You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgenses. Deturgenses, atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat
daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea
dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan
edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea berakibat film air mata
menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang
menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.1
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea
yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan
penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah perluasan ulkus dan timbulnya
komplikasi berupa descematokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus
kornea yang sembuh akan menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan penyebab
kebutaan nomor dua di Indonesia.2,3
Kekeruhan kornea di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan mata
karena kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa
bakteri, jamur, virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak tepat
akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea adalah jaringan transparan yang tembus cahaya, dan merupakan
lapisan jaringan paling luar yang menutup bola mata bagian depan. Kornea berasal
dari bahasa latin yaitu cornum yang artinya seperti tanduk. Kornea ini disisipkan ke
sklera di limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris.
Ukuran kornea sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 550 µm di tengah, namun bervariasi tergantung ras dan
memiliki diameter horizontal 12-13 mm dan diameter vertical 11-12 mm.1,4,5
Anatomi kornea tampak pada gambar di bawah.6

Gambar 1. Anatomi kornea6

Kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda yaitu lapisan epitel (yang
bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran

2
Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus
kornea.1,4,5 Lapisan ini memilki karakterisitik masing-masing dan penting dipahami
terkait mekanisme kerja obat. Obat yang diberikan untuk struktur di belakang kornea
tentunya harus menembus kornea. Lapisan epitel merupakan lapisan lipofilik
sedangkan stroma merupakan lapisan hidrofilik. Sehingga obat yang digunakan harus
bisa larut dalam air sekaligus dalam lemak.1
Kornea mendapatkan nutrisi melalui difusi glukosa dari humor akuos dan
difusi oksigen dari lapisan air mata. Selain itu, bagian tepi kornea memperoleh
oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea merupakan salah satu organ tubuh yang
memiliki kepadatan serat saraf tinggi dan sensitivitas korena 100 kali lebih besar dari
konjungtiva. Serabut sensoris dibawa oleh nervus siliaris logus dan plexus
subepitelial. Neurotransmitter yang berperan pada kornea adalah acetylcholine,
catecholamines, substansi P dan kalsitonin.5
Kornea merupakan suatu struktur cembung yang berkontribusi sebagai media
refraksi sebesar 74% atau +43,25 dioptri dari total kekuatan 58,6 dioptri pada mata
normal. Jika kornea edem akibat suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai
prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.5
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam:1,4,5
a. Lapisan epitel
 Tebalnya 50 µm (5% dari total ketebalan kornea), terdiri atas 5 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal,
sel polygonal dan sel gepeng.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan dan berlanjut dengan epitel
konjungtiva bulbi.
 Epitel bersama lapisan air mata (lapisan lipid, lapisan akuos, laipsan
musin) membentuk permukaan optik yang licin.
 Epitel saling berikatan erat (tight junction) sehingga mencegah air mata
masuk ke lapisan stroma.
 Epitel memiliki sel basal yang berperan dalam regenerasi, proliferasi dan
diferensiasi epitel. Sel basal akan menghasilkan membrane basal dengan

3
ketebalan 50 nm dan bekerja terus menerus. Sel basal terdiri dari kolagen
tipe 4, laminin dan protein lainnya. Bila terjadi gangguan akan
menghasilkan erosi rekuren.
 Epitel yang matur (hasil dari diferensiasi sel basal) akan dilapisi oleh
mikrovili pada permukaan luarnya sehingga akan memberikan gambaran
gelap pada pemeriksaan mikroskop elektron dan gambaran terang pada
pemeriksaan mikroskop spekular.
b. Membran Bowman
 Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan merupakan
modifikasi stroma yang berasal dari bagian depan stroma.
 Lapis ini transparan, avaskular dan tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Jaringan Stroma
 Merupakan penyusun 90% ketebalan kornea.
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang dibagian perifer serat kolagen bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast
terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk
bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.
 Berperan dalam trasnparansi kornea dengan mempertahankan kandungan
air sebesar 78%. Hidrasi kornea dikontrol oleh epitel yang intak dan
barrier endotel serta fungsi pompa endotel.
d. Membran Descement
 Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
 Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 µm.

4
e. Endotel
 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, ketebalannya
meningkat mulai dari 3 m saat lahir sampai 10-12 m saat dewasa.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
 Berfungsi untuk maintenance kerusakan stroma
 Jika fungsi endotel terganggu maka akan menyebabkan edem kornea
 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga terjadi dekompensasi endotel dan
timbul edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Gambar 2. Lapisan kornea6

2.2 Definisi
Ulkus kornea merupakan kegawat daruratan mata berupa hilangnya sebagian
permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea
yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1,2,7
2.3 Epidemiologi
Insiden ulkus kornea di Amerika Serikat bergantung pada penyebabnya.
Keratits merupakan penyebab terbanyak ulkus kornea di Amerika Serikat. Sekitar
25.000 orang Amerika Serikat menderita keratitis menular setiap tahunnya. Kejadian

5
keratitis mikroba yang terkait dengan penggunaan lensa kontak tiap tahunnya sekitar
10-20 infeksi per 10.000 pengguna lensa kontak dalam waktu lama. Sekitar 10% dari
infeksi ini mengakibatkan hilangnya jaringan kornea.8 Insidensi ulkus kornea akibat
keratitis di California Utara 27,6 per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Insiden ulkus
kornea akibat penggunaan lensa kontak di California Utara didapatkan 130,4 per
100.000 penduduk tiap tahunnya.9
Penelitian di United Kingdom melaporkan beberapa faktor yang berkaitan
dengan meningkatnya resiko terjadinya invasi pada kornea seperti penggunaan lensa
kontak yang lama, laki-laki, merokok dan akhir musim sejuk (Maret-Juli).10 Dari
penelitian juga didapatkan insidens terjadinya ulkus kornea meningkat hingga 8 kali
pada mereka yang tidur sambil memakai lensa kontak berbanding dengan mereka
yang memakai lensa kontak ketika jaga.11
Insidensi ulkus kornea di Indonesia tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000
penduduk, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena
trauma, pemakaian lensa kontak terutama yang dipakai hingga keesokan harinya, dan
kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.2

