Professional Documents
Culture Documents
Yuli Pritania
Yuli Pritania
***
KYUHYUN’S POV
Bagaimana caranya agar aku bisa mendeskripsikan
gadis itu? Cantik? Setiap orang mengatakan bahwa
cantik itu relatif, tapi aku yakin bahwa siapapun yang
melihatnya akan mengatakan bahwa dia cantik.
Karena dia memang terlihat seperti itu. dan tidak
pernah berhenti terlihat seperti itu.
Aku suka mata cokelatnya yang selalu terlihat
berbinar. Aku suka caranya tersenyum, sesuatu yang
membuatnya terlihat lebih memukau daripada
apapun. Aku suka rambut ikal panjangnya tergerai,
bukannya diikat ke atas seperti yang setiap kali
dilakukannya jika dia sedang belajar, atau saat dia
sedang pergi bersama… pria itu. Aku tidak tahu
alasan kenapa dia harus mengikat rambutnya saat
bersama pria itu. Karena pria itu mengatakan dia
lebih cantik dengan rambut diikat mungkin? Aku
tidak peduli.
Aku suka caranya bergantung padaku. Kami bukan
saudara, bukan sahabat, walaupun dia
menganggapnya begitu. Kami hanya dua orang yang
awalnya saling tidak mengenal, kemudian tinggal
bersama dan akhirnya menjadi dekat seperti
sepasang kembar siam yang tidak dapat dipisahkan.
Bukan. Kami bukan penganut paham seks bebas
yang tinggal bersama untuk bersenang-senang.
Lagipula aku bukan kekasihnya. Kami hanya
kebetulan bertemu di kereta api bawah tanah saat
aku baru pulang kuliah dan dia menanyakan sebuah
alamat padaku. Dia bercerita bahwa dia akan
memulai tahun pertamanya di universitas yang sama
denganku dan terpaksa menginap di asrama karena
belum menemukan apartemen yang tepat. Dan
entah setan apa yang berkeliaran di otakku saat itu,
aku menawarkan kamar kosong di rumahku padanya.
Terdengar bodoh mungkin, tapi aku merasa ada
sesuatu dengan gadis itu, sesuatu yang membuat
aku merasa bahwa aku harus menjaganya tetap
dekat dan mengenalnya lebih jauh. Sesuatu yang
membuatku tiba-tiba merasa terikat. Dan itulah
penjelasan yang aku tahu tentang cinta pada
pandangan pertama. Karena matanya? Senyumnya
mungkin? Atau karena hidup sedang
mempermainkanku sehingga aku harus bertemu
dengan seorang gadis yang pada akhirnya hanya
membuatku merasa tersiksa? Seseorang yang begitu
dekat sampai bisa dijangkau dengan tangan tapi di
saat yang bersamaan juga terasa begitu jauh seperti
asteroid-asteroid yang beterbangan di luar angkasa
dan tidak terdefinisikan?
Saat itu aku hanya berpikir mungkin aku merasa
kasihan karena dia berasal dari negara yang sama
denganku dan memang sangat sulit menemukan
orang Korea lain di kampus ini, jadi itu akan sedikit
membuatnya merasa tidak nyaman. Mungkin jika
bersamaku dia bisa merasa sedikit tertolong.
Aku tidak bisa menebak apakah dia akan setuju atau
tidak, karena di Asia, tinggal bersama seseorang
yang bukan suami atau istri kita adalah sesuatu yang
tabu. Adat Timur masih sangat melekat, tidak seperti
mahasiswa-mahasiswa lain disini yang bebas hidup
bersama kekasih mereka dan menganut paham seks
bebas. Jadi aku terkejut karena dia dengan antusias
menyetujui tawaranku dan ingin pindah secepat
mungkin. Tapi aku hanya menganggap bahwa dia
terlalu senang bertemu dengan orang yang berasal
dari tempat yang sama dengannya.
Lalu kehidupan bersamanya dimulai. Dia sangat
menyukai rumahku yang terletak di pinggiran kota
dekat pantai, cukup strategis, dengan pemandangan
yang mengagumkan. Tidak butuh waktu lama untuk
dekat dengannya. Kami selalu berdebat dalam semua
hal, berteriak satu sama lain, yang pada akhirnya
terpaksa membuatku mengalah karena melihat
bibirnya yang mengerucut kesal.
