You are on page 1of 66

RESUME SKENARIO 1

BLOK 14
Tutorial J

Ardhita Meily Pramesti Dewi 152010101030


Anita Widaad Taqiyyah 152010101052
Dina Ayu Savitri 152010101042
Ni Made Trismarani S.K 152010101016
Luluk Mauludyahwati 152010101033
Asri Ayu Firdausi 152010101013
Diayu Putri Akhita 152010101098
Alvien Zahrotun Nadhiva 152010101051
Ranindya Putri Cipta Indraswari 152010101112
Tsintani Nur Aristiana 152010101091
Muhammad Fikri Udin 152010101035
Indah Permata Sholicha 152010101095
Agi Saputera Gunawan 152010101125
Willda Halizha Rhani 152010101106

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
SKENARIO 1

Skenario 1: Penyakit Tropis karena Infeksi Virus

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dibawa ke rumah sakit karena demam dan
lemas. Pasien tersebut mengalami demam selama tiga hari disertai sakit kepala, mata merah
dan photophobia serta mual dan muntah. Demam yang dialami mencapai 40 º C dan sedikit
menurun setelah minum obat penurun panas, namun beberapa jam kemudian suhu tubuh naik
lagi. Pada hari ketiga demam mulai turun, namun muncul bercak kemerahan dan bintik-
bintik merah di kulit serta badan semakin lemas.

Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa di sekolah pasien banyak siswa yang sakit
dengan gejala yang sama termasuk teman-teman pasien yang satu kelas. Kepala sekolah
menentukan kebijakan melarang siswa yang sakit untuk masuk sekolah sampai benar-benar
sembuh untuk mencegah penularan.

Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda vital masih dalam batas normal
yaitu tekanan darah 110/ 70 mmHg, nadi 68 x/ menit dan RR: 18 x/menit. Konjunctiva
tampak merah. Daerah faring juga tampak hiperemi. Pada leher sebelah kanan atas teraba
benjolan. Pada kulit tampak maculopapular rash di daerah extremitas dan badan. Dokter
segera melakukan pemeriksaan penunjang dan menentukan penatalaksanaan kepada pasien.
LEARNING OBJECTIVE

1. Virus
1.1 Pengertian Virus
1.2 Struktur Virus
1.3 Respon Imun terhadap Virus
2. Herpes Simplex Virus
3. Citomegalovirus
4. Cikungunya
5. Dengue Hemorrhagic Fever
6. Human Immunodeficiency Virus
7. Morbilli
8. Rubella
9. Mumps
10. Poliomielitis
11. Varicella
12. Rabies
13. Influenza
14. New Emerging Disease
14.1 Ebola
14.2 Zika
15. Farmakologi Antivirus
16. Imunisasi
1. Virus
1.1 Pengertian Virus
Virus merupakan mikroganisme non cellular yang membutuhkan media hidup
untuk bereplikasi. Ukuran dari virus berkisar antara 15-450 nm. Struktur dari virus
secara uum terdiri dari virion kemudian dilindungi oleh capsid. Materi genetic virus
berupa DNA atau RNA.

1.2 Struktur Virus


Struktur dari virus secara uum terdiri dari virion kemudian dilindungi oleh capsid.
Materi genetic virus berupa DNA atau RNA. Pada beberapa virus disertai dengan
lapisan enveloped yang berfungsi untuk meakukan fusi dengan membrane lipid sel
target ketika virus akan menginvasi.

1.3 Respon Imun terhadap Virus


a. Respons imun nonspesifik terhadap infeksi virus
Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon
dan sel natural killler (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut.
Pengenalan dan pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat
bermanfaat bagi pejamu. Permukaan sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi,
terutama dalam struktur karbohidrat, menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK
mempunyai dua jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killer
activating receptors, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang
diekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory receptors,
yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi.
Oleh karena itu sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel yang
sensitif atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak
terinfeksi dengan molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK.
Produksi IFN-α selama infeksi virus akan mengaktivasi sel NK dan meregulasi
ekspresi MHC pada sel terdekat sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel
NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibodi terhadap protein virus terikat pada
sel yang terinfeksi.
Beberapa mekanisme utama respons nonspesifik terhadap virus, yaitu :

1. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel-
sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus
2. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun virus
menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC klas I. IFN tipe I akan
meningkatkan kemampuan sel NK untuk memusnahkan virus yang berada di
dalam sel. Selain itu, aktivasi komplemen dan fagositosis akan
menghilangkan virus yang datang dari ekstraseluler dan sirkulasi.

b. Respons imun spesifik terhadap infeksi virus


Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respons imunitas humoral dan
selular. Respons imun spesifik ini mempunyai peran penting yaitu :

 Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat


perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga
virus tidak dapat menembus membran sel, dan dengan cara mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis
 Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.

Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi dapat
menghambat kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi
dan multiplikasi intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibodi juga dapat
menghancurkan partikel virus bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen atau
produksi agregasi , meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler.

Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat bermanfaat khususnya
pada infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran
darah terlebih dahulu sebelum sampai ke organ target, seperti virus poliomielitis yang
masuk melalui saluran cerna, melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah,
virus akan dinetralisasi oleh antibodi spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan
waktu tubuh untuk membentuk resposn imun sekunder sebelum virus mencapai organ
target.

Infeksi virus lain, seperti influenza dan common cold, mempunyai masa inkubasi
yang pendek, dan organ target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang
dibutuhkan respons antibodi primer untuk mencapai puncaknya menjadi terbatas,
sehingga diperlukan produksi cepat interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut.
Antibodi berfungsi sebagai bantuan tambahan pada fase lambat dalam proses
penyembuhan. Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada cairan lokal yang
terdapat di permukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan
antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk pencegahan
infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan
antigen virus.

Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi lokal atau
sistemik dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel
pejamu yang terbunuh, namun antibodi sendiri tidak dapat mengontrol virus yang
melakukan budding dari permukaan sel sebagai partikel infeksius yang dapat
menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh antibodi, oleh karena itu
diperlukan imunitas seluler.

Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting terutama pada
infeksi virus nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang bersifat
protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan
kerusakan sel jaringan. Dalam respons infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN
(IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu terjadinya respons imun yang bawaan dan
didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a dan IFN-b.

Kerja IFN sebagai antivirus adalah :

1. Meningkatkan ekspresi MHC kelas I


2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus
4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang
terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel
yang teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh
reseptor αβ spesifik di limfosit. Semakin cepat sel T sitotoksik menyerang virus, maka
replikasi dan penyebaran virus akan cepat dihambat.
Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada permukaannya yang
terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang
terinfeksi oleh sel T sitotoksik αβ mencegah multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ
menyerang virus (native viral coat protein) langsung pada sel target.
Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN-γ dan
kemokin makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuklear dan
teraktivasi untuk mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama IFN-γ akan menyebabkan
sel menjadi non-permissive, sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui
transfer intraseluler. Oleh karena itu, lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang
resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel
yang terinfeksi.

Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi dengan antigen


permukaan pada budding virus yang baru mulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC.
Antibodi juga berguna dalam mencegah reinfeksi.

2. Herpes Simplex Virus

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(virus herpes hominis) ada 2 tipe: tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat mukokutan, infeksinya
bisak primer juga rekurens.

Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit orofacial,
sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan infeksi perigenital.
Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan genital.

a. Epidemiologi
HSV memiliki distribusi di seluruh dunia dan menghasilkan infeksi primer, laten
dan berulang. HSV-2 diaitu penyebab infeksi herpes genital yang paling banyak (70-
90%), meskipun kejadian dapat disebabkan oleh HSV-1 (10-30%). Antibodi untuk
HSV-2 jarang ditemukan sebelum masa remaja karena asosiasi HSV-2 terkait dengan
aktivitas seksual.

b. Etiologi Herpes

Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II dia itu merupakan virus herpes hominis
yang merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik
pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi
(Handoko, 2010). HSV tipe I sering dihubungkan dengan infeksi oral sedangkan HSV
tipe II dihubungkan dengan infeksi genital. Semakin seringnya infeksi HSV tipe I di
daerah genital dan infeksi HSV tipe II oral kemungkinan disebabkan oleh kontak
seksual dengan cara oral-genital (Habif, 2004).

c. Patogenesis Herpes Simpleks

Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus
bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi
daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di
ganglia sensoris (Sterry, 2006).

Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam rangsangan (sinar
UV, demam) sehingga menyebabkan gejala klinis (Sterry, 2006).

d. Manifestasi klinik
Infeksi primer pada HSV yaitu mereka yang tanpa adanya kekebalan baik
terhadap HSV-1 atau HSV-2 dan sering subklinis. Namun bila lesi klinis
berkembang, biasanya lebih parah, dan lebih sering dengan tanda dan gejala
sistemik,dan mereka memiliki tingkat komplikasi yang lebih tinggi dari infeksi
rekuren. Infeksi genital primer lebih sering bergejala dibandingkan dengan oral.

Pada infeksi primer, gejala biasanya terjadi dalam waktu 3 sampai 7 hari setelah
terpapar dengan masa inkubasi selama 2 sampai 20 hari. Gejala prodromal seperti
limfadenopati, malaise, anoreksia dan demam, serta nyeri setempat, pembengkakan
dan rasa terbakar sering terjadi sebelum timbulnya lesi mukokutan. Awalnya nyeri,
kadang-kadang terpusat, Beberapa vesikel berkelompok dan tersebar. Terbentuk
krusta dan gejala resolusi muncul dalam waktu 2 sampai 6 minggu. Gejala
prodromal serupa dapat mendahului lesi rekuren, tetapi yang terakhir sering
mengalami penurunan dalam jumlah, tingkat keparahan dan durasi dibandingkan
dengan infeksi primer.

e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan sitologik

Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan, dari luka sedini
mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika ada, akan
bereproduksi dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari
untuk melakukannya.

Tes PCR ini lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC tes ini untuk
mendeteksi herpes dalam cairan serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis
.PCR dapat membuat banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil
DNA dalam sampel dapat dideteksi.14

Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk virus dan
jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes Simpleks 2 (HSV-2).
f. Diagnosa Banding Herpes Simpleks
Herpes simpleks pada daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan
impetigo vesikobulosa.Pada daerah genital harus dibedakan dengan ulkus durum,
ulkus mole dan ulkus mikstum (Handoko, 2010).

Pada Barankin (2006) diagnosa banding HSV tipe I yaitu stomatitis aftosa,
penyakit tangan-kaki-mulut, dan impetigo.Sedangkan diagnosa banding HSV tipe II
yaitu chancroid, sifilis, dan erupsi oleh obat-obatan.

g. Penatalaksanaan Herpes Simpleks


Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika
pasien mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk
menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama satu
tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine.Pada wanita hamil
diberi vaksin HSV sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir
intra vena (Sterry, 2006).

3. Citomegalovirus

Cytomegalovirus disingkat CMV yakni golongan virus DNA yang mempunyai


hubungan erat dengan virus-virus herpes, menyebabkan penyakit badan inklusi
sitomegalik (cytomegalic inclusion bodies disease). Pada umumnya CMV diisolasi
dari pasien penderita panyakit inklusi sitomegali kongenital, kini dikenal sebagai
kuman patogen penting yang menyerang semua kelompok umur. CMV yang
menyerang manusia adalah satu dari beberapa virus khusus yang berkaitan dengan
spesies yang menimbulkan penyakit yang sama pada beragam hewan. Semuanya
dikaitkan dengan terjadinya pembesaran sel yang karakteristik, sehingga dinamakan
sitomegalovirus. Cytomegalovirus atau disingkat CMV merupakan anggota virus
herpes yang biasa disebut herpesviridae. CMV sering disebut sebagai “virus
paradoks” karena bila menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga
hanya diam di dalam tubuh penderita seumur hidupnya. Pada awal infeksi, CMV aktif
menggandakan diri. Sebagai respon, system kekebalan tubuh akan berusaha
mengatasi kondisi tersebut, sehingga setelah beberapa waktu virus akan menetap
dalam cairan tubuh penderita seperti darah, air liur, urin, sperma, lendir vagina, ASI,
dan sebagainya. Penularan CMV dapat terjadi karena kontak langsung dengan sumber
infeksi tersebut, dan bukan melalui makanan, minuman atau dengan perantaraan
binatang.

