You are on page 1of 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Luka bakar
menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relative tinggi dibandingkan dengan cedera oleh
sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang
lebih 250.000 orang mengalami luka bakar setiap tahunnya. Dari angka tersebut 112.000 penderita
luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar meninggal
dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya
jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut makin meningkat.1

Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbulkan efek sistemik
yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh
kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas dan letak luka. Selain beratnya
luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi prognosis.1

1
BAB II

LUKA BAKAR

1. Definisi Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar
merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.2

2. Epidemiologi Luka Bakar

Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000 orang
meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun. Luka bakar karena api
merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak beresiko tinggi
terhadap kematian akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka
bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup.3
Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar setiap tahunnya.
Dari angka tersebut, 112.000 penderita luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar
210 penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka
bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut
semakin meningkat.1 Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, Indonesia memiliki prevalensi luka bakar
sebesar 0,7%.5

3. Etiologi Luka Bakar

Penyebab luka bakar yang tersering adalah berbakar api langsung yang dapat dipicu atau
diperparah dengan kompor tangga, cairan dari tabung pematik api, yang akan menyebabkan luka
bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit. Pada anak kurang lebih 60% luka bakar disebabkan
oleh air panas yang terjadi pada kecelakaan rumah tangga, dan umumnya merupakan luka bakar
superfisial, tetapi dapat juga mengenai seluruh ketebalan kulit (derajat tiga).1

Penyebab luka bakar lainnya adalah pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan
kimia. Bahan kimia ini bisa berupa asam atau basa kuat. Asam kuat menyebabkan nekrosis

2
koagulasi, denaturasi protein, dan rasa nyeri yang hebat. Asam hidrofluorida mampu menembus
jaringan sampai ke dalam dan menyebabkan toksisitas sistemik fatal, bahkan pada luka yang kecil
sekalipun. Alkali atau basa kuat yang banyak terdapat dalam rumah tangga antara lain cairan
pemutih pakaian (bleeching), berbagai cairan pembersih dll. Luka bakar yang disebabkan oleh
basa kuat akan menyebabkan jaringan mengalami nekrosis yang mencair (liquefactive necrosis).
Kemampuan alkali menembus jaringan lebih dalam lebih kuat daripada asam, kerusakan jaringan
lebih berat karena sel mengalami dehidrasi dan terjadi denaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit
baru timbul belakangan sehingga penderita sering terlambang datang untuk berobat dan kerusakan
jaringan sudah meluas.1

Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.
Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan
luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dibagi menjadi: 1,7
 Flame
Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke
jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami
memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala
dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
 Benda panas (kontak)
Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada
area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-
alat seperti solder besi atau peralatan masak.
 Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu kontaknya,
semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan
dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada
kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
 Uap panas

3
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran
napas distal di paru.
 Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas akibat
edema.
 Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar
mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian
dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
Arus listrik menimbulkan kelainan karena rangsangan terhadap saraf dan otot. Energi panas yang
timbul akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jaringan tersebut.
Energi panas dari loncatan arus listrik tegangan tinggi yang mengenai tubuh akan menimbulkan
luka bakar yang dalam karena suhu bunga api listrik dapat mencapai 2500ºC. Arus bolak balik
menimbulkan rangsangan otot yang hebat berupa kejang-kejang. Bila arus tersebut melalui
jantung, kekuatan sebesar 60mA sudah cukup untuk menimbulkan fibrilasi ventrikel.
Urutan tahanan jaringan dimulai dari yang paling rendah adalah saraf, pembuluh darah, otot, kulit,
tendo, dan tulang. Jaringan yang tahanannya tinggi akan lebih banyak dialiri arus listrik sehingga
akan menerima panas lebih banyak. Karena epidermisnya lebih tebal, telapak tangan dan kaki
mempunyai tahanan listrik lebih tinggi sehingga luka bakar yang terjadi akibat arus listrik di
daerah ini juga lebih berat. Bila kulit basah atau lembab, arus akan mudah sekali masuk. Di tempat
masuk arus listrik, tampak luka bakar dengan kulit yang lebih rendah dari sekelilingnya, dan
terdapat juga luka bakar yang serupa di tempat loncatan arus keluar.
Panas yang timbul pada pembuluh darah akan merusak tunika intima sehingga terjadi thrombosis
yang timbul pelan pelan. Hal ini menerangkan mengapa kematian jaringan pada luka bakar listrik
seakan progresif dan banyak kerusakan jaringan baru terjadi kemudian.
 Zat kimia (asam atau basa)
Luka dapat terjadi akibat kelengahan, kecelakaan kerja, kecelakaan industry, dan akibat
penggunaan gas beracun. Kerusakan yang terjadi sebanding dengan kadar dan jumlah bahan yang