2.4 Etiologi
Ulkus kornea dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti infeksi, reaksi
hipersensitivitas, trauma kimia maupun fisik, defisiensi vitamin A, lagoftalmus akibat
paresis nervus VII dan obat-obatan. Walaupun ulkus kornea dapat muncul secara
steril, namun banyak infeksi yang dapat menyebabkan munculnya ulkus. Berikut
penjelasannya:1,2,3

a. Infeksi
Ulkus yang diakibatkan infeksi merupakan dampak sekunder dari
kerusakan epitel kornea. Biasanya ulkus infeksi merupakan ulkus sentral dan jauh
dari vaskularisasi limbus. Ulkus infeksi sering ditandai dengan adanya hipopion
yang merupakan akumulasi sel radang dan mikroba. Ulkus infeksi terjadi akibat

6
berbagai fakor risiko seperti penggunaan lensa kontak (faktor utama di negara
maju) yang dikaitkan dengan infeksi pseudomonas dan acanthamoebae serta
obat-obatan topikal maupun sistemik yang menekan sistem imun (kortikosteroid)
yang dikaitkan dengan infeksi oportunistik oleh bakteri, virus dan jamur.
Streptococcus pneumonia merupakan patogen alami pada kornea yang biasanya
menginfeksi ketika terjadi trauma pada kornea khususnya pada kondisi yang
menyumbat duktus nasolakrimalis. Berikut penjelasan mengenai penyebab ulkus
infeksi:1,12,13
1) Infeksi Bakteri: Streptococcus pneumonia, P. aeruginosa dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering. Selain itu, banyak bakteri
lain penyebab ulkus kornea yang terlihat mirip dan hanya berbeda dari
tingkat keparahannya. Khususnya yang disebabkan bakteri oportunistik
seperti alpha-hemolytic streptococci, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Nocardia dan M fortuitum-chelonei yang
menyebabkan ulkus kornea yang cendrung menyebar perlahan dan
superfisial. Ulkus kornea bakteri yang memiliki tanda patognomonis
hanya P aeruginosa yaitu berupa sekret mukopurulen berwarna biru
kehijauan. Kebanyaan ulkus kornea berlokasi di sentral, namun ada
beberapa yang muncul di perifer kornea seperi ulkus marginal. Walaupun
lokasi ulkus tidak berhubungan dengan organisme penyebab, ulkus
marginal biasanya muncul akibat Staphylococcal blepharoconjunctivitis.
Ulkus ini bukan dikarenakan infeksi bakteri langsung, melainkan reaksi
inflamasi terhadap antigen dan toksin bakteri Staphylococcus. Ulkus
marginal ini biasanya sembuh sendiri sekitar 7-10 hari, tetapi berpeluang
untuk kambuh jika infeksi yang mendasarinya yaitu
blepharoconjunctivitis tidak diobati.
2) Infeksi virus: Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering
dijumpai. Bentuk khas seperti dendrit dan dapat diikuti oleh vesikel-
vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus.
Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di

7
bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia
(jarang).
3) Infeksi Jamur: Ulkus kornea jamur awalnya sering ditemukan pada
pekerja di pertanian. Namun sekarang insidennya meningkat pada
penduduk perkotaan setelah kortikosteroid diperkenalkan sebagai obat di
bidang ophthalmology. Sebelum era kortikosteroid, ulkus kornea jamur
hanya terjadi bila terdapat inokulum yang banyak pada stroma akibat
suasana di pertanian dan akibat penggunaan lensa kontak. Sedangkan
inoculum kecil dapat diatasi oleh mekanisme pertahanan kornea pada
penduduk perkotaan umumnya.
Ulkus jamur berkembang lambat dan ditandai dengan infiltrat abu-
abu dengan tepi yang tidak teratur, sering disertai hipopion, tanda
peradangan, ulserasi superfisial, dan lesi satelit (biasanya infiltrat di
tempat yang jauh dari daerah utama ulkus). Kebanyakan ulkus jamur
disebabkan oleh jamur oportunistik seperti kandida, fusarium, aspergillus,
Penicillium, Cephalosporium, dan lain-lain. Tidak ada penanda
identifikasi khusus yang membantu untuk membedakan suatu jenis ulkus
jamur dengan ulkus jamur lainnya. Kerokan dari ulkus kornea jamur
kecuali yang disebabkan oleh candida akan tampak mengandung unsur
hifa; sedangkan kerokan dari ulkus candida biasanya mengandung bentuk
pseudohifa atau ragi yang menunjukkan karakteristik tunas.
4) Acanthamoeba: Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat
di dalam air yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik.
Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang sering pada
pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam
buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa
kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar. Gejala awal adalah rasa
sakit, kemerahan, dan fotofobia. Tanda-tanda klinis yang khas adalah
ulserasi kornea yang lambat, cincin stroma, dan infiltrat perineural, namun
pasien sering datang dengan perubahan terbatas pada epitel kornea.