a. Karakteristik Virus
 Klasifikasi Virus
 Group : Group I (dsDNA)
 Family : Herpesviridae
 Genus : Cytomegalovirus (HHV5)
 Dimensi 100-200 nm
Karakteristik CMV adalah sebagai berikut: termasuk famili Herpesvirus, diameter
virion 100-200 nanomikron, mempunyai selubung lipoprotein(envelope), bentuk
ikosahedral nukleokapsid, dengan asam nukleat berupa DNA double-stranded. Nama
"Cytomegalo" mengacu pada ciri khas pembesaran sel yang terinfeksi virus, di dalam
nukleusnya, dijumpai inclusion bodies, dan membesar berbentuk menyerupai mata
burung hantu (owl’s eye).
Cytomegalovirus dapat dipisahkan dari virus herpes lainnya dengan menggunakan
perangkat biologi seperti jenis semang dan jenis sitopatologi yang ditimbulkan.
Pembelahan virus dihubungkan dengan
produksi inklusi intranukleus yang besar
dan inklusi intrasitoplasma yang lebih kecil.
Virus ini tampaknya bereplikasi dalam
berbagai jenis selin vivo; pada biakan
jaringan virus lebih banyak bereplikasi di
fibroblast. Masih belum jelas apakah
sitomegalovirus bersifat onkogenik dalam
tubuh. Walaupun jarang sekali, virus ini
dapat mengubah bentuk fibroblast, dan
pecahan gen perubah bentuk ini telah ditemukan. CMV cepat menyebar biasanya
melalui berbagai macam cairan tubuh orang yang telah terinfeksi CMV, seperti
contohnya air seni, air liur, darah, air mata, mani, dan air susu ibu. Penyebaran virus
ini dapat berlangsung tanpa adanya gejala-gejala klinis terlebih dahulu. Penularan
dapat juga terjadi diantara ibu dengan janin dan pada transfuse organ atau cangkok
pada bagian badan tertentu.

b. Patofisiologi
CMV merupakan virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vivo dan in vitro.
Tanda patologi dari infeksi CMV adalah sebuah pembesaran sel dengan tubuh yang
terinfeksi virus. Sel yang menunjukan cytomegaly biasanya terlihat pada infeksi
yang disebabkan oleh betaherpesvirinae lain.meskipun berdasarkan pertimbangan
diagnosa,penemuan histological tersebut kemungkinannya minimal atau tidak ada
pada organ yang trinfeksi.
Ketika inang telah terinfeksi,DNA CMV dapat di deteksi oleh polymerase chain
reaction (PCR) di dalam semua keturunan sel atau dan sistem organ didalam sistem
tubuh.pada permulaannya,CMV menginfeksi sel epitel dari kelenjar
saliva,menghasilkan infeksi yang terus menerus dan pertahanan virus.infeksi dari
sistem genitif memberi kepastian klinik yang tidak konsekuen.meskipun replikasi
virus pada ginjal berlangsung terus-menerus,disfungsi ginjal jarang terjadi pada
penerima transplantasi ginjal.

