Professional Documents
Culture Documents
opposite to the slope direction. The RMR value in batuan seperti RMR (Rock Mass Rating) yang
slope 1 is 63, categorized as Good rock and the dikembangkan oleh Bieniawski (1989), SMR
RMR in slope 2 is 57, which is in the medium rock (Slope Mass Rating) yang dibuat oleh Romana
category. The lowest SMR value in slope 1 was 29 (1985), Q-System oleh Barton, et al., (1974) dan
as a Bad class for planar failure, and 53 as a masih banyak klasifikasi massa batuan lainnya.
Normal category in slope 2 is toppling failure. Klasifikasi massa batuan digunakan untuk menilai
Slope 1 has a 60 % probability of a planar failure kualitas massa batuan untuk pekerjaan sipil dan
event. pertambangan termasuk didalamnya dalam
perancangan terowongan dan lereng. Dalam
Keywords: slope stability, kinematic analysis,
penelitian ini, klasifikasi massa batuan digunakan
rock mass classification.
bertujuan untuk menilai kualitas dan kestabilan
PENDAHULUAN sebuah lereng di jalan raya.
Kestabilan lereng merupakan sebuah sebuah Pengambilan data struktur massa batuan dan
keharusan pada setiap pekerjaan jalan raya. klasifikasi massa batuan dilakukan menggunakan
Lereng sepanjang jalan yang terdiri dari batuan metode scanline dengan cara membentang
dan tanah haruslah memiliki kestabilan yang meteran sepanjang lereng yang akan dianalisis.
cukup sehingga tidak dimungkinkan untuk Metode scanline merupakan metode objektif yang
terjadinya longsor. Untuk mengetahui kestabilan sangat efektif untuk merekam/mendata dan
sebuah lereng batu perlu dilakukan analisis mendiskripsikan rekahan pada sebuah singkapan
kinematik lereng dan klasifikasi massa batuan massa batuan (Brown, 1981). Lereng yang
yang bertujuan untuk mengetahui jenis longsoran dianalisis dalam makalah ini adalah lereng batu
yang akan terjadi di masa yang akan datang, jalan Banda Aceh – Aceh Jaya, tepatnya di Km
menilai kualitas massa batuan pembentuk lereng, 17,8 Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar seperti
dan tingkat kestabilannya berdasarkan klasifikas yang ditunjukkan oleh Gambar 1. Lereng pada Km
Slope Mass Rating (SMR). 17,8 tersebut dipotong untuk pelebaran jalan raya
Metode analisis kinematik merupakan sebuah Banda Aceh – Aceh Jaya oleh pihak USAID pada
upaya mengetahui kestabilan lereng berdasarkan masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca
jenis gerakan material lereng tanpa menganalisis tsunami 2004. Di beberapa tempat sepanjang jalan
gaya penyebab material lereng bergerak (Gurocak, tersebut, sudah sering terjadi longsor baik itu
et al., 2008). Dalam metode kinematik analisis, longsoran tanah maupun jatuhan batu. Dalam
pengaruh struktur geologi berupa bidang upaya penilai kestabilan lereng di Km 17,8,
diskontinuitas berupa perlapisan, kekar, lipatan, sehingga penyelidikan menggunakan metode
rekahan dan patahan akan dianalisis secara analisis kinematik lereng dan analisis klasifikasi
seksama. Aspek struktur geologi bidang massa batuan (rock mass classification), termasuk
diskontinuitas ini sangat mempengaruhi tingkat didalamnya Rock Mass Rating (RMR) dan Slope
kestabilan lereng batuan (Rusydy, et al., 2016; Mass Rating (SMR).