8
Diagnosis ditegakkan dengan kultur pada media khusus
(nonnutrient agar dengan overlay dari E coli). Spesimen yang lebih baik
dapat diperoleh dengan biopsi kornea dibandingkan kerokan kornea,
karena telah ditemukannya pemeriksaan histopatologi untuk bentuk
amoeba (trofozoit atau kista). Pemeriksaan sitologi dan confocal
microscopy merupakan teknik diagnostik yang lebih baru. Lensa kontak
dan cairannya harus dikultur. Seringkali bentuk amoeba dapat
diidentifikasi dalam lensa kontak dan cairannya.
Diagnosis banding meliputi keratitis herpes, yang sering membuat
bingung dengan keratitis jamur, keratitis mikobakteri, dan infeksi
Nocardia. Pada tahap awal penyakit, debridement epitel mungkin akan
bermanfaat. Pengobatan biasanya dimulai dengan terapi topikal intensif
menggunakan propamidine isethionate (larutan 1%) dan
polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01-0,02%) atau obat tetes mata
neomycin. Spesies Acanthamoeba memiliki tingkat sensitivitas obat yang
bervariasi dan cendrung mulai muncul resistens terhadap pengobatan.
Pengobatan juga terhambat oleh kemampuan organisme 'untuk encyst
dalam stroma kornea, yang memerlukan pengobatan jangka panjang.
Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengontrol reaksi
inflamasi di kornea. Keratoplasty mungkin diperlukan pada penyakit
lanjut yang menyebabkan jaringan parut untuk mengembalikan fungsi
penglihatan.

b. Noninfeksi
Ulkus kornea dapat terjadi akibat reaksi non infeksi seperti trauma kimia
maupun fisik, defisiensi vitamin A, obat-obatan dan faktor lainnya:1
1) Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik,
organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan
terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak

9
tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat
superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang
mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi
penghancuran kolagen kornea.
2) Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang
akan merusak epitel kornea.
3) Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan
defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan
palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada
kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.
4) Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
5) Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya;
kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan
imunosupresif.

c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)1


1) Granulomatosa wagener
2) Rheumathoid arthritis

10
2.5 Patogenesis
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanannya untuk pembentukan bayangan di retina. Kornea bersifat jernih,
susunan seratnya homogen dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan
kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Sehingga
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.1
Epitel kornea merupakan barrier terhadap masuknya organisme ke dalam
kornea. Ketika epitel rusak, maka mikroorganisme akan masuk ke stroma dan lapisan
bowman sehingga rentan terhadap infeksi oleh berbagai organisme seperti jamur,
bakteri, virus dan amuba. Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) adalah patogen
kornea yang paling utama. Sedangan patogen lainnya memerlukan proses inokulasi
yang berat atau jika terjadi kondisi imunokomromis pada host. Moraxella
liquefaciens merupakan bakteri oportunistik penyebab infeksi kornea yang ditemukan
pada pecandu alkohol akibat deplesi pyridoxine. Dalam beberapa tahun terakhir
sejumlah bakteri oportunis kornea baru telah diidentifikasi. Diantaranya adalah
Serratia marcescens, Mycobacterium fortuitum-chelonei, Streptococci viridans,
Staphylococcus epidermidis dan berbagai bakteri laiannya bersama dengan virus,
amuba, dan jamur.1
Kornea merupakan struktur yang avaskuler, sehingga pertahanan pada waktu
peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak
vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat
dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi
perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma,
leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus
kornea.1,2,3

11
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris.1
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut.
Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini
menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan
superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih
kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan
terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.1

2.6 Manifetsi Klinis


Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :1,2,12
a. Gejala Subjektif
 Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
 Sekret mukopurulen
 Merasa ada benda asing di mata
 Pandangan kabur
 Mata berair
 Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
 Silau
 Nyeri
b. Gejala Objektif
 Injeksi siliar
 Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
 Hipopion

12
2.7 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea yaitu:1,2,12
a. Ulkus kornea sentral
1) Ulkus kornea bakterialis
 Ulkus Streptokokus: Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan
berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat
menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin
yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
 Ulkus Stafilokokus: Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putih
kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel.
Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang
disertai edema stroma dan infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat
hipopion ulkus seringkali indolen yaitu reaksi radangnya minimal.
 Ulkus Pseudomonas: Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral
kornea. ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam
kornea. Penyerbukan ke dalam dapat mengakibatkan perforasi kornea
dalam waktu 48 jam. Gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu
dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang
bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat
hipopion yang banyak.

Gambar 3. Ulkus Kornea Bakterialis14

13
Gambar 4. Ulkus Kornea Pseudomonas14
 Ulkus kornea Pneumokokus: Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral
yang dalam. Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan
sehingga memberikan gambaran karakteristik yang disebut Ulkus
Serpiginosa. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna
kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat
ulkus yang menggaung dan di daerah ini terdapat banyak kuman. Ulkus
ini selalu di temukan hipopion yang tidak selamanya sebanding dengan
beratnya ulkus yang terlihat. Diagnosa lebih pasti bila ditemukan
dakriosistitis.
 Ulkus kornea Moraxella liquefaciens: diplococcus dari petit meimbulkan
ulkus lonjong indolen yang umumnya mengenai kornea bagian bawah
dan meluas kebagian dalam stroma selang beberapa hari. Biasanya tidak
ada hipopion dan bila ada hanya sedikit dan kornea di sekitarnya
umumnya jernih. Ulkus ini hamper selalu ditemukn pada peminum
alcohol, diabetes atau dengan imunosupresi lainnya. Kerokan
menampilkan diplobasil gram (-) besar-besar dengan ujung persegi.
 Ulkus kornea Streptococcus Group A: ulkus ini tidak memiliki ciri khas.
Stroma kornea sekitarnya sering menunjukkan infiltrate dan sembab.
Biasanya terdapat hipopion berukuran sedang. Kerokan menampakkan
kokus gram positif dalam bentuk rantai.
 Ulkus kornea S. aureus, S. epidermidis, S. alfa hemolyticus: ulkus yang
disebabkan organisme ini kini lebih sering muncul terutama pada kornea
yang telah sering terkena kortikosteroid topical. Ulkusnya sering indolen
namun dapat disertai hipopion dan sedikit infiltrate pada kornea sekitar.