Ada banyak hal yang kami lakukan bersama. Hal-hal
yang tidak selalu dilakukan oleh seorang teman.
Hubungan kami seperti tidak punya batas jelas
antara sahabat dan kekasih, atau bahkan saudara.
Dia sering menyelinap ke kamarku setiap pagi dan
menendangku agar aku bangun dan menemaninya
melihat matahari terbit kesukaannya. Setelah itu dia
akan tidur di ranjangku dan menyuruhku membuat
sarapan yang biasanya hanya berupa roti bakar,
omelet, atau paling mewah nasi goreng, karena
kemampuanku memasak hanya sebatas itu. Sebelum
tinggal bersamanya aku selalu memilih sarapan dan
makan siang di kantin kampus dan membeli
makanan atau makan di kafe saat makan malam.
Dia juga suka duduk di depan kamar mandiku selagi
aku mandi dan dia beralasan bahwa dia suka
mendengar suaraku saat bernyanyi. Aku terkadang
memang suka menyanyi tidak jelas saat sedang
mandi. Lalu dia akan merapikan ranjangku yang
sudah dijadikan tempat tidur paginya dan
menyiapkan bajuku untuk pergi kuliah. Anehnya dia
tidak pernah mau membersihkan tempat tidurnya
sendiri karena menurutnya itu adalah sesuatu yang
sia-sia. Toh malamnya dia kaan tidur disana lagi dan
seprainya akan kusut lagi. Sebuah alasan bodoh yang
tidak aku mengerti sampai sekarang. Jadi biasanya
akulah yang akan membersihkan tempat tidurnya
selagi dia sarapan. Gadis itu tidak suka sarapan, jadi
aku harus memaksanya selama lima menit agar mau
menghabiskan makan paginya. Dia biasanya bersedia
jika aku menyogoknya dengan segelas susu stroberi
atau secangkir kopi kesukaannya.
Sepulang kuliah biasanya dia akan selalu
menungguku di halte bis dan kami akan berjalan
bersama ke stasiun untuk naik kereta api bawah
tanah. Seringnya kami memiliki jadwal kuliah yang
berbeda dan biasanya salah satu dari kami akan
menunggu di perpustakaan sampai yang lain pulang.
Aku ataupun dia tidak pernah keberatan menunggu
selama apapun asalkan kami bisa pulang bersama
pada akhirnya.
Sabtu malam adalah hari yang wajib dihabiskan
bersama. Pada hari itu kami harus mengosongkan
jadwal dan berdiam diri di perustakaan kecil-kecilan
milikku di rumah. Kami memiliki kursi favorit masing-
masing dan akan duduk bersama sambil membaca
buku terakhir yang baru kami beli ataupun
mengerjakan tugas kuliah masing-masing.
Dia sering menyelinap ke kamarku setiap malam jika
dia sulit tidur dan dia akan memeluk punggungku,
satu-satunya cara agar dia bisa tertidur dengan
cepat. Saat aku masih sibuk menyelesaikan skripsiku,
aku sering pulang larut malam, jadi saat jadwal
tidurnya tiba, dia akan meneleponku. Kami tidak
berbicara apa-apa, hanya diam tanpa suara. Dan dia
bilang dia bisa tidur dengan baik hanya dengan
mendengar tarikan nafasku saja.
Hujan adalah saat-saat favorit kami berdua. Kami
akan duduk di taman belakang dengan dua cangkir
kopi panas sambil mendengarkan musik bersama.
Gadis itu selalu bilang bahwa dia menyukai bau
hujan, bau yang tertinggal di udara setelah curahan
air itu berhenti jatuh ke bumi. Pada malam hari,
sebelum tidur, biasanya kami akan pergi ke atas atap.
Hanya duduk, tanpa percakapan apa-apa. Aaaah, aku
baru sadar, kami sebenarnya tidak pernah benar-
benar saling bicara. Seolah dengan diam saja sudah
lebih memuaskan daripada bercakap-cakap. Seolah
kehadiran satu sama lain sudah lebih dari cukup.
Dia juga suka memintaku menolongnya saat
keramas. Biasanya dia akan masuk ke dalam bathtub
yang masih kosong dan menyandarkan kepalanya ke
sandaran bathtub selagi aku mencucikan rambutnya.
Dia suka menulis dan akan terus merecokiku dengan
pertanyaan-pertanyaan aneh tentang kisah
percintaan sambil menyodorkan alat perekamnya.