c. Patogenesis
Infeksi bawaan cytomegalovirus dapat terjadi karena infeksi primer atau reaktivasi
dari ibu. Namun, penyakit yang diderita janin atau bayi yang baru lahir dikaitkan
dengan infeksi primer ibu. Infeksi primer pada usia anak atau dewasa lebih sering
dikaitkan dengan respon limfosit T yang hebat. Respon limfosit T dapat
mengakibatkan timbulnya simdroma mononukleosis yang serupa seperti dialami
setelah infeksi virus Epstein-Barr. Tanda khas infeksi ini adalah adanya limfosit atipik
pada darah tepi.
Sekali terkena, selama masa simtomatis infeksi primer, cytomegalovirus menetap
pada jaringan induk semangnya. Tempat infeksi yang menetap dan laten melibatkan
bermacam sel dan organ tubuh. Penularan transfusi darah atau transplantasi organ
berkaitan dengan infeksi terselubung dalam jaringan ini. Penelitian bedah mayat
menunjukan kelenjar liur dan usus merupakan tempat terdapat infeksi yang laten.
Stimulasi antigen kronis (seperti yang timbul setelah transplantasi organ) disertai
melemahnya sistem imun merupakan keadaan yang paling sesuai untuk pengaktifan
cytomegalovirus dan penyakit yang disebabkan olehcytomegalovirus.
Cytomegalovirus dapat menyebabkan respons limfosit T yang lemah, yang sering kali
mengakibatkan superinfeksi oleh kuman oportunistik. Cytomegalovirus juga dapat
mejadi faktor pembantu dalam mengaktifkan infeksi laten HIV.

d. Penyakit yang Berhubungan


Organ yang bisa terkena CMV adalah:
 Ginjal, sehingga disebut CMV nefritis;
 Hati, sehingga disebut CMV hepatitis;
 Jantung, sehingga disebut CMV myocarditis;
 Paru-paru, sehingga disebut CMV pneumonitis;
 Mata, sehingga disebut CMV retinitis;
 Lambung, sehingga disebut CMV gastritis;
 Usus, sehingga disebut CMV colitis.
 Otak, sehingga disebut CMV encephalitis.

e. Manifestasi Klinis
Infeksi sitomegalovirus kongenital merupakan infeksi yang menyerang janin dapat
berupa infeksi yang tidak jelas tampak sampai infeksi yang berat dan menyeluruh.
Penyakit inklusi sitomegalovirus ini tumbuh pada kira-kira 5 % janin yang terinfeksi
dan terdapat hampir selalu pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita infeksi
primer selama masa kehamilannya. Gambaran yang paling umum 60 – 80 % adalah
petekie, pembesaran hati dan limfa, ikterus. Mikrosefali dengan atau tanpa klasifikasi
serebral, retardasi pertumbuhan dalam rahim dan prematuritas terdapat pada 30 – 50
% pasien. Diagnosis banding penyakit inklusi sitomegali pada bayi adalah sifilis,
rubella, toksoplasmosis, herpes simpleks atau infeksi enterovirus dan sepsis
bakterialis.
Infeksi sitomegalovirus perinatal
BBL dapat tertular infeksini ini melalui jalan lahir yang terinfeksi atau adanya
kontak dengan ASI / sekresi lainnya. Sebagian besar bayi yang tertular pada saat atau
beberapa saat sesudah persalinannya akan tetap asimptomatis. Namun, pneumonitis
intersial yang berkelanjutan telah dihubungkan dengan infeksi sitomegalovirus
bawaan yang didapat sewaktu dilahirkan, terutama pada bayi prematur. Pertambahan
berat badan yang sulit, adenopati, ruam, hepatitis, anemia dan limfositosis atipik juga
dapat ditemui dan seringkali didapati ekresi sitomegalovirus yang menetap selama
beberapa bulan atau tahun.
Mononukleosus sitomegalovirus
Manifestasi klinis infeksi sitomegalovirus yang paling sering dijumpai di luar
masa neonatal adalah sindroma mononucleosis heterofil – antibody – negatif. Hal ini
dapat timbul secara spontan atau setelah tranfusi produk darah yang mengandung
leukosit. Walaupun sindroma ini dapat timbul pada semua kelompok umur, yang
paling sering terkena adalah orang dewasa muda dengan kehidupan seks yang aktif.
Masa tunas berkisar antara 20 – 60 hari dan penyakitnya umumnya berlangsung
selama 2 – 6 minggu. Demam tinggi yang berkepanjangan, kadang disertai menggigil,
keletihan badan yang berlarut-larut dan malaise, merupakan hal yang khas untuk
penyakit ini. Kadang terdapat ruam yang berbentuk seperti pada rubella dan seringkali
sesudah pemberian ampisillin.
Infeksi sitomegalovirus pada pejamu dengan tanggap imun yang lemah
Sitomegalovirus tampak merupakan virus yang paling sering dan paling penting
dalam komplikasi setelah transplantasi organ. Pada resipren transplantasi ginjal,
jantung, paru-paru hati, sitmegalovirus menyebabkan berbagai sindroma, seperti
demam leukopenia, hepatitis, pneumonitis, esofagitis, grastitis, colitis dan retinitis.
Jangka waktu resiko yang paling panjang adalah antara 1 – 4 bulan setelah
transplantasi. Sindroma sitomegalovirus pada individu dengan tanggap imun yang
lemah seringkali dimulai dengan demam yang berkepanjangan, malaise, anoreksia,
kelelahan, keringat malam dan nyeri sendi atau nyeri otot.