14
Ulkus ini sering superfisial dan dasar ulkus teraba saat dilakukan kerokan.
Kerokan mengandung kokus gram (+) satu-satu, berpasangan atau seperti
rantai. Keratopati kristalina infeksiosa (kornea seperti Kristal kecil) sering
ditemukan pada mata yang mendapatkan pengobatan steroid topikal
jangka panjang akibat infeksi S alfa hemolyticus.
 Ulkus kornea M. fortuitum-helonei, Nocardia sp: ulkus ini jarang
dijumpai. Ulkus ini sering timbul setelah ada trauma dan sering menyertai
kontak dengan tanah. Ulkusnya indolen dan dasarnya sering
menampakkan garis-garis radier sehingga tampak sebagai kaca yang
retak. Hipopion bias ada bias tidak. Hasil kerokan kornea menunjukkan
batang tahan asam langsing atau organisme gram (+) berfilamen yang
sering bercabang.

2) Ulkus kornea fungi


Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai
beberapa minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini.
Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang
agak kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular dan terlihat penyebaran seperti
bulu pada bagian epitel yang baik. Terlihat suatu daerah tempat asal
penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit
disekitarnya..Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan
bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik.
Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi
siliar disertai hipopion. Kerokan dari ulkus ini ditemukan unsur hifa kecuali
pada Candida. Pada Candida diteukan pseudohifa atau bentuk ragi yang
menampakkan kuncup-kuncup khas.

15
Gambar 5. Ulkus Kornea Fungi14
3) Ulkus kornea virus
 Ulkus Kornea Herpes Zoster: Biasanya diawali rasa sakit pada kulit
dengan perasaan lesu. Gejala ini timbul satu 1-3 hari sebelum timbulnya
gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra,
konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel
dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda
dengan dendrit herpes simplex. Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu
kotor dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi tetapi dengan rasa
sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya disertai dengan infeksi
sekunder.
 Ulkus Kornea Herpes simplex: Infeksi primer yang diberikan oleh virus
herpes simplex dapat terjadi tanpa gejala klinik. Biasanya gejala dini
dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu
dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit atau
bintang infiltrasi. terdapat hipertesi pada kornea secara lokal kemudian
menyeluruh. Terdapat pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk dendrit
herpes simplex kecil, ulceratif, jelas diwarnai dengan fluoresin dengan
benjolan diujungnya

Gambar 6. Ulkus Kornea Dendritik14

16
4) Ulkus kornea acanthamoeba
Awalnya dirasakan sakit, kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas
adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural.

Gambar 7. Ulkus Kornea Acanthamoeba14


b. Ulkus kornea perifer
1) Ulkus marginal
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin. Bentuk simpel
berbentuk ulkus superfisial yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi
stafilococcus, toksit atau alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri
basilar gonokok arteritis nodosa, dan lain-lain. Yang berbentuk cincin atau
multiple dan biasanya lateral. Ditemukan pada penderita leukemia akut,
sistemik lupus eritromatosis dan lain-lain.
 Definisi: merupakan peradangan kornea bagian perifer berbentuk khas
yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan tempat
kelianannya.Dasar kelainannya : suatu rx. Hipersensitivitas terhadap
eksotoksin stafilokokus. (blefarokonjungtivitis stafilokokus).
 Etiologi: alergi, toksik, infeksi dan penyakit kolagen vascular.
 Penjelasan: Pada infeksi local dapat mengakibatkan keratitis kataral
marginal, yang biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan
adanya blefarokonjungtivitis. Dapat juga terjadi bersama-sama dengan
radang konjungtiva yang disebabkan Moraxella (disebut konjungtivitis
angular), basil Koch weeks atau proteus vulgaris. Perjalanan penyakit
dapat berubah-ubah, dapat sembuh cepat dapat pula timbul atau kambuh
dalam waktu singkat.

17
 Pathogenesis: Ulkus timbul akibat sensitisasi terhadap produk bakteri,
antibodi dari pembuluh limbus bereaksi dengan antigen yang telah
berdifusi melalui epitel kornea. Infiltrat dan ulkus marginal mulai berupa
infiltrat linier atau lonjong terpisah dari limbus oleh interval bening dan
hanya pada akhirnya menjadi ulkus dan mengalami vaskularisasi. Proses
ini sembuh sendiri umumnya setelah 7 sampai 10 hari.
 Manifestasi klinis: Biasanya bersifat recurrent dengan kemungkinan
terdapatnya streptococcus pneumonie, hemophillus aegepty, Moraxella
Lacunata dan Esrichia. Gejala dan tanda :
Subjektif (keluhan Objektif (tanda klinis)
pasien)
1. Penglihatan/visus 1. infiltrate dan tukak yang diduga kompleks Ag
menurun dan Ab secara histoptologik : terlihat sebagai
2. Rasa sakit pada mata ulkus/abses.
3. Fotofobia 2. Terdapat satu mata blefarospasme, injeksi
4. Lakrimasi konjungtiva, infiltrate / ulkus yang
memanjang dan dangkal. Dapat terbentuk
neovaskularisasi dari arah limbus.
3. Pada konjungtivitis angular yang disebabkan
oleh Moraxella (diplobasil), menghasilkan
bahan-bahan proteoitik yang mengakibatkan
defek epitel.