Padahal aku sudah berkali-kali memberitahunya
bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Dan
tentu saja, dia tidak pernah menerima kata tidak.
Aku menghafal apapun yang disukainya. Bahwa dia
suka kopi, susu stroberi, es krim, cokelat, makanan
pedas, gerimis, bunga lili, matahari terbit, musim
gugur, jajangmyeon, novel-novel sciencefiction dan
pembunuhan, film romantis, musik klasik, sepatu kets,
dan berbagai hal aneh lainnya. Aku tidak menyukai
apa yang disukainya, tapi tiba-tiba dengan bodohnya
aku belajar untuk menyukai semua itu. Memakan
makanan pedas yang sama sekali tidak aku suka,
bangun untuk menemaninya melihat matahari terbit
padahal aku sangat benci bangun pagi, menyediakan
payung dan mantel di lokerku untuk berjaga-jaga jika
hari hujan, karena biasanya dia akan memperlambat
waktu pulang kami hanya untuk bermain gerimis dan
akan langsung memasang tampang cemberutnya jika
tiba-tiba gerimis itu digantikan hujan deras,
menyebabkan dia kebasahan.
Ada banyak hal yang kulakukan bersamanya dan
tidak pernah, tidak akan pernah kulakukan dengan
gadis lain. Malam pertama tinggal bersamanya, dia
langsung memberitahuku bahwa dia kuliah di
Manhattan karena kekasihnya harus mengurus
perusahaan orang tuanya yang berada di kota ini.
Mereka tidak ingin terpisah, jadi gadis itu mengalah
dan ikut pindah kesini. Saat itu aku benar-benar
merasa heran kenapa dia tidak tinggal serumah
dengan kekasihnya saja dan lebih memilih tinggal
dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.
Tapi dia hanya menjawab santai bahwa tinggal
bersama kekasih lebih berbahaya daripada tinggal
bersama orang asing. Dia tidak mau dicap buruk jika
hal itu terjadi.
Lalu saat itu… aku merasakan patah hati untuk
pertama kalinya dalam hidupku. Aku tidak
mengenalnya, tidak tahu apa-apa tentangnya, tapi
saat mendengar bahwa dia sudah menjadi milik
orang lain, aku merasakan sesuatu yang tidak enak
bergejolak di perutku, sesuatu yang ingin segera
kumuntahkan, tapi anehnya aku malah menahannya
dan memilih untuk tersiksa sendiri. Dan aku tidak
pernah mencoba untuk berhati-hati. Aku tidak
pernah berusaha membutakan mata dan
menghindar dari pesonanya. Aku membiarkan diriku
sendiri terjerumus dan tidak melakukan apa-apa
untuk menghentikannya. Tidak berniat melakukan
apapun untuk mengalihkan pandanganku darinya.
Aku iri pada pria itu. Pada pria yang selalu
diceritakannya dengan wajah berbinar-binar, pria
yang mendapatkan perhatian penuh darinya, satu-
satunya pria yang menurutnya bisa membuatnya
bahagia.
Maka aku bersikap sebagai pria baik-baik. Pria yang
menginginkan orang yang dicintainya mendapatkan
pasangan terbaik. Pria yang memilih mendekati
puluhan gadis lain, berkencan, dan tahu bahwa dia
hanya berusaha melarikan diri, mengganggap semua
gadis itu adalah gadis yang diinginkannya. Tapi tidak
bisa. Tangannya tidak bisa bergerak untuk
menyentuh gadis-gadis itu selagi otaknya terfokus
pada gadis lain. Jadi, demi gadis itu, dia menjadi pria
brengsek yang mendekati banyak gadis, dan saat
menyadari bahwa gadis itu tidak bisa mengalihkan
perhatiannya sama sekali, dia akan
mencampakkannya. Begitu saja.
Aku pria yang buruk. Aku tahu. Apa demi membuat
gadisku bahagia aku harus menyiksa puluhan gadis
lainnya? Aku sama sekali tidak peduli. Yang penting
hanya gadis itu. Yang penting aku harus
mengusahakan segala cara untuk sedikit menjauh
dari gadis itu, apapun, agar aku tidak nekat dan
memaksanya jadi milikku.
Hanya sebentar lagi. Seminggu lagi. Aku yakin aku
bisa menahannya sedikit lebih lama lagi. Hanya
sampai pria itu menikahinya dan aku bisa kembali ke
Korea, memulai hidup baru tanpa gadis itu.
