, dan L.

innocua (Sarikus and Seydim, 2006 ; Santiago-Silva et al., 2009; Chen et al., 2008;

Ahn et al., 2006; Hady et al., 2010).


Penggunaan produk metabolit sekunder dari mikroba (bacteriocin) dapat

digunakan sebagai senyawa antimikroba alternatif untuk menggantikan senyawa

antimikroba sintetis. Ercolini et al., (2010) melaporkan bahwa penggunaan nisin

sebesar 2,5% pada active packaging dapat mengurangi kontaminasi dari bakteri

pembusuk pada daging sapi sebesar 3 log cycle selama 22 hari penyimpanan. Hasil

ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nguyen dan Dykes (2008) yang

melaporkan bahwa penggunaan film selulosa yang mengandung nisin sebesar 2500
IU/ml secara signifikan menurunkan populasi bakteri L. monocytogenes pada sosis

frankfurter sebesar 2 log cycles setelah 14 hari penyimpanan


Pada review jurnal ini akan dibahas mengenai bagaimana mekanisme sistem

kemasan antimikroba terhadap penghambatan beberapa strain bakteri pathogen dan

efektifitas penggunaan bakteriosin terutama dari nisin dan pediosin pada film

terhadap penghambatan beberapa strain bakteri pathogen dan pembusuk


.
MEKANISME SISTEM KEMASAN ANTIMIKROBA
Kemasan antimikroba merupakan salah satu bentuk kemasan aktif (active

packaging) yang dapat memperpanjang masa simpan (shelf life) dari produk dan

memberikan perlindungan terhadap kontaminasi bakteri pathogen. Kemasan

antimikroba dapat mengurangi dan membunuh bakteri pathogen yang terdapat pada

makanan kemasan (Seydim and Sarikus, 2006). Penambahan sachet yang

mengandung agensia antimikroba yang bersifat volatile serta aplikasi komponen

antimikroba yang ditambahkan langsung ke bahan pengemas dan edible film

merupakan beberapa sistem dari kemasan antimikroba (Santiago-Silva et al., 2009).


Agensia antimikroba dapat ditambahkan langsung ke bahan pengemas dan dapat

bermigrasi ke makanan secara difusi dan secara partisi. Migrasi senyawa antimikroba

secara difusi dan partisi terjadi di antara bahan pengemas dan permukaan makanan.

Senyawa yang bersifat volatile atau agensia yang teriimobilisasi secara kovalen

(antibiotik, fungisida, gugus amin) dapat digunakan pada sistem kemasan

antimikroba. Senyawa antimikroba dilepas secara bertahap dari film kemasan ke

permukaan makanan dalam jangka waktu tertentu. Cara ini lebih menguntungkan

dibandingkan dengan penambahan senyawa antimikroba secara langsung ke dalam

bahan makanan (Olle Resa et al.,2014). Hal ini disebabkan karena beberapa
komponen yang terdapat dalam makanan dapat mengurangi aktivitas senyawa

antimikroba, misalnya adanya immunoglobulin A (IgA) dalam susu yang dapat

mengikat antigen asing atau senyawa asing (Neeto and Chen, 2008).
Senyawa antimikroba memiliki efektifitas yang berbeda-beda yang disebabkan

oleh sifat intrinsik dari senyawa antimikroba itu sendiri, konsentrasi yang digunakan

dan kecepatan difusi dari senyawa antimikroba tersebut. Kecepatan difusi merupakan

aspek penting dalam kemasan antimikroba. Semakin tinggi kecepatan difusi maka

kecepatan migrasi senyawa antimikroba ke permukaan makanan semakin tinggi pula

dan kecepatan penurunan populasi bakteri pathogen akan tinggi. Kecepatan difusi

migrasi senyawa antimikroba juga dipengaruhi oleh bahan dasar pembuat edible film

tersebut. Imran et al., (2014) melaporkan bahwa bahan edible film dari sodium

kaseinat dan hidroksipropil metilselulosa (HPMC) meningkatkan difusi nisin yang

lebih baik ke bahan makanan dibandingkan dengan bahan edible film dari chitosan

dan asam polilaktat (PLA), sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri L.

monocytogenes CIP 82110 dan S. aureus CIP 483 lebih cepat. Hasil ini didukung oleh

Sanchez-Gonzales et al.,(2013) yang menyatakan bahwa bahan edible film dari

HPMC dan sodium kaseinat mampu mempertahankan konsentrasi bakteriosin yang

dihasilkan oleh L. plantarum pada edible film selama 30 hari


Suhu penyimpanan akan mempengaruhi aktivitas senyawa antimikroba.