 Terapi: antibiotik dengan steroid local dapat diberikan sesudah


kemungkinan infeksi virus herpes simpleks disingkirkan. Pemberian
steroid sebaiknya dalam waktu yang singkat disertai dengan pemberian
vitamin B dan C dosis tinggi.

18
Gambar 8. Ulkus Marginal14

2) Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)


Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah
sentral. ulkus mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai
sekarang belum diketahui. Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah
teori hipersensitivitas tuberculosis, virus, alergi dan autoimun. Biasanya
menyerang satu mata. Perasaan sakit sekali. Sering menyerang seluruh
permukaan kornea dan kadang meninggalkan satu pulau yang sehat pada bagian
yang sentral. Albert Mooren adalah seorang dokter Jerman pada tahun 1828-
1899 yang menguraikan tukak serpiginosa kronik yang terdapat pada lansia.
 definisi: suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari tepi kornea,
dengan bagian tepinya bergaung dan berjalan progresif tanpa
kecenderungan perforasi. Lambat laun ulkus ini akan mengenai seluruh
kornea. Merupakan tukak kornea idiopatik unilateral ataupun bilateral.
Pada usia lanjut, sering disertai rasa sakit dan merah. Penyakit ini sering
terdapat pada wanita usia pertengahan. Pasien terlihat sakit berat dan 25%
mengalami billateral.
 Dasar kelainan: rx. Hipersensitivitas terhadap protein tuberculosis, virus,
auto imun,dan alergi terhadap toksin ankilostoma.
 Pathogenesis: Tukak ini menghancurkan membran Bowman dan stroma
kornea, tidak terdapat neovaskularisasi pada bagian yang sedang aktif,
bila kronik akan terlihat jaringan parut dan vaskularisasi. Jarang terjadi
perforasi ataupun hipopion. Proses yang terjadi kemungkinan kematian

19
sel yang disusul dengan pengeluaran kolagenase. Banyak pengobatan
yang dicoba, namun belum ada yang memberikan hasil yang memuaskan.
 gejala dan tanda
Subjektif Objektif
1. Sakit terlihat berat Pasien tua terutama laki-laki, 75%
2. 25% bilateral unilateral dengan rasa sakit yang
3. proses yang terjadi : kematian sel tidak berat, prognosis sedang dan
yang disusul dg pengeluaran jarang perforasi.
kolagenase. Pasien muda laki-laki, 75%
binocular, dengan rasa sakit dan
berjalan progesif. Prognosis buruk,
1/3 kasus terjadi perforasi kornea.

 Terapi : pengobatan yang dicoba seperti steroid, antibiotika, anti virus,


anti jamur, kolagenase inhibitor, heparin dan pembedahan keratektomi,
lameler keratoplasti dan eksisi konjungtiva. Semua cara pengobatan
biasanya belum memberi hasil yang memuaskan.

Gambar 9. Ulkus Mooren14


3) Ulkus cincin (ring ulcer)
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Di kornea terdapat ulkus
yang berbentuk melingkar dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau
dalam, kadang-kadang timbul perforasi.Ulkus marginal yang banyak kadang-
kadang dapat menjadi satu menyerupai ring ulcer. Tetapi pada ring ulcer yang

20
sebetulnya tak ada hubungan dengan konjungtivitis kataral. Perjalanan
penyakitnya menahun.
4) Ulkus kornea akibat defisiesi vitamin A
Ulkus kornea tipikal pada avitaminosis A terletak di pusat dan
bilateral, berwarna kelabu dan indolendisertai kehilangan kilau kornea di
daerah sekitarnya. Kornea melunak dan nekrotik serta sering timbul perfoasi
5) Ulkus neurotropik
Terjadi akibat nervus trigeminus terputus akibat trauma sehingga
kornea akan kehilangan kepekaan terhadap rangsangan. Kondisi ini akan
mengakibatkan kornea rentan terkena erosi, ulserasi dan infeksi.
6) Ulkus exposure
Kornea yang terpajan berlebihan dengan faktor lingkungan luar akan
berisiko terkena ulkus. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kelainan seperti
ektropion, eksoftalmus maupun traua yang menyebabkan sebagian palpebral
hilang.

2.8 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang
bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering
kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus
terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit
sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi
khusus.1,2,12
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala objektif berupa adanya injeksi siliar,
kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat

21
terjadi iritis yang disertai dengan hipopion. Disamping itu perlu juga dilakukan
pemeriksaan diagnostik seperti :1,12
a. Ketajaman penglihatan
b. Tes refraksi
c. Tes air mata
d. Pemeriksaan slit-lamp
e. Keratometri (pengukuran kornea)
f. Respon reflek pupil
g. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.

Gambar 10. Ulkus kornea dengan fluoresensi14


h. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram
atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai
dengan periodic acid Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

Gambar 11. Pewarnaan gram ulkus kornea fungi14

22
Gambar 12. Pewarnaan gram ulkus kornea herpes simplex14

Gambar 13. Pewarnaan gram ulkus kornea herpes zoster14

2.9 Diagnosis Banding1,2,3


Keratitis/ulkus Konjungtitivitis Iritis akut Glaukoma
kornea akut
Sakit Sedang Sedang Sedang sampai Hebat dan
hebat menyebar

Kotoran Mukopurulen Sering purulen Ringan tidak ada

Fotofobia Hanya reflex Ringan Hebat Sedang


Kornea Jernih Presipitat Edema

Iris Flouresein (+++) Normal Muddy Abu-abu


kehijauan
Penglihatan <N N <N <N
Sekret (-) (+) (-) (-)
Tekanan N N <N <N+++
Injeksi Siliar Konjungtival Siliar Episkelara
Uji Sensibilitas Bakteri Infeksi local Tonometri