Tidak. Aku tidak akan mengatakan hal bodoh tentang
melupakannya. Karena aku tidak bisa. Karena aku
yakin bahwa sampai mati aku hanya akan
mencintainya saja.
When a man steals your woman, there is no better
revenge than to let him keep her.
***
HYE-NA’S POV
At Café, Manhattan
10.00 PM
Kyuhyun menatap gadis di depannya dengan
pandangan menilai. Gadis itu lumayan, dengan
rambut cokelat ikalnya yang diikat rapi. Kyuhyun
tidak pernah menggunakan kata cantik untuk wanita
manapun selain gadisnya, tidak peduli secantik
apapun wanita itu.
Pria itu mengalihkan pandangannya dan menatap
sekelilingnya dengan bosan. Satu gadis lagi yang
akan dipermainkannya. Gadis terakhir.
“Tumben kau tidak menghabiskan waktu dengan
Dee,” ujar gadis itu membuka percakapan. Dee
adalah panggilan Hye-Na di kampus, karena nama
baratnya adalah Ladyra Han. Dan gadis itu paling
benci dipanggil Lady.
“Dia sedang bersama tunangannya,” ucap Kyuhyun
singkat. Dia tahu bahwa gadis itu sudah lama
mengejarnya, jadi kenapa dia tidak memberi
kesempatan bagi gadis itu?
Kyuhyun mengusap tengkuknya pelan. Dia memang
benar-benar pria bajingan tak berperasaan.
“Kalian tidak pacaran? Aku kira kalian saling
menyukai.”
“Dia sudah berpacaran jauh sebelum kami bertemu,
jadi aku beritahu kau, semua gosip yang kalian
sebarkan tentangnya itu salah. Kami hanya tinggal
serumah, tidak lebih. Aku tidak pernah menidurinya.”
“Tapi kau ingin sekali melakukannya, kan?”
Kyuhyun menccondongkan tubuhnya ke depan dan
mengangkat bahunya santai.
“Kau sedang memainkan peran apa, Miss Benchett?
Sahabat yang mau mendengarkan keluh kesahku?”
“Tidak. Aku hanya….” Muka gadis itu memerah
sesaat, membuat bintik-bintik di wajahnya terlihat
jelas. “Aku hanya iri melihat cara kalian berdua
berinteraksi.”
Kyuhyun mengabaikan gadis itu, mengeluarkan
telepon genggamnya dan menghubungi nomor Hye-
Na. Dia harus memberitahu gadis itu bahwa dia akan
pulang larut malam ini.
“Kenapa kau yang mengangkat teleponnya? Dia
bersamamu?” tanya Kyuhyun sambil menggertakkan
giginya. Dia tidak bisa menahan nada posesif yang
terdengar jelas dari suaranya yang sedikit bergetar.
“Iya. Dia di apartemenku. Mungkin dia akan
menginap disini malam ini. Sepertinya dia sangat
kelelahan. Lagipula di luar hujan deras,” ujar
Donghae dari seberang.
“Aku akan menjemputnya,” tandas Kyuhyun dan
laangsung menutup teleponnya tanpa menunggu
persetujuan dari Donghae sama sekali.
Pria itu meraih jaketnya dan meninggalkan beberapa
lembar uang sepuluh dolar di atas meja.
“Aku pergi dulu. Maaf jika mengecewakanmu,” ucap
Kyuhyun tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Gadis itu menahan tangan Kyuhyun, mencegah pria
itu pergi.
“Bisakah kau duduk sebentar? Sebentar saja?”
Kyuhyun menimbang sebentar sebelum akhirnya
duduk lagi di atas kursi dengan raut wajah tak sabar.
“Actually… I now realize how special she is for you.
I’ve already told you that I always look at you two,
see how you act when you are with her. You’re
always well-mannered and polite in front of me. You
never raise your voice. But in front of her, you’re
human. One with flesh and blood, one with emotion
to feel love, anger, sadness and happiness. I really
like you. I’ve never liked someone this much.” Gadis
itu mengangkat wajahnya dan menatap Kyuhyun
sayu. “Can you tell me how to replace her in your
heart?”
Kyuhyun tertegun sesaat sebelum akhirnya menarik
nafas dengan tidak nyaman.
“You know the answer,” jawab pria itu berat.
