You are on page 1of 12

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Plasenta Previa pada Primigravida

dan Outcome Kehamilannya

Tujuan. Untuk mengevaluasi faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta


previa pada primigravida dan juga membandingkan luaran kehamilan antara
primigravida dan nonprimigravida. Metode. Studi kohort retrospektif ini
dilakukan pada wanita yang menjalani seksio sesarea untuk plasenta previa mayor
di rumah sakit universitas tersier dari Januari 2007 hingga Desember 2013.
Dilakukan peninjauan rekam medis. Hasil. Dari 243 dengan plasenta previa
mayor, 56 (23.0%) merupakan primigravida dan 187 (77.0%) lainnya
nonprimigravida. Faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa pada
primigravida adalah riwayat teknologi berbantu reproduksi (P = 0.02) dan riwayat
endometriosis (P = 0.01). Untuk luaran maternal, nonprimigravida membutuhkan
persalinan lebih dini daripada primigravida (35.76 + 2.54 minggu versus 36.52 +
1.95 minggu, P = 0.03) dan mengalami kehilangan darah lebih banyak (P = 0.04).
Mayoritas primigravida mengalami plasenta previa tipe II atau tipe III. Untuk
luaran neonatus, skor Apgar pada 1 menit pertama secara signifikan lebih rendah
pada nonprimigravida (7.89 + 1.72 versus 8.39 + 1.28839 + 1.28, P = 0.02).
Kesimpulan. Studi ini menemukan bahwa riwayat endometriosis dan teknologi
reproduksi berbantu sangat tinggi berhubungan dengan plasenta previa pada
primigravida. Memahami luaran kehamilan pada wanita dengan plasenta previa
dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi pasien yang memiliki resiko lebih
tinggi untuk mortalitas dan morbiditas. Mengidentifikasi faktor resiko potensial
pada primigravida dapat membantu dalam konseling dan manajemen pasien ini.

1. Pendahuluan
Insiden plasenta previa dilaporkan sebesar 0.5-1.0% dari jumlah total kehamilan
[1]. Namun, kondisi ini sering membutuhkan monitoring intensif selama
perawatan. Di rumah sakit universitas tersier di Kuala Lumpur, Malaysia, 4% dari
total jumlah seksio sesarea dilakukan karena plasenta previa.
Plasenta previa telah lama dicatat berhubungan dengan luaran maternal dan
neonatal yang buruk [2]. Studi telah melaporkan 5% dari histerektomi obstetrik
dilakukan karena plasenta previa [3, 4]. Indikasi untuk histerektomi peripartum
emergency pada beberapa tahun terakhir berubah dari atonia uteri tradisional
menjadi plasentasi abnormal sehingga kini menjadi indikasi yang lebih umum
karena besarnya jumlah wanita hamil dengan bekas luka sesar. Plasenta previa
masih menjadi faktor resiko untuk berbagai komplikasi maternal. Didapatkan
insiden perdarahan postpartum (PPH) dan transfusi darah lebih tinggi pada wanita
dengan plasenta previa dibandingkan dengan populasi umum [5-7]. Wanita
dengan plasenta previa cenderung melahirkan sebelum usia kehamilan 37 minggu
dengan skor Apgar kurang dari 7 [8]. Studi juga menunjukkan angka rawatan unit
intensif neonatus, lahir mati, dan kematian ditemukan lebih tinggi [8, 9].
Patofisiologi pasti dari plasenta previa tidak diketahui; namun telah
diperkirakan bahwa parut pada uterus dapat bertanggung jawab untuk implantasi
abnormal ini. Usia ibu lebih tua, paritas lebih tinggi, persalinan sesar, riwayat
kuretase, riwayat plasenta previa, dan uterus abnormal telah ditemukan
berhubungan dengan peningkatan resiko plasenta previa [2, 10]. Baru-baru ini,
Healy dan rekannya melaporkan insiden plasenta previa lebih tinggi pada pasien
endometriosis yang menggunakan teknologi reproduksi berbantu dibandingkan
dengan pasien tanpa endometriosis [11]. Hingga kini, kejadian plasenta previa
pada primigravida tanpa resiko signifikna belum begitu dipahami. Masih tidak
diketahui apakah endometriosis yang tidak terdiagnosis pada pasien ini mungkin
bertanggung jawab untuk kejadian plasenta previa.
Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi luaran kehamilan pada
primigravida dengan plasenta previa mayor dibandingkan dengan
nonprimigravida. Studi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang berhubungan dengan plasenta previa pada primigravida.

