You are on page 1of 106

The terrible things that will happen when you

become too close with a girl are you feel so


comfortable with her, you feel too care for her, you
feel that you will be scared when you see that she is
not happy in her day, and you will be sick all day
when you don’t hear her voice yet. It will get one
step higher when you become closer and closer.
First, you think that she is the most beautiful person
you’ve ever seen in this earth, and you still think that
she is pretty even she doesn’t put make up when she
just wake up in the morning. Second, you just call her
to ask unimportant thing just because you have to
hear her voice, but then it becomes more difficult.
When you hear her voice, it makes you want to see
her face soon and you will get dizzy until you can
meet her. Third, you want to hit a man just because
he is close with that girl. Because you think that the
one who can make her happy is just you. Silly
thought.
And the worst is… you think that you can’t live with
the other girl. You just can’t imagine live with
someone else, not her. You just can’t plan a marriage
if the bride is not her. Can’t imagine eat with other
girl, live in one home, see her when you open your
eyes when you just wake up, touch her, kiss her, even
sleep with her. You just can’t have a future life like
that. It has to be her. This girl. The one whom you
only want.
Let’s say that in simple, you just can’t take your eyes
off of her. You just can’t stop adore her even when
you want it a lot.
That’s why I always think that there is no relationship
between man and woman. I told her that I can’t be
her friend. But what can I do when the only one girl
that I’ve ever wanted in my life, also the only girl that
I can’t imagine as mine?
I can act as the saint now. I kept love her, because I
know that I can never stop. If this person doesn’t love
me, it doesn’t matter, I won’t bother. I still kept wish
that I can see this person everyday. But when I get
the second chance in the next life, I just can’t help it
anymore. I have to be the one who own her. I will
never let anyone else replace me, even if I have to do
something bad to make it works.
Because I know, if she met me first, no, if she just
thinks it deeply once more, she will know that she
loves me. Not him, not other man. It’s just me. I want
to tell her that the one she loves is me. That she is
not allowed to love anybody else.
Sounds selfish, eh? I don’t care. If I can’t get her
nicely, I can do it badly. That simple.
***

Although we can’t see it, everyone has a red thread


tied to their little finger and the other end of the
thread is tied to the person who has the conjugal tie.
However, the thread is entangled, so it is hard to find
the other end. And sometimes, people just get lost.
But some day, we will hold the red thread and stand
in front of our conjugal tie.
So what if I say that I’ve already met that person, but
we even can’t be together? What if I say that I want
to be his, but he doesn’t want me? Not because he
doesn’t love me, but because he loves me so much
so that he wants me to get the best one. The one
who is better than him.
Then, what if I tell him that actually he is the best? No
matter how bad he is, he’s still the best for me. Will
he want to have me?
If I told him I was falling in love would he catch me?

***
KYUHYUN’S POV
Bagaimana caranya agar aku bisa mendeskripsikan
gadis itu? Cantik? Setiap orang mengatakan bahwa
cantik itu relatif, tapi aku yakin bahwa siapapun yang
melihatnya akan mengatakan bahwa dia cantik.
Karena dia memang terlihat seperti itu. dan tidak
pernah berhenti terlihat seperti itu.
Aku suka mata cokelatnya yang selalu terlihat
berbinar. Aku suka caranya tersenyum, sesuatu yang
membuatnya terlihat lebih memukau daripada
apapun. Aku suka rambut ikal panjangnya tergerai,
bukannya diikat ke atas seperti yang setiap kali
dilakukannya jika dia sedang belajar, atau saat dia
sedang pergi bersama… pria itu. Aku tidak tahu
alasan kenapa dia harus mengikat rambutnya saat
bersama pria itu. Karena pria itu mengatakan dia
lebih cantik dengan rambut diikat mungkin? Aku
tidak peduli.
Aku suka caranya bergantung padaku. Kami bukan
saudara, bukan sahabat, walaupun dia
menganggapnya begitu. Kami hanya dua orang yang
awalnya saling tidak mengenal, kemudian tinggal
bersama dan akhirnya menjadi dekat seperti
sepasang kembar siam yang tidak dapat dipisahkan.
Bukan. Kami bukan penganut paham seks bebas
yang tinggal bersama untuk bersenang-senang.
Lagipula aku bukan kekasihnya. Kami hanya
kebetulan bertemu di kereta api bawah tanah saat
aku baru pulang kuliah dan dia menanyakan sebuah
alamat padaku. Dia bercerita bahwa dia akan
memulai tahun pertamanya di universitas yang sama
denganku dan terpaksa menginap di asrama karena
belum menemukan apartemen yang tepat. Dan
entah setan apa yang berkeliaran di otakku saat itu,
aku menawarkan kamar kosong di rumahku padanya.
Terdengar bodoh mungkin, tapi aku merasa ada
sesuatu dengan gadis itu, sesuatu yang membuat
aku merasa bahwa aku harus menjaganya tetap
dekat dan mengenalnya lebih jauh. Sesuatu yang
membuatku tiba-tiba merasa terikat. Dan itulah
penjelasan yang aku tahu tentang cinta pada
pandangan pertama. Karena matanya? Senyumnya
mungkin? Atau karena hidup sedang
mempermainkanku sehingga aku harus bertemu
dengan seorang gadis yang pada akhirnya hanya
membuatku merasa tersiksa? Seseorang yang begitu
dekat sampai bisa dijangkau dengan tangan tapi di
saat yang bersamaan juga terasa begitu jauh seperti
asteroid-asteroid yang beterbangan di luar angkasa
dan tidak terdefinisikan?
Saat itu aku hanya berpikir mungkin aku merasa
kasihan karena dia berasal dari negara yang sama
denganku dan memang sangat sulit menemukan
orang Korea lain di kampus ini, jadi itu akan sedikit
membuatnya merasa tidak nyaman. Mungkin jika
bersamaku dia bisa merasa sedikit tertolong.
Aku tidak bisa menebak apakah dia akan setuju atau
tidak, karena di Asia, tinggal bersama seseorang
yang bukan suami atau istri kita adalah sesuatu yang
tabu. Adat Timur masih sangat melekat, tidak seperti
mahasiswa-mahasiswa lain disini yang bebas hidup
bersama kekasih mereka dan menganut paham seks
bebas. Jadi aku terkejut karena dia dengan antusias
menyetujui tawaranku dan ingin pindah secepat
mungkin. Tapi aku hanya menganggap bahwa dia
terlalu senang bertemu dengan orang yang berasal
dari tempat yang sama dengannya.
Lalu kehidupan bersamanya dimulai. Dia sangat
menyukai rumahku yang terletak di pinggiran kota
dekat pantai, cukup strategis, dengan pemandangan
yang mengagumkan. Tidak butuh waktu lama untuk
dekat dengannya. Kami selalu berdebat dalam semua
hal, berteriak satu sama lain, yang pada akhirnya
terpaksa membuatku mengalah karena melihat
bibirnya yang mengerucut kesal.
Ada banyak hal yang kami lakukan bersama. Hal-hal
yang tidak selalu dilakukan oleh seorang teman.
Hubungan kami seperti tidak punya batas jelas
antara sahabat dan kekasih, atau bahkan saudara.
Dia sering menyelinap ke kamarku setiap pagi dan
menendangku agar aku bangun dan menemaninya
melihat matahari terbit kesukaannya. Setelah itu dia
akan tidur di ranjangku dan menyuruhku membuat
sarapan yang biasanya hanya berupa roti bakar,
omelet, atau paling mewah nasi goreng, karena
kemampuanku memasak hanya sebatas itu. Sebelum
tinggal bersamanya aku selalu memilih sarapan dan
makan siang di kantin kampus dan membeli
makanan atau makan di kafe saat makan malam.
Dia juga suka duduk di depan kamar mandiku selagi
aku mandi dan dia beralasan bahwa dia suka
mendengar suaraku saat bernyanyi. Aku terkadang
memang suka menyanyi tidak jelas saat sedang
mandi. Lalu dia akan merapikan ranjangku yang
sudah dijadikan tempat tidur paginya dan
menyiapkan bajuku untuk pergi kuliah. Anehnya dia
tidak pernah mau membersihkan tempat tidurnya
sendiri karena menurutnya itu adalah sesuatu yang
sia-sia. Toh malamnya dia kaan tidur disana lagi dan
seprainya akan kusut lagi. Sebuah alasan bodoh yang
tidak aku mengerti sampai sekarang. Jadi biasanya
akulah yang akan membersihkan tempat tidurnya
selagi dia sarapan. Gadis itu tidak suka sarapan, jadi
aku harus memaksanya selama lima menit agar mau
menghabiskan makan paginya. Dia biasanya bersedia
jika aku menyogoknya dengan segelas susu stroberi
atau secangkir kopi kesukaannya.
Sepulang kuliah biasanya dia akan selalu
menungguku di halte bis dan kami akan berjalan
bersama ke stasiun untuk naik kereta api bawah
tanah. Seringnya kami memiliki jadwal kuliah yang
berbeda dan biasanya salah satu dari kami akan
menunggu di perpustakaan sampai yang lain pulang.
Aku ataupun dia tidak pernah keberatan menunggu
selama apapun asalkan kami bisa pulang bersama
pada akhirnya.
Sabtu malam adalah hari yang wajib dihabiskan
bersama. Pada hari itu kami harus mengosongkan
jadwal dan berdiam diri di perustakaan kecil-kecilan
milikku di rumah. Kami memiliki kursi favorit masing-
masing dan akan duduk bersama sambil membaca
buku terakhir yang baru kami beli ataupun
mengerjakan tugas kuliah masing-masing.
Dia sering menyelinap ke kamarku setiap malam jika
dia sulit tidur dan dia akan memeluk punggungku,
satu-satunya cara agar dia bisa tertidur dengan
cepat. Saat aku masih sibuk menyelesaikan skripsiku,
aku sering pulang larut malam, jadi saat jadwal
tidurnya tiba, dia akan meneleponku. Kami tidak
berbicara apa-apa, hanya diam tanpa suara. Dan dia
bilang dia bisa tidur dengan baik hanya dengan
mendengar tarikan nafasku saja.
Hujan adalah saat-saat favorit kami berdua. Kami
akan duduk di taman belakang dengan dua cangkir
kopi panas sambil mendengarkan musik bersama.
Gadis itu selalu bilang bahwa dia menyukai bau
hujan, bau yang tertinggal di udara setelah curahan
air itu berhenti jatuh ke bumi. Pada malam hari,
sebelum tidur, biasanya kami akan pergi ke atas atap.
Hanya duduk, tanpa percakapan apa-apa. Aaaah, aku
baru sadar, kami sebenarnya tidak pernah benar-
benar saling bicara. Seolah dengan diam saja sudah
lebih memuaskan daripada bercakap-cakap. Seolah
kehadiran satu sama lain sudah lebih dari cukup.
Dia juga suka memintaku menolongnya saat
keramas. Biasanya dia akan masuk ke dalam bathtub
yang masih kosong dan menyandarkan kepalanya ke
sandaran bathtub selagi aku mencucikan rambutnya.
Dia suka menulis dan akan terus merecokiku dengan
pertanyaan-pertanyaan aneh tentang kisah
percintaan sambil menyodorkan alat perekamnya.
Padahal aku sudah berkali-kali memberitahunya
bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Dan
tentu saja, dia tidak pernah menerima kata tidak.
Aku menghafal apapun yang disukainya. Bahwa dia
suka kopi, susu stroberi, es krim, cokelat, makanan
pedas, gerimis, bunga lili, matahari terbit, musim
gugur, jajangmyeon, novel-novel sciencefiction dan
pembunuhan, film romantis, musik klasik, sepatu kets,
dan berbagai hal aneh lainnya. Aku tidak menyukai
apa yang disukainya, tapi tiba-tiba dengan bodohnya
aku belajar untuk menyukai semua itu. Memakan
makanan pedas yang sama sekali tidak aku suka,
bangun untuk menemaninya melihat matahari terbit
padahal aku sangat benci bangun pagi, menyediakan
payung dan mantel di lokerku untuk berjaga-jaga jika
hari hujan, karena biasanya dia akan memperlambat
waktu pulang kami hanya untuk bermain gerimis dan
akan langsung memasang tampang cemberutnya jika
tiba-tiba gerimis itu digantikan hujan deras,
menyebabkan dia kebasahan.
Ada banyak hal yang kulakukan bersamanya dan
tidak pernah, tidak akan pernah kulakukan dengan
gadis lain. Malam pertama tinggal bersamanya, dia
langsung memberitahuku bahwa dia kuliah di
Manhattan karena kekasihnya harus mengurus
perusahaan orang tuanya yang berada di kota ini.
Mereka tidak ingin terpisah, jadi gadis itu mengalah
dan ikut pindah kesini. Saat itu aku benar-benar
merasa heran kenapa dia tidak tinggal serumah
dengan kekasihnya saja dan lebih memilih tinggal
dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.
Tapi dia hanya menjawab santai bahwa tinggal
bersama kekasih lebih berbahaya daripada tinggal
bersama orang asing. Dia tidak mau dicap buruk jika
hal itu terjadi.
Lalu saat itu… aku merasakan patah hati untuk
pertama kalinya dalam hidupku. Aku tidak
mengenalnya, tidak tahu apa-apa tentangnya, tapi
saat mendengar bahwa dia sudah menjadi milik
orang lain, aku merasakan sesuatu yang tidak enak
bergejolak di perutku, sesuatu yang ingin segera
kumuntahkan, tapi anehnya aku malah menahannya
dan memilih untuk tersiksa sendiri. Dan aku tidak
pernah mencoba untuk berhati-hati. Aku tidak
pernah berusaha membutakan mata dan
menghindar dari pesonanya. Aku membiarkan diriku
sendiri terjerumus dan tidak melakukan apa-apa
untuk menghentikannya. Tidak berniat melakukan
apapun untuk mengalihkan pandanganku darinya.
Aku iri pada pria itu. Pada pria yang selalu
diceritakannya dengan wajah berbinar-binar, pria
yang mendapatkan perhatian penuh darinya, satu-
satunya pria yang menurutnya bisa membuatnya
bahagia.
Maka aku bersikap sebagai pria baik-baik. Pria yang
menginginkan orang yang dicintainya mendapatkan
pasangan terbaik. Pria yang memilih mendekati
puluhan gadis lain, berkencan, dan tahu bahwa dia
hanya berusaha melarikan diri, mengganggap semua
gadis itu adalah gadis yang diinginkannya. Tapi tidak
bisa. Tangannya tidak bisa bergerak untuk
menyentuh gadis-gadis itu selagi otaknya terfokus
pada gadis lain. Jadi, demi gadis itu, dia menjadi pria
brengsek yang mendekati banyak gadis, dan saat
menyadari bahwa gadis itu tidak bisa mengalihkan
perhatiannya sama sekali, dia akan
mencampakkannya. Begitu saja.
Aku pria yang buruk. Aku tahu. Apa demi membuat
gadisku bahagia aku harus menyiksa puluhan gadis
lainnya? Aku sama sekali tidak peduli. Yang penting
hanya gadis itu. Yang penting aku harus
mengusahakan segala cara untuk sedikit menjauh
dari gadis itu, apapun, agar aku tidak nekat dan
memaksanya jadi milikku.
Hanya sebentar lagi. Seminggu lagi. Aku yakin aku
bisa menahannya sedikit lebih lama lagi. Hanya
sampai pria itu menikahinya dan aku bisa kembali ke
Korea, memulai hidup baru tanpa gadis itu.
Tidak. Aku tidak akan mengatakan hal bodoh tentang
melupakannya. Karena aku tidak bisa. Karena aku
yakin bahwa sampai mati aku hanya akan
mencintainya saja.
When a man steals your woman, there is no better
revenge than to let him keep her.
***