Grelle, et al., 2011; Wyllie & Mah, 2004). LOKASI DAN GEOLOGI DAERAH
Berdasarkan hasil analisis kinematik lereng ini, PENELITIAN
nantinya akan dapat diperkirakan sebuah lereng
Berdasarkan peta Geologi lembar Banda Aceh
stabil atau tidak. Apabila sebuah lereng ditemukan
yang dibuat oleh Bennet, et al., (1981) dikatakan
tidak stabil, maka berdasarkan analisis kinematik
bahwa kawasan Lhoknga terbentuk oleh
ini akan diketahui jenis longsoran yang akan
batugamping lempungan yang berwarna gelap dan
terjadi di masa yang akan datang.
berlapis-lapis yang terbentuk pada zaman Jura
Rai, et al., (2014) menyatakan bahwa klasifikasi hingga Kapur. Berdasarkan hasil pengamatan
massa batuan berkembang ketika pada tahun 1879 lapangan, pada lereng batuan ditemukan bidang
Ritter berusaha memformulasikan pendekatan ketidakmenerusan berupa perlapisan, kekar dan
empiris untuk perancangan terowongan, terutama sesar. Batugamping lempungan tersebut
untuk keperluan sistem penyangga. Banyak merupakan bagian dari formasi batugamping Raba
klasifikasi massa batuan menggunakan dan termasuk dalam group Woyla.
multiparamater yang dikembangkan dari kasus
Menurut Barber & Crow (2005), batuan grup
pekerjaan sipil dan komponen sifat geologi massa
Woyla yang terbentuk pada akhir Jura hingga
146
Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.27, No.2, Desember 2017, 145-155
Gambar 1. Peta Geologi dan Lokasi Penyelidikan (modifikasi dari Bennet et al.,1981).
Kapur membentang sepanjang Bukit Barisan dari merupakan batuan akresi akibat proses subduksi.
Aceh sampai dengan Sumatra Barat, namun paling Selain itu, beberapa batuan di grup Woyla pada
banyak ditemukan di Aceh. Batuan ini merupakan awalnya merupakan batuan yang berasal dari
bagian dari kumpulan batuan samudra yang benua kecil Sikuleh yang terbentuk di sisi utara
memiliki banyak patahan, kekar dan perlipatan, benua Gondwana dan terus bergerak menabrak
hal ini dikarenakan sebagian batuan grup Woyla Sundaland atau lempeng Eurasia (Barber, 2000).
147
Rusydy et al. / Analisis Kestabilan Lereng Batu Di Jalan Raya Lhoknga Km 17,8 Kabupaten Aceh Besar
Proses akresi akibat subduksi ini yang RQD = 100e-0,1-0,1 (0,1 +1) (1)
menyebabkan kawasan lereng yang diteliti
memiliki pola bidang ketidakmenerusan berupa merupakan frekuensi bidang diskontinuitas
perlapisan batuan yang menegak, saling yang terdapat pada sebuah lereng batuan.
berpotongan dan banyak kekar. Kondisi ini Perhitungan dilakukan dengan cara
menjadikan kawasan lereng Km 17,8 menjadi membagikan jumlah kekar-kekar yang terdapat
tidak stabil dan harus dilakukan penelitian analisis dalam lereng terhadap panjang scanline
kinematik lereng, penilaian Rock Mass Rating pengukuran. Parameter yang ketiga yang akan
(RMR), dan Slope Mass Rating (SMR). Hasil dari didapatkan berdasarkan hasil akuisisi data
penelitian ini akan didapatkan jenis longsoran lapangan adalah spasi bidang diskontinuitasnya.
yang mungkin terjadi di lereng tersebut Perhitungan spasi dilakukan pada masing-masing
berdasarkan analisis struktur batuannya, kekar (joint set) dengan membagikan panjang
klasifikasi massa batuan berdasarkan Bieniawski scanline terhadap jumlah kekar pada masing-
(1989) dan tingkat kestabilan lereng berdasarkan masing kekar dengan memperhitungan arah kekar,
kriteria yang dikeluarkan oleh Romana (1985). kemiringan kekar, dan arah lereng.
Hasil akhir dari penelitian ini adalah rekomendasi Parameter keempat yang didata di lapangan adalah
kestabilan lereng Km 17,8 yang dapat berupa kondisi bidang diskontinuitas lereng. Kondisi
penguatan lereng atau re-profiling lereng. bidang diskontinuitas meliputi kemenerusan,
METODE bukaan, kekasaran, pengisi, dan tingkat
perlapukan. Nilai kemenerusan, bukaan dan
a. Akuisisi Data Struktur Massa batuan pengisi merujuk kepada bobot yang dikeluarkan
Akuisisi data struktur massa batuan dilakukan di oleh Bieniawski (1989), sedangkan nilai
sepanjang lereng menggunakan metode scanline. kekasaran kekar dan derajat perlapukan,
Metode scanline diaplikasikan dengan deskripsinya ditentukan berdasarkan standar yang
membentangkan meteran sepanjang lereng dan dikeluarkan oleh Brown (1981). Parameter
struktur massa batuan yang diambil adalah terakhir yang ambil di lapangan adalah kondisi
struktur masa batuan yang melewati garis scanline keairan di lereng, penilaian dimulai dari kondisi
(Brown, 1981). Semua paramater RMR yang tanpa air (kering) sampai mengalir.