Peningkatan suhu penyimpanan dapat mempercepat migrasi senyawa aktif

antimikroba pada film, sedangkan pada suhu dingin kecepatan migrasi berjalan

lambat (Lee et al., 2004; Sanchez-Gonzales et al., 2013). Lee et al., (2004)

menyarankan suhu 100 C sebagai suhu optimal peningkatan kecepatan migrasi,

sedangkan suhu diatas 200 C mengurangi laju migrasi senyawa aktif ke makanan. Lee
et al.,(2004b) melaporkan bahwa pada suhu 100 C migrasi nisin dari kemasan ke

larutan emulsi o/w secara optimal terjadi setelah 8 hari penyimpanan dan konsentrasi

kesetimbangan maksimal dari nisin yang dilepas mencapai 222-241 µg/ml.

Sedangkan α-tocopherol memiliki kesetimbangan yang lebih rendah dibandingkan

nisin yaitu 146-149 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa laju migrasi α-tocopherol

lebih rendah dari nisin. Perbedaan laju migrasi ini disebabkan karena nisin memiliki

gugus hidrofilik sehingga laju migrasi relatif tinggi pada sistem emulsi o/w,

sedangkan α-tocopherol memiliki gugus hidrofobik yang lebih cocok digunakan pada

sistem emulsi w/o.


Penambahan senyawa antimikroba ke film untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme akan mempengaruhi sifat mekanik dan morfologi dari film tersebut.

Beberapa studi menunjukkan bahwa penambahan bakteriosin nisin dan pediosin akan

meningkatkan ketebalan dari film sehingga gaya atau kekuatan yang diperlukan untuk

memutus film tersebut semakin besar (Santiago-Silva et al., 2009;Pranoto et al.,

2005; Sanchez-Gonzalez et al.,2013; Olle Resa et al.,2014). Hal ini menunjukkan

bahwa adanya interaksi antara bakteriosin dengan matriks selulosa dari film sehingga

struktur film menjadi kokoh. Akan tetapi penambahan konsentrasi bakteriosin lebih

besar dari 25% akan menurunkan sifat mekanis dari film tersebut. Pada beberapa

studi tersebut menyatakan bahwa penambahan bakteriosin pada edible film akan

meningkatkan kemampuan water vapour permeability (WVP) dari edible film

tersebut sehingga akan meningkatkan masa simpan dari produk makanan tersebut.

Permukaan film yang mengandung bakteriosin akan menjadi lebih kasar dengan

semakin meningkatnya konsentrasi bakteriosin yang ditambahkan. Hal ini


dikarenakan bakteriosin tidak dapat larut sempurna sehingga jumlah granula yang

terdispersi di dalam matriks semakin meningkat.

BAKTERIOSIN
Bakteriosin merupakan sejenis protein antibiotik atau produk metabolit sekunder

dari bakteri yang memiliki berat molekul relatif besar. Bakteriosin dapat membunuh

atau menghambat bakteri lain khususnya bakteri gram positif dengan berbagai

mekanisme seperti menghambat sintesis dinding sel, menurunkan permeabilitas

membrane sel target, atau menghambat aktivitas enzim RNase dan DNase.
Efektifitas bakteriosin dalam menghambat bakteri pathogen sangat tergantung

dari kemurnian bakteriosin tersebut. Pemurnian bakteriosin dapat dilakukan dengan

berbagai tahapan yaitu : presipitasi menggunakan (NH 4)2SO4, gel filtrasi, ion-

exchange chromatography dan reverse phase high performance liquid

chromatography (RP-HPLC). Akan tetapi tahapan-tahapan pemurnian tersebut

memiliki kelemahan yaitu waktu proses yang cukup panjang, tidak ekonomis dan

hasil produk yang rendah. Elegado et al., (1997) melakukan proses pemurnian

pediosin dengan metode yang lebih sederhana yaitu dengan metode adsorpsi-desorpsi

bakteriosin melalui pengaturan pH dan menggunakan metode RP-HPLC. Penggunaan

metode ini lebih singkat dan menghasilkan pediosin dengan kemurnian 40,4% dan

aktivitas spesifiknya meningkat 2450 lipat. Pediosin yang dimurnikan memiliki berat

molekul 4,618 Da, tahan terhadap pH yang ekstrim (1-12) dan stabil pada suhu 121 0

C. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pediosin yang dimurnikan dapat menghambat

beberapa bakteri pathogen seperti Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes,

Clostridium perfringens, Bacillus coagulans, B. cereus dan Aeromonos hydrophila.

APLIKASI BAKTERIOSIN PADA EDIBLE FILM


Penggunaan senyawa antimikroba sintetik pada film kemasan memiliki dampak

negatif. Senyawa antimikroba dapat bermigrasi ke makanan dan dapat bereaksi

langsung dengan komponen yang ada di dalam makanan. Reaksi ini akan

menghasilkan suatu senyawa yang dapat memberikan efek negatif terhadap kesehatan

(reaksi gugus amin dari protein dengan nitrit menghasilkan nitrosamine). Untuk

mengatasi hal tersebut dapat digunakan bakteriosin sebagai senyawa antimikroba

pada film. Bakteriosin dapat diaplikasikan sebagai pengawet pangan dan masuk

dalam kategori GRAS (Generally Recognized As Safe) (Nguyen and Dykes, 2008).
Nisin merupakan salah satu bakteriosin bakteri Lactococcus lactis. Nisin yang

ditambahkan pada film menunjukkan penghambatan terhadap beberapa bakteri gram

positif seperti Brochothrix thermosphacta, Lactobacillus helveticus, Listeria

monocytogenes, M. flavus dan Pediococcus pentosaceus (Lee et al., 2004).

Penambahan nisin secara langsung ke makanan dapat menurunkan aktifitasnya,

karena nisin dapat dapat bermigrasi langsung ke pusat makanan dan dapat bereaksi

dengan komponen yang ada dalam makanan. Sehingga efektifitas dari nisin menjadi

berkurang (Nguyen and Dykes, 2008). Untuk menjaga efektifitas dari nisin maka

nisin sering ditambahkan pada film.


Kelemahan dari penambahan bakteriosin ke edible film adalah bakteriosin dapat

mengalami penurunan aktivitas selama penyimpanan. Hal ini dapat dibuktikan oleh

studi yang dilakukan oleh Massani et al.,(2014) yang melaporkan bahwa keberadaan

komponen makanan seperti kandungan lemak yang tinggi pada sosis Wieners dapat

mengurangi aktivitas bakteriosin dalam menghambat bakteri L. innocua. Lebih lanjut

studi yang dilakukan adalah inokulasi langsung sel L. curvatus CRL705 penghasil

bakteriosin pada edible film dan dari studi tersebut diperoleh hasil sel L. innocua
yang diinokulasi pada sosis Wieners mampu dihambat sebesar 2,5 log cycle selama

45 hari penyimpanan pada suhu 50 C. Efektifitas bakteriosin dalam menghambat

bakteri pathogen dipengaruhi oleh bahan dasar edible film. Bahan dasar edible film

berbasis protein dan polisakarida memiliki perbedaan sifat fisikokimia yang akan

mempengaruhi efektifitas bakteriosin dan viabilitas sel bakteri asam laktat pada

edible film. Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bahan

edible film adalah bahan tersebut bersifat sinergis terhadap sel bakteri asam laktat

sehingga terjadi interaksi antara bahan edible dan sel bakteri asam laktat dalam

memproduksi bakteriosin. Bahan – bahan edible film yang biasa dipergunakan

bersama dengan bakteriosin adalah isolate protein whey, isolate protein kedelai,

selulosa, HPMC, sodium kaseinat (Pranoto et al.,2005). Studi yang dilakukan oleh

Sanchez-Gonzalez et al.,(2013) melaporkan bahwa sel L. plantarum yang diinokulasi