HYE-NA’S POV

Manhattan. Satu-satunya kota di Amerika yang


menarik perhatianku. Karena aku selalu mencintai
Korea, dan tidak pernah tertarik untuk pergi
kemanapun, bahkan meninggalkan negara itu. Tapi
pria itu, Lee Donghae, membuatku melakukannya.
Dengan sukarela. Hanya karena… aku mencintainya
dan tidak sanggup hidup berjauhan darinya. Alasan
klise yang menjijikkan.
Ada seorang pria. Seorang pria yang baru aku kenal
satu tahun terakhir, tapi berhasil membuatku
meninjau ulang perasaanku terhadap Donghae.
Walaupun aku tahu itu sudah sangat terlambat.
Hanya 7 hari menuju pernikahan, apa yang bisa aku
lakukan?
Seharusnya aku bisa menghentikannya dari awal.
Satu tahun lalu, saat baru bertemu dengannya, aku
mempunyai firasat yang sangat jelas tentang pria itu.
Pria yang akan hidup bersamaku. Aku merasakan
ketertarikan yang begitu kuat. Karena dia tampan?
Entahlah. Aku selalu menganggap Donghae tampan.
Tapi pria itu… dia membuatku berhenti berpikir
bahwa ada pria lain yang lebih tampan darinya. Itu
hal pertama yang membuatku kelimpungan.
Mengacaukan semua rencana hidup yang sudah
kususun baik-baik dengan Donghae.
Satu hal yang paling aku cintai dari pria itu adalah
matanya. Tatapan matanya yang begitu tajam dan
intens. Aku tidak pernah terlalu detail saat jatuh cinta
pada Donghae. Aku menyukai segala hal pada pria
itu. Tapi pria ini, pria yang hidup bersamaku ini,
membuatku memikirkan setiap jengkal tubuhnya.
Raut wajahnya yang dingin, senyumnya yang sangat
langka, suaranya yang berat, jarinya yang panjang,
punggungnya yang lebar dan hangat, dan bahunya
yang nyaman. Apa yang tidak aku sukai darinya?
Kami memiliki begitu banyak perbedaan dan di sisi
lain, entah mengapa kami begitu mirip satu sama
lain. Dia tidak menyukai apa yang aku suka. Makanan
pedas, bangun pagi, gerimis. Tapi dia satu-satunya
orang yang bisa mengerti sifatku dengan sangat
baik. Selalu ada saat-saat dimana aku malas bicara,
hanya ingin diam dan tidak diganggu orang lain.
Teman-temanku biasanya akan sangat kesal
denganku jika hal ini terjadi. Mereka akan merasa aku
mendiamkan mereka semua karena aku memasang
tampang cemberut yang menyebalkan. Tapi pria ini,
dia juga akan ikut diam tanpa bertanya apa-apa. He
is the person I can spend hours quietly sitting with
and feel like I’ve had the best conversation.
Dia sahabat yang membuatku merasa tidak
dimanfaatkan. Aku tahu bahwa teman-temanku
kebanyakan hanya berteman denganku karena aku
bermanfaat untuk mereka. Pria ini… dia tidak pernah
peduli apakah aku mengganggunya atau tidak. Dia
tidak pernah meminta bantuan apapun padaku dan
memilih melakukan semuanya sendiri. Tapi dia tidak
pernah mau dianggap sahabat. Dia selalu bilang
bahwa dia tidak mau menjadi sahabatku.
Pria ini berkata bahwa Donghae adalah pasangan
yang paling tepat untukku. Tampan, baik, mapan,
punya masa depan cerah, dan sangat mencintaiku.
Dia menyuruhku menerima lamaran Donghae dan
menikah dengan pria itu karena aku pernah bilang
bahwa satu-satunya pria yang bisa membuatku
bahagia adalah Donghae.
Tapi itu dulu. Itu dulu saat aku masih belum jatuh
cinta padanya. Saat aku masih mencintai Donghae
dan dengan tidak sabar menunggu saat-saat dimana
aku bisa bertemu dengan pria itu. Tapi sekarang…
aku menemuinya hanya karena pria ini
menginginkanku begitu. Aku melakukannya karena
ingin membuat pria yang kucintai bahagia, walaupun
aku sendiri sama sekali tidak merasa bahagia. Karena
pria ini telah memberitahuku tentang masa depan
bahagia yang bisa aku dapatkan bersama Donghae
dan aku akan menuruti apapun perkataannya. Tidak
peduli jika pada akhirnya aku hanya bersikap seperti
seorang wanita murahan yang tidak bermartabat.
Aku tahu bahwa dia mencintaiku. Dan hanya Tuhan
yang tahu seberapa tersiksanya dia selama ini.
Awalnya aku hanya mengira bahwa dia hanya peduli
padaku sebatas sahabat, tapi… aku mulai curiga saat
dia mulai bergonta-ganti wanita setiap hari. Padahal
aku tahu bahwa sebelum bertemu denganku dulu,
dia adalah pria dingin yang tidak bisa didekati gadis
manapun. Karena itu suatu malam aku diam-diam
mengikutinya saat dia sedang berkencan dengan
seorang gadis. Dia bahkan tidak menyentuh gadis itu
sama sekali. Dan aku tahu saat dia berusaha
mencium gadis itu, dia memikirkan hal lain dan
akhirnya dia berteriak frustasi karena dia bahkan
tidak bisa mendekatkan wajahnya sedikit saja. Dia
tidak bisa mencium gadis manapun. Tidak bisa
menyentuh gadis manapun.
Aku masih ingat dengan jelas suaranya yang
terdengar sangat putus asa saat berbicara dengan
gadis itu.
“Kau gadis kedelapan, dan aku tetap saja tidak bisa
mencium salah satu dari kalian. Sial! Kau tahu apa
yang salah? Karena yang berkeliaran di otakku hanya
gadis itu saja. Jadi kenapa kau tidak pergi saja dan
enyah dari hadapanku?”
Lalu gadis itu pergi dengan wajah yang jelas-jelas
sangat terluka. Dan besoknya, pria itu akan
mengencani gadis lain lagi dan akan berakhir seperti
itu lagi. Semua orang sudah tahu tabiat buruk pria ini
yang suka mencampakkan para gadis, tapi gadis-
gadis itu tetap saja melemparkan diri dengan
sukarela padanya. Dan itulah masalahnya. Pria itu
terlalu mempesona untuk diabaikan begitu saja.
Aku selalu mengikutinya dari belakang. Biasanya dia
akan berjalan dengan langkah pelan setelah berhasil
menyakiti satu gadis lagi. Aku berharap dia akan
menoleh ke belakang dan melihatku. Agar aku bisa
memberitahunya supaya dia berhenti. Agar aku bisa
memberitahunya bahwa aku mencintainya dan kami
bisa memulai semuanya lagi bersama. Tapi dia tidak
pernah berbalik. Dan bibirku terkunci rapat, tidak
pernah bisa mengatakan yang sebenarnya.
Dia sudah menyelesaikan kuliahnya dan memutuskan
untuk kembali ke Korea, menjalankan perusahaan
ayahnya. Aku berhasil menahannya sampai hari
pernikahanku, memintanya menjadi pendamping
pengantinku. Bukan karena aku ingin menyakiti
hatinya, tapi karena aku ingin dia sendiri yang
mengantarku ke depan altar, memberiku kekuatan
sebelum aku menjalani masa depan yang
diinginkannya untukku.
Dia bilang dia akan menjual rumah ini, karena dia
tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi dan aku
pasti akan lebih memilih tinggal bersama suamiku
nanti. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti
apa hidupku nanti tanpa melihatnya, tanpa
melakukan rutinitas yang selalu kulakukan
bersamanya. Aku tidak bisa membayangkan hidup
bersama pria lain yang bukan dia, tidur sambil
memeluk punggung pria lain, bukan punggungnya.
Semuanya terasa mengerikan, sampai aku takut
bahwa aku akan menjadi gila sebentar lagi. Dia hanya
berkomentar bahwa aku mengalami sindrom pra-
nikah dan aku tidak bisa memberitahunya bahwa aku
stress karena akan kehilangannya. Kau tahu, rasanya
seperti kebahagiaanmu direnggut dengan paksa.
Seperti… seumur hidup kau tidak akan pernah lagi
bahagia.
Aku pernah berkata bahwa aku hanya bisa hidup
bersamanya dan menawarkan, sambil setengah
bercanda, mengapa bukan dia saja yang menikahiku.
“Don’t marry the person you think you can live with;
marry only the individual you think you can’t live
without.”
Dan aku tidak bisa memberitahunya bahwa aku bisa
membayangkan hidup bersama Donghae dan yakin
aku bisa bertahan, tapi aku tidak bisa
membayangkan hidup tanpanya. Dan dia tidak
pernah tahu hal itu.
Banyak hal yang tidak diketahui pria itu. Rahasia-
rahasia kecil yang berhasil aku sembunyikan dengan
baik. Pria itu tidak tahu bahwa diam-diam aku telah
merekam suara tarikan nafasnya saat tidur dan akan
memutar rekaman itu saat dia tidak ada di rumah
sedangkan aku sudah sangat mengantuk. Pria itu
juga tidak tahu alasan mengapa aku selalu mengikat
rambut saat keluar rumah, terutama saat aku harus
bertemu dengan Donghae. Alasannya sederhana,
karena pria itu pernah mengatakan bahwa dia lebih
suka melihat rambutku tergerai. Bahwa aku terlihat
lebih cantik saat aku tidak mengikat rambutku. Jadi
aku tidak mau terlihat cantik di mata pria lain, tidak
mau dipuji oleh pria lain. Karena yang aku butuhkan
hanya pendapat pria itu saja. Dan aku tidak peduli
apapun tentang pendapat orang lain. Tidak sama
sekali.
***
AUTHOR’S POV