tercantum pada Tabel 1 dilakukan pengambilan b. Analisis Kinematik Lereng (Slope Kinematic
datanya berupa orientasi bidang Analysis)
ketidakmenerusan (diskontinuitas) menggunakan
kompas geologi, kondisi lereng dan estimasi Metode analisis kinematik lereng yang dilakukan
kekuatan batuan utuh pada sebuah lereng. berdasarkan pada metode proyeksi stereografi
Estimasi kekuatan batuan utuh dilakukan yang diperkenalkan oleh Hoek & Bray (1981) dan
menggunakan palu geologi berdasarkan Hoek Goodman (1989). Semua data geologi yang
(2007) dan pengukuran Schmidt Hammer jenis didapatkan di lapangan berupa arah kemiringan
N/NR. Estimasi ini sangat efisien dilakukan di dan bidang kemiringan sebuah rekahan, patahan,
lapangan, dan tidak menjadi masalah yang berarti kekar, dan perlapisan. Data tersebut akan
karena nilai bobot RMR Bieniawski (1989) dibuat diplotkan dalam proyeksi stereografi untuk
dalam bentuk data range. selanjutkan dianalisis tingkat kestabilan lereng
dan jenis longsoran yang akan terjadi. Proyeksi
Nilai kualitas inti bor atau Rock Quality stereografi sendiri merupakan sebuah metode
Designation (RQD) merupakan paramater kedua memproyeksikan kondisi struktur geologi tiga
yang dihitung dalam survei struktur massa batuan. dimensi menjadi bidang datar dua dimensi.
RQD pertama sekali dikembangkan oleh Deere, et Dengan memahami distribusi bidang-bidang
al., (1967), untuk menilai kualitas batuan dari lemah yang sudah diproyeksikan, maka kita akan
kerapatan kekar di sebuah lubang bor. Untuk data bisa mengetahui sudut relatif sebuah batuan yang
bidang diskontinuitas pada sebuah lereng, selanjutnya digunakan untuk tujuan analisis
persamaan yang dibuat oleh Deere, et al., (1967) kinematik. Metode analisis proyeksti stereografi
tidak bisa digunakan karena data lubang bor tidak ini biasa digunakan untuk menganalisis kestabilan
tersedia. Perhitungan nilai RQD sebuah lereng lereng dan terowongan (Lee & Wang, 2011).
menggunakan metode scanline diusulkan oleh Berdasarkan proyeksi stereografi Hoek and Bray
Priest (1993) menggunakan persamaan (1). (1981) dan Goodman (1989), mereka membagi 4
148
Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.27, No.2, Desember 2017, 145-155
Gambar 2. Kondisi kinematik ketidakstabilan lereng berdasarkan bidang rekahan, sebelah kiri
bentuk jenis longsorannya dan sebelah kanan berupa bentuk projeksi stereografinya; (a) Kegagalan
jenis rotasional, (b) kegagalan jenis planar, (c). Kegagalan jenis baji/wedge, (d) Kegagalan jenis
gulingan\toppling (Hoek & Bray, 1981).
jenis kegagalan lereng atau longsoran yang akan bentuk longsorannya dapat dilihat pada Gambar
terjadi; (i) kegagalan jenis planar, (ii) kegagalan 2d. Kegagalan jenis gulingan pertama sekali
jenis baji/wedge, (iii) kegagalan jenis gulingan, diperkenalkan oleh Muller (1968, dalam Wyllie &
dan (iv) kegagalan jenis rotasional. Kegagalan Mah, 2004). Apabila tingkat pelapukan sangat
jenis rotasional terjadi pada lereng dengan tingkat tinggi dan banyak bidang diskontinuitas maka
pelapisan tinggi atau lereng tanah dan tidak jenis longsoran rotasional akan terjadi sebagai
dibahas dalam makalah ini. Makalah ini hanya ditunjukkan oleh Gambar 2a.