4
mengenai tubuh, cara dan lamanya kontak, serta sifat dan cara kerja zat kimia tersebut. Zat kimia
akan tetap merusak jaringan sampai bahan tersebut habis bereaksi dengan jaringan tubuh.
 Radiasi
Radiasi adalah pancaran dan pemindahan energi melalui ruang dari suatu sumber ke tempat lain
tanpa perantaraan massa atau kekuatan listrik. Pemindahan energi merangsang molekul sel dan
menimbulkan reaksi ionisasi yang bersifat destruktif bagi sel, terutama bagi DNA, sedangkan
panas yang ditimbulkannya tidak berarti. Radiasi yang bersifat ionisasi akan merusak kromosom
sehingga dapat menimbulkan mutasi yang menjadi dasar perkembangan keganasan. Daya merusak
ini sebanding dengan dosis dan bersifat kumulatif.
 Sunburn (sinar matahari, terapi radiasi)

4. Klasifikasi Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi
resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut
terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari
bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah
meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I,
II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk
dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan
dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan
keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

5
Gambar 1. Luka Bakar Derajat I

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel
vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel
epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya
jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran
luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah
karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat
II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah
di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar
derajat III.

6
Gambar 2. Luka Bakar Derajat II

 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang
lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar
regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus
dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena
pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.

Gambar 3. Luka Bakar Derajat III

7
BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya
kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan
koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan
pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga
menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat, dan
penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap
luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan
individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien
dengan derajat luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang
dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai
dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah
genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada
orang dewasa.

8
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh
lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas
permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-
15-20 untuk anak.

Gambar 4. Rumus 10 untuk bayi. Rumus 10-15-20 untuk anak. Rumus 9 untuk dewasa.

9
 Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada
anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila
tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan
lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Gambar 5. Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of
body surface area affected by burns in children.

PEMBAGIAN LUKA BAKAR


1. Luka bakar berat (major burn)

10
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari
10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,
dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan
perineum

5. Patofisiologi Luka Bakar

Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak baru lahir sampai
1 m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh kapiler
dibawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekali pun akan rusak dan menyebabkan
permeabillitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga
terjadi udem dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan
mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan.1

Kedua penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskular.


Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik

11
disertai gejala khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah
menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi setelah
delapan jam.1

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi, sel darah
yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.1

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang terhirup. Udem laring yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.1

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbonmonoksida sangat
kuat terikat dengan hemoglobin tidak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu
lemas, bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih
dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.1

Setelah 12-48 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan dari ruang interstitial ke pembuluh darah yang ditandai dengan
meningkatnya diuresis.1

Luka bakar umunya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium
yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena
daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh
ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar,
selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasanya sangat berbahaya
karena kumannya banyak yanng sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.1

Pada awal, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit
sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif.
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang
berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat
dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka. Kuman memproduksi enzim penghancur
keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan membentuk nanah.1

12
Infeksi ringan dan nonivasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas
dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasive ditandai dengan keropeng yang kering dengan
perubahan jaringan ditepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar
yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vasculitis pada
pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan thrombosis.1

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari elemen epitel yang masih vital,
misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar
derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan
secara estetik sangat jelek.1

Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila
ini terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang. Pada luka bakar berat dapat
ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristaltic usu menurun atau berhenti karena syok. Juga
peristaltic dapat menurun karena kekurangan ion kalium.1