2.10 Penatalaksanaan

23
a. Prinsip umum
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis
mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan pada
ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang
mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi
1,2,12
peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila mengancam perforasi.
Beberapa poin pengobatan:16,17
1) Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum
luas diberikan sebagai salap, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada
pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salap mata karena dapat
memperlambat penyembuhan dan juga dapat menimbulkan erosi kornea
kembali.
2) Anti jamur
 Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya : topikal amphotericin
B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml, Natamycin > 10 mg/ml,
golongan Imidazole
 Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal, Natamicin,
Imidazol
 Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol
 Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai jenis anti
biotik
3) Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal
untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk infeksi
sekunder analgetik bila terdapat indikasi. Untuk herpes simplex diberikan
pengobatan IDU, ARA-A, PAA, interferon inducer.
4) Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif karena dapat
menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang
baik terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang

24
diperlukan pada ulkus yang bersih tanpa sekret guna mengurangi
rangsangan.
b. Tatalaksana non farmakologi1,2
1) Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
2) Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
3) Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
4) Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan umum yang
kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus diperbaiki dengan
makanan yang bergizi, udara yang baik, lingkungan yang sehat, pemberian
roboransia yang mengandung vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C.

c. Tatalaksana farmakologi
1) Pengobatan simptomatik1,2
 Sulfas atropine sebagai salap atau larutan,
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu. Efek
kerja sulfas atropine :
 Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
 Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
 Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi
sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor
pupil, terjadi midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah ada dapat
dilepas dan mencegah pembentukan sinekia posterior yang baru
 Skopolamin sebagai midriatika.
 Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau
tetrakain tetapi jangan sering-sering.

25
2) Pengobatan kausatif1,2
 Pengobatan Ulkus Infeksi
 Bakteri, Jamur dan Amuba
Tabel 1. Pengobatan Ulkus bakteri, jamur dan amuba
Pilihan
Organisme Rute Obat Pilihan Kedua Pilihan Ketiga
Pertama
Kokus gram Vancomisin
positif Topikal Cefazolin Penisilin G atau
bentuk-lancet ceftazidime
dengan Subkonjungtiv
Cefazolin Penisilin G Methicillin
simpai= S a
pneumoniae Sistemik Cefazolin Penisilin G Eritromisin
Vancomisin
Organimse
Topikal Cefazolin Penisilin G atau
gram positif
ceftazidime
lain kokus
Subkonjungtiv
dan batang Cefazolin Methicillin Vancomisin
a
Vancomisin
Topikal Penisilin G Cefazolin atau
Kokus gram ceftazidime
negatif Subkonjungtiv
Penisilin G Cefazolin Vancomisin
a
Sistemik Penisilin G Cefazolin Vancomisin
Topikal Tobramisin Gentamisin
Batang gram Polimiksin B
Subkonjungtiv
(-) halus: Tobramisin Gentamisin atau
a
Pseudomonas carbenicillin
Sistemik Tobramisin Gentamisin
Batang gram Topikal Penisilin G Gentamisin Tobramisin
(-): Subkonjungtiv
- - Tobramisin
diplobacilli a
besar,
berujung
Sistemik - - -
persegi=
Moraxella
Topikal Gentamisin Tobramisin Carbenicillin
Batang gram Subkonjungtiv
Gentamisin Tobramisin Carbenicillin
(-) lain a
Sistemik - - Carbenicillin
Batang gram Topikal Amikasin Fluorokuinolon -
(+) langsing Subkonjungtiv
Amikasin -
dan panjang a
bervariasi: M. Sistemik Amikasin - -

26
fortuitum,
Nocardia sp,
Actynomices
sp
Nystatine atau
Topikal Natamycin Amphotericin B
Organisme miconazole
mirip ragi: Subkonjungtiv
Natamycin Miconazole -
Candida sp a
Sistemik Flycytosine Ketoconazole -
Miconazole
Topikal Natamycin Amphotericin B atau
Organisme
ketoconazole
mirip hyfa:
Subkonjungtiv Amphoterici
Ulkus fungi Miconazole -
a nB
Sistemik Fluconazole Ketoconazole -
Neomycin Paromomycin dan Clotrimazole
Topikal dan dibrompropamidin atau
Kista
propamidine e miconazole
trofozoit:
Subkonjungtiv
Acanthamoeb - - -
a
a
Ketoconazol
Sistemik - -
e
Vancomycin
Gentamicin
Tidak ada Tobramycin dan dan
Topikal dan
organisme: bacitracin fluoroquinolon
cefazolin
ulkus e
mengesankan Gentamicin
Subkonjungtiv Tobramycin dan Vancomycin
infeksi dan
a methicillin dan ceftazidim
bakteri cefazolin
Sistemik Cefazolin Penisilin G -
Natamycin Vancomycin
Tidak ada dan dan
Topikal Amphotericin B
organisme: Amphoterici fluoroquinolon
ulkus nB e
mengesankan Gentamicin
Subkonjungtiv Vancomycin
infeksi fungi dan Miconazole
a dan ceftazidim
cefazolin
Keterangan:
 Pemberian obat sistemik adalah intravena kecuali yang disebutkan oral
 Fluoroquinolon tidak disarankan untuk pengobatan kpenyakit mata karena
Streptococcus

27
 Fluoroquinolon topical (ciprofloxacin, ofloxacin, norfloxacin) adalah obat
efektif untuk infeksi Pseudomonas dan Staphylococcus