membahas kegagalan lereng yang terjadi pada
c. Klasifikasi Massa Batuan (Rock Mass
batuan. Keempat jenis kegagalan lereng pada
Classification)
batuan beserta pola proyeksi stereografi, dapat
dilihat pada Gambar 2. Metode klasifikasi massa batuan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode klasifikasi
Wyllie & Mah (2004) mencatat bahwa longsoran
struktur massa batuan Rock Mass Rating (RMR)
jenis planar terjadi ketika ada blok batuan yang
berdasarkan paramater Bieniawski (1989) dan
meluncur keluar dari muka lereng. Untuk bisa
Slope Mass Rating (SMR) berdasarkan paramater
terjadinya longsoran jenis ini, arah bidang planar
yang dikembangkan oleh Romana (1985). SMR
minimal ±20o dari arah lereng, sudut kemiringan
atau pembobotan massa lereng merupakan sebuah
lereng (βs) harus lebih besar dari sudut kemiringan
sistem klasifikasi massa batuan untuk
bidang planar (βj), dan sudut kemiringan bidang
penyempurnakan sistem klasifikasi massa batuan
(βj) harus lebih besar dari sudut geser dalam (φ)
yang sebelumnya sudah pernah diperkenalkan
batuan pembentuk lereng sebagaimana pada
oleh Bieniawski (1989) yang dikhususkan untuk
Gambar 2b. Untuk longsoran jenis baji akan
menilai kualitas lereng dan rekomendasi
terjadi apabila dua buah bidang rekahan batuan
kemiringan pengupasan lereng yang aman.
saling memotong satu sama lain sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2c. Kemiringan bidang Untuk menghitung nilai SMR sebuah massa
plunge (βi) yang dihasilkan dari bidang yang batuan, terlebih dahulu harus dilakukan
saling berpotongan tersebut harus lebih landai perhitungan nilai klasifikasi massa batuan (Rock
dibandingkan dengan kemiringan lereng (βs) akan Mass Rating/RMR) sesuai dengan Tabel 1 di
tetapi kemiringan bidang plunge tersebut harus bawah ini.
lebih besar dari sudut geser dalam (φ). Kegagalan Apabila nilai RMR berdasarkan Tabel 1 telah
yang ketiga adalah jenis gulingan, dimana didapatkan, maka selanjutkan dilakukan
kegagalan ini melibatkan perputaran blok batuan perhitungan nilai SMR menggunakan rumus yang
yang memiliki arah rekahan berlawanan arah dikembangkan oleh Romana (1985).
dengan arah lereng. Analisis stereografi dan
149
Rusydy et al. / Analisis Kestabilan Lereng Batu Di Jalan Raya Lhoknga Km 17,8 Kabupaten Aceh Besar
150
Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.27, No.2, Desember 2017, 145-155
Gambar 3. Peta Google Earth lokasi lereng yang diteliti dan hasil proyeksi joint set masing-masing
lereng.
a. Proyeksi Stereografi Joint set J1, J2 dan Muka Lereng Lereng 1
b. Proyeksi Stereografi Joint set J1, J2 dan Muka Lereng Lereng 2
Tabel 2. Data geometri lereng dan Joint Set yang terdapat di Lereng 1 & 2 Km 17,8 Lhoknga.
Sudut
Joint Arah Kemiringan Jumlah Kemiringan
Lereng Geser Arah Lereng (αs)
Set Jurus Bidang (βj) Data Lereng (βs)
Dalam (φ)
J1 240o N 45o 23
Lereng 1 35o 70o 250 o
J2 146o N 58o 4
J1 186o N 71o 62
Lereng 2 25o 68 o 320 o
J2 358o N 86o 21
Longsoran baji terjadi karena terdapat bidang landai dari kemiringan lereng (βs). Kondisi ini
diskontinuitas J1 dan J2 yang saling memotong. menjadikan lereng 1 sangat rentan terhadap
Titik perpotongan bidang J1 dengan J2 masih terjadinya longsoran jenis baji. Longsoran baji
berada dalam sudut geser dalam (φ) dan lebih yang akan terjadi di lereng 1 memiliki arah plunge
151
Rusydy et al. / Analisis Kestabilan Lereng Batu Di Jalan Raya Lhoknga Km 17,8 Kabupaten Aceh Besar
Tabel 4. Klasifikasi batuan menggunakan parameter RMR basic di lereng Km 17,8 Lhoknga.
