Professional Documents
Culture Documents
Laporan Live in Sejarah
Laporan Live in Sejarah
SMASANTO ANTONIUS
NAMA : Rai Benjamin
KELAS : XI IPS 1 / 18
1.Jelaskan lokasi dan luas bangunan Candi Borobudur?
Borobudur adalah
sebuah candi Buddha yang terletak di
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Tepatnya di bukit kecil yang
dikelilingi oleh beberapa pegunungan
antara lain Gunung Merbabu, Merapi,
Sindoro, Sumbing dan Menoreh.
Candi ini berlokasi di kurang lebih
86 km di sebelah barat Surakarta,
100 km di sebelah barat
daya Semarang, dan 40 km di sebelah
barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana pada masa pemerintahan wangsa Syailendra sekitar abad ke-8 masehi.
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu
monumen Buddha terbesar di dunia yang sudah di akui oleh UNESCO dengan nomor
582.
Negara Indonesia
Klien Sailendra
Detail teknis
Sistem struktur piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci
Ukuran luas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk
chattra)
Arsitek Gunadharma
1. Jelaskan asal-usul dan sejarah berdirinya Candi Borobudur?
Tidak ditemukan bukti tertulis seperti prasasti atau kitab yang menjelaskan
siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu
pembangunannya jika dibandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup
Karmawibhangga dengan jenis aksara yang biasa digunakan pada prasasti kerajaan
abad ke-8 dan ke-9 bisa disimpulkan bahwa Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi, sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, yaitu masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang masih dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
rampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
Masih menjadi misteri mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama
Buddha aliran Mahayana, akan tetapi melalui temuan prasasti
Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran
Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km sebelah timur dari
Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir
bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum
dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan. Pembangunan candi-candi Buddha
termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan
untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha, untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana
disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami
oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi
masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu
bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula
sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada
masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang
memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun
856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara
Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang
Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan
Borobudur milik wangsa Syailendra,akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat
suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini
yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa
tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Dikarenakan massa stupa raksasa
yang besar dan berat ini dapat membahayakan tubuh dan kaki candi arsitek perancang
Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga
barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. kurang lebih 75 - 100 tahun
lamanya untuk pembangunan Candi Borobudur, dengan melalui beberapa tahap yang
dilakukan. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
i. Tahap pertama
Tahap pertama ini candi masih berupa tumpukan dari 3 bangunan
kecil yang berbentuk teras. Pada mula mula bangunan ini dirancang
berbentuk piramida kecil tetapi akhirnya dihancurkan kembali.
ii. Tahap kedua
Pembangunan pada tahap ke 2, Jumlah teras bangunan yang
semula berjumlah hanya 3 diperbanyak dengan cara melebarkannya
pondasi candi borobudur.
iii. Tahap ketiga
Tahap ini, perubahan pembangunan dilakukan lebih teliti. Puncak
teras yang sebelumnya berjumlah 1 teras bundar kemudian dipindahkan
dan diganti dengan 3 teras berbentuk bundar. Selain itu, disetiap teras
yang berada di puncak dibangun juga sebuah stupa.
iv. Tahap keempat
Tahap ini terjadi beberapa perubahan, meliputi menambahkan
relief baru, perubahan patung dan tangga di sepanjang Jalan candi.
Dekorasi pada monumen pun dirubah namun simbolnya tetap sama.
Fungsi candi Borobudur hampir sama dengan fungsi candi pada umumnya, yaitu.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang
Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai
dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita,
dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman
Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari
tangga pada sisi sebelah selatan, setelah
Pangeran Siddhartha gautama mencukur melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
rambutnya dan menjadi petapa dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura
tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga
maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir
Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya
Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana
dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura,
yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharmayang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
A. Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang
masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar
tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi
candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160
panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur
tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat
beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang
menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
B. Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada
dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan
1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel
berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan
diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada
bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung
dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha
di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada
pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan
peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan
paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan
diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini
kaya akan hiasan dan ukiran relief.
C. Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai
lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini
dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud).
Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di
mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa,
namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua
stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi
satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini
disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16
(total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang
berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan
lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan
di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari
luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini
dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud,
yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang
sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha
yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha',
padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa
utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa
utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah
tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran
samsara.