Kyuhyun’s Home, Manhattan


08.00 PM

“Aku pulang,” ujar Hye-Na lesu sambil menjatuhkan


tasnya ke atas meja di samping laptop Kyuhyun yang
sedang menyala. Gadis itu naik ke atas sofa dan
membaringkan kepalanya ke atas pangkuan
Kyuhyun, membenamkan wajahnya di perut pria itu
dan menghirup nafas disana.
“Wae?” tanya Kyuhyun heran sambil menghentikan
kegiatannya, duduk dengan tegak agar Hye-Na
merasa nyaman, dan menyingkirkan anak rambut
gadis itu yang terjuntai menutupi wajahnya.
Hye-Na melingkarkan tangannya ke pinggang pria
itu dan menggeleng pelan. Dia tidak bisa
memberitahu pria itu bahwa Donghae menelepon
dan memberitahunya bahwa lusa gadis itu harus
mengepas pakaian pengantinnya yang sudah jadi.
Dia tidak bisa memberitahu pria itu bahwa dia tidak
suka memikirkan bahwa seminggu lagi dia akan
menjadi istri pria lain dan bahwa hari perpisahan
mereka akan semakin dekat. Itu benar-benar
mengerikan menurutnya.
“Kau lelah?”
“Mmm,” gumam Hye-Na pelan. “Setelah kau
diwisuda, aku jadi tidak punya teman pulang lagi.
Kalau aku lelah kan biasanya kau bersedia
menggendongku, tapi sekarang aku hanya sendiri.
Menyebalkan.”
Kyuhyun tertawa kecil dan menyentil kening gadis
itu.
“Kau harus membiasakan diri tanpaku, Nona Han.
Dan mulailah bergantung pada calon suamimu itu.”
“Presiden Direktur mana yang mau merendahkan diri
dengan menggendong istrinya. Dan aku tidak bisa
bergantung padanya. Dia punya perusahaan yang
harus ditanggungnya dan ribuan karyawan yang
menggantungkan hidup padanya.”
“Ditambah satu lagi sepertinya tidak akan masalah.
Lagipula kau kan istrinya, dia pasti senang direpotkan
olehmu.”
“Omong kosong,” umpat Hye-Na. Dia ingin sekali
meneriaki pria itu agar berhenti memuji-muji pria
yang akan menikahinya. Kenapa pria itu suka sekali
menyakiti diri sendiri?
Gadis itu bangkit dan duduk, mengambil gelas kopi
Kyuhyun di atas meja dan meminumnya sampai
habis.
“Kau sedang menghindariku, ya?” tanyanya tanpa
basa-basi.
Kyuhyun meringis dan tersenyum dengan tampang
yang dipaksakan.
“Hanya sedang mengurangi intensitas pertemuan
kita, mengurangi rutinitas yang biasanya kita lakukan
bersama. Kau harus membiasakan diri hidup tanpaku,
Na~ya. Aku sedang membantumu.”
Hye-Na mengerucutkan bibirnya kesal, hampir saja
melayangkan tangannya untuk mencekik pria di
depannya itu.
“Yak, lebih baik kau berhenti saja! Dan jangan
melakukan hal sia-sia seperti itu. Seharusnya kita
menghabiskan lebih banyak waktu bersama sebelum
aku menikah dan kau kembali ke Korea. Aku bisa
menyesuaikan diri setelahnya. Dengan caraku sendiri.
Kau tidak repot-repot membantuku.”
Kyuhyun menatap gadis di depannya itu dengan
tubuh yang tiba-tiba terasa sangat lelah. Dia lelah
bersikap pura-pura, bersikap sebagai pria baik-baik
yang akan melakukan semua hal demi orang yang
dicintainya. Dia ingin sekali memberitahu gadis itu
bahwa sebenanrya dia melakukan ini semua untuk
dirinya sendiri. Bahwa dia sendiri yang butuh
bantuan untuk membiasakan diri tanpa gadis itu
secara perlahan-lahan. Dan dia terlalu pengecut
untuk mengatakannya.
“Baik, kalau itu maumu.”
Hye-Na mendecak dan meletakkan cangkir dalam
genggamannya ke atas meja.
“Oke, seharusnya kita tidak bertengkar di saat-saat
seperti ini. Anggap saja kita tidak pernah
membicarakan hal ini sama sekali.”
Kyuhyun mengangguk setuju dan tidak berkata apa-
apa saat Hye-Na berbaring lagi di pangkuannya.
Bahkan saat ada keinginan mendesak bahwa dia
ingin menahan gadis itu bersamanya dan tidak
mengizinkan gadis itu pergi kemana-mana, apalagi
ke depan altar.
“Aku merasa tidak nyaman dengan teman-temanku
di kampus. Mereka semua hanya memanfaatkanku
saja. Apalagi ada banyak gadis yang menyukaimu
dan mengira bahwa aku sudah merebutmu dari
mereka lalu menyebarkan gosip bahwa aku telah
tidur bersamamu agar aku bisa tetap menahanmu
bersamaku. Bodoh.”
“Bukankah biasanya kau berhasil menanganinya? Kau
biasanya akan meneriaki dan balik menyerang
mereka, kan?”
“Ck, kau ini, selalu saja begitu. Seharusnya kau
memutuskan mereka semua baik-baik, jadi bukan
aku yang dijadikan sasaran kemarahan mereka.
Sudah jelas gadis-gadis bule itu memiliki badan yang
lebih besar dariku. Bagaimana kalau mereka
mengajak berkelahi? Dan kosakata makian bahasa
Inggrisku masih belum banyak.”
“Lalu kau mau aku bagaimana? Kau mau aku ke
kampus dan balik memaki mereka? Aku bisa saja
melakukannya.”
“Aish, tidak usah. Aku bisa mengatasinya sendiri,”
dengus Hye-Na.
Kyuhyun menunduk menatap wajah gadis itu. Gadis
itu selalu saja menganggap semua orang teman.
Selalu mudah mempercayai orang lain, padahal
mereka semua hanya memperalatnya.
“Berhentilah menganggap orang lain sebagai
temanmu.”
Hye-Na mendongak bingung.
“There is no such thing like friend. It’s just someone
whom you meet almost everyday, someone who will
listen to your story, but that’s the limit. They are with
you just because you have advantages for them, and
maybe they’ll still be with you but when they have to
choose, they will choose the one who has more
advantages for them than you. In friendship, you
can’t make a mistake, because they will always
remember that and have negative thought about
you, but when they make mistake, you have to
forgive them and forget all of that. At last, you’re just
alone. That’s why I never want to be that fucking
person for you. That’s why I hate to be your friend.
You know that I’m more civilized than that. From the
first, I told you that we can’t just be a friend.”
Kyuhyun menarik nafasnya pelan. “I never want to be
your friend.”
***

