Professional Documents
Culture Documents
DHF 1
DHF 1
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. I
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 14 tahun
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pramuka Ujung Rumbai Pesisir
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 3 Februari 2016 pukul 18:14.
Resume anamnesis
VII. RENCANA
VII.A. Tindakan Terapi
Inf RL 30 tts/i
Inj Pantoprazole 1 AMP
PCT 1 tab
Ondenceton 42 klp
Sanmol 3x1
1. Anamnesis
a. Pada RPS, pasien tidak ditanyakan lebih lanjut mengenai keluhan
lainnya (artralgia, mialgia). Pasien juga tidak ditanyakan apakah
ada mengkonsumsi obat untuk mengobati keluhan (misal
paracetamol).
b. pada riwayat pribadi dan social, pasien tidak ditanyakan mengenai
kebiasaan makan serta kondisi lingkungan dan tempat tinggal.
2. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
a. Pada pasien tidak dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat
badan sehingga tidak dapat ditentukan status gizi nya.
b. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium lainnya
seperti pemeriksaan hemostasis, protein/albumin, SGOT/SGPT,
ureum, kreatinin, elektrolit, dll.
c. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan serologi Gold
standard.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor
nyamuk Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus) (Suhendro et al, 2009).
2. Epidemiologi
Kasus demam berdarah dengue (DBD) tersebar di wilayah Asia
Tenggara, Pasifik barat dan Karibia. Epidemi dengue di Asia pertama kali terjadi
pada tahun 1779 dan sering menyerang di Cina selatan, India, dan Pakistan. Di
Indonesia sendiri DBD pertama kali terjadi di Surabaya tahun 1968. Pada saat ini
kasus demam berdarah dapat ditemukan di 200 kota di seluruh Indonesia dan telah
terjadi kejadian luar biasa (KLB) akibat DBD (Suhendro et al, 2009; Widoyono,
2011).
3. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan virus dengue yang termasuk
kelompok Arbovirus B, yaitu arthropode-borne virus atau virus yang disebarkan
oleh artropoda dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe
lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dengan serotipe
terbanyak dan sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah adalah DEN-3
(Suhendro et al, 2009; WHO, 2011).
4. Klasifikasi
Menurut WHO (2011) DBD diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan
keparahan, dimana derajat III dan IV dianggap Syndrom Syok Dengue (DSS).
Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I
dan II DHF dari Dengue Fever (DF).
1. Derajat 1
Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik dan satu-
satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniqet positif dan/atau
mudah memar.
2. Derajat 2
Perdarahan spontan selain manifestasi pada derajat I, biasanya pada bentuk
perdarahan kulit atau perdarahan lain.
3. Derajat 3
Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta
penyempitan tekanan nadi atau hipotensi, dengan adanya kulit dingin dan
lembab serta gelisah.
4. Derajat 4
Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
5. Penularan
Virus dengue (arbovirus) ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
aedes aegypti betina. Dapat pula melalui gigitan nyamuk aedes albopictus, namun
di daerah perkotaan nyamuk tersebut bukan hanya sebagai vektor utama. Sekali
terinfeksi dengan arbovirus, maka seumur hidup nyamuk akan tetap terinfeksi dan
dapat terus menularkan virus tersebut kepada manusia. Virus dengue bersirkulasi
dalam tubuh manusia selama 2-7 hari atau selama demam terjadi. Dalam waktu 4-
7 hari vurus dengue di tubuh penderita dalam keadaan viremia dan pada masa
itulah penularan terjadi. Apabila penderita digigit oleh nyamuk penular, maka
virus dengue juga akan terhisap dalam tubuh nyamuk. Virus tersebut kemudian
berada dalam lambung nyamuk dan akan memperbanyak diri selanjutnya akan
berpindah ke kelenjar ludah nyamuk. Proses tersebut memakan waktu 8-10 hari
sebelum virus dengue dapat ditularkan kembali ke manusia melalui gigitan
nyamuk yang terinfeksi. Lama waktu yang dibutuhkan selama masa inkubasi
ekstrinsik ini tergantung pada kondisi lingkungan, terutama faktor suhu udara
(Widoyono, 2011).
6. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue (Suhendro et al, 2009).
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. Respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan
dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit dan
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE);
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-
helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c. Monosit dan makorfag berperan dalam fagositosis virus ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag;
d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a (Suhendro et al, 2009).
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi tromobositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi tromobosit (Suhendro et al, 2009).
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi factor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Suhendro
et al, 2009).
7. Patofisiologi
Virus Dengue
Viremia
Pengaktifan komplek
imun antibodi
8. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut WHO (2011) penderita dengue terdiri atas 3
fase yaitu fase febris, fase kritis, dan fase pemulihan :
1. Fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala.
Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi faring, dan
konjungtiva, anoreksia, mual, dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun
jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam, dan perdarahan
gastrointestinal.
2. Fase kritis
Terjadi pada hari ketiga sampai hari ketujuh sakit dan ditandai dengan
penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48
jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
3. Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembaliam cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih
kembali, hemodinamik stabil, dan diuresis membaik.