Lereng 1 Lereng 2
No. Parameter RMR
Kondisi Bobot Kondisi Bobot
Nilai RMRbasic 63 57
(αi) 295o N dengan sudut plunge (β i) 40o gulingan (toppling) kemungkian bisa terjadi di
sebagaimana ditunjukkan oleh tanda panah pada lereng 2 apabila ada gangguan luar seperti gempa
Gambar 3 (a). Selain longsoran jenis baji, bumi.
longsoran jenis planar juga bisa terjadi di lereng 1,
b. RMR Lereng Km 17,8
hal ini dikarenakan bidang J1 yang hampir sejajar
dengan arah lereng. Antara lereng dengan bidang Nilai perkiraan UCS menggunakan Schmidt
planar J1 memiliki sudut perbedaan sebesar 14 o, Hammer jenis N/NR menunjukkan nilai UCS rata-
sudut kemiringan lereng (βs) lebih besar dari sudut rata sebesar 31 MPa. Pengujian lapangan
kemiringan bidang planar (βj), dan sudut menggunakan palu geologi juga menunjukkan
kemiringan bidang (βj) harus lebih besar dari sudut bahwa batuan tersebut tidak bisa digores atau
geser dalam (φ). Menurut Wyllie & Mah (2004), dikupas menggunakan pisau namun dapat pecah
syarat tersebut sudah cukup memenuhi untuk dalam sekali pukulan dengan palu geologi
terjadinya longsoran jenis planar. sehingga nilai perkiraan UCS batuan di lereng
tersebut berkisar antara 25 – 50 MPa (Tabel 3).
Pada lereng ke-2, terdapat 2 bidang joint set yaitu
J1 dan J2 yang juga saling perpotongan. Sudut Kondisi bidang diskontinuitas pada lereng 1
bidang plunge (βi) yang dihasilkan dari J1 dan J2 mengambil kondisi joint set J1 dengan
lebih landai dibandingkan dengan kemiringan pertimbangan jumlah data J1 lebih banyak
lereng (βj) akan tetapi kemiringan bidang plunge dibanding dengan J2. Kondisi bidang
tersebut lebih kecil dari sudut geser dalam (φ). diskontinuitas pada lereng 2 mengambil kondisi
Karena sudut bidang plunge lebih kecil dari sudut terburuk di joint set J1, Jumlah data J1 juga lebih
geser dalam, sehingga longsoran jenis baji tidak banyak dibandingkan dengan J2. Hasil
terjadi di lereng 2. Namun demikian, bidang J2 perhitungan RMRbasic berdasarkan parameter
memiliki orientasi yang berlawanan arah dengan Bieniawski (1989) dapat dilihat pada Tabel 4.