Kyuhyun’s Home, Manhattan


06.00 AM

Kyuhyun mengerang saat merasakan tendangan


keras di kakinya. Sesaat kemudian, kamarnya yang
tadinya gelap langsung terang benderang karena
cahaya matahari yang merangsek masuk lewat
gorden yang terbuka lebar. Kyuhyun menyesali
desain kamar yang awalnya sangat disukainya itu.
Kamar itu dikelilingi jendela kaca besar di setiap
sudutnya, sehingga kamar itu akan sangat terang
saat siang hari.
“Aish, aku terlambat bangun dan melewatkan
matahari terbit,” keluh Hye-Na kesal sambil
menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang di samping
Kyuhyun. Dia menarik selimut yang sedang dipakai
pria itu dan menyelimuti tubuhnya sendiri.
“Yak, aish, aku masih ingin tidur, Na~ya. Bisakah kau
membebaskanku sekali-sekali dari kewajiban bangun
pagi?”
“Ya sudah, kau tidur saja. Aku kan tidak menyuruhmu
bangun.”
Gadis itu memang tidak pernah menyuruhnya
bangun, tapi dia sendiri yang ingin bangun untuk
membuatkan gadis itu sarapan, walaupun gadis itu
lebih senang jika dia bisa melewatkan sarapan
paginya begitu saja.
Kyuhyun bangkit dari atas tempat tidur, sedikit
pusing karena dia belum sepenuhnya sadar.
“Aku akan menyiapkan sarapan.”
“Bisakah kau disini saja?” potong Hye-Na sambil
menepuk-nepuk tempat kosong yang tadi ditiduri
Kyuhyun. “Aku sedang tidak ingin sarapan.”
Ada sesuatu dari cara gadis itu menatapnya. Sesuatu
yang salah. Seolah gadis itu sedang merasa tidak
bahagia dan Kyuhyun sama sekali tidak menyukai
kenyataan itu.
Kyuhyun duduk kembali di atas ranjang dan
membaringkan tubuh di atasnya. Dia berbaring
menyamping dan menatap gadis itu lekat. Dia selalu
mengagumi wajah gadis itu. Objek tatapan
favoritnya.
“Seminggu lagi aku akan tidur bersama orang lain
dan anehnya aku tidak bisa membayangkan
bagaimana rasanya,” gumam Hye-Na pelan.
“Orang lain? Dia suamimu.”
“Tetap saja orang lain,” ujar Hye-Na, tidak mau
dibantah.
“Kau bersikap seperti orang yang tidak bahagia,
Na~ya. Padahal kau akan menikah. Seharusnya kau
senang kan bisa menikah dengan pria yang kau
cintai?”
Hye-Na terdiam dan memandang Kyuhyun dengan
tatapan lelah.
“Kau mau aku bahagia?”
“Tentu saja kau harus bahagia.”
“Kalau begitu aku bahagia,” putus Hye-Na, seolah hal
itu tidak perlu ditanyakan lagi.
Gadis itu berbaring menelentang, menghadap ke
langit-langit kamar. Dari sisi tempatnya berbaring,
Kyuhyun tidak lagi bisa melihat wajah gadis itu
dengan jelas karena sinar matahari yang terlalu
terang, membuat pandangannya ke arah gadis itu
terasa silau.
“Kau tahu apa artinya pernikahan, Kyu?” tanya gadis
itu tiba-tiba. Kebiasaannya. Gadis itu suka sekali
mengubah topik pembicaraan dan menggantinya
dengan topik-topik aneh. “Apa pernikahan itu
mengerikan? Kau harus hidup dengan orang yang
sama sampai kau mati?”
Kyuhyun menarik tubuh gadis itu agar menghadap
ke arahnya lagi. Dia tidak suka jika dia tidak bisa
melihat wajah gadis itu dengan jelas. Hanya tinggal
beberapa hari lagi sebelum wajah itu akan benar-
benar menghilang dari tatapannya dan dia tidak
ingin mempercepat hal itu terjadi.
Pria itu melingkarkan tangannya di pinggang gadis
itu, menariknya mendekat sampai tubuh mereka
menempel satu sama lain.
Dia bisa merasakan jantung gadis itu yang berdetak
cepat dan nafasnya yang menderu keras. Apa
kedekatan mereka memberi pengaruh besar bagi
gadis itu? Apa…. Tidak, dia tidak boleh
memikirkannya. Dia tidak bisa mengubah
rencananya. Dia tidak bisa merenggut kebahagiaan
gadis itu.
“Pernikahan itu… hidup bersama orang yang dengan
sengaja hidup untukmu. Apa menurutmu itu
mengerikan, Nona Han?”
***
At Restaurant, Manhattan
07.00 PM

“Kau mau makan salad? Salad disini sangat enak,”


tawar Donghae yang memegang buku menu di
tangannya.
Hye-Na meletakkan buku menu yang tadi sedang
dibacanya ke atas meja dan menatap pria itu dalam-
dalam.
“Aku tidak suka sayuran, oppa. Apa kau tidak tahu?”
Hye-Na berusaha menahan mulutnya agar diam, tapi
dia tidak berhasil melakukannya. “Aku lebih suka
makan di kafe pinggir jalan biasa dibandingkan
makan di restoran mewah yang mengharuskanku
berpakaian formal. Aku tidak suka memakai gaun
dan high heels. Aku tidak suka dengan peraturan
makan di tempat ini, kapan harus memakai garpu,
sendok, dan pisau, bahwa aku tidak bisa makan
sembarangan dan membuat sesuatu berantakan.
Aku….” Hye-Na berusaha menenangkan dirinya
dengan menarik nafas dalam-dalam saat Donghae
menatapnya cemas. “Maaf, aku hanya… sedang
tegang.”
“Tidak apa-apa,” ujar Donghae sambil mengulurkan
tangannya untuk menggenggam tangan gadis itu.
“Kita jarang makan bersama, makanya aku tidak tahu
apa yang kau suka dan apa yang tidak kau suka. Lain
kali kita bisa makan ke tempat yang kau sukai.”
“Maaf, aku hanya….”
“Aku tahu. Sindrom pra-nikah, kan? Aku mengerti.
Kau tidak perlu menjelaskan.” Donghae menepuk
punggung tangan gadis itu pelan sebelum menarik
tangannya. “Bagaimana kabar Kyuhyun? Apa dia
setuju menjadi pendampingmu nanti?”
Hye-Na mengangguk dan meminum air putih yang
tersedia di atas meja.
“Aku selalu heran melihat kalian berdua. Kalian
bersahabat tapi… lebih terlihat seperti sepasang
kekasih. Aku merasa terkadang caranya melihatmu
begitu… intens. Seolah dia ingin memastikan bahwa
tidak ada peluru yang tiba-tiba akan menembus
tubuhmu.”
“Kami bukan sahabat,” potong Hye-Na. “Dia tidak
suka jika aku menyebutnya sahabat. Menurutnya
sahabat itu hanya seseorang yang berteman
denganmu karena kau berguna bagi mereka.”
“Dia selalu terlihat unik, kan? Ngomong-ngomong,
kalian tinggal bersama selama setahun, apa kau tidak
pernah merasa tertarik padanya?”
“Astaga, yang benar saja!” keluh Hye-Na. “Dia itu
tampan, aku pasti tidak normal kalau sampai tidak
menyukainya.”
Donghae sedikit melongo sebelum akhirnya tertawa
karena tahu bahwa gadis itu sedang bercanda. “Tapi
aku lebih tampan, kan?”
“Kalau kau sedikit lebih tinggi, aku pasti akan
mengatakan kau tampan.”
“Hye-Na~ya…” rajuk Donghae dengan tampang
cemberut. Dia memang selalu sensitif dengan
masalah tinggi badan, dan gadis itu suka sekali
menggodanya karena hal itu.
“Cih, kau ini oppa, selama kau kaya dan tampan, kau
tidak perlu mempermasalahkan tinggi badan.”
“Jadi kau setuju menikah denganku karena itu?”
“Memangnya karena apalagi?” tandas gadis itu
enteng.
“Aku ingin sekali mencekikmu, kau tahu?”
Hye-Na menelengkan kepalanya dan tersenyum ke
arah pria itu.
“Kalau aku mati, kau akan kehilangan calon istrimu
yang paling potensial, oppa.”
***

At Café, Manhattan
10.00 PM
Kyuhyun menatap gadis di depannya dengan
pandangan menilai. Gadis itu lumayan, dengan
rambut cokelat ikalnya yang diikat rapi. Kyuhyun
tidak pernah menggunakan kata cantik untuk wanita
manapun selain gadisnya, tidak peduli secantik
apapun wanita itu.
Pria itu mengalihkan pandangannya dan menatap
sekelilingnya dengan bosan. Satu gadis lagi yang
akan dipermainkannya. Gadis terakhir.
“Tumben kau tidak menghabiskan waktu dengan
Dee,” ujar gadis itu membuka percakapan. Dee
adalah panggilan Hye-Na di kampus, karena nama
baratnya adalah Ladyra Han. Dan gadis itu paling
benci dipanggil Lady.
“Dia sedang bersama tunangannya,” ucap Kyuhyun
singkat. Dia tahu bahwa gadis itu sudah lama
mengejarnya, jadi kenapa dia tidak memberi
kesempatan bagi gadis itu?
Kyuhyun mengusap tengkuknya pelan. Dia memang
benar-benar pria bajingan tak berperasaan.
“Kalian tidak pacaran? Aku kira kalian saling
menyukai.”
“Dia sudah berpacaran jauh sebelum kami bertemu,
jadi aku beritahu kau, semua gosip yang kalian
sebarkan tentangnya itu salah. Kami hanya tinggal
serumah, tidak lebih. Aku tidak pernah menidurinya.”
“Tapi kau ingin sekali melakukannya, kan?”
Kyuhyun menccondongkan tubuhnya ke depan dan
mengangkat bahunya santai.
“Kau sedang memainkan peran apa, Miss Benchett?
Sahabat yang mau mendengarkan keluh kesahku?”
“Tidak. Aku hanya….” Muka gadis itu memerah
sesaat, membuat bintik-bintik di wajahnya terlihat
jelas. “Aku hanya iri melihat cara kalian berdua
berinteraksi.”
Kyuhyun mengabaikan gadis itu, mengeluarkan
telepon genggamnya dan menghubungi nomor Hye-
Na. Dia harus memberitahu gadis itu bahwa dia akan
pulang larut malam ini.
“Kenapa kau yang mengangkat teleponnya? Dia
bersamamu?” tanya Kyuhyun sambil menggertakkan
giginya. Dia tidak bisa menahan nada posesif yang
terdengar jelas dari suaranya yang sedikit bergetar.
“Iya. Dia di apartemenku. Mungkin dia akan
menginap disini malam ini. Sepertinya dia sangat
kelelahan. Lagipula di luar hujan deras,” ujar
Donghae dari seberang.
“Aku akan menjemputnya,” tandas Kyuhyun dan
laangsung menutup teleponnya tanpa menunggu
persetujuan dari Donghae sama sekali.
Pria itu meraih jaketnya dan meninggalkan beberapa
lembar uang sepuluh dolar di atas meja.
“Aku pergi dulu. Maaf jika mengecewakanmu,” ucap
Kyuhyun tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Gadis itu menahan tangan Kyuhyun, mencegah pria
itu pergi.
“Bisakah kau duduk sebentar? Sebentar saja?”
Kyuhyun menimbang sebentar sebelum akhirnya
duduk lagi di atas kursi dengan raut wajah tak sabar.
“Actually… I now realize how special she is for you.
I’ve already told you that I always look at you two,
see how you act when you are with her. You’re
always well-mannered and polite in front of me. You
never raise your voice. But in front of her, you’re
human. One with flesh and blood, one with emotion
to feel love, anger, sadness and happiness. I really
like you. I’ve never liked someone this much.” Gadis
itu mengangkat wajahnya dan menatap Kyuhyun
sayu. “Can you tell me how to replace her in your
heart?”
Kyuhyun tertegun sesaat sebelum akhirnya menarik
nafas dengan tidak nyaman.
“You know the answer,” jawab pria itu berat.
“Everyone knows the answer,” ralat gadis itu. “You
really can’t take off your eyes from her. That’s really
obvious. Everybody can see it, but why you two
never realize?”