Tabel 2. Dosis obat-obatan ulkus bakteri, jamur dan amuba


Obat Topikal Subkonjunctiva Sistemik
50–100 25 mg/0.5 10–15 mg/kg/d IV or
Amikacin
mg/mL mL/dose IM in two doses
Amphotericin B 1.5–3 mg/mL 0.5–1 mg ...
125 mg/0.5 100–200 mg/kg/d IV
Carbenicillin 4 mg/mL
mL/dose in four doses
100 mg/0.5 15 mg/kg/d IV in
Cefazolin 50 mg/mL
mL/dose four doses
1 g IV or IM every
Ceftazidime 50 mg/mL 250 mg (0.5 mL) 8–12 hours (adult
dose)
Ceftriaxone - - 1–2 g/d IV or IM
500–750 mg orally
Ciprofloxacin 3 mg/mL -
every 12 hours
50–150 mg/kg/d
Flucytosine 1% solution -
orally in four doses
3 mg/mL
Gatifloxacin - -
solution
10–20
20 mg/0.5–1
Gentamicin mg/mL -
mL/dose
(fortified)
1% solution
5–10 mg; 0.5–1
Miconazole or 2% -
mL/dose
ointment
5 mg/mL
Moxifloxacin - -
solution
5%
Natamycin - -
suspension
Neomycin 20 mg/mL - -
50,000
units/mL or
Nystatin cream - -
(100,000
units/g)
Paromomyocin 10 mg/mL - -
100,000 1 million 40,000–50,000
Penicillin G
units/mL units/dose units/kg IV in four

28
(painful) doses; or
continuously, 2–6
million units IV
every 4–6 hours
0.01%–
Polyhexamethylene
0.02% - -
biguanide
solution
10 mg/0.5 mL
Polymyxin B 1–2 mg/mL -
dose
0.1 mg/mL
solution;
Propamidine - -
0.15%
ointment
10–20
20 mg/0.5
Tobramycin mg/mL -
mL/dose
(fortified)
25
Vancomycin 50 mg/mL -
mg/0.5mL/dose
Keterangan:
 Topikal: setiap jam selama siang hari dan setiap 2 jam waktu malam untuk
5 hari.
 Subkonjungtiva: satu suntikan setiap hari untuk 4 hari kecuali pada kasus
berat kadang-kadang dosis awalnya diulangi sesudah 12 jam
 Sistemik: intravena atau oral, satu dosis sehari untuk 5 hari (dosis dewasa)

 Virus
o Herpes simplex virus
a) Debridemen: cara efektif mengobati keratitis dendritic adalah
debridemen epithelial karnea virus berlokasi pada epitel. Debridemen
juga mengurangi beban antigenic virus pada stroma kornea. Epitel
sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah
dilepaskan. Debridemen dilakukan dengan aplikator berujung kapas
khusus. Yodium atau eter topical tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat sikloplegik seperti atropine 1%
atau homatropin 5% diteeskan ke dalam sakus konjungtiva dan ditutup
dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap harridan diganti

29
penutupnya sampai defek kornea sembuh (umumnya dalam 72 jam).
Pengobatan tambahan dengan anti virus topical mempercepat
pemulihan epitel. Terapi obat topical tanpa debridement epitel pada
keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun
ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.
b) Obat: antivirus topical yang digunakan adalah iodoxuridine, trifluridie,
vidarabine dan acyclovir. Trifluridin dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma daripada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine
seringkali menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral ada manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang
atopic yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif
(eczema herpetikum). Replikasi virus dalam pasien imunokompeten
khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri
dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan
kortikosteroid topical tidak perlu bahkan berpotensi merusak.
Kortikosteroid topikal dapat mempermudah perlunakan kornea
sehingga terjadi perforasi kornea. Jika memang perlu diberikan
kortikosteroid maka sebaiknya dibarengi dengan pemberian antivirus
secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
c) Terapi bedah: keratoplasti penetrans diindikasikan untuk pasien yang
memiliki parut pada kornea. Sebaiknya dilakukan beberapa bulan
setelah penyakit herpes non aktif. Paska bedh, infeksi herpes rekuren
dapat timbul karena trauma operasi dan kortikosteroid yang diberikan
untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi. Sulit dibedakan antara
penolakan transplantasi kornea dan penyakit stroma rekurens. Perforasi
kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat
jaringan sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup
perforasi kecil dan graft petak lamellar berhasil baik pada kasus
tertentu. Keratoplasti lamellar lebih baik karena lebih kecil risiko

30
penolakan transplantasinya. Lensa kontak lunak untuk terapi atau
tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang
terdapat pada kulkus herpes simplek.
d) Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi
HSV: infeksi rekurens kira-kira sepertiga kasus dalam 2 tahun setelah
serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya
setelah dengan teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu
itu dapat dihindarkan. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam,
pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar ultraviolet dapat
dihindari.

o Varisela zoster
a) Antivirus oral dan Injeksi IV:
 acyclovir 800 mg 5 kali sehari selama 10-14
 valacyclovir 1 g 3 kali sehari selama 7-10 hari
 famciclovir 500 mg 3 kali sehari selama 7-10 hari
b) Terapi sebaiknya dimulai 72 jam setelah munculnya kelainan..
c) Penggunaan antivirus topical kurang meyakinkan
d) Kortikosteroid topical dapat dipertimbangkan pada kondisi keratitis
berat, uveitis dan glaucoma sekunder.
e) Kortikosteroid oral masih diperdebatkan.
f) Analgetik diberikan untuk mengjilangkan nyeri postherpetic neuralgia.