f. Diagnosis
Diagnosis sitomegalovirus seringkali tidak dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis saja. Isolasi virus dari sediaan klinis yang sesuai, bersama dengan bukti
peningkatan antibody 4 x lipat atau lebih, atau peninggian fiter antibodi yang
menetap, merupakan pendekatan diagnosis yang diharapkan. Temuan antigen awal
sitomegalovirus atau DNA pada sediaan leukosit darah tepi mempercepat penegakkan
diagnosis pada sejumlah populasi. Hasil positif pada pemeriksaan tersebut diikuti
dengan hasil kultur yang positif beberapa hari kemudian. Berbagai pemeriksaan
serologis dipakai untuk mendeteksi peningkatan antibodi terhadap antigen
sitomegalovirus. Pendeteksian lgM spesifik terhadap sitomegalovirus kadang berguna
dalam mendiagnosis infeksi yang baru / yang aktif. Faktor reumatoid yang beredar
dapat memberikan hasil yang positif palsu pada test lgM.

g. Pencegahan dan Terapi


Sejumlah cara pencegahan berguna bagi pasien beresiko tinggi. Penggunaan darah
donor yang seronegatif atau darah yang telah dibekukan, dicairkan kembali dan
didegliserolkan sangat menurunkan penularan sitomegalovirus melalui tranfusi.
Dengan cara yang sama penggunaan organ atau sumsum tulang hanya dari donor yang
seronegatif untuk pasien yang seronegatif menurunkan infeksi setelah transplantasi.
Imun globulin sitomegalovirus dilaporkan dapat menurunkan sindroma yang
berhubungan dengan sitomegalovirus serta superinfeksi karena jamur atau parasit
pada pasien penerima transplantasi ginjal yang seronegatif. Penelitian yang serupa
pada transplantasi sumsum tulang menghasilkan hasil yang bertentangan.
Penggunaan asiklovir provilaksis menurunkan infeksi sitomegalovirus dan penyakit
pada penerima transplantasi ginjal yang seronegatif, walau asiklovir tidak bermanfaat
pada terapi sitomegalovirus yang aktif. Gansiklovir (dehidroksi propoksimetil quanin,
DPHG) lebih berkasiat terhadap sitomegalovirus. Namun pada transplantasi sumsum
tulang dengan pneumonia sitomegalovirus, gansiklovir kurang efektif bila diberikan
tersendiri, tetapi respons klinis yang diharapkan timbul sekitar 50 – 70 % bila
diberikan bersama dengan imun globulin sitomegalovirus. Resistensi terhadap
gansiklovir sering terjadi pada pasien yang telah diobati lebih dari 3 bulan. Foskarnet
(sodium fosfeno format) juga bereaksi melawan infeksi sitomegalovirus.