2. Material dan Metode


Studi kohort retrospektif ini dilakukan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang
berhubungan dan luaran kehamilan pada primigravida dengan plasenta previa
mayor. Kriteria inklusi yang digunakan yaitu wanita yang menjalani seksio
sesarea karena plasenta previa mayor di Departemen Obstetri dan Ginekologi,
Pusat Kesehatan UKM, dari Januari 2007 hingga Desember 2013. Kriteria
eksklusi yang digunakan yaitu wanita dengan catatan medis tidak lengkap atau
hilang. Seluruh prosedur operatif yang dilakukan di rumah sakit kami dicaat
dalam buku operasi. Buku ini berada di daerah depan ruang operasi. Nomor
registrasi rumah sakit dari wanita yang menjalani seksio sesarea karena plasenta
previa mayor didapatkan dari buku kamar operasi. Degan menggunakan nomor
registrasi rumah sakit, catatan rekam medis didapatkan dari kantor rekam medis.
Rekam medis ditinjau dari segi data demografis, temuan intraoperatif, dan
manajemen postoperatif dan dimasukkan ke dalam isian data.
Studi ini disetujui oleh badan peninjau etik di pusat kesehatan UKM,
Malaysia, dan didanai oleh Young Researcher’s Grant, Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Seluruh data dianalisis dengan SPSS versi 21. Data ditampilkan dalam rata-
rata—mean untuk variabel kontinu dan dalam persentase untuk variabel kategorik.
Variabel kontinu dianalisis dan dibandingkan menggunakan Student’s t-test.
Variabel kategorik dianalisis dan dibandingkan menggunakan Pearson Chi Square
dan Yates Continuity Corrections dan nilai P <0.05 dianggap menunjukkan
signifikan secara statistik.

3. Hasil
Sejumlah total 270 wanita dengan plasenta previa mayor diidentifikasi dari buku
kamar operasi; namun hanya 243 rekam medis yang lengkap untuk dilakukan
peninjauan. Dari total 243 wanita yang didiagnosis dengan plasenta previa mayor,
56 (23.0%) merupakan primigravida dan 187 lainnya (77.0%) merupakan
nonprimigravida.
Data sosiodemografis dari primigravida dan nonprimigravida dengan
plasena previa mayor ditampilkan dalam Tabel 1. Primigravida ditemukan lebih
muda dan lebih kurus daripada nonprimigravida. Populasi etnis di Malaysia terdiri
dari Melayu (60%), Cina (20%), India (10%), dan lainnya (10%). Mayoritas
populasi sampel adalah Melayu (70%), diikuti dengan Cina (24%), lainnya (4%),
dan India (1%). Ini hampir sama dengan populasi umum Malaysia. Tidak ada
perbedaan etnis, pekerjaan, dan kebiasaan merokok antara kedua kelompok.
Tabel 2 menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta
previa pada primigravida dan nonprimigravida. Primigravida secara signifikan
menjalani teknologi reproduksi berbantu (8.9% versus 2.1%) dan riwayat
endometriosis (21.4% versus 6.9%). Satu pertiga dari primigravida (32.1%)
memiliki riwayat subfertil dibandingkan dengan hanya 23.5% nonprimigravida;
namun angka ini tidak signifikan secara statistik. Tiga puluh tiga persen dari
nonprimigravida memiliki riwayat bekas luka sesar sebelumnya dan 28% pernah
menjalani kuretase.
Tabel 3 menunjukkan perbandingan data obstetrik antara primigravida dan
nonprimigravida. Primigravida masuk rumah sakit lebih dini daripada
nonprimigravida (31.68 + 4.49 minggu versus 32.93 + 3.55 minggu). Tidak ada
perbedaan signifikan insiden perdarahan antepartum (APH) dan pemberian
deksametason pada kedua kelompok. Menariknya, tidak satupun primigravida
mengalami lokasi plasenta di anterior. Mayoritas primigravida memiliki lokasi
plasenta posterior tipe II atau III. Hemoglobin preoperatif menunjukkan angka
yang hampir sama pada kedua kelompok. Hanya 5.8% [11] dari nonprimigravida
menjalani MRI untuk suspek plasenta akreta. Dari 11, tujuh wanita menunjukkan
hasil MRI sugestif plasenta akreta.
Tabel 4 menunjukkan perbandingan luaran obstetrik antara primigravida dan
nonprimigravida. Dua kasus persalinan sesar klasik dilakukan pada
nonprimigravida. Perkiraan kehilangan darah secara signifikan lebih tinggi pada
nonprimigravida dibandingkan dengan primigravida. Sembilan wanita (4.8%)
membutuhkan prosedur tambahan yang dilakukan intraoperatif untuk
menghentikan perdarahan yang mana mencakup enam histerektomi. Namun,
hemoglobin postoperatif ditemukan sama pada kedua kelompok. Tidak ada
kematian ibu pada populasi sampel kami.
Tabel 5 menunjukkan perbandingan luaran neonatus antara primigravida dan
nonprimigravida. Ditemukan lebih banyak bayi perempuan lahir pada kelompok
primigravida. Skor Apgar pada 1 menit pertama secara signifikan lebih rendah
pada nonprimigravida daripada primigravida (7.89 + 1.72 versus 8.39 + 1.28).
Tidak ada perbedaan signifikan diamati terkait berat badan lahir, skor Apgar pada
menit ke-5, pH tali pusat, rawatan NICU, dan anomali janin antara kedua
kelompok.

