You are on page 1of 14

A. KEKERASAN 1.

Pengertian Kekerasan Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan,


atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri
sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak. Awal mulanya istilah tindak kekerasan
pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun
1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala
klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak
atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized
trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome
(Ranuh, 1999). Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse
merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak
yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,
degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan seksual
merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara
seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik
(O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual
yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau
dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).
Universitas Sumatera Utara 2. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak Terry E.
Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi
tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal
abuse, physical abuse, dan sexual abuse). a. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak
(ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika
kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan
seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. b. Kekerasan Emosional (emotional
abuse) Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan
terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. c. Kekerasan secara
Verbal (verbal abuse) Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola
komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku
biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga
mengkambinghitamkan. d. Kekerasan Seksual (sexual abuse) Sexual abuse meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa
Universitas Sumatera Utara pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual
(sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori
berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari: i. Familial Abuse Incest
merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam
keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau
kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan
kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori
pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus,
petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk
menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan),
berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral
pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang
paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual.
Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan
bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat
bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian.
Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual,
korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami
perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa
secara paksa. Universitas Sumatera Utara ii. Extrafamilial Abuse Extrafamilial Abuse,
dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan
peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut
pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan
”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan
seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower,
2002). Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan
gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam
Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan
seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban.
Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa: 1. Nudity
(dilakukan oleh orang dewasa). 2. Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di
depan anak). 3. Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa). 4. Observation of
the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air). 5. Mencium anak yang
memakai pakaian dalam. 6. Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha,
dan bokong). 7. Masturbasi 8. Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku
sendiri). 9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau
pelaku). 10. Digital penetration (pada anus atau rectum). 11. Penile penetration (pada
vagina). 12. Digital penetration (pada vagina). 13. Penile penetration (pada anus atau
rectum). Universitas Sumatera Utara 14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku
atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).
Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi: a.
Kekerasan Anak Secara Fisik Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan,
dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka
dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul,
seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar
akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka
biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau
daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh
tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel,
menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn
barang berharga. b. Kekerasan Anak Secara Psikis kekerasan secara psikis meliputi
penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar,
dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya
menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika
didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. c. Kekerasan Anak
Secara Seksual Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual
antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,
exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Universitas Sumatera Utara d.
Kekerasan Anak Secara Sosial Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran
anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua
yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan
dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap
diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan
keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu
demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak
untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan
status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang
membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya. 3. Faktor-fakor
Penyebab Kekerasan terhadap Anak Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa
kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor,
yaitu: a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of
violance) Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh
menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan
demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-
studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan
kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara
itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang
memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami
perlakuan salah dan kekerasan Universitas Sumatera Utara mungkin menerima
perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian
besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa
yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan
terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran
(unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing
conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size),
kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di
rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus
dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup
dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga
kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara
keluarga miskin karena beberapa alasan. c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat
Bawah Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang
bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan
mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan
orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri
mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat
tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa
keputusan lainnya, mempunyai tingkat Universitas Sumatera Utara kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-
istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut. 4. Efek
Kekerasan Seksual Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya
berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah
peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami
kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain.
Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma
akibat kekerasan seksual, yaitu: 1) Betrayal (penghianatan) Kepercayaan merupakan
dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada
orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak
dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak. 2) Traumatic sexualization
(trauma secara seksual) Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan
yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan
sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Finkelhor (dalam Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan
sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya. 3) Powerlessness
(merasa tidak berdaya) Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia,
dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya
mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan
kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya.
Sebaliknya, pada korban Universitas Sumatera Utara lain memiliki intensitas dan
dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower,
2002). 4) Stigmatization Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan
dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban
sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya
akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan
minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau
berusaha menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam
Tower, 2002).