***

Donghae’s Apartment, Manhattan


11.00 PM

“Kau tidak perlu repot-repot menjemputnya. Aku bisa


menjaganya dengan baik.”
“Kalian sudah bertunangan. Menurutmu apa yang
akan terjadi kalau kalian berada di bawah satu atap?”
“Astaga! Kau pikir aku tidak bisa mengendalikan
nafsuku sendiri?”
Kyuhyun mengangkat bahu tak peduli. “Dimana dia?”
“Di kamarku. Kau mau aku membangunkannya?”
“Tidak usah. Biar kugendong saja,” ujar Kyuhyun
sambil masuk ke ruangan yang ditunjuk Donghae.
“Kyu?”
“Mmm?”
“Kau mencintainya?”
Kyuhyun tertegun di depan pintu kamar. Dia berbalik
dan menatap pria itu heran.
“Kau menanyakan pertanyaan seperti itu padaku?”
“Jawab saja,” ucap Donghae dengan raut wajah
serius.
“Aku mencintainya atau tidak apa urusannya
denganmu? Kalau aku mencintainya, apa kau mau
menyerahkannya untukku?”
***
Kyuhyun’s Home
01.00 AM

Kyuhyun duduk di atas atap dengan secangkir kopi di


tangannya. Hujan turun cukup deras, saat dimana
biasanya mereka berdua akan duduk bersama sambil
menghabiskan waktu tanpa berbicara satu sama lain.
Hanya mendengarkan suara hujan yang jatuh dan
menghirup bau yang tersisa di udara setelahnya.
Kyuhyun menoleh saat pintu menuju balkon bergeser
membuka dan mendapati Hye-Na berdiri di sana
dengan rambut yang acak-acakan dan mata yang
mengantuk.
“Kau sedang apa? Ini sudah jam 1 malam.”
Hye-Na mengeratkan cardigan yang membalut
tubuh bagian atasnya dan duduk di samping
Kyuhyun, melingkarkan tangannya ke lengan pria itu.
“Hujan,” jawab gadis itu singkat. “Biasanya kau tidak
pernah melakukan ini tanpaku. Jangan mengatakan
omong kosong tentang mengurangi rutinitas yang
biasa kita lakukan bersama lagi kalau kau tidak mau
aku tendang.”
Kyuhyun tertawa dan menggeleng. “Tidak. Aku hanay
tidak mau membangunkanmu.”
“Aku kira tadinya aku tidur di apartemen Donghae.
Dia yang mengantarku kesini?”
“Tidak. Aku yang menjemputmu kesana.”
“Aaaa… Cho Kyuhyun manis sekali. Kau pikir apa
yang sedang kau lakukan hah sampai-sampai harus
menarikku pulang dari apartemen tunanganku?”
“Aku berjaga-jaga, siapa tahu saja dia mau
menidurimu.”
Kyuhyun meringis saat mendapatkan pukulan keras
di kepalanya.
“Jaga mulutmu, Tuan Cho. Dia bukan pria seperti itu.
Kau ini protektif sekali.”
“Aku hanya sedang berperan sebagai sahabat yang
baik.”
“Kau bukan sahabatku,” ujar Hye-Na ketus.
“Benar,” jawab Kyuhyun setuju.
“Kau seperti kekasih yang sedang cemburu, kau
tahu?”
“Aku tahu.”
Hye-Na menegakkan tubuhnya dan menatap pria itu
heran.
“Jadi sekarang kau mau mengatakan bahwa kau
menyukaiku dan memintaku membatalkan
pernikahanku begitu?”
Kyuhyun mendekatkan wajahnya sampai hidung
mereka nyaris bersentuhan. Sepertinya dia sedang
tidak waras sampai melakukan hal gila seperti ini, tapi
dia sedang ingin bersikap egois. Untuk kali ini saja.
“Kau melantur terlalu jauh, Na~ya.”
Hye-Na sama sekali tidak memundurkan tubuhnya
saat nafas pria itu berhembus tepat di wajahnya. Dia
malah merasakan nafasnya semakin memberat dan
jantungnya berdetak tidak beraturan.
Mereka memang sangat dekat, tapi seolah mereka
saling berjati-hati satu sama lain agar kedekatan itu
tidak berkembang sejauh ini. Dan sekarang… malam
ini, sepertinya peraturan itu akan segera dilanggar.
Kyuhyun meraih tengkuk gadis itu mendekat, tapi dia
menjaga agar bibir mereka tidak bersentuhan. Belum.
“Kau akan menyesali ini, kau tahu? Kau masih bisa
menghentikan ini sekarang,” ujar Kyuhyun dengan
suara berat.
“Tidak,” gumam Hye-Na nyaris tak terdengar.
“Sial,” umpat Kyuhyun sebelum menempelkan
bibirnya di atas permukaan bibir gadis itu,
melumatnya dengan kasar. Dia mencium gadis itu
dengan rakus, nyaris tidak bisa berhenti untuk
memberi gadis itu kesempatan menarik nafas. Dia
tidak pernah membayangkan rasanya akan seperti
ini. Tidak sememabukkan ini.
Dia melepaskan gadis itu sebelum benar-benar
kehilangan kendali dan menjauhkan wajah gadis itu
darinya.
“Seorang sahabat tidak akan pernah mencium
sahabatnya sendiri. Itulah kenapa aku tidak pernah
mau menjadi sahabatmu,” ucapnya dengan nafas
memburu.
“Kau mau tahu rahasia kecilku? Kau pria pertama
yang kuizinkan melakukannya. Bahkan Donghae
sekalipun tidak pernah melakukannya padaku.
Sekalipun.”
“Jangan macam-macam denganku, Na~ya,” bentak
Kyuhyun marah. “Kau pikir itu merubah sesuatu?”
“Berhentilah bersikap seolah kau baik-baik saja!”
teriak Hye-Na sambil melemparkan bantal sofa ke
tubuh pria itu. “Berhentilah bersikap seolah kau tidak
menginginkanku! Kau brengsek! Pernahkah
seseorang memberitahumu? Kau benar-benar
brengsek, Cho Kyuhyun!” serunya sambil bangkit
berdiri dan pergi meninggalkan pria itu setelah
membanting pintu balkon dengan keras.
Kyuhyun mengacak-acak rambutnya gusar dan
membenamkan wajahnya ke tangan.
“Sial!”
Hye-Na menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan
berbaring menelungkup.
Apa pria itu bisa bersikap seperti yang seharusnya?
Setelah apa yang terjadi apa pria itu akan tetap
bersikap tidak ada apa-apa dan berkata bahwa dia
harus tetap menikah? Dan sialan, dia akan selalu
melakukan apapun yang diinginkan pria itu.
Hye-Na mendongak saat mendengar ketukan pelan
di pintu kamarnya. Dia bangkit dan melihat ada
sehelai kertas di lantai di bawah pintunya.

Mianhae

Gadis itu mengambil pena di atas meja dan


menuliskan sesuatu di atasnya lalu menyelipkan
kertas itu lagi ke bawah pintu.
Terserah kau saja
Kertas itu muncul lagi dan dia mendengus tak
percaya. Apakah mereka akan bermain seperti anak
kecil malam ini?

Anggap saja yang tadi itu kesalahanku, oke? Kau


tahu kau tidak bisa merubah apapun sekarang. Dan
aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Baik. Bukankah aku selalu mengikuti apapun


perkataanmu?
Tapi ngomong-ngomong Kyu, kalau gosip yang
beredar itu benar, untuk sebuah ciuman pertama,
kau benar-benar mengagumkan.

Sialan kau! Apa kau akan memamerkan kepada


semua orang bahwa kau berhasil membuatku
menciummu?
Dan membiarkan Donghae tahu lalu membatalkan
pernikahan kami?
Tidak, terima kasih.

Kalau kalian batal menikah, kau bisa menikah


denganku.

Aku tidak mau menikah dengan pria brengsek


sepertimu.

Selamat malam, Na~ya.

Malam, Kyu.

***
Wedding Gown Shop, Manhattan
02.00 PM
“Eotte?” tanya Hye-Na sambil memutar tubuhnya di
depan Kyuhyun, memamerkan gaun yang sedang
dipakainya pada pria itu. Kyuhyun bersedia
menemaninya mencoba gaun pengantin sore itu
karena Donghae ada rapat penting. Dan gadis itu
senang sekali karena Kyuhyun-lah yang melihatnya
dalam balutan gaun itu pertama kali.
Kyuhyun tersenyum dan mengangguk. Pita suaranya
tiba-tiba tidak berfungsi. Antara terlalu terpana
melihat gadis itu dan perasaan sakit yang menusuk-
nusuk ulu hatinya karena tahu gaun itu akan dipakai
gadis itu untuk menikah. Dengan pria lain.
“Kau suaminya?” tanya pegawai toko itu.
“Bukan. Aku pendamping pengantinnya.”
“Apa jas untuknya sudah siap? Bisakah kau
memberikan jasnya sekarang agar dia bisa
mencobanya?” potong Hye-Na.
Pegawai itu mengangguk. “Aku rasa sudah, biar
kuambilkan.”
“Apa yang sedang kau rencanakan, Na~ya?” bisik
Kyuhyun curiga.
“Tidak ada. Aku hanya ingin berfoto denganmu.”
“Berfoto? Aku kira kau benci setengah mati dengan
kamera.”
“Aku akan memberi toleransi khusus untukmu.”

***
Central Park, Manhattan
04.00 PM
Mereka berjalan bersisian dengan tangan yang saling
berpegangan di sepanjang jalan setapak di Central
Park itu. Hye-Na menghentikan langkahnya di depan
danau kecil yang terletak di taman itu dan duduk di
atas kursi kayu yang disediakan, tempat favorit
mereka. Sedangkan Kyuhyun pergi membeli kopi di
kedai Starbucks, meninggalkan gadis itu sendirian.
Hye-Na mengusap-usap tangannya dan sedikit
meniupnya. Musim gugur akan segera datang dan
cuaca mulai berubah menjadi lebih dingin daripada
biasanya.
Dua hari menjelang pernikahan dan dia nyaris mati
rasa. Kyuhyun berkata bahwa dia hanya akan
mengantarkan gadis itu ke depan altar dan langsung
pergi ke bandara, tidak menemani gadis itu sampai
akhir acara. Dan Hye-Na tidak bisa membayangkan
bagaimana caranya dia akan bertahan sampai semua
upacara sialan itu berakhir. Bisa-bisa dia memasang
tampang keruh, atau yang lebih parah, dia akan
mengucapkan kata tidak setelah pendeta
mengucapkan janji pernikahan.
“Apa yang kau lamunkan?”
Hye-Na tersentak dan mendapati Kyuhyun yang
sedang menyodorkan gelas kertas berisi kopi ke
arahnya.
“Pernikahanku.”
“Aaaaa… kaau membayangkan bagaimana rasanya
menjadi Nyonya Lee?”
Tidak. Aku malah ingin membayangkan bagaimana
rasanya menjadi Nyonya Cho. Hye-Na menggigit
lidahnya agar tidak kelepasan mengatakan hal itu.
“Lee Hye-Na. Cho Hye-Na. Bagaimana menurutmu?
Mana yang lebih bagus? Cho kedengarannya lebih
pas.”
“Na~ya….”
“Baik, aku akan menutup mulutku.”
Hye-Na menyesap kopinya dan menelan cairan
hitam itu masuk ke kerongkongannya. Minuman
yang entah kenapa tiba-tiba terasa sangat pahit di
lidahnya.
Kyuhyun mengikuti gerakan gadis itu, meminum
kopinya sendiri. Waktunya semakin habis dan dia
tidak menemukan cara yang tepat untuk
menghentikannya.
“Kau benar,” ucap pria itu sambil menarik nafas
pelan. “Cho Hye-Na kedengarannya memang lebih
bagus.”

***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
11.00 PM
Kyuhyun merasakan kasur yang sedang ditidurinya
bergerak dan sesaat kemudian sebuah tangan
melingkar di pinggangnya.
“Malam ini aku tidur disini, ya?”
“Memangnya aku usir sekalipun kau akan pergi?”
ejek Kyuhyun tanpa membalikkan tubuhnya.
“Aish, diam. Aku mau tidur.”
Kyuhyun merasakan nafas yang berhembus teratur
dan gerakan dada gadis itu saat paru-parunya
memompa udara di punggungnya. Dia memaki-maki
dalam hati. Apa dia harus tersiksa sepanjang malam
karena gadis ini?

***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
08.00 PM
Hye-Na menghentikan langkahnya tepat di depan
rumah. Dia memandang rumah itu lekat-lekat,
mencoba mengingat setiap senti arsitekturnya.