pada bahan edible film dari polisakarida lebih efektif dalam memproduksi

bakteriosin dan menghambat L. innocua dibandingkan dengan bahan edible dari

protein. Perbedaan efektifitas ini diakibatkan karena sel L. plantarum pada bahan

edible film dari protein mengalami penundaan produksi bakteriosin pada awal

penyimpanan. Bakteriosin mulai dihasilkan pada beberapa hari penyimpanan dan

konsentrasinya meningkat setelah 12 hari penyimpanan


Konsentrasi bakteriosin yang ditambahkan pada edible film sangat mempengaruhi

efektifitas senyawa tersebut dalam menghambat bakteri pathogen. Hal tersebut telah

dilakukan oleh Ercolini et al (2010) melaporkan bahwa penggunaan nisin sebesar

2,5% pada film sudah dapat menghambat populasi bakteri pembusuk sebesar 3 log

cycle pada daging sapi. Ercolini et al. (2010) menyatakan bahwa efektifitas senyawa
antimikroba dipengaruhi oleh distribusi yang homogen dari larutan antimikroba pada

permukaan film. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kontak antara aktif film dengan

permukaan makanan akan mempengaruhi efektifitas senyawa antimikroba sehingga

meminimalkan kondisi pertumbuhan mikroorganisme. Hasil tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Nguyen dan Dykes (2008) dan Lee et al. (2004) yang

menambahkan nisin pada film.


Penambahan nisin ke film akan meningkatkan diameter zona penghambatan dari

bakteri L. monocytogenes (terlihat pada Gambar 1.a). Semakin tinggi konsentrasi

nisin yang ditambahkan (1000 IU/ml) maka semakin besar zona penghambatan

bakteri L. monocytogenes (27 mm). Pengujian selanjutnya adalah menguji

kemampuan nisin pada film terhadap penghambatan L. monocytogenes pada sosis

frankfurter. Sosis frankfurter yang sebelumnya diinokulasi dengan bakteri L.

monocytogenes dikemas dengan film yang mengandung nisin dengan konsentrasi 625

IU/ml dan 2500 IU/ml.

(a) (b)
Gambar 1. Pengaruh penambahan nisin pada active packing (a), Kemampuan nisin
pada film terhadap penghambatan L. monocytogenes pada sosis frankfurter (b)

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa, tidak ada peningkatan populasi L.

monocytogenes selama penyimpanan 14 hari pada sampel kontrol. Pada sampel

frankfurter yang dikemas dengan film selulose yang mengandung nisin 625 IU/ml

menunjukkan penurunan sebesar 1 log cycle setelah 8 hari penyimpanan di mana


penurunan ini tidak jauh berbeda dengan sampel kontrol. Untuk meningkatkan

aktivitas antimikroba, maka konsentrasi nisin ditingkatkan menjadi 2500 IU/ml. Hasil

menunjukkan bahwa terjadi penurunan populasi bakteri L. monocytogenes yang

signifikan sebesar 2 log cycle setelah 2 hari penyimpanan dan jumlah populasi ini

tetap konstan pada akhir penyimpanan. Hasil serupa dilaporkan oleh Scannell et al.

(2000) dengan menambahkan nisin pada konsentrasi 7860 AU ke dalam film

polyetilene, dapat menghambat bakteri patogen L. innocua dan S. aureus pada keju

cheddar secara signifikan yaitu sebesar 2 log cycle. Penurunan populasi bakteri

tersebut semakin meningkat pada hari ke 14 dan 28 sedangkan pada akhir

penyimpanan tidak terjadi penghambatan dan pertumbuhan bakteri menjadi konstan.


Migrasi nisin dari film ke makanan merupakan faktor penting karena akan

menentukan efektifitas penghambatan oleh bakteriosin. Lee et al. (2004) melaporkan

bahwa laju migrasi nisin dari film ke larutan emulsi (o/w) dipengaruhi oleh suhu

penyimpanan, ketebalan film dan konsentrasi nisin. Pada suhu 10 0C laju migrasi

nisin semakin meningkat setelah 8 hari penyimpanan dan konsentrasi kesetimbangan

maksimum dari nisin yang dilepas mencapai 222-241 µg/ml. Laju migrasi nisin dari

film ke larutan emulsi dipengaruhi oleh struktur molekul dari nisin yang memiliki

struktur molekul hidrofilik sehingga sangat cocok digunakan pada sistem emulsi o/w.