arah kemiringan lereng sehingga longsoran
152
Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.27, No.2, Desember 2017, 145-155
Nilai perhitungan RMRbasic pada kedua lereng, Nilai SMR pada lereng 1 jenis longsoran baji
tidak berbeda jauh, lereng 1 memiliki nilai RMR bernilai 55 dan masih berada dalam kelas III atau
sebesar 63 dan lereng 2 sebesar 57. Apabila kita normal (41 – 60). Menurut Romana (1985), SMR
melihat kepada standar pengkelasan batuan kelas III memiliki nilai probabilitas longsor
berdasarkan nilai RMR, maka lereng 1 berada sebesar 0,4. Kecilnya probabilitas longsoran jenis
pada kisaran nilai RMR (80 – 61) kelas II dengan baji di lereng 1 dikarenakan arah plunge baji yang
kategori Batuan Bagus (Good Rock). Sedangkan berbeda sebesar 45o dengan arah lereng sehingga
lereng 2 berada pada kisaran nilai RMR 60 – 41 tingkat kesejajaran kecil. Tingkat kesejajaran yang
dan termasuk kelas III dengan kategori Batuan kecil ditandaikan dengan kecil angka F1 untuk
Sedang (Fair Rock). Nilai RMRbasic ini didapatkan jenis longsoran baji di lereng 1. Namun demikian,
pada kondisi cuaca tidak hujan dengan kondisi nilai SMR lereng 1 sangat kecil untuk jenis
lereng lembab sampai dengan kering. Pada longsoran planar dan masuk dalam kelas IV atau
kondisi musim penghujan, kondisi keairan lereng buruk (21 – 40) dengan probabilitas longsoran
bisa basah sehingga nilai bobotnya menjadi 4 dan jenis planar sebesar 0,6 atau 60%. Kondisi buruk
RMR-nya menjadi 61 untuk lereng 1 dan 49 untuk ini dikarenakan arah bidang J2 (αj) sebesar 256o N
lereng 2, kondisi ini tidak merubah kategori dan dan lerengnya mengarah (αs) ke 250o N. Tingkat
kelas batuan di kawasan penelitian. Untuk kesejajaran longsoran jenis planar di lereng 1
mengetahui tingkat kestabilan lereng tersebut, sebesar 14o dengan nilai F1 0,57. Selain nilai F1
selanjutkan dilakukan analisis SMR berdasarkan yang berada pada kondisi tidak menguntungkan,
kriteria dari Romana (1985). nilai F2 dan F3 juga tergolong tidak
menguntungkan.
c. SMR Lereng Km 17,8
Nilai SMR lereng 2 didapatkan sebesar 53,
Analisis kinematik lereng menunjukkan bahwa
termasuk dalam kelas III dengan kategori normal
pada lereng 1 Km 14 dimungkinkan untuk
(41 – 60). Analisis nilai SMR lereng 2 hanya
terjadinya longsoran jenis baji dan planar
dilakukan untuk jenis longsoran gulingan yang
sedangkan untuk lereng 2 berupa longsoran
disebabkan oleh bidang diskontinuitas J2. Nilai
gulingan. Analisis kinematik lereng tersebut
SMR lereng 2 yang termasuk kategori normal
menjadi dasar penentuan jenis longsoran untuk
dikarenakan tingkat kesejajaran antara arah
selanjutkan dilakukan analisis SMR atau
bidang diskontinuitas J2 dengan arah lereng
pembobotan massa lereng. Berdasarkan
sebesar 52o. Tingkat kesejajaran yang rendah ini
perhitungan menggunakan persamaan (2), (3), dan
menjadikan kemungkinan longsoran gulingan di
(4) serta tabel standar yang dibuat oleh Romana
lereng 2 semakin berkurang atau dengan
(1985), maka didapatkan nilai akhir RMR lereng
probabilitas sebesar 0,4. Tingkat kesejajaran
1 sebesar 55 untuk jenis longsoran baji (W) dan 29
bidang tersebut ditandai dengan rendahnya nilai F1
untuk jenis longsoran planar (P). Analisis SMR
di lereng 2. Sudut perbedaan antara kemiringan
lereng 2 menunjukkan nilai SMR sebesar 53 untuk
lereng (βs) dengan kemiringan bidang
jenis longsoran gulingan saja (Tabel 5).
153
Rusydy et al. / Analisis Kestabilan Lereng Batu Di Jalan Raya Lhoknga Km 17,8 Kabupaten Aceh Besar
diskontinuitas (βj) J2 154o dan termasuk dalam Analisis kinematik lereng mampu memperkirakan
kategori Sedang (fair) dengan nilai F3 sebesar -25. jenis longsoran akan terjadi pada lereng batuan
dan tidak mampu menganalisis tingkat
KESIMPULAN
kestabilannya. Kualitas massa batuan pembentuk
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan lereng berhasil diklasifikasi menggunakan
metode analisis kinematik lereng, klasifikasi klasifikasi kualitas massa batuan metode RMR
massa batuan RMR, dan klasifikasis massa batuan dan SMR. Walaupun demikian, penelitian ini
SMR, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. belum mampu menganalisis faktor keamanan
Analisis kinematik lereng menunjukkan lereng 1 dan lereng 2. Di masa yang akan datang,
terdapatnya joint set di lereng 1 dan 2 joint set di diharapkan adanya penelitian analisis kestabilan
lereng 2 jalan raya Km 17,8 Kecamatan Lhoknga lereng mengunakan metode keseimbangan batas
Kabupaten Aceh Besar. Kedua joint set tersebut (limit equilibrium) untuk mengetahui faktor
mempengaruhi jenis longsoran yang akan terjadi keamanan lereng tersebut.