C. REMAJA
1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa ditandai oleh periode transisisonal panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa
remaja secara umum dimulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan
seksual atau fertilitas, yaitu kemampuan untuk bereproduksi. Sarwono (2001) menyatakan
bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anakanak dan orang dewasa dengan segala
perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial. Universitas Sumatera Utara 2. Usia Masa
Remaja Masa remaja menawarkan peluang untuk tumbuh, bukan hanya dalam dimensi fisik,
tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Periode remaja merupakan periode yang
penting karena pada masa ini terjadi perkembangan fisik dan psikologis yang pesat (Atkinson
dkk, 1993). Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang
berkisar 10 tahun – 13 tahun dan berahir di usia 18 tahun 22 tahun. Menurut Hurlock (1999)
batasan usia masa remaja adalah 13 tahun – 17 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja
menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan dan masa remaja
akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja
pertengahan berlangsung kira-kira dari 15 tahun sampai 17 tahun. Masa remaja akhir
berlangsung kira-kira 18 tahun sampai 21 tahun. D. Gambaran Pembentukan Identitas Diri
Remaja Korban Kekerasan Seksual Kekerasan yang mewarnai berbagai media massa menjadi
suatu perhatian besar sekarang ini. Melalui data yang diperoleh bahwa kekerasan seksual
menjadi salah satu bentuk kekerasan yang sering terjadi. Hal menarik yang perlu disoroti
adalah sebagian besar pelakunya berasal dari lingkungan keluarga, dan tidak menutup
kemungkinan juga orang lain yang dekat dengan korban. Seringkali yang menjadi korban
perilaku tak terpuji itu adalah kaum yang dianggap lemah, dan tidak terbatas pada usianya.
Tower (2002) mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah
perempuan. Anak perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan
dibanding anak laki-laki (Papalia, 2004). Sesuai dengan Hukum Perlindungan Anak, rentang
usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Berdasarkan teori Psikologi
Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja. Santrock (1995) berpendapat
bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10 tahunUniversitas Sumatera Utara 13
tahun dan berakhir di usia 18 tahun-22 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi
tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (15
sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (18 sampai 21 tahun). Remaja perempuan seringkali
menjadi korban merasa tidak mampu melawan pelaku, dan bersikap pasrah. Hingga pada
akhirnya korban mengalami berbagai dampak setelah kekerasan secara seksual terjadi.
Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anak-anak
dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial. Dampak
yang diakibatkan peristiwa kekerasan tentu saja mempengaruhi remaja secara psikologis,
kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut Maschi (2009), dampak yang ditimbulkan
mempengaruhi masa remaja hingga dewasa. Korban perkosaan memiliki kemungkinan
mengalami stres dan trauma setelah perkosaan. Seperti yang diungkapkan oleh Ekandari, dkk
(2001) bahwa korban perkosaan mengalami stres yang langsung terjadi dan stres jangka
panjang. Sebagai seorang individu yang berada pada masa peralihan, remaja memiliki tugas
dalam perkembangannya, dan tugas yang utama adalah memecahkan krisis identitas versus
kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang
dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam
masyarakat. Apabila krisis identitas dapat diselesaikan, timbul suatu bentuk identitas yang
terintegrasi, koheren, dan jelas (Erikson, 1989). Remaja yang mengalami kekerasan
merasakan dampak kekerasan tersebut. Dampak yang terjadi adalah remaja gagal
mengintegrasikan diri, memiliki gambaran diri yang negatif, mendapat stigma negatif dari
lingkungan sehingga merasa takut ditolak dari pergaulan dengan teman sebaya. Berbagai
dampak yang dirasakan akan mempengaruhi dalam memenuhi tugas perkembangan,
khususnya tugas perkembangan yang utama. Kegagalan dalam menyelesaikan tugas
Universitas Sumatera Utara perkembangan tersebut mengakibatkan remaja mengalami
kebingungan identitas atau krisis identitas. Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk,
(1994) menggunakan eksplorasi dan komitmen untuk menjelaskan mengenai empat status
identitas, yaitu identity achievement (pencapaian identitas), foreclosure (penutupan),
moratorium (penundaan), dan identity diffusion (difusi identitas). Identity achievement
merupakan periode dari eksplorasi sebelumnya dalam membentuk identitas dengan
menguraikan nilai dan komitmen. Moratorium merupakan proses yang menjelaskan
mengenai keadaan remaja yang telah mengalami krisis tetapi belum memiliki komitmen, atau