“Everyone knows the answer,” ralat gadis itu. “You
really can’t take off your eyes from her. That’s really
obvious. Everybody can see it, but why you two
never realize?”
***
Mianhae
Malam, Kyu.
***
Wedding Gown Shop, Manhattan
02.00 PM
“Eotte?” tanya Hye-Na sambil memutar tubuhnya di
depan Kyuhyun, memamerkan gaun yang sedang
dipakainya pada pria itu. Kyuhyun bersedia
menemaninya mencoba gaun pengantin sore itu
karena Donghae ada rapat penting. Dan gadis itu
senang sekali karena Kyuhyun-lah yang melihatnya
dalam balutan gaun itu pertama kali.
Kyuhyun tersenyum dan mengangguk. Pita suaranya
tiba-tiba tidak berfungsi. Antara terlalu terpana
melihat gadis itu dan perasaan sakit yang menusuk-
nusuk ulu hatinya karena tahu gaun itu akan dipakai
gadis itu untuk menikah. Dengan pria lain.
“Kau suaminya?” tanya pegawai toko itu.
“Bukan. Aku pendamping pengantinnya.”
“Apa jas untuknya sudah siap? Bisakah kau
memberikan jasnya sekarang agar dia bisa
mencobanya?” potong Hye-Na.
Pegawai itu mengangguk. “Aku rasa sudah, biar
kuambilkan.”
“Apa yang sedang kau rencanakan, Na~ya?” bisik
Kyuhyun curiga.
“Tidak ada. Aku hanya ingin berfoto denganmu.”
“Berfoto? Aku kira kau benci setengah mati dengan
kamera.”
“Aku akan memberi toleransi khusus untukmu.”
***
Central Park, Manhattan
04.00 PM
Mereka berjalan bersisian dengan tangan yang saling
berpegangan di sepanjang jalan setapak di Central
Park itu. Hye-Na menghentikan langkahnya di depan
danau kecil yang terletak di taman itu dan duduk di
atas kursi kayu yang disediakan, tempat favorit
mereka. Sedangkan Kyuhyun pergi membeli kopi di
kedai Starbucks, meninggalkan gadis itu sendirian.
Hye-Na mengusap-usap tangannya dan sedikit
meniupnya. Musim gugur akan segera datang dan
cuaca mulai berubah menjadi lebih dingin daripada
biasanya.
Dua hari menjelang pernikahan dan dia nyaris mati
rasa. Kyuhyun berkata bahwa dia hanya akan
mengantarkan gadis itu ke depan altar dan langsung
pergi ke bandara, tidak menemani gadis itu sampai
akhir acara. Dan Hye-Na tidak bisa membayangkan
bagaimana caranya dia akan bertahan sampai semua
upacara sialan itu berakhir. Bisa-bisa dia memasang
tampang keruh, atau yang lebih parah, dia akan
mengucapkan kata tidak setelah pendeta
mengucapkan janji pernikahan.
“Apa yang kau lamunkan?”
Hye-Na tersentak dan mendapati Kyuhyun yang
sedang menyodorkan gelas kertas berisi kopi ke
arahnya.
“Pernikahanku.”
“Aaaaa… kaau membayangkan bagaimana rasanya
menjadi Nyonya Lee?”
Tidak. Aku malah ingin membayangkan bagaimana
rasanya menjadi Nyonya Cho. Hye-Na menggigit
lidahnya agar tidak kelepasan mengatakan hal itu.
“Lee Hye-Na. Cho Hye-Na. Bagaimana menurutmu?
Mana yang lebih bagus? Cho kedengarannya lebih
pas.”
“Na~ya….”
“Baik, aku akan menutup mulutku.”
Hye-Na menyesap kopinya dan menelan cairan
hitam itu masuk ke kerongkongannya. Minuman
yang entah kenapa tiba-tiba terasa sangat pahit di
lidahnya.
Kyuhyun mengikuti gerakan gadis itu, meminum
kopinya sendiri. Waktunya semakin habis dan dia
tidak menemukan cara yang tepat untuk
menghentikannya.
“Kau benar,” ucap pria itu sambil menarik nafas
pelan. “Cho Hye-Na kedengarannya memang lebih
bagus.”
***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
11.00 PM
Kyuhyun merasakan kasur yang sedang ditidurinya
bergerak dan sesaat kemudian sebuah tangan
melingkar di pinggangnya.
“Malam ini aku tidur disini, ya?”