Stress atau beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat
dapat menyebabkan tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan
gejala tukak peptic. Kelainan ini dikenal dengan tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke
lambung berkurang, sehingga terjadi iskemik mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul
ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan pada tukak curling ini adalah penyulit
perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan/atau melena.1

Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negative. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolism tinggi, dan mudah
terjadi infeksi. Penguapan berlebih dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan.
Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari permukaan pembakaran protein
dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil dan berat badan
menurun. Kecacatan akibat luka bakar bisa sangat hebat, terutama bila mengenai wajah. Penderita
mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut, sampai bisa menimbulkan
gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn.1

Menurut Jackson6 pada tahun 1947, luka bakar dibagi menjadi 3 zona, yaitu :

13
1. Zona koagulasi, zona nekrosis6
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat pengaruh
cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah
kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis6
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi
gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon
inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir
dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi6
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak
melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga
dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.

Gambar 6. Jackson’s burn model

6. Tatalaksana Luka Bakar

I. Penanganan awal (primary survey) pada pasien luka bakar, sebagai berikut:
a. Airway; membebaskan jalan napas, menilai adanya trauma inhalasi, dan melakukan
intubasi bila terdapat indikasi. Indikasi pemasangan intubasi pada luka bakar, yaitu trauma

14
inhalasi, stridor, luka bakar yang melingkari leher sehingga mengakibatkan pembengkakan
jaringan sekitar jalan napas.
b. Breathing; memberikan O2, mengenali dan mengatasi keracunan CO.
c. Circulation; memantau tekanan darah dan nadi, memasang kateter urin, memeriksa
sirkulasi perifer (Capillary Refill Time / CRT), dan memasang infus.
d. Disability; menilai GCS.
e. Environment; memadamkan sumber panas lalu merendam atau menyiram luka bakar
dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya 15 menit, melepaskan pakaian,
memeriksa luas luka bakar, memeriksa adanya trauma penyerta lain, dan menjaga agar
pasien tetap hangat.
f. Fluid; melakukan resusitasi cairan sesuai dengan luas luka bakar.
Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan pada seorang pasien luka bakar, yaitu:
a. Cara Evans7 adalah sebagai berikut:
1. Luas luka (%) x berat badan (kg) = ml NaCl per 24 jam
2. Luas luka (%) x berat badan (kg) = ml plasma per 24 jam
Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat udem. Plasma diperlukan untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis, hingga
mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar.
3. Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan 2000cc glukosa 5% per
24 jam.7
Separuh dari jumlah ketiganya diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga,
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. Penderita mula-mula dipuasakan karena peristalsis
usus terhambat pada keadaan prasyok dan mulai diberikan minum segera setelah fungsi usus
normal kembali. Apabila diuresis pada hari ketiga baik, dan pasien dapat minum, infus dapat
dikurangi bahkan diberhentikan.7
b. Rumus Baxter = 4cc x % luas luka bakar x berat badan (kg)
Hasil yang didapatkan, separuhnya diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16
jam. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu Ringer laktat karena defisit ion Na. Hari
kedua diberikan setengah cairan pertama. Pemberian cairan dapat ditambah jika perlu, seperti
pada keadaan syok atau jika diuresis kurang.

15
II. Indikasi rawat inap7 pada pasien luka adalah sebagai berikut:
1. Penderita syok atau terancam syok
– Anak : luas luka > 10%
– Dewasa : luas luka > 15%
2. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat
– Wajah, mata
– Tangan atau kaki
– Perineum
3. Terancam udem laring
– Terhirup asap atau udara hangat