Dia selalu mengagumi rumah ini. Merasa rumah ini


adalah rumah idamannya. Rumah dimana dia akan
menghabiskan seluruh hidupnya. Rumah yang
benar-benar membuatnya merasa seperti… pulang.
Kemudian alasannya menyukai rumah ini bertambah
satu. Bahwa rumah ini adalah milik pria itu. bahwa
ada pria itu di dalamnya. Jadi… saat pria itu tidak lagi
tinggal disini, dia tidak lagi yakin apakah dia akan
tetap menyukai rumah ini atau tidak.
Gadis itu masuk ke dalam, memerhatikan setiap
ruangan yang dilewatinya, mengingat setiap hal yang
sudah pernah mereka lakukan bersama.
Dia membuka pintu ruang perpustakaan dan melihat
deretan buku yang berserakan di lantai, dan dua
buah kursi santai favorit mereka yang saling
membelakangi. Biasanya mereka berdua akan duduk
disana sambil membaca buku dengan kepala yang
saling beradu, lalu dia akan bertanya tentang hal-hal
tidak penting yang terkadang terdengar sangat aneh.

“Apa definisi cinta menurutmu?”


“Kenapa tidak kau saja yang menjawabnya duluan?”
“Cinta? Mmm… menurutku cinta itu seperti senar
gitar. Kau membeli gitar yang kau sukai lalu kau akan
memainkannya setiap hari. Tapi suatu saat senar itu
akan putus dan kau harus membeli yang baru.
Mungkin setelah diganti senar itu akan putus lagi,
lalu kau harus membeli yang baru lagi, begitu
seterusnya sampai kau mendapatkan senar yang
tepat. Seperti cinta. Kau bertemu dengan beberapa
orang yang salah, sebelum akhirnya kau benar-benar
menemukan pasangan yang benar-benar tepat
untukmu.”
“Sekarang giliranmu, Tuan Cho.”
“Love? Love is… the knowledge that someone
somewhere has a need for you, and you, a need for
them. You know it’s love, when whoever she is, she’s
good enough.”

***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
08.00 PM

Hye-Na memakan jajangmyeon di piring Kyuhyun


dengan lesu. Dia sama sekali tidak berniat
mengambil jajangmyeon dengan piring lain dan
memilih menghabiskan jatah di piring pria itu. Dan
anehnya pria itu sama sekali tidak protes seperti
biasa dan tetap menyumpit mie kecap itu dari
piringnya. Satu piring bersama. Tapi tidak ada situasi
romantis apapun dalam hal ini. Ruang makan itu
terasa begitu sepi, dengan aura tidak nyaman yang
sangat kentara.
Hye-Na meletakkan sumpitnya ke atas meja dan
memangku wajahnya dengan siku, menatap Kyuhyun
yang masih mengunyah mienya.
“Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?” tanya
gadis itu serak. Ini malam terakhir mereka, dan pria
itu tetap saja bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Kyuhyun menggeleng dan ikut meletakkan
sumpitnya.
“Kau masih mau makan?”
Hye-Na ganti menggeleng dan bangkit dari kursi
sambil membawa semua piring kotor di atas meja ke
tempat cuci piring. Biasanya dialah yang akan
mencuci piring dan pria itu yang mengeringkannya.
Sepertinya rutinitas itu akan tetap berlaku malam ini.
Hye-Na menghidupkan keran dan membasahi
piring-piring itu sebelum membersihkannya dengan
sabun, membilasnya, kemudian memberikannya
pada Kyuhyun yang berdiri di sampingnya. Dia
melakukan semua itu dalam gerakan lamban tanpa
konsentrasi, dan lagi-lagi pria itu hanya diam, tidak
berkomentar apa-apa.
Piring terakhir, dan mereka masih saling berdiam diri.
Hye-Na membiaarkan keran tetap hidup, membasuh
tangannya disana, membiarkan tangannya berkeriut
karena terlalu lama terkena air.
“Na~ya…” panggil Kyuhyun akhirnya. Suaranya
terdengar sedikit ragu, seolah dia tidak yakin apakah
dia melakukan tindakan yang benar dengan
mengatakannya atau tidak.
“Mmm?”
“Saranghae….”
Hye-Na mencengkeram pinggiran konter itu dengan
kuat, menggigit bibirnya sendiri sampai dia bisa
mencecap rasa asin darah di mulutnya.
“Nado.”

***
“Tidurlah, besok adalah hari yang sangat penting.
Kau harus cukup istirahat,” ujar Kyuhyun. Tapi gadis
itu tetap berdiri di depan pintu kamarnya, tanpa
tanda-tanda akan beranjak.
“Na~ya….”
“Seharusnya kau mengatakannya dari awal lalu aku
akan berhenti bersikap bodoh dengan melakukan
apa yang kau inginkan.”
“Apa?” tanya Kyuhyun tidak mengerti.
“Lupakan saja. Besok aku akan menikah karena kau
bilang aku akan bahagia melakukannya. Itu kan yang
kau inginkan?”
Kyuhyun menatap gadis itu bingung. Gadis itu akan
menikah karena itu yang diinginkannya? Apa gadis
itu menikah karena dia yang memintanya? Sial, apa
yang sedang dibicarakan gadis di depannya ini
sebenarnya?
“Beritahu aku apa maksudmu,” ucap Kyuhyun penuh
penekanan.
“Tidak. Kalau aku harus menderita, kau juga harus
merasakan hal yang sama. Seharusnya memang
seperti itu kan, Kyuhyun~a?”
Kyuhyun memegangi siku gadis itu dan menariknya
mendekat.
“Sial Na~ya, apa yang sedang kau bicarakan?”
tanyanya tak sabar.
“Menurutmu?” tantang gadis itu, menatap Kyuhyun
dengan mata cokelatnya, membuat pria mengerang
putus asa, memajukan tubuhnya, dan mencium gadis
itu. Lagi. Dia menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu
tanpa memikirkan tujuannya melakukan hal tersebut.
Yang dia tahu hanyalah rasa mendesak yang
mengharuskannya untuk menyentuh gadis itu dan
otaknya sedang berada dalam keadaan disfungsional
saat ini.
Dia menarik pinggang Hye-Na, nyaris
mengangkatnya dari lantai, sehingga gadis itu harus
berjinjit untuk menyamakan tinggi mereka selagi
Kyuhyun melanjutkan eksplorasinya ke dalam mulut
gadis itu. Lidah mereka saling membelit sedangkan
ciuman itu berubah menjadi semakin lapar dan
menuntut dan mereka berdua tahu dengan jelas
bahwa jika mereka meneruskannya, hal tersebut tidak
akan berhenti disitu saja.
Kyuhyun mendadak mendorong tubuh gadis itu,
melepaskan semua keintiman mereka secepat yang
dia bisa. Dia menarik tangannya ke sisi tubuh,
berusaha untuk tidak menjangkau gadis itu lagi.
“Pergilah. Atau aku akan menarikmu ke atas
ranjangku dan menidurimu sekarang juga.”

***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
07.00 AM

Kyuhyun tidak mengerti kegilaan apa yang sedang


dilakukannya sekarang. Pria itu dengan bodohnya
setuju untuk menolong gadis itu mengeramas
rambutnya. Seperti biasa. Tapi tidak ada yang biasa
untuk hari ini. Beberapa jam lagi gadis ini akan
menikah, jadi apa yang sedang dilakukannya
sekarang? Sebuah ketololan? Menyiksa diri sendiri?
Kyuhyun membasahi rambut ikal gadis itu yang
sedang digenggamnya. Dia berhasil melakukan
pekerjaannya dengan baik, tapi dia tidak berhasil
untuk menjaga tatapannya agar tidak tertuju pada
wajah gadis itu. Wajah gadis itu basah dan dia tidak
bisa memutuskan apakah itu karena cipratan air atau
karena… gadis itu sedang menangis. Tapi kenapa dia
harus menangis? Ini hari yang sangat
membahagiakan untuknya, kan?
Kyuhyun meletakkan shower yang sedang
dipegangnya dan memajukan tubuhnya,
melingkarkan lengannya di sekeliling bahu Hye-Na
dan meletakkan dagunya di pundak gadis itu.
“Menurutmu apa yang sedang kau lakukan? Kau
seharusnya tersenyum, bodoh!” bisik Kyuhyun sambil
menyentuhkan bibirnya sekilas ke pipi gadis itu.
Hye-Na menarik sudut bibirnya dan memaksakan
diirnya untuk tersenyum. Kalau pria itu yang
memintanya, dia pasti akan melakukannya. Apapun.
***
Waiting Room
09.00 AM

Kyuhyun bersandar di dinding, membenamkan


tangannya ke dalam saku. Matanya terarah pada
Hye-Na yang duduk termenung sendirian di depan
meja rias. Mereka hanya berdua saja dalam ruangan
ini. Tanpa mengatakan sepatah kata pun sejak 30
menit yang lalu.
Gadis itu sangat cantik. Terlalu cantik. Dan gadis itu
tampak cantik bukan untuknya. Bukan untuk menjadi
pengantinnya.
Kyuhyun menghela nafas, berusaha mencari sedikit
kekuatan yang tersisa. Kekuatan yang bisa
membuatnya bertahan saat mengantarkan gadis itu
ke depan altar nanti, bukannya menarik gadis itu
kabur dari gereja dan membawanya pergi.
Pintu terbuka dan seorang gadis melongokkan
wajahnya ke dalam. Sepupu Hye-Na. Atau entahlah,
dia tidak peduli.
“10 menit lagi upacara akan dimulai. Kalian harus
segera bersiap.”
Hye-Na tidak mengangguk ataupun mengucapkan
sesuatu, membuat gadis itu menyadari kekakuan
yang terbangun di antara mereka. Gadis itu
tersenyum salah tingkah dan mengangguk, menutup
pintu lagi dengan perlahan.
Kyuhyun berjalan menghampiri Hye-Na dan
merasakan bahwa setiap langkahnya terasa
menyakitkan dan dia harus berpura-pura kuat untuk
itu semua.
“Ayo,” ucapnya dengan suara yang tidak dikenalinya.
Suara itu terdengar serak, begitu berat dan hampa.
Apa pita suaranya bekerja sesuai apa yang sedang
dirasakannya?
Gadis itu mendorong kursinya ke belakang dan
bangkit berdiri, berbalik menatap Kyuhyun dengan
mata cokelat yang kali ini entah bagaimana terlihat
meredup.
Kyuhyun merasakan tubuhnya sendiri gemetar saat
dia mengulurkan tangannya dan menarik gadis itu ke
dalam pelukannya, menahan gadis itu disana selama
beberapa saat. Pelukan itu terasa begitu benar.
Tubuh gadis itu benar-benar terasa pas dalam
dekapannya.
Mereka saling melepaskan diri dan Hye-Na
mendongak, sedetik sebelum dia menyentuh bibir
pria itu dengan bibirnya, menghabiskan seluruh
keberanian yang dimilikinya. Ciuman itu terasa
menyakitkan. Diam, tanpa kebutuhan mendesak. Tapi
entah kenapa mereka seperti sedang menyalurkan
semua keputusasaan dan penderitaan yang
diakibatkan oleh keegoisan mereka sendiri.
Hye-Na menutup matanya, mendekatkan tubuhnya
ke tubuh pria itu seakan kedekatan mereka saat ini
sama sekali tidak cukup. Dan gadis itu menahan
teriakan depresinya di tenggorokan saat merasakan
sesuatu jatuh membasahi hidungnya, mengalir ke
bibirnya yang sedikit terbuka saat pria itu
memperdalam ciumannya.
Neraka macam apa yang sedang diciptakannya
sampai membuat pria sekuat itu menangis?