4. Diskusi
Plasenta previa telah dilaporkan berhubungan dengan morbiditas serius dan
mortalitas maternal dan juga luaran neonatus yang buruk [2, 7]. Etiologi pasti dari
plasenta previa masih tidak diketahui. Namun, skar luka pada uterus telah
diperkirakan menjadi penyebab yang mendasari plasenta previa [9]. Hingga kini,
data masih terbatas terkait primigravida dengan plasenta previa. Ini merupakan
studi pertama yang mengevaluasi faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian plasenta previa pada primigravida dan luaran kehamilan.
Menariknya studi ini menemukan insiden teknologi reproduksi berbantu dan
endometriosis yang lebih tinggi pada primigravida dengan plasenta previa. Dari
56 primigravida, 8.9% di antaranya melakukan konsepsi dengan sitrat klomifen,
inseminasi intrauterin (IUI), fertilisasi in vitro (IVF), dan injeksi sperma
intrasitoplasma (ICSI). Beberapa peneliti telah melaporkan prevalensi plasenta
previa yang lebih tinggi pada wanita yang melakukan konsepsi dengan teknologi
reproduksi berbantu (ART) [12, 13]. Romundstad dan rekannya melaporkan
resiko plasenta previa meningkat enam kali lipat pada mereka yang menjalani
terapi ART dibandingkan dengan mereka yang melakukan konsepsi secara
spontan [13].
Patofisiologi pasti dari plasenta previa pada pasien ART ini masih belum
jelas. Transfer embio melalui transservikal telah diperkirakan menjadi penjelasan
untuk tingginya kejadian plasenta previa pada IVF/ICSI. Sebuah studi oleh Baba
dan rekannya melaporkan 80% dari embrio berimplantasi pada daerah transfer ini
[14]. Ada kecenderungan untuk menempatkan embrio pada bagian bawah rongga
rahim karena beberapa studi telah melaporkan luaran yang lebih baik dengan
deposisi embrio pada daerah bawah rahim [15].