4. Cikunguya
Chikungunya adalah penyakit virus nyamuk yang pertama kali dijelaskan saat
wabah di Tanzania selatan pada tahun 1952. Ini adalah virus RNA yang termasuk
dalam genus alphavirus keluarga Togaviridae. Nama "chikungunya" berasal dari
sebuah kata dalam bahasa Kimakonde, yang berarti "menjadi berkerut", dan
menggambarkan penampilan penderita penyakit sendi (arthralgia) yang bungkuk.
Patofisiologi dari penyakit ini sampai sekarang tidak diketahui secara pasti.

a. Transmisi
Chikungunya telah diidentifikasi di lebih dari 60 negara di Asia, Afrika, Eropa
dan Amerika. Virus ini ditularkan dari manusia ke manusia oleh gigitan nyamuk
betina yang terinfeksi. Paling umum, nyamuk yang terlibat adalah Aedes aegypti
dan Aedes albopictus , dua spesies yang juga dapat menularkan virus nyamuk lain,
termasuk demam berdarah. Nyamuk ini dapat ditemukan memnggigit sepanjang
siang hari, meski kemungkinan adanya puncak aktivitas pada pagi dan sore hari.
Kedua spesies tersebut ditemukan menggigit di luar rumah, namun Ae. Aegypti
juga akan mudah memberi makan di dalam rumah.
Setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi, onset penyakit biasanya terjadi antara 4
dan 8 hari namun bisa berkisar antara 2 sampai 12 hari.

b. Tanda dan gejala


Chikungunya mempunyai gejala yang hampir sama dengan demam berdarah
maupun zika yaitu ditandai dengan onset mendadak demam namun yang
membedakannya dengan demam berdarah yaitu sering disertai nyeri sendi. Tanda
dan gejala umum lainnya termasuk nyeri otot, sakit kepala, mual, kelelahan dan
ruam. Nyeri sendi seringkali sangat melemahkan, tapi biasanya berlangsung
selama beberapa hari atau mungkin berlangsung lama sampai minggu.Oleh karena
itu virus dapat menyebabkan penyakit akut, subakut atau kronis.
Sebagian besar pasien pulih sepenuhnya, namun dalam beberapa kasus, nyeri sendi
bisa berlanjut selama beberapa bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Sesekali kasus
komplikasi mata, neurologis dan jantung telah dilaporkan, serta keluhan
gastrointestinal. Komplikasi serius tidak umum terjadi, namun pada orang tua
dapat menyebabkan kematian. Seringkali gejala pada individu yang terinfeksi
ringan dan infeksinya tidak diketahui, atau salah didiagnosis di daerah di mana
demam berdarah terjadi.

c. Diagnosa
Beberapa metode dapat digunakan untuk diagnosis. Tes serologis, seperti tes
imunosorben enzim-linked (ELISA), dapat mengkonfirmasi adanya antibodi anti-
chikungunya IgM dan IgG. Tingkat antibodi IgM tertinggi 3 sampai 5 minggu
setelah onset penyakit dan bertahan sekitar 2 bulan. Sampel yang dikumpulkan
selama minggu pertama setelah onset gejala harus diuji dengan metode serologis
dan virologi (RT-PCR).
Virus dapat diisolasi dari darah selama beberapa hari pertama infeksi. Berbagai
metode reverse chain transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) tersedia
namun memiliki sensitivitas yang bervariasi. Beberapa cocok untuk diagnosis
klinis.Produk RT-PCR dari sampel klinis juga dapat digunakan untuk genotip
virus, yang memungkinkan perbandingan dengan sampel virus dari berbagai
sumber geografis
d. Pengobatan
Tidak ada pengobatan obat antiviral khusus untuk chikungunya. Pengobatan
diarahkan terutama untuk menghilangkan gejala, termasuk nyeri sendi dengan
menggunakan anti piretik, analgesik optimal dan cairan. Tidak ada vaksin
chikungunya komersial.

5. Dengue Hemorrhagic Fever


a. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 2.1. Spektrum klinis infeksi virus dengue

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar


2.1.):
 Demam tidak terdiferensiasi
 Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau
uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD
pada lokasi dan waktu yang sama
 DBD (dengan atau tanpa renjatan).

b. Etiologi
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, DEN – 4.
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN – 3 merupakan serotype yang
dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang
berat.