“Memangnya aku usir sekalipun kau akan pergi?”
ejek Kyuhyun tanpa membalikkan tubuhnya.
“Aish, diam. Aku mau tidur.”
Kyuhyun merasakan nafas yang berhembus teratur
dan gerakan dada gadis itu saat paru-parunya
memompa udara di punggungnya. Dia memaki-maki
dalam hati. Apa dia harus tersiksa sepanjang malam
karena gadis ini?
***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
08.00 PM
Hye-Na menghentikan langkahnya tepat di depan
rumah. Dia memandang rumah itu lekat-lekat,
mencoba mengingat setiap senti arsitekturnya.
***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
08.00 PM
***
“Tidurlah, besok adalah hari yang sangat penting.
Kau harus cukup istirahat,” ujar Kyuhyun. Tapi gadis
itu tetap berdiri di depan pintu kamarnya, tanpa
tanda-tanda akan beranjak.
“Na~ya….”
“Seharusnya kau mengatakannya dari awal lalu aku
akan berhenti bersikap bodoh dengan melakukan
apa yang kau inginkan.”
“Apa?” tanya Kyuhyun tidak mengerti.
“Lupakan saja. Besok aku akan menikah karena kau
bilang aku akan bahagia melakukannya. Itu kan yang
kau inginkan?”
Kyuhyun menatap gadis itu bingung. Gadis itu akan
menikah karena itu yang diinginkannya? Apa gadis
itu menikah karena dia yang memintanya? Sial, apa
yang sedang dibicarakan gadis di depannya ini
sebenarnya?
“Beritahu aku apa maksudmu,” ucap Kyuhyun penuh
penekanan.
“Tidak. Kalau aku harus menderita, kau juga harus
merasakan hal yang sama. Seharusnya memang
seperti itu kan, Kyuhyun~a?”
Kyuhyun memegangi siku gadis itu dan menariknya
mendekat.
“Sial Na~ya, apa yang sedang kau bicarakan?”
tanyanya tak sabar.
“Menurutmu?” tantang gadis itu, menatap Kyuhyun
dengan mata cokelatnya, membuat pria mengerang
putus asa, memajukan tubuhnya, dan mencium gadis
itu. Lagi. Dia menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu
tanpa memikirkan tujuannya melakukan hal tersebut.
Yang dia tahu hanyalah rasa mendesak yang
mengharuskannya untuk menyentuh gadis itu dan
otaknya sedang berada dalam keadaan disfungsional
saat ini.
Dia menarik pinggang Hye-Na, nyaris
mengangkatnya dari lantai, sehingga gadis itu harus
berjinjit untuk menyamakan tinggi mereka selagi
Kyuhyun melanjutkan eksplorasinya ke dalam mulut
gadis itu. Lidah mereka saling membelit sedangkan
ciuman itu berubah menjadi semakin lapar dan
menuntut dan mereka berdua tahu dengan jelas
bahwa jika mereka meneruskannya, hal tersebut tidak
akan berhenti disitu saja.
Kyuhyun mendadak mendorong tubuh gadis itu,
melepaskan semua keintiman mereka secepat yang
dia bisa. Dia menarik tangannya ke sisi tubuh,
berusaha untuk tidak menjangkau gadis itu lagi.
“Pergilah. Atau aku akan menarikmu ke atas
ranjangku dan menidurimu sekarang juga.”
***
Kyuhyun’s Home, Manhattan
07.00 AM
***
I know your going and I can’t make you stay; I can
only let you know that I loved you anyway. But if the
road you take hurts you bad enough to make you
cry, you can come back home, I’ll be standing by…
3 years later….
When you fall in love, everything sort of passes by
and you’re still there, looking at the most beautiful
person you’ve ever seen in your life.
***
Mereka berdiri di pagar pembatas, menatap ke
bawah ke arah pemandangan kota Seoul di
kejauhan. Kota itu tidak banyak berubah. Seingatnya.
Dan tempat ini masih tetap sama seperti terakhir kali
dikunjunginya. Tempat kesukaannya. Dan sekarang…
tempat ini pula yang kembali menguak kenangan
masa lalunya. Kenangan yang tidak pernah berusaha
dilupakannya selama 3 tahun terakhir.