Namun, studi terkini menunjukkan angka plasenta previa yang serupa pada
IVF/ICSI dan transfer intrafallopian gamet (GIFT) [11]. Temuan ini menunjukkan
bahwa transfer embrio transservikal kurang cenderung mengakibatkan plasenta
previa pada pasien ART.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa penempatan mekanis embrio
mengakibatkan lepasnya prostaglandin, yang dapat berujung pada kontraktilitas
uterus [16, 17]. Ini bisa menjadi penjelasan yang mungkin untuk kejadian
implantasi pada segmen bawah rahim yang mengakibatkan terjadinya plasenta
previa.
Satu perlima dari primigravida kami (21.4%) didiagnosis dengan
endometriosis sebelum kehamilan dibandingkan dengan hanya 6.9% pada
nonprimigravida. Healy dan rekannya melaporkan insiden plasenta previa lebih
tinggi pada pasien endometriosis yang menjalani konsepsi dengan ART
dibandingkan dengan yang tidak mengalami endometriosis [11]. Studi telah
menunjukkan wanita wanita yang didiagnosis dengan endometriosis memiliki
prevalensi perdarahan antepartum yang lebih tinggi [18, 19]. Endometriosis telah
terbukti diamati dapat mengubah karakteristik endometrium. Kondisi ini
mempengaruhi ekspresi berbagai faktor dan penanda reseptivitas selama jendela
implantasi [20]. Seiring ovulasi, progesteron memiliki peran penting dalam
memediasi perubahan pada endometrium selama fase sekretori. Telah banyak
bukti menunjukkan bahwa endometriosis akan berujung pada resistensi
progesteron sehingga mempengaruhi proses implantasi plasenta [21].
Pada studi ini, perkiraan kehilangan darah pada nonprimigravida secara
signifikan lebih tinggi daripada primigravida. Lebih sedikitnya kehilangan darah
pada primigravida mungkin karena lokasi plasenta yang terletak di posterior dan
juga rendahnya prevalensi plasenta akreta. Selain itu, studi telah menunjukkan
bahwa kemampuan kontraksi uterus selama postpartum lebih baik pada
primigravida daripada nonprimigravida. Kontraksi uterus memiliki peran yang
sangat penting sebagai mekanisme protektif saat menghadapi kehilangan darah
intraoperatif [22].
Tiga puluh tiga persen dari nonprimigravida memiliki riwayat seksio sesarea
dan 28% memiliki riwayat dilatasi dan kuretase. Seksio sesarea dan dilatasi dan
kuretase diperkirakan menjadi faktor resiko PPH [23]. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, tidak satupun dari primigravida memiliki lokasi plasenta di anterior.
Studi telah melaporkan insiden plasenta akreta yang lebih tinggi pada mereka
dengan plasenta anterior jika dibandingkan dengna lokasi posterior [24-26].
Kehilangan darah juga telah dilaporkan lebih banyak pada plasenta yang berlokasi
di anterior karena plasenta melekat pada daerah atau di sekitar daerah insisi [27].
Resiko terjadinya plasenta akreta lebih tinggi pada wanita dengan plasenta
previa yang sebelumnya menjalani persalinan sesar. Ini dapat dijelaskan dengan
implantasi plasenta pada bekas luka, mendukung teori bahwa perlekatan atau
invasi trofoblas dipengaruhi dengan disrupsi myometrial sebelumnya [28]. Pada
studi kami, 11 (5.9%) wanita dicurigai plasenta akreta, kemudian dilakukan
pemeriksaan MRI. Dari 11, tujuh wanita menunjukkan hasil sugestif plasenta
akreta. Di antara tujuh wanita dengan hasil positif ini, tiga wanita dikonfirmasi
memiliki plasenta akreta secara intraoperatif dimana dilakukan histerektomi. Satu
wanita dari mereka dilakukan embolisasi segera setelah lahirnya bayi sebelum
histerektomi. Satu wanita memiliki hasil MRI negatif namun sayangnya saat
berlangsungnya operasi ditemukan plasenta akreta yang membutuhkan
histerektomi. Satu wanita lain yang tidak berencana melahirkan di rumah sakit
kami datang dengan perdarahan antepartum saat usia kehamilan 37 minggu. Tidak
ada MRI antenatal yang dilakukan. Histerektomi dilakukan untuk plasenta akreta.
Satu wanita membutuhkan histerektomi karena atonia uter. Dua wanita lain
membutuhkan insersi balon Bakri dan ligasi arteri iliaka interna karena atonia
uteri. Luaran maternal lain hampir sama pada kelompok primigravida dan
nonprimigravida.
Pada studi ini, luaran neonatus untuk kedua kelompok tidak signifikan
kecuali terkait skor Apgar. Skor Apgar 1 menit pertama yang lebih tinggi pada
primigravida mungkin karena lokasi plasenta di daerah posterior. Persalinan bayi
lebih mudah pada plasenta lokasi posterior karena kemungkinan plasenta
terpotong lebih rendah selama persalinan bayi sehingga menurunkan prevalensi
hipoksia janin dan anemia pada primigravida. Selain itu, seksio sesarea dilakukan
pada primigravida pada usia kehamilan lebih lanjut sehingga menurunkan
prevalensi bayi prematur pada kelompok ini.
Ada beberapa batasan pada studi ini. Sifat retrospektif pada studi ini tidak
dapat memasukkan beberapa parameter karena terbatasnya dokumentasi dan tidak
dapat mengeksklusi potensi bias. Studi ini dilakukan hanya pada rumah sakit
tersier sehingga populasi sampel tidak mewakili populasi umum. Hubungan antara
endometriosis dan teknologi reproduksi berbantu pada primigravida dengan
plasenta previa hanya dapat dijelaskan dengan percobaan prospektif longitudinal.
Studi ini menekankan temuan menarik untuk lokasi plasenta previa pada
primigravida. Mempertimbangkan tingginya prevalensi endometriosis pada
primigravida dengan plasenta previa, studi molekular lebih lanjut sedang
dilakukan untuk mengevaluasi hubungan antara keduanya. Pada studi ini, kami
fokus pada investigasi status metilasi dari promoter uPA dan kadar ekspresi uPA
pada plasenta dan garis endometrium (end-line) dari plasenta previa dengan
suspek endometriosis yang mendasari.

5. Kesimpulan
Kesimpulannya, riwayat teknologi reproduksi berbantu dan endometriosis
ditemukan berhubungan dengan primigravida dengan plasenta previa. Untuk
luaran maternal, nonprimigravida membutuhkan persalinan lebih awal dan
mengalami kehilangan darah yang lebih banyak. Mayoritas primigravida memiliki
plasenta previa posterior tipe II atau tipe III. Skor Apgar pada 1 menit pertama
secara signifikan lebih rendah pada nonprimigravida. Memahami luaran
kehamilan pada wanita dengan plasenta previa dapat membantu klinisi dalam
mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi terkait mortalitas dan morbiditas.
Mengidentifikasi faktor-faktor resiko potensial pada primigravida dapat
membantu dalam konseling dan manajemen pasien ini.

You might also like