III. Penanganan lanjut (secondary survey) pada pasien luka bakar, sebagai berikut:
1. Pemantauan terhadap tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi nadi dan frekuensi
pernapasan.
2. Pemeriksaan penunjang untuk pasien luka bakar berat, yaitu pemeriksaan darah, seperti
hemoglobin, hematokrit dan analisis kadar elektrolit darah serta pemeriksaan radiologi.
3. Pemasangan pipa lambung (NGT) untuk mengosongkan lambung saat ileus paralitik.
4. Pemasangan kateter buli-buli untuk memantau diuresis.
5. Pemasangan kateter pengukur tekanan vena untuk memantau sirkulasi darah.
6. Obat analgesik diberikan apabila pasien mengalami kesakitan.
7. Perawatan luka dapat dilakukan dengan mengoleskan antiseptik dan membiarkan terbuka
pada perawatan terbuka atau mengkompres luka dengan antiseptik dan menutupnya dengan
kasa steril yang telah dibubuhi antiseptik untuk perawatan tertutup. Perawatan tertutup
bertujuan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi masih cukup longgar
untuk berlangsungnya penguapan.
8. Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim. Antiseptik yang
dipakai adalah betadine atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu
dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman, namun obat ini
mengendap sebagai garam sulfide atau klorida yang memberi warna hitam. Obat lain yang
banyak digunakan adalah silver sulfadiazin, dalam bentuk krim 1%. Krim ini sangat
berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya serap yang cukup, efektif terhadap

16
semua kuman, tidak menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa
pembalut, dan dapat dibersihkan dan diganti setiap hari.
9. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle).
10. Anti tetanus untuk pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.7

IV. Nutrisi7
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat
melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%
protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS
dan MODS.
Kebutuhan nutrisi pada pasien luka bakar antara lain:
a. Minuman diberikan pada pasien luka bakar:
- Segera setelah peristalsis menjadi normal.
- Sebanyak 25 ml/kgBB/hari
- Sampai diuresis minimal mencapai 30 ml/jam atau 1 ml/kgBB/jam
b. Makanan diberikan oral pada pasien luka bakar:
- Segera setelah dapat minum tanpa kesulitan.
- Sedapat mungkin 2500-3000 kalori/hari
- Sedapat mungkin mengandung 100-150 gr.protein/ hari
- Tambahan, dapat diberikan:
- Vitamin A, B, dan D
- Vitamin C 500 mg
- Fe sulfat 500 mg
- Antasida diberikan untuk pencegahan tukak stress (tukak Curling).

V. Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap

17
4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan
pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri
kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai
tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar


1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement) yang
dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar
dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya
jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan
segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi
edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan
terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari
luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu
yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi
luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn
toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang
terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat
dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko
kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga
eskar yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui
infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat
III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split
thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka
bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

18
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3
minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior. Eksisi
dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi
lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang
digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada
luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin
yang dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang
luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas
permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan
tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada
daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari
segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan
endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia.
Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang
sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah
pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik
ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint yang
lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf
superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi.

2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:

19
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar pasien.
Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh
manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien
(autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara
split thickness skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut
adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan
kulit donor tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada
kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6)
dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari
lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya
pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan
mesin ‘dermatome’ ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum
dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga
anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi luka
bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga
pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat
diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor
dengan jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal
ini dapat dilakukan dengan cara :
 Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
 Drainase yang baik
 Gunakan kasa adsorben

20
7. Rujukan

Kriteria merujuk pasien luka bakar yang perlu dirujuk ke pusat luka bakar menurut
American Burn Association2, sebagai berikut:
1. Luka bakar derajat II dan III >10% luas permukaan tubuh pada pasien berumur <10 tahun
atau >50 tahun.
2. Luka bakar derajat II dan III >20% di luar usia tersebut diatas.
3. Luka bakar derajat II dan III yang mengenai wajah, mata, telinga, tangan, kaki, genitalia,
atau perineum atau yang mengenai kulit sendi-sendi utama.
4. Luka bakar derajat III >5% luas permukaan tubuh pada semua umur.
5. Luka bakar listrik, termasuk tersambar petir (kerusakan jaringan bawah kulit hebat dan
menyebabkan gagal ginjal akut serta komplikasi lain).
6. Luka bakar kimia
7. Trauma inhalasi
8. Luka bakar pada pasien yang karena penyakit yang sedang dideritanya dapat mempersulit
penanganan, memperpanjang pemulihan, atau dapat mengakibatkan kematian.
9. Luka bakar dengan cedera penyerta yang menambah resiko morbiditas dan mortalitas,
ditangani dahulu di UGD sampai stabil, baru dirujuk ke pusat luka bakar.
10. Anak-anak dengan luka bakar yang dirawat di rumah sakit tanpa petugas dan peralatan
yang memadai, dirujuk ke pusat luka bakar.
11. Pasien luka bakar yang memerlukan penanganan khusus seperti masalah sosial, emosional
atau yang rehabilitasinya lama, termasuk adanya tindakan kekerasan pada anak atau anak
yang ditelantarkan.