pada kedua lereng tersebut. Longsoran jenis baji UCAPAN TERIMAKASIH
dan planar kemungkinan akan terjadi di lereng 1
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
karena ditemukan bidang longsoran yang
mahasiswa Teknik Pertambangan dan Teknik
memiliki sudut kemiringan lebih besar dari sudut
Geologi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
geser dalam batuan pembentuk lereng 1. Di
yang telah membantu kami dalam melakukan
Lereng 2, longsoran jenis gulingan dimungkinkan
akuisisi data di lapangan. Kepada saudara Agus
akan terjadi karena ditemukan bidang joint set
dan Mahlil yang telah membantu dalam proses
yang memiliki arah yang berlawanan dengan arah
akuisisi data di lapangan dan kepada semua pihak
lereng.
yang telah memberi dukungan sehingga penelitian
Klasifikasi massa batuan (RMR) menunjukkan ini bisa berjalan dengan lancar.
bahwa batuan pembentuk lereng 1 masuk dalam
kategori kualitas massa batuan bagus dan lereng 2 DAFTAR PUSTAKA
masuk kategori kualitas massa batuan sedang. Barber, A. J., 2000. The Origin Of The Woyla
Walaupun beda kategori, nilai RMR kedua lereng Terranes In Sumatra And The Late
tersebut hanya berbeda 6 sehingga bisa dikatakan Mesozoic Evolution Of The Sundaland
kondisinya hampir sama. Nilai RMR yang tidak Margin. Journal of Asian Earth
berbeda jauh tidak menjadikan kedua lereng Sciences, 18(6), 713-738.
tersebut memiliki nilai SMR atau pembobotan
Barber, A. J., and Crow, M. J., 2005. Pre-Tertiary
massa lereng yang sama. Pembedaan nilai SMR
stratigraphy. dalam: A. J. Barber, M. J.
kedua lereng tersebut dikarenakan pembedaan
jenis longsoran yang akan terjadi, geometri lereng, Crow & J. S. Milson. Sumatra: Geology,
dan geometri bidang diskontinuitas. Resources, and Tectonic Evolution.
London: Geological Society, 40 pp.
Berdasakan hasil analisis SMR, ditemukan bahwa
Barton, N. R., Lien, R., and Lunde, J., 1974.
lereng 1 lebih tidak stabil dibandingkan dengan
lereng 2 dan memiliki nilai SMR sebesar 29 atau Engineering classification of rock
masuk dalam kelas IV kategori kualitas buruk (21 masses for the design of tunnel support.
Rock Mech, 6(4), 189-239.
– 40) dengan probabilitas longsoran jenis planar
sebesar 60%. Kondisi ini mengharuskan Bennet, J. D., et al., 1981. Peta Geologi Lembar
dilakukannya stabilisasi di lereng 1. Lereng Banda Aceh, Sumatra, Bandung: Pusat
dengan kategori kualitas buruk harus dilakukan Penelitian dan Pengembangan Geologi.
penguatan lereng berupa pemasangan shortcrete
Bieniawski, Z. T., 1989. Engineering Rock Mass
secara menyeluruh; pemasangan dinding penahan,
Classification. New York: John Wiley &
atau dilakukan pelandaian lereng dan perbaikan
Sons.
sistem drainase di lereng. Lereng 2 memiliki nilai
SMR kategori kualitas normal, walaupun Brown, E. T., 1981. Rock Characterization,
demikian di beberapa bagian kekar bisa dikuatkan Testing and Monitoring, ISRM
dengan memasang baut batu (rockbolt), shortcrete Suggested Methods. Oxford: Published
dan dinding penahan. for the Commission on Testing
154
Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.27, No.2, Desember 2017, 145-155
155