Dengue berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita ditemukan :
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau
syok (takikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisiankapiler
(capillary refill time) >3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan
nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah
2. Adanya perdaran yang signifikaan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen
yang hebat, atau bertambah, iketrik)
5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati, dan manifestasi tak lazim lainnya)
(WHO, 2011).
9. Kriteria Diagnosis
1. Kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi
cairan dengan distress pernafasan.
2. Perdarahan hebat sesuai pertimbangan klinisi.
3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan
kesadaran, gangguan jantung, dan organ lain).
Selain itu terdapat kriteria lain dalam menegakkan diagnosis demam berdarah
yaitu, seseorang menderita demam berdarah apabila bila semua hal terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan sebagai berikut: uji bendung
positif; ptekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis
dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trommbosit <100.000/ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut :
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
c. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia (WHO, 2011; Setiawan et al, 2009).
10. Diagnosis banding
Di antara tiga jenis uji etiologi yang di anggap sebagai baku emas adalah
isolasi virus. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan
serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM atau IgG-anti dengue. Imunoserologi
berup IgM terdetksi mulai hari ke3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada
infeksi primer, IgG terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder
dapat terdeteksi mulai hari ke2 (Setiawan et al, 2009).
12. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi demam berdarah adalah bersifat suportif dan
simptomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bila
diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal penting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan secara klinis atau laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstisial ke intravaskuler. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan cairan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu diwaspadai (Setiawan et al, 2009).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa paracetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung/duodenum)
(Setiawan et al, 2009).
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik FKUI telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria:
a. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai
atas indikasi
b. Praktis dalam pelaksanaannya
c. Mempertimbangkan cost effectiveness (Suhendro et al, 2009).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
demam berdarah dengue dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol
WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut :
1. Penanganan tersangka demam berdarah dengue tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka demam berdarah dengue dewasa di
ruang rawat inap
3. Penatalaksanaan demam berdarah dengue dengan peningkatan hematokrit
>20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada demam berdarah dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (Suhendro et al, 2009).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Tata Laksana demam berdarah dengue:
5% defisit cairan
PERBAIKAN
Tatalaksana sesuai
PERBAIKAN
protokol syok dan
perdarahan
Gambar 1. Tatalaksana pasien tersangka DBD
Gambar 2. Tatalaksana pasien DBD dengan gejala signifikan
Gambar 3. Tatalaksana pasien DBD derjat I dan II
Gambar 4. Tatalaksana pasien DBD derjat III dan SSD
13. Komplikasi
Demam berdarah dengue dapat menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi hati,
ginjal, dan lain sebagainya. Pada beberapa kasus ditemukan ensefalopati,
ensefalopati dapat terjadi karena adanya edema serebral, anoksia, perdarahan,
hiponatremia, kegagalan hati, dan perdarahan kapiler. Selain itu dapat juga terjadi
ensefalitis akibat virus dengue, hal ini dibuktikan dengan ditemukan adanya IgM
dan RNA virus pada cairan serebrospinal. Demam berdarah dengue juga dapat
mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome. hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya antigen virus dengue pada sel-sel lapisan alveolar paru-paru. Pada
stadium akut atau febris terjadi pelepasan mediator c3a dan c5a yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga cairan plasma dapat
bocor ke ruang interstisial dan mengakibatkan edema serta disfungsi paru (Cam et
al, 2011).
14. Prognosis
Hal utama yang menyebabkan kematian pada hampir seluruh pasien demam
berdarah dengue adalah syok karena kebocoran plasma. Penanganan yang tepat
dan sedini mungkin terhadap pasien pre syok dan syok merupakan faktor penting
yang menentukan hasil pengobatan. Penilaian yang akurat terhadap risiko syok
merupakan kunci penting menuju tatalaksana yang adekuat, mencegah syok, dan
perdarahan. Selain itu, menurut penelitian makin muda usia pasien, makin itnggi
pula mortalitasnya hal ini kemungkinan disebabkan karena pada anak yang lebih
muda endotel pembuluh darah kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler (Raihan et al, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
1. Cam, B.V., Fonsmark, L,. Hue, N.B., Phuong, N.T., Poulsen, A.,
Heegaard, E.D. 2011. Prospective Case Control Study of Encephalopathy
in Children with Dengue Hemorraghic Fever.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Perkembangan
Kejadian DBD Indonesia.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Tata laksana DBD.
4. Raihan., Hadinegoro, S.R.S., Tumbelaka, A.R. Faktor Prognosis
Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal Sari Pediatri
2010;12:(1).
5. Rasyada, A., Nasrul, E., Edward, Z. Hubungan nilai hematokrit terhadap
jumlah trombosit pada penderita demam berdarah dengue. Jurnal
Kesehatan Andalas 2014;3:(3).
6. Setiawan, B., Chen, K., T. Pohan, H. Diagnosis dan terapi cairan demam
berdarah. Jurnal Medicinus 2009;22:(1).
7. Suhendro., Nainggolan, L., Chen, K., T. Pohan, H. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FKUI Jilid III Edisi V. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
8. Widodo, D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III Edisi V.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
9. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis (Epidemiologi, penularan, Pencegahan,
dan Pemberantasannya). Edisi 2. Jakarta: Erlangga.
10. World Health Organization. 2011. Demam Berdarah Dengue (Diagnosis,
Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian). Edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.