8. Prognosis Luka Bakar

Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah akibat jaringan parut yang dapat
berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat menganggu fungsi dan menyebabkan
kekakuan sendi, atau menimbulkan cacat estetis yang jelek sekali, terutama bila parut tersebut
berupa keloid. Kekakuan sendi memerlukan program fisioterapi intensif dan kontraktur
memerlukan tindakan bedah.1

21
Pada estetik yang berat mungkin diperlukan psikiater untuk mengembalikan rasa percaya
diri penderita, dan diperlukan pertolongan ahli bedah rekonstruksi, terutama jika cacat mengenai
wajah atau tangan.1
Bila luka bakar merusak jalan napas akibat inhalasi, dapat terjadi atelectasis, pneumonia
atau insufisiensi fungsi paru pascatrauma.1
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak
daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.1
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.1

9. Komplikasi Luka Bakar

Komplikasi luka bakar dapat bermacam-macam sesuai dengan fase yang sedang
berlangsung.
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti
keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama
dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

22
Pada fase akut, komplikasi yang sering terjadi adalah syok dan gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pada fase subakut dapat terjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan Sepsis.
Pada fase lanjutan, komplikasi yang dapat terjadi adalah parut hipertrofik dan kontraktur.
Hipertrofi jaringan parut merupakan komplikasi yang sulit dicegah, dan terbentuk akibat beberapa
faktor sebagai berikut; kedalaman luka bakar, sifat kulit, usia pasien, lamanya waktu penutupan
kulit. Kontraktur adalah komplikasi yang hampir selalu menyertai luka bakar dan menimbulkan
gangguan fungsi pergerakan.4

Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction


Syndrome (MODS), dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi)
yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh
beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami
eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ
Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka
bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya
menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation,
inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan,
mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care
Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari,
yaitu:

23
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2 < 32
mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau
dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada
pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat
dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari
spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap.

Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma
berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti
sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan
luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari
respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1,
IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi
adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator
inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor
(PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya
sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi
kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan
cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

24
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon
lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth
Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1
dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF
(Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga
respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production
dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga
homeostasis terjaga.

Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi
sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri
mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke
dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik
(terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi
trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan
patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat
dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya
SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan
sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa
saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan
mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan
suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain
kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa),
sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada

25
kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi
atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIRS.
Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral
yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi
ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan
gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot
dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini
berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan
terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier
kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas
ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun
pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat
lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh
khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai
respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga
menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka
bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan
SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama pasca
cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak
mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status
hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan
karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus.

26
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus
segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari
ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat),
bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk
mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat
loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi
berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi
yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak
bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat
pemberian serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan
leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway pada
metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian
Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan
tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2) yang bersifat
maligna.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat- De Jong, Ed 3. Jakarta: EGC. Pp 103-110.
2. American College of Surgeon. 2008. Advanced Trauma Life Support. 8th ed.
3. World Health Organization. 2008. The Global Burden Disease-2004 update.
4. Fred, W.E., Nicole, S.G. 2010. Burns in: Schwartz’s Principles Of Surgery. 9th ed. New
York: McGraw-Hill. Pp 197-208.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013.
RISKESDAS 2013.
6. Hettiaratchy, S. and Dziewulski, P. 2004. Pathophysiology and types of burns. BMJ; 329
(7458): 148.
Available in: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC421790/
7. De Jong, W. 2005. Luka, Trauma, Syok, Bencana dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC. Pp 81-91.

28

You might also like