Where would I go to find someone as right for me as


you? Like this, I can have the perfect embrace. That
you are the one who can complete me. So can you
tell me where should I go to find a hug as perfect as
this? Where should I go to find someone as suitable
as you, who are able to make up for all my flaws?

***
I know your going and I can’t make you stay; I can
only let you know that I loved you anyway. But if the
road you take hurts you bad enough to make you
cry, you can come back home, I’ll be standing by…

Hye-Na mencoba memasang ekspresi muka datar,


berusaha keras menyembunyikan keinginannya
untuk berbalik dan berlari keluar dari gereja. Dia
berharap mereka tidak akan pernah sampai ke depan
altar. Dia bahkan tidak memedulikan senyum cerah
Donghae yang menunggunya di depan, pria yang
dulu sempat memiliki bagian terpenting dalam
hidupnya.
Yang ada di otaknya hanya pria ini, pria yang
sekarang sedang menggenggam tangannya dengan
begitu ringan, seolah tidak sabar untuk segera
melepaskannya, sedangkan gadis itu sangat ingin
berpegangan disana sekuat mungkin, sekuat yang
diizinkan energinya.
Dia tidak tahu apakah nanti dia akan terjatuh saat
pria itu menyerahkan tangannya ke Donghae atau
tidak. Dia tidak tahu apakah dia punya keberanian
untuk menahan pria itu pergi atau tidak. Dia bahkan
tidak tahu apakah dia bisa mengatakan pada
Donghae bahwa dia ingin pernikahan ini dibatalkan.
Dia… gadis pengecut yang tidak bisa melakukan apa-
apa.
Mereka berdua menghentikan langkah saat sampai
di depan altar. Kyuhyun menyerahkan tangan Hye-
Na dalam genggamannya kepada Donghae,
mengabaikan cengkeraman kuat gadis itu di telapak
tangannya, seolah gadis itu tidak rela jika ada orang
lain yang menggenggam tangannya.
Dia melepaskan tangan gadis itu dan dengan cepat
berbalik, sama sekali tidak menoleh ke belakang lagi.
Dia tidak tahu bahwa gadis itu menangis sambil
menatap punggungnya yang beranjak pergi. Dia
tidak tahu bahwa saat dia melangkahkan kaki keluar
dari gereja, gadis itu membiarkan air mata yang
sudah ditahan-tahannya dari tadi jatuh membanjiri
wajah sempurnanya yang sudah dipolesi make-up.
Dia tidak tahu apa-apa. Tidak pernah tahu apa-apa.
***
Seoul, South Korea
11.00 PM

3 years later….
When you fall in love, everything sort of passes by
and you’re still there, looking at the most beautiful
person you’ve ever seen in your life.

Kyuhyun melepaskan jas kerja yang seharian ini


dipakainya, menggulung lengan kemejanya ke atas,
dan melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya.
Dia melempar jasnya begitu saja ke atas kursi besi
panjang dan duduk di atasnya.
Namsan Tower. Selalu tampak angkuh seperti
biasanya. Dia tidak tahu apakah dia menyukai tempat
itu karena gadis itu menyukainya, atau karena dia
memang benar-benar mengaguminya. Gadis itu
selalu berkata bahwa tempat ini adalah tempat
favoritnya. Tempat pertama yang akan dikunjunginya
untuk pertama kalinya setelah dia menamatkan
kuliahnya dan pulang ke Korea. Karena itu, setiap hari
pria itu selalu datang ke tempat ini dan menunggu
dengan sia-sia. Memangnya apa lagi yang bisa
diharapkannya? Apa yang bisa diharapkannya dari
wanita yang sudah bersuami?
Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Besi
keras yang dingin menyentuh kepalanya, tapi dia
tidak memedulikannya sama sekali. Musim gugur
sudah datang, dan daun-daun kecokelatan
berserakan membanjiri tanah. Musim kesukaan gadis
itu.
Pria itu tertawa miris. Apa selamanya hidupnya akan
terus penuh dengan pikiran tentang gadis itu?
Apakah saat dia melihat sesuatu dia harus
memikirkan apakah gadis itu menyukainya atau
tidak?
Kau benar-benar harus memeriksakan diri ke
psikiater, Cho Kyuhyun.
Kyuhyun menegakkan tubuhnya lagi dan menatap
orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya.
Matanya tertumbuk pada seorang gadis yang baru
saja sampai di puncak tangga, tepat di depannya.
Gadis yang mengenakan kemeja putih panjang
kebesaran dan tank-top putih, dengan celana jins
yang membalut kakinya yang jenjang dengan pas.
Rambut ikal hitamnya tergerai tanpa penghalang,
membuat anak-anak rambutnya dengan leluasa
beterbangan ditiup angin musim gugur yang tidak
kenal belas kasihan.
Gadis itu menghentikan langkahnya. Mata cokelatnya
yang besar terbelalak, jelas-jelas tertuju ke arahnya.
Dan disanalah ia, menatap gadis yang pernah
dicintainya, sedang dicintainya, dan akan terus
dicintainya sampai kapanpun. Gadis yang selalu
berhasil membuatnya lupa cara bernafas dengan
benar hanya karena kehadirannya. Gadis yang selalu
dirindukannya sampai membuatnya nyaris gila. Gadis
yang membuatnya tidak memiliki hidup normal
karena terus berharap. Gadis yang selalu berkeliaran
di otaknya seperti bayangan yang tidak mau diusir
pergi.
“Na~ya?”

***
Mereka berdiri di pagar pembatas, menatap ke
bawah ke arah pemandangan kota Seoul di
kejauhan. Kota itu tidak banyak berubah. Seingatnya.
Dan tempat ini masih tetap sama seperti terakhir kali
dikunjunginya. Tempat kesukaannya. Dan sekarang…
tempat ini pula yang kembali menguak kenangan
masa lalunya. Kenangan yang tidak pernah berusaha
dilupakannya selama 3 tahun terakhir.
Hye-Na tertawa kecil dan menoleh ke arah Kyuhyun
yang balik menatapnya dengan heran. Dia ingin
sekali memeluk pria itu, seperti yang biasa
dilakukannya dulu. Tapi entah kenapa rasanya
sekarang semuanya terasa sangat canggung. Setelah
semua yang terjadi, dia yakin bahwa mereka tidak
akan pernah bisa seperti dulu lagi.
“Kau tahu? Ini hari pertamaku di Seoul. Kau ingat kan
dulu aku pernah bilang bahwa tempat pertama yang
akan kukunjungi adalah menara ini?” Gadis itu
menunduk dan menyandarkan dagunya ke pagar.
“Apa menurutmu hidup sedang mempermainkan kita
sehingga kau menjadi orang pertama yang kutemui
di kota ini?”
Kyuhyun mendesah, menyadari nada suara gadis itu
yang terdengar kesal.
“Kau mau jawaban jujur atau tidak?” tanyanya
menimbang-nimbang.
“Selama ini kau sudah banyak berbohong kepadaku,
kan? Jadi apa salahnya jika harus menambah satu
kebohongan lagi?”
Gadis itu tahu. Gadis itu tahu bahwa selama ini dia
berbohong. Tentang perasaannya. Tentang
semuanya.
“Aku sengaja menunggumu disini. Setiap hari.
Berpikir bahwa mungkin saja kau akan datang dan
aku beruntung bisa melihatmu.”
Hye-Na tertegun sesaat sebelum akhirnya
menggeleng.
“Apa menurutmu itu merubah sesuatu?”
“Aku tidak pernah melihatmu keluar rumah dengan
rambut tergerai. Kau banyak berubah.”
“Mau jawaban jujur, Kyu? Aku sengaja mengikat
rambutku setiap saat karena kau pernah bilang
bahwa kau lebih suka melihat rambutku tergerai.
Sejak saat itu aku selalu mengikat rambutku agar
tidak ada orang lain yang melihatku tampil cantik
selain kau. Aku melakukan banyak kesalahan bodoh
dulu, kau tahu?”
Kyuhyun nyaris berhenti menarik nafas saat
mendengar pengakuan mengejutkan gadis itu.
“Hari ini aku dengan khusus tidak mengikat rambutku
karena hari ini adalah hari pertama kepulanganku ke
Seoul, kota dimana kau juga ada di dalamnya. Siapa
tahu saja aku beruntung dan bertemu denganmu.
Ternyata aku benar-benar beruntung. Atau sedang
sial?”
Pertanyaan gadis itu bernada retoris dan Kyuhyun
sama sekali tidak berkata apa-apa untuk
menjawabnya. Dia merasa tubuhnya menjadi kaku
dan terlalu berat untuk bergerak, bahkan untuk
sekedar membuka mulut.
Kyuhyun membuang nafas melalui hidung, tidak
berani mengulurkan tangannya sedikitpun untuk
menyentuh gadis itu.
“Kau bahagia? Apa kau bahagia dengan
pernikahanmu?” tanyanya berat. Dia tahu
jawabannya hanya akan menyakiti hatinya saja, tapi
dia merasa perlu bertanya. Dia harus tahu apakah
hidup gadis itu bahagia atau tidak.
“Menurutmu?” tanya Hye-Na balik dengan mata
berkilat marah.
Kyuhyun merasakan getaran di saku celananya dan
teringat bahwa dia harus segera kembali ke kantor
untuk menghadiri meeting dengan kilen terpenting
perusahaan mereka. Sial!
“Aku harus kembali ke kantor sekarang,” ucap
Kyuhyun berat. “Senang bertemu denganmu,
Na~ya.”
Dia tolol. Dia tahu itu. Sejak dulu dia selalu menjadi
pria tolol kalau menyangkut gadis ini. Apa dia harus
pergi sekarang dan mengakhiri kebahagiaan
semunya karena bisa melihat gadis itu lagi?
Pria itu baru akan membuka pintu penghubung ke
atap saat mendengar suara gadis itu mengucapkan
sesuatu yang membuat langkahnya terhenti seketika.
Kalimat yang membuat semua harapannya kembali,
memenuhi rongga dadanya, dan nyaris membuatnya
tersedak.
“Aku tidak pernah menikah, Kyu. Tidak pernah
menjadi istri siapapun.”
***
Flashback
3 years ago…