tampak samar. Foreclosure merupakan keadaan remaja yang menerima nilai dan komitmen
tanpa eksplorasi, misalnya komitmen berasal dari orang tua atau orang-orang yang berarti
dalam hidupnya. Sedangkan diffusion merupakan ketidakmampuan dalam membuat
komitmen, dan sebelumnya juga tidak mengalami eksplorasi (Kroger, 1947). Berdasarkan
pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran pembentukan
identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual mulai dari status identitas
korban hingga pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri
korban.
A. Hak Seorang Pelajar
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap warga
negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan,
kemampuan, dan ketrampilan tamatan pendidikan dasar. Setiap peserta didik pada suatu satuan
pendidikan mempunyai hak-hak berikut.
1. Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
2. Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan.
3. Berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untukmemperoleh
pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan.
4. Mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang
berlaku.
5. Pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi.
6. Sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak
dimasuki.
7. Memperoleh penuaian hasil belajarnya.
8. Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan.
9. Mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Secara umum dalam proses belajar mengajar siswa mempunyai hak-hak sebagai berikut.
1. Hak Pelajar
Belajar merupakan kebutuhan pokok seorang pelajar. Siswa berhak mendapatkan proses belajar
mengajardi kelas dan di luar kelas, pengajaran untuk perbaikan, pengayaan, kegiatan ekstrakurikuler,
mengikuti ulangan harian, ulangan umum, dan ujian nasional.
2. Hak Pelayanan
Dengan adanya pelayanan diharapkan memberi kemudahan bagi siswa meraih harapan memperoleh
sukses. Siswa berhak mendapatkan pelayanan yang berhubungan dengan administrasi sekolah.
Pelayanan melalui bimbingan konseling akan membantu keberhasilan siswa.
3. Hak Pembinaan
Bentuk pembinaan dapatdilaksanakan pada saat upacara bendera, pembinaan wali kelas, saat
mengajar bahkan saat bimbingan dan layanan konseling.
4. Hak Memakai Sarana Pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan alat untuk mempermudah siswa melakukan berbagi
aktivitas belajar.
5. Hak Berbicara dan Berpendapat
Hak ini digunakan secara demokratis untuk melatih siswa mengemukakan pendapatnya. Tapi perlu
diingat hak ini harus digunakan dengan cara-cara yang sopan, tidak menimbulkan anarki dan
berujung pada kerusuhan.
6. Hak Berorganisasi
Berkumpul dengan teman sebaya memang diperlukan oleh anak-anak remaja. Jika bertujuan baik
maka berorganisasi sah-sah saja dilakukan. Organisasi juga dapat menjadi ajang penyalur bakat dan
kreativitas para remaja.
7. Hak Bantuan Biaya Sekolah
Bantuan biaya sekolah atau sering disebut beasiswa merupakan kebutuhan wajib yang diterima
siswa. Pemberian bantuan ini juga harus memenuhi persyaratan tertentu yang telah diatur dalam
ketentuan-ketentuan pemberian beasiswa.
B. Kewajiban Seorang Pelajar
Siswa selain memiliki hak yang harus diterima, juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya.
Setiap peserta didik berkewajiban untuk:
1. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. mematuhi semua peraturan yang berlaku;
3. menghormati tenaga kependidikan;
4. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan
pendidikan yang bersangkutan.
Secara umum kewajiban siswa dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Kewajiban Belajar
Belajar merupakan tugas utama seorang pelajar. Siswa diwajibkan belajar dengan baik di dalam
maupun di luar sekolah. Mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru termasuk juga kewajiban
pelajar.
2. Kewajiban Menjaga Nama Baik Sekolah
Menjaga nama baik sekolah baik di luar maupun di dalam sekolah merupakan perwujudan terhadap
ketahanan sekolah beserta Wawasan Wiyata Mandala.
3. Kewajiban Taat Tata Tertib
Aturan-aturan yang mengarahkan siswa bertingkah laku di sekolah merupakan tata tertib yang wajib
ditaati oleh seluruh siswa. Dengan tata tertib diupayakan siswa memiliki kedisiplinan sehingga
mampu menunjang dalam kehidupan bermasyarakatnya.
4. Kewajiban Biaya Sekolah
BOS atau biaya operasional sekolah adalah biaya sekolah yang berasal dari pemerintah yang
merupakan pendukung operasional kegiatan harian di sekolah agar sekolah dapat berjalan lancar.
Biaya ini hanya untuk membantu meringankan biaya sekolah bukan berarti sekolah bebas ongkos
atau gratis.
5. Kewajiban Kerja Sama
Kerja sama antara sekolah dengan pihak masyarakat dalam hal ini wali murid wajib dilaksanakan
untuk mendukung seluruh kegiatan sekolah. Kerja sama yang terjalin dengan baik akan mampu
memecahkan setiap permasalahan yang ada.