 Pengobatan Ulkus non infeksi


 Defisiensi vitamin A
o Dewasa: vitamin A 30.000 unit/hari selama 1 minggu dan salep
sulfonamide untuk mencegah infeksi sekunder.
o Anak: kapsul biru (100.000 unit), kapsul merah (200.000 unit)
 Neurotropik
o Pemberian artifisial tear

31
o Menutup mata dengan plester horizontal, dengan tarsorrhapy atau
dengan ptosis yang dipicu dengan toxin botulinum A.
 Akibat pajanan
o Prinsip pengobatan adalah memberi perlindungan dan membasahi
seluruh permukaan kornea.
 Tatalaksana lanjutan1,15
 Kauterisasi
o Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan murni
trikloralasetat
o Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai elektrokauter atau
termophore. Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang
mengandung panas disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna
keputih-putihan.
 Pengerokan epitel yang sakit
o Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat tidak
menunjukkan perbaikan dengan maksud mengganti cairan coa yang
lama dengan yang baru yang banyak mengandung antibodi dengan
harapan luka cepat sembuh. Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva,
dengan melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian
ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi
pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap
konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali.
o Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan
berikan sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring
dan jangan melakukan gerakan-gerakan. Bila perforasinya disertai
prolaps iris dan terjadinya baru saja, maka dapat dilakukan :
a) Iridektomi dari iris yang prolapse
b) Iris reposisi
c) Kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva
d) Beri sulfas atripin, antibiotic dan balut yang kuat

32
o Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah berlangsung lama,
kita obati seperti ulkus biasa tetapi prolas irisnya dibiarkan saja, sampai
akhirnya sembuh menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga
secara sistemik.

Gambar 14. Ulkus kornea perforasi, jaringan iris keluar dan menonjol, infiltrat pada
kornea ditepi perforasi.14
 Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu
penglihatan, kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam
penglihatan, serta memenuhi beberapa kriteria yaitu :15
o Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
o Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
o Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.

Gambar 15. Keratoplasti14

33
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:1,12
a. Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
b. Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
c. Prolaps iris
d. Sikatrik kornea
e. Katarak
f. Glaukoma sekunder

2.12 Pencegahan
Pencegahan terhadap ulkus dapat dilakukan dengan segera berkonsultasi kepada ahli
mata setiap ada keluhan pada mata. Sering kali luka yang tampak kecil pada kornea
dapat mengawali timbulnya ulkus dan mempunyai efek yang sangat buruk bagi mata.
Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah:12
a. Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata
b. Jika mata sering kering, atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup
sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah
c. Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan
merawat lensa tersebut.

2.13 Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi
tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi,
maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga
dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan
penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan
resistensi.1,12

34
Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan dengan
pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode; migrasi
sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan pembentukan pembuluh
darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat sembuh dengan cepat
melalui metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah
agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk jaringan granulasi dan kemudian
sikatrik.1,12

35
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat


kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai
defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari
epitel sampai stroma. Kondisi merupakan penyebab kebutaan yangtinggi yang dapat
disebabkan oleh infeksi ataupun non infeksi. Prognosis ulkus kornea tergantung pada
tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme
penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas
memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat
avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan
serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughn D, Asbury T, Eva PR, eds. General Ophtalmology 17th ed. New York:
McGraw-Hill. 2007.
2. Ilyas S dan Yulianti SR. Ulkus Kornea. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit mata
Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2015. H.167-173.
3. Basic and Clinical Science Course. External Disease and Cornea, part III,
Section 8, American Academy of Ophthalmology, USA 2008-2009 P. 168-
180.
4. Ilyas S dan Yulianti SR. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu
Penyakit mata Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2015. H.5-7.
5. Basic and Clinical Science Course. External Disease and Cornea, part I,
Section 8, American Academy of Ophthalmology, USA 2008-2009 P.8-43
6. National Eye Institue (NEI). Facts About the Cornea and Corneal Disease.
2016. Diakses dari: https://nei.nih.gov/health/cornealdisease/ pada 16 Januari
2016.
7. Weiner G. Confronting Corneal Ulcers. 2012. Diakses dari
https://www.aao.org/eyenet/article/confronting-corneal-ulcers?july-2012 pada
17 Januari 2016.
8. French DD, Margo CE. Demographic patterns of ED patients diagnosed as
having corneal ulcer. 2013. Am J Emerg Med.
9. Jeng BH, Gritz DC, Kumar AB, Holsclaw DS, Porco TC, Smith SD, Whitcher
JP, Margolis TP, Wong IG. Epidemiology of Ulcerative Keratitis in Northern
California. 2010. Arch Ophthalmol. 128(8):1022-1028
10. Morgan PB, Efron N, Brennan NA, et al. Risk factors for the development of
corneal infiltrative events associated with contact lens wear. 2005. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 46(9):3136-43.
11. Efron N, Morgan PB, Hill EA, et al. Incidence and morbidity of hospital-
presenting corneal infiltrative events associated with contact lens wear. 2005.
Clin Exp Optom. 88(4):232-9.
12. Mills TJ. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis in Emergency Medicine.
2015. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/798100 Di
akses pada 15 Januari 2016.
13. Park J, Lee KM, Zhou H, Rabin M, Jwo K, Burton WB, et al. Community
practice patterns for bacterial corneal ulcer evaluation and treatment. 2015.
Eye Contact Lens. 41 (1):12-8.
14. EyeRounds Online Atlas of Ophthalmology. Cornea & External Disease.
2016. http://www.eyerounds.org/atlas/indexes/Cornea.html Di akses pada 15
Januari 2016.
15. Harrison DA. Corneal Ulcer Treatment. 2015. Available from:
https://www.aao.org/eye-health/diseases/corneal-ulcer-treatment Di akses
pada 15 Januari 2016.
16. Miller D. Pharmacological treatment for infectious corneal ulcers. 2013.
Expert Opin Pharmacother. 14(5):543-60.

37
17. Loh AR, Hong K, Lee S, Mannis M, Acharya NR. Practice patterns in the
management of fungal corneal ulcers. 2009. Cornea. 28(8):856-9.

38

You might also like