Semakin cepat laju migrasi nisin ke larutan emulsi maka penurunan populasi M.

flavus akan semakin cepat pula. Penurunan populasi M. flavus pada film yang

mengandung nisin 3% terjadi pada penyimpanan hari ke 2 dan penurunan semakin

signifikan pada hari ke 8, yaitu sebesar 6 log cycle dibandingkan pada sampel control.
Selain nisin, bakteriosin lain yang dapat digunakan adalah pediosin. Pediocin

merupakan bakteriosin yang dihasilkan oleh genus Pediococcus spp yang dapat
menghambat beberapa bakteri patogen dan bakteri gram positif. Penggunaan pediosin

sebagai agensia biopreservasi telah dilakukan oleh Cotter et al. (2005) dalam

Santiago-Silva et al. (2009), melaporkan bahwa penggunaan pediosin sangat efektif

menghambat pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada produk daging. Santiago-

Silva et al. (2009) melakukan penambahan pediosin dengan konsentrasi 25% dan

50% pada film selulosa dan digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri L.

innocua (Gambar 2.a) dan Salmonella spp (Gambar 2.b) pada daging ham.

Penggunaan pediosin dengan konsentrasi 25% belum bisa menghambat pertumbuhan

bakteri L. innocua secara signifikan pada daging ham selama jangka waktu

penyimpanan, sedangkan penambahan pediosin pada konsentrasi 50% pada film

merupakan konsentrasi yang optimal dan efektif terhadap penghambatan bakteri L.

innocua.

(a) (b)
Gambar 2. penambahan pediosin pada film selulosa untuk menghambat pertumbuhan
bakteri L. innocua (a), dan Salmonella spp (b) pada daging ham.

Penggunaan pediosin kurang efektif untuk menghambat genus Salmonella spp.

dikarenakan bakteri jenis ini tumbuh di dalam jaringan makanan. Santiago-Silva et

al.,(2009) menyatakan bahwa pediosin memiliki aktifitas yang spesifik terhadap

penghambatan pertumbuhan bakteri L. innocua, dikarenakan bakteri jenis ini hanya

tumbuh pada permukaan makanan. Secara uji in vitro pediosin dapat menghambat
bakteri Salmonella spp secara signifikan. Akan tetapi, setelah ditambahkan ke film

efektifitas pediosin berkurang karena pediosin hanya menghambat pertumbuhan

bakteri yang hidup di permukaan makanan (L. innocua).

KESIMPULAN
Penggunaan nisin dan pediosin dengan konsentrasi tertentu sangat efektif dalam

menghambat beberapa bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Semakin tinggi

konsentrasi dan laju migrasi bakteriosin yang digunakan maka semakin tinggi

efektifitasnya. Efektifitas bakteriosin pada film sangat tergantung dari suhu

penyimpanan. Suhu 10 0C merupakan suhu yang optimal. Penambahan bakteriosin

pada film akan mempengaruhi sifat mekanis dan morfologi dari film. Penambahan

bakteriosin pada film kemasan sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri

patogen yang mencemari produk makanan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahn, D.U., Cordray, J., Lee, E.J., Ismail, H., Min, B.R., Ko, K.Y., Nam, K.C. 2006.
Influence of rosemary-tocopherol/packaging combination on meat quality and
the survival of pathogens in restructured irradiated pork loins. Meat Science.
74 : 380-387
.
Chen, H., Neetoo, H., and Ye Mu. 2008. Control of Listeria monocytogenes on ham
steaks by antimicrobials incorporated into chitosan-coated plastic films. Food
Microbiology. 25: 260-268

Elegado, F.B., Kim, W.J., Kwon, D.Y. 1997. Rapid purification, partial
characterization and antimicrobial spectrum of the bacteriocin, pediocin AcM
from Pediococcus acidilactici M. Int. J. Food Microbiology. 37 : 1-11.