Hak Dan Kewajiban Guru (Pendidik)


Dalam menjalankan tugas dan profesinya, guru memiliki hak dan kewajiban yang
harus dilaksanakan. Hak guru berarti suatu yang harus didapatkan olehnya setelah ia
melaksanakan sejumlah kewajibannya sebagai guru. Sedangkan kewajiban guru adalah
sesuatu yang harus patut di laksanakan oleh guru dalam menjalankan profesinya.[3]
Adapun hak yang dimiliki oleh seorang guru adalah
1. Mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik bagi guru yang telah
memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV
2. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial.
3. Mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional bagi
guru yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki satu atau lebih Sertifikat Pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi Guru
oleh Departemen memenuhi beban kerja sebagai Guru;
b. mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atau Guru kelas pada satuan pendidikan yang
sesuai dengan peruntukan Sertifikat Pendidik yang dimilikinya;
c. terdaftar pada Departemen sebagai Guru Tetap;
d. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; dan tidak terikat sebagai tenaga tetap pada
instansi selain satuan pendidikan tempat bertugas.
4. Mendapat Masalahat Tambahan dalam bentuk:
a. tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, atau penghargaan bagi Guru;
b. kemudahan memperoleh pendidikan bagi putra dan/atau putri Guru, pelayanan kesehatan,
atau bentuk kesejahteraan lain.
5. Mendapat penghargaan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat prestasi kerja luar biasa
baiknya, kenaikan jabatan, uang atau barang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
6. Mendapat tambahan angka kredit setara untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi 1
(satu) kali bagi Guru yang bertugas di Daerah Khusus.
7. Mendapatkan penghargaan bagi Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas pendidikan.
8. Mendapatkan promosi sesuai dengan tugas dan prestasi kerja dalam bentuk kenaikan pangkat
dan/atau kenaikan jenjang jabatan fungsional.
9. Memberikan penilaian hasil belajar dan menentukan kelulusan kepada peserta didik
10. Memberikan penghargaan kepada peserta didik yang terkait dengan prestasi akademik
dan/atau prestasi non-akademik
11. Memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar aturan.
12. Mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan
keselamatan
13. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif,
intimidasi atau perlakuan tidak adil
14. Mendapatkan perlindungan profesi terhadap :
a. pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
b. pemberian imbalan yang tidak wajar
c. pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
d. pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat Guru dalam melaksanakan tugas.
15. Mendapatkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dari satuan pendidikan dan
penyelenggara satuan pendidikan terhadap:
a. resiko gangguan keamanan kerja,
b. kecelakaan kerja
c. kebakaran pada waktu kerja
d. bencana alam
e. kesehatan lingkungan kerja dan/atau
f. resiko lain.
16. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan hak atas kekayaan intelektual sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Memperoleh akses memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran
18. Berserikat dalam Organisasi Profesi Guru.
19. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan
20. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan Kualifikasi Akademik dan
kompetensinya, serta untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya berhak memperoleh cuti studi.