Hye-Na tertawa kecil dan menoleh ke arah Kyuhyun
yang balik menatapnya dengan heran. Dia ingin
sekali memeluk pria itu, seperti yang biasa
dilakukannya dulu. Tapi entah kenapa rasanya
sekarang semuanya terasa sangat canggung. Setelah
semua yang terjadi, dia yakin bahwa mereka tidak
akan pernah bisa seperti dulu lagi.
“Kau tahu? Ini hari pertamaku di Seoul. Kau ingat kan
dulu aku pernah bilang bahwa tempat pertama yang
akan kukunjungi adalah menara ini?” Gadis itu
menunduk dan menyandarkan dagunya ke pagar.
“Apa menurutmu hidup sedang mempermainkan kita
sehingga kau menjadi orang pertama yang kutemui
di kota ini?”
Kyuhyun mendesah, menyadari nada suara gadis itu
yang terdengar kesal.
“Kau mau jawaban jujur atau tidak?” tanyanya
menimbang-nimbang.
“Selama ini kau sudah banyak berbohong kepadaku,
kan? Jadi apa salahnya jika harus menambah satu
kebohongan lagi?”
Gadis itu tahu. Gadis itu tahu bahwa selama ini dia
berbohong. Tentang perasaannya. Tentang
semuanya.
“Aku sengaja menunggumu disini. Setiap hari.
Berpikir bahwa mungkin saja kau akan datang dan
aku beruntung bisa melihatmu.”
Hye-Na tertegun sesaat sebelum akhirnya
menggeleng.
“Apa menurutmu itu merubah sesuatu?”
“Aku tidak pernah melihatmu keluar rumah dengan
rambut tergerai. Kau banyak berubah.”
“Mau jawaban jujur, Kyu? Aku sengaja mengikat
rambutku setiap saat karena kau pernah bilang
bahwa kau lebih suka melihat rambutku tergerai.
Sejak saat itu aku selalu mengikat rambutku agar
tidak ada orang lain yang melihatku tampil cantik
selain kau. Aku melakukan banyak kesalahan bodoh
dulu, kau tahu?”
Kyuhyun nyaris berhenti menarik nafas saat
mendengar pengakuan mengejutkan gadis itu.
“Hari ini aku dengan khusus tidak mengikat rambutku
karena hari ini adalah hari pertama kepulanganku ke
Seoul, kota dimana kau juga ada di dalamnya. Siapa
tahu saja aku beruntung dan bertemu denganmu.
Ternyata aku benar-benar beruntung. Atau sedang
sial?”
Pertanyaan gadis itu bernada retoris dan Kyuhyun
sama sekali tidak berkata apa-apa untuk
menjawabnya. Dia merasa tubuhnya menjadi kaku
dan terlalu berat untuk bergerak, bahkan untuk
sekedar membuka mulut.
Kyuhyun membuang nafas melalui hidung, tidak
berani mengulurkan tangannya sedikitpun untuk
menyentuh gadis itu.
“Kau bahagia? Apa kau bahagia dengan
pernikahanmu?” tanyanya berat. Dia tahu
jawabannya hanya akan menyakiti hatinya saja, tapi
dia merasa perlu bertanya. Dia harus tahu apakah
hidup gadis itu bahagia atau tidak.
“Menurutmu?” tanya Hye-Na balik dengan mata
berkilat marah.
Kyuhyun merasakan getaran di saku celananya dan
teringat bahwa dia harus segera kembali ke kantor
untuk menghadiri meeting dengan kilen terpenting
perusahaan mereka. Sial!
“Aku harus kembali ke kantor sekarang,” ucap
Kyuhyun berat. “Senang bertemu denganmu,
Na~ya.”
Dia tolol. Dia tahu itu. Sejak dulu dia selalu menjadi
pria tolol kalau menyangkut gadis ini. Apa dia harus
pergi sekarang dan mengakhiri kebahagiaan
semunya karena bisa melihat gadis itu lagi?
Pria itu baru akan membuka pintu penghubung ke
atap saat mendengar suara gadis itu mengucapkan
sesuatu yang membuat langkahnya terhenti seketika.
Kalimat yang membuat semua harapannya kembali,
memenuhi rongga dadanya, dan nyaris membuatnya
tersedak.
“Aku tidak pernah menikah, Kyu. Tidak pernah
menjadi istri siapapun.”
***
Flashback
3 years ago…
DONGHAE’S POV
Flashback end
***
A Park Near Namsan Tower
05.00 PM
AUTHOR’S POV
***
There are moments in life that I will always
remember. Not because they were important, but
because you were there.
END