Ercolini, D., Ferrocino, I., La Storia, A., Mauriello, G., Gigli, S., Masi, P., Villani, F.
2010. Development of spoilage microbiota in beef stored in nisin activated
packaging. Food Microbiology, 27 : 137-143

Hady, M.A., Higazy, A., Hashem, M., Elshafei, A., Shaker, N. 2010. Development of
antimicrobial jute packaging using chitosan and chitosan-metal complex.
Carbohydrat Polymers. 79 : 867-874
Imran, M., Klouj, A., Revol-Junelles, Anne-Marie., Desobry, S. 2014. Controlled
released of nisin from HPMC, sodium caseinate, poly lactic acid and chitosan
for active packaging applications. J. Food Engineering. 143 : 178 – 185
Iseppi, R., Pilati, F., Marini, M., Toselli, M., de Niederhaussen, S., Guerrieri, E.,
Messi, P., Sabia, C., Manicardi, G., Anacorsa, I., Bondi, M., 2008. Antilisterial
activity of a polymeric film coated with hybrid coatings doped with enterocin
416K1 for use as bioactive food packaging. Intl. J. Food. Microbiol. 123 : 281 –
287

Lee, C.H., An,D.S., Lee, S.C., Park, H.J., Lee, D.S. 2004a. A coating for use as an
antimicrobial and antioxidative packaging material incorporating nisin and α-
tocopherol. J. of Food Engineering. 62 : 323-329.

Lee, C.H., Park, H.J., Lee, D.S. 2004b. Influence of antimicrobial packaging on
kinetics of spoilage microbial growth in milk and orange juice. J. of Food
Engineering, 65 : 527-531
.
Massani, B, M., Vignolo, M, G., Eisenberg, P., Morando, Pedro, J., 2013. Adsorption
of the bacteriocin produced by Lactobacillus curvatus CRL705 on a multilayter
LLDPE film for food packaging applications. LWT- Food Science and
Technology. 53 : 128 – 138

Massani, B, M., Molina, V., Sanchez, M., Renaud, V., Eisenberg, P., Vignolo, G.
2014. Active polymers containing L. curvatus CRL705 bacteriocins:
Effectiveness assessment in wieners. Int. J. Food. Microbiol. 178 : 7 -12

Nguyen, V.T., Gidley, M.J., Dykes, G.A., 2008. Potential of a nisin-containing


bacterial cellulose film to inhibit Listeria monocytogenes on processed meats.
Food Microbiology, 25 : 471-478

Olle Resa, C.P., Jagus, Rosa,J., Gerschenson, L, N., 2014. Effect of natamycin, nisin
and glycerol on the physicochemical properties, roughness and hydrophobicity
of tapioca starch edible films. Material Science and Engineering C. 40 : 281 –
287

Pranoto, Y., Rakshit, S.K., Salokhe, V.M., 2005. Enhancing antimicrobial activity of
chitosan films by incorporating garlic oil, potassium sorbate and nisin. LWT.
38 : 859 – 865

Santiago-Silva, P., Soares, N.F.F., Nobrega, J.E., Junior, M.A.W., Barbosa, B.F.,
Carolina, A.C., Evelyn, R.M.A., Wurlitzer, N.J. 2009. Antimicrobial efficiency
of film incorporated with pediocin (ALTA 2351) on preservation of sliced ham.
Food Control, 20 : 85-89
Sanchez-Gonzales, L., Saavedra, Q, Jorge, Ivan., Chiralt, A. 2013. Physical properties
and antilisterial activity of bioactive edible films containing Lactobacillus
plantarum. Food Hydrocolloids. 33 : 92 – 98

Seydim, A.C and Sarikus, G. 2006. Antimicrobial activity of whey protein based
edible films incorporated with oregano, rosemary and garlic essentials oils.
Food Research International, 39 : 639-644

Scannel, G.M.A., Hill, C., Ross, R.P., Marx, S., Hartmeier, W., Elke., Arendt, K.
2000. Development of bioactive food packaging materials using immobilized
bacteriocins Lacticin 3147 and Nisaplin. Int. J. Food Microbiology, 60 : 241-
249.

You might also like