Adapun Kewajiban seorang guru antara lain :


1. Memiliki Kualifikasi Akademik yang berlaku (S1 atau D IV)
2. Memiliki Kompetensi Pedagogik, yang meliputi : pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum atau
silabus; perancangan pembelajaran; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
pemanfaatan teknologi pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
3. Memiliki Kompetensi Kepribadian, yang meliputi : beriman dan bertakwa, berakhlak mulia;
arif dan bijaksana; demokratis; mantap; berwibawa; stabil; dewasa; jujur; sportif; menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat; secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri;
dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
4. Memiliki Kompetensi Sosial, yang meliputi :
a. berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun
b. menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c. bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan
satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik;
d. bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem
nilai yang berlaku; dan
e. menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
5. Memiliki Kompetensi Profesional, yang meliputi :
a. mampu menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan
diampu; dan
b. mampu menguasai konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan,
yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata
pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
6. Memiliki Sertifikat Pendidik
7. Sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
8. Melaporkan pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta
didik kepada pemimpin satuan pendidikan
9. Mentaati peraturan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah.
10. Melaksanakan melaksanakan pembelajaran yang mencakup kegiatan pokok : merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran; menilai hasil pembelajaran; membimbing dan
melatih peserta didik; dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan
kegiatan.[4]

 Hak dan Kewajiban Guru sebagai pegawai Negeri sipil menurut UU no. 8 tahun 1974
1. Kewajiban Guru
a. Wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
(pasal 4)
b. Wajib menaati segala peraturan perundang undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas
kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung
jawab. (pasal 5)
c. Wajib menyimpan rahasia jabatan. (pasal 6)
d. Pegawai Negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah yang
berwajib atas kuasa undang-undang. (pasal 6).
2. Hak Guru
a. Berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. (pasal
7)
b. Berhak atas cuti. (pasal 8)
c. Bagi mereka yang ditimpa oleh suatu kecelakaan dalam dan karena tugas kewajibannya,
berhak memperoleh perawatan. (pasal 9)
d. Bagi mereka yang menderita cacat jasmani dalam dan karena menjalankan tugas
kewajibannya yang mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi, berhak memperoleh tunjangan.
(pasal 9)
e. Pegawai negeri yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun. (pasal 10)
 Hak dan Kewajiban guru sebagai pendidik menurut UU SISDIKNAS No. 20 Tahun
2003
1. Kewajiban Guru
a. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan
dialogis.
b. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.
2. Hak Guru
a. Memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.
b. Memperoleh penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
c. Memperoleh pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas.
d. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual.
e. Memperoleh kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas pendidikan
untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.[5]

 Hak dan Kewajiban guru menurut UU No. 14 Tahun 2005 Ayat 1


1. Kewajiban Guru ( Pasal 20)
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
b. Mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni.
c. Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama,
suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi
peserta didik dalam pembelajaran.
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai
nilai agama dan etika.
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Hak Guru ( Pasal 14)


a. Memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial.
b. Mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi.
e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang
kelancaran tugas keprofesionalan.
f. Memberikan kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan dan atau sangsi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik
guru, dan peraturan perundang-undangan.
g. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik
dan kompetensi.
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

3. Hak Guru di Daerah Khusus


a. Kenaikan pangkat rutin secara otomatis.
b. Kenaikan pangkat istimewa satu kali.
c. Perlindungan dalam melaksanakan tugas.
d. Pindah tugas setelah bertugas 2 tahun dan tersedia guru penganti.[6

You might also like