DONGHAE’S POV

Aku mencintai seorang gadis. Gadis yang


membuatku memikirkan tentang masa depan dan
pernikahan, menghabiskan setiap hari seumur
hidupku dengan satu orang. Dengan gadis itu….
Aku berpikir klise tentang sebuah rumah, dengan
ayunan kecil di halaman belakang, langsung
terhubung dengan pantai, udara yang asin, dan
suara debur ombak yang terasa menenangkan.
Berpikir tentang masa tua dimana kami berdua akan
duduk disana sambil menggendong cucu kami yang
masih kecil, merasa bahagia dengan setiap detik
yang kami habiskan bersama.
Aku terlalu mencintainya, sampai berpikir apakah aku
masih akan punya cukup cinta untuk mencintainya
lagi keesokan harinya? Aku terlalu mencintainya
sampai bersedia melakukan apapun untuk
membuatnya bahagia. Apapun.
Dia mencintaiku. Untuk yang satu itu aku tahu
dengan pasti. Tapi aku juga tahu bahwa cinta itu
semakin lama semakin menipis dan akhirnya tidak
tersisa lagi saat dia memutuskan untuk hidup
bersama seorang pria. Seorang pria yang
membuatnya menyerahkan seluruh cinta yang
dimilikinya untuk pria itu. Aku tidak pernah
melihatnya sehidup itu, tidak pernah melihat
seseorang bisa mencintai sampai seperti itu. Aku
bahkan tidak yakin apakah cintanya kepadaku dulu
sampai seperempat dari cinta yang diberikannya
untuk pria itu.
Aku terlalu mengenalnya sampai tahu apa yang
sedang berada di pikirannya. Dia setuju menikahiku
untuk alasan yang tidak pernah masuk akal. Karena
pria itu mengira dia akan bahagia jika dia menikah
denganku, maka gadis itu menerima lamaranku
karena dia akan melakukan apapun, apa saja yang
diinginkan pria itu.
Aku mengikuti permainannya. Aku tahu bahwa kami
bertiga hanya seperti orang bodoh yang terikat
dalam satu kesalahpahaman yang begitu rumit. Pria
itu, yang hanya bahagia jika melihat gadis ini
bahagia, menyuruh gadis itu menikah denganku
karena dia berpikir bahwa gadis ini akan bahagia jika
menjadi istriku. Gadisku, yang terlalu mencintai pria
itu, bersedia melakukan apapun yang diinginkan pria
itu. Dan aku, akan melakukan apapun yang
diinginkan gadisku. Terdengar bodoh. Tapi siapa
yang tidak akan menjadi bodoh jika sedang jatuh
cinta?
Aku tahu bahwa dia sangat menderita, tapi aku juga
tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ada keegoisan,
berharap bahwa setelah mereka menikah, gadis itu
akan berusaha melupakan pria itu dan belajar
mencintaiku lagi. Aku sangat egois. Aku tahu.
Aku juga tahu bahwa aku hanya menyiksa diri sendiri
saat mengikuti mereka diam-diam ke toko gaun
pengantin. Aku melihat bagaimana gadis itu terlihat
begitu senang dan memamerkan gaun pengantinnya
pada pria itu dengan bangga. Bukan karena dia
begitu bahagia akan menikah denganku, tapi karena
dia senang bahwa pria itu adalah orang pertama
yang melihatnya dalam balutan gaun pengantin,
bahwa dia begitu ingin terlihat cantik di depan pria
itu.
Aku selalu iri melihat mereka. Cara mereka
berinteraksi, cara pria itu menatap gadisku,
keproktetifannya, dan cara gadisku bergantung
padanya. Semua orang bisa melihat bahwa ada
sesuatu yang lebih dari sekedar sahabat di antara
mereka berdua, tapi mereka berdua jugalah yang
saling tidak tahu perasaan masing-masing. Tidak
tahu bahwa mereka saling mencintai.
Aku sudah menyelidiki pria itu. Menyelidiki apakah
pria itu adalah pria yang tepat untuk gadisku. Tentu
saja aku tidak heran saat mendapati kenyataan
bahwa dia adalah pria yang sangat diidolakan di
Manhattan College, tidak peduli bahwa dia berasal
dari Asia dan menjadi kaum minoritas disana. Harus
kuakui, pria itu memang sangat tampan dan sangat
pantas berdiri di sisi gadisku yang sangat cantik. Ada
aura menyenangkan saat mereka berdiri berdekatan,
aura yang memperlihatkan bahwa mereka sangat
bahagia bisa menghabiskan waktu bersama.
Pria itu sangat dingin terhadap wanita dan suka
bersikap ketus kepada setiap wanita yang
mendekatinya. 3 tahun masa kuliahnya tidak pernah
dihabiskan untuk berkencan dengan satu orang
wanita pun. Dan anehnya, entah bagaimana dia bisa
menawarkan rumahnya pada gadisku. Entah
bagaimana dia bisa meperlakukan gadisku dengan
sangat baik, meperlihatkan semua emosi yang tidak
pernah diperlihatkannya pada orang lain. Dan entah
setan apa yang sedang merasukinya, pria itu mulai
berkencan dengan begitu banyak gadis. Nyaris tidak
terhitung berapa orang gadis yang sudah
dicampakkannya. Dan saat aku menanyai salah satu
dari gadis-gadis itu, aku mendapatkan jawabannya.
Pria itu sedang melarikan diri, melarikan diri dari
depresinya dengan membiarkan gadis yang
dicintainya menikah dengan orang lain. Tapi dia
selalu gagal. Dia tidak bisa menyentuh gadis
manapun selain gadisku. Dan saat itu aku tahu
bahwa pria ini benar-benar tepat, pria paling tepat
untuk hidup bersama gadisku.
Aku sudah berniat membatalkan pernikahan kami,
tapi aku selalu mengundurnya, terus menerus
mengundurnya sampai akhirnya hari pernikahan itu
tiba. Apa yang bisa aku lakukan? Menunggu di
depan altar sampai pria itu menyerahkan gadis itu
padaku?
Tapi memang itulah yang aku lakukan. Saat ini aku
melihat gadis itu, dalam balutan gaun pengantinnya
yang sangat indah, berjalan berdampingan dengan
pria yang sangat dicintainya. Apakah aku sudah
bilang bahwa mereka terlihat sangat cocok? Seperti
pasangan yang paling sempurna di atas dunia?
Mereka memang terlihat seperti itu.
Kyuhyun memberikan tangan gadis itu padaku, tapi
aku dengan sangat jelas melihat bagaimana gadis itu
mencengkeram tangan pria itu erat-erat, tidak mau
melepaskannya.
Jadi inikah yang kau inginkan, Lee Donghae? Melihat
gadis yang kau cintai tersiksa?
Aku merasakan jantungku seperti ditusuk-tusuk besi
tajam saat gadisku berbalik melihat pria itu yang
terus berjalan pergi, keluar dari gereja. Aku terlalu
kesakitan saat melihatnya menangis untuk pertama
kalinya. Saat melihat dia nyaris tidak bisa menarik
nafas dan tergagap-gagap mencari udara karena
tersedak tangisnya sendiri.
Aku tidak memedulikan keluargaku ataupun
keluarganya yang terlihat tidak mengerti dengan apa
yang terjadi. Aku tidak memedulikan tamu-tamu
yang mulai berbisik-bisik, mempertanyakan
hubungan pengantin wanita dengan pria yang baru
saja pergi itu. Yang aku pedulikan hanya keadaan
gadis itu. Yang bisa aku lakukan hanya memegangi
tubuh gadis itu agar tidak terjatuh karena kehilangan
keseimbangan.
Dia mencengkeram lenganku dan mendongak
menatapku, memperlihatkan wajahnya yang sudah
basah oleh air mata. Dan aku tetap menganggapnya
cantik. Selalu menganggapnya cantik.
“There’s already someone I love,” ucapnya dengan
suara serak, nyaris tidak terdengar. “He is the first in
my life and for the rest of my life. He’ll be the only
one.” Dia menatapku dengan mata yang benar-
benar memperlihatkan rasa sakit yang jelas. Seolah
hidupnya baru direnggut pergi begitu saja. “After I
tell you about this, do you still want to marry me?”
Jadi apa yang bisa aku lakukan selain melepaskannya
pergi?

Flashback end
***
A Park Near Namsan Tower
05.00 PM

AUTHOR’S POV

As we grow older together, as we continue to change


with age, there is one thing that will never change…. I
will always keep falling in love with you.

“Kenapa kau tidak berusaha mencariku? Kenapa kau


tidak berusaha menghubungiku dan memberitahuku
bahwa kau tidak jadi menikah?”
Hye-Na diam, tidak menjawab pertanyaan itu sama
sekali. Dia memutar-mutar kakinya di atas tumpukan
daun di jalan yang mereka lewati, mengacak-acak
kumpulan daun kering itu.
“Aku memikirkan banyak hal. Aku yakin kita bisa
memulai semuanya lagi, tapi… aku tidak mau ada
penghalang lagi. Kalau aku menemuimu,
mengatakan bahwa aku batal menikah, mungkin kita
harus menjalani hubungan jarak jauh. Aku harus
kuliah di Manhattan, dan kau bekerja disini. Bukannya
aku tidak mempercayaimu atau aku terlalu takut
menjalani hubungan seperti itu, tapi aku ingin, saat
aku kembali padamu, aku benar-benar kembali
dengan sepenuhnya. Aku ingin tetap seperti dulu,
tinggal bersama, melihatmu setiap hari. Lagipula aku
ingin membuatmu bangga. Bukankah kau sangat
ingin melihatku menjadi sarjana?”
Kyuhyun menyentil kepala gadis itu, tertawa kecil
mendengar alasannya yang kekanak-kanakan.
“Jadi kau sudah menjadi sarjana sekarang?” goda
Kyuhyun sambil mengalungkan lengannya di
sekeliling pundak gadis itu, menariknya mendekat.
Gadis itu tertawa dan balas melingkarkan tangannya
di pinggang Kyuhyun, sedikit menempelkan
wajahnya di dada pria itu, menghirup bau familiar
yang nyaris dilupakannya.
“Kau terlihat lumayan dengan… setelan
pengusahamu,” komentar Hye-Na sambil
menyipitkan matanya menilai pria itu.
“Kau selalu bilang kalau kau menyukai pria yang
memakai kemeja.”
“Apa menurutmu kita ini tidak aneh? Aku akan
melakukan apapun yang kau suka, dan kau juga
melakukan hal yang sama. Kita pasti adalah
pasangan teraneh sedunia.”
“Pasangan?” ejek Kyuhyun menyindir.
“YAK!!!! Aish, kau ini benar-benar! Menurutmu apa
alasanku kembali ke Korea, hah? Untuk ditolak
olehmu?” seru Hye-Na dengan suara meninggi.
“Kalau aku menolakmu, apa yang akan kau lakukan?”
“Menikahi pria pertama yang melamarku sebelum
aku menjadi perawan tua dan melewatkan umur
produktifku!” ujar Hye-Na sengit.
Kyuhyun mendelik mendengar ucapan gadis itu.
“Jangan macam-macam, Na~ya. Aku sudah menjadi
pria baik sekali, dan aku tidak akan mau
melakukannya lagi untuk yang kedua kali. Kau tidak
bisa menikah dengan pria manapun selain aku. Kalau
aku tidak bisa mendapatkanmu dengan cara baik-
baik, aku tidak peduli jika harus melakukan hal keji
untuk mewujudkannya.”
“Aku jadi penasaran,” tukas Hye-Na enteng,
walaupun jantungnya terasa berdebar-debar tidak
beraturan saat pria itu mengucapkannya.
“Kau sebaiknya tidak mencari gara-gara denganku,
kau tahu?”
“Kau menyebalkan.”
“Aku tahu.”
“Aku sangat membencimu.”
“Tidak usah berbohong.”
“Kau bodoh sekali mengira aku akan bahagia hidup
dengan pria lain.”
“Aku pasti sedang tidak waras saat itu.”
“Bisakah kau tidak terlihat sok keren dan berhenti
membuatku terpesona?”
“Tidak.”
Kyuhyun menurunkan tangannya dari bahu gadis itu
dan ganti menggenggam tangan gadis itu dengan
ringan, melihat bagaimana jari-jari mereka bertautan,
merasakan tekstur kulit gadis itu di telapak
tangannya.
“Saranghae, Na~ya.”
Hye-Na mengerutkan keningnya, sebelum akhirnya
tersenyum dan membalas genggaman tanagn pria
itu di tangannya.
“Saranghae, Kyu.”

***
There are moments in life that I will always
remember. Not because they were important, but
because you were there.
END

You might also like