Gambar 2.2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

c. Patogenesis dan Patofisiologi


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali
virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun
1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah
(gambar 2.4.). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi,
perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi

d. Manifestasi Klinis
 
Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus – menerus berlangsung
selama 2 – 7 hari, naik turun (demam bifasik). Kadang – kadang suhu
tubuh sangat tinggi sampai 40 oC dan dapat terjadi kejang demam. Akhir
fase demam merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada
saat fase demam sudah mulai menurun hati–hati karena fase tersebut
sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam.
 
Tanda-tanda perdarahan

Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah


vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit serta koagulasi
intravaskuler yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah
perdarahan bawah kulit seperti ptekia, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Ptekia merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan.
Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat pula dijumpai pada hari ke
3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaksis, perdarahan gusi, melena
dan hematemesis.
 
Hepatomegali

Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit


bervariasi dari hanya sekedar diraba sampai 2–4 cm di bawah arcus costa
kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit,
namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya
perdarahan.
 
Syok

Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang
setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut
nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit.
Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat
dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada
kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah
beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun,
antara 3–7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien
menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.
f. Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
b. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif,
petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan
melena
c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)
d. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.

 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.


Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
 perdarahan adalah uji torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1,
disertai perdarahan spontan di kulit dan
 perdarahan lain.


Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
 
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

g. Diagnosis Banding
a. Demam thyphoid
b. Malaria
c. Morbili
d. Demam Chikungunya
e. Leptospirosis
f. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

h. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
a. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.6).
b. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar
2.7).
c. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar
2.8).
d. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
e. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.9).
i. Prognosis
Dubia ad bonam

j. Pencegahan
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
a. Menggunakan insektisida
 Malathion (adultisida) dengan pengasapan

 Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air
bersih.

b. Tanpa insektisida
 Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal
1x seminggu.

 Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.

 Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-
botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang.

6. Human Immunodeficiency Virus

e. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis
dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4
semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
(KPA, 2007). Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse
transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan
kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara
evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak
menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala atau


sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman,
virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

f. MORFOLOGI VIRUS HIV

Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk
replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur
ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal
yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam
aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien
untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari
nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat
menginfeksi sel yang lain. Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-
kilodalton (kD) yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD
(transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan
dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan
virus dangan sel target.

g. PATOFISIOLOGI

Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai
kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan
menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut
menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 1997). Setelah infeksi
primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat
dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan
mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4.
Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10
tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar
10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus
dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-
CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini
dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa
setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat
terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang
ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005). Infeksi oportunistik dapat terjadi karena
para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat
rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh
tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan
menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

h. CARA PENULARAN

Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan
darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan
pemberian ASI (Air Susu Ibu).

1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara
penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki
dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.

2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.

3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan
medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya
sebelum digunakan.

i. Melalui transplantasi organ pengidap HIV

j. Penularan dari ibu ke anak. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari
ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.

k. .Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.

e. MANIFESTASI KLINIS

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:

 Batuk menetap lebih dari 1 bulan


 Dermatitis generalisata
 Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
 Kandidias orofaringeal
 Herpes simpleks kronis progresif
 Limfadenopati generalisata
 Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

 Fase awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.

 Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
 Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.

f. DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

a. Berat badan turun

b. Demam
2. Kulit

a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan dermatitis seboroik

b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes zoster

3. Pembesaran kelenjar getah bening


4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis


5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru


6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa


7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra

8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis

g. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a. Hitung jenis leukosit :
 Limfopenia dan CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari jumlah
total limfosit) 

b. Tes HIV menggunakan strategi III yatu menggunakan 3 macam tes dengan titik tangkap
yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot 

c. Pemeriksaan DPL 

2. Radiologi: X-ray torak 


Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua macam
pendekatan untuk tes HIV


1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling and Testing)


2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated
Testing and Counseling)

h. TATALAKSANA

Tatalaksana HIV di layanan primer dapat dimulai apabila penderita HIV sudah dipastikan tidak
memiliki komplikasi atau infeksi oportunistik yang dapat memicu terjadinya sindrom pulih imun.
Evaluasi ada tidaknya infeksi oportunistik dapat dengan merujuk ke layanan sekunder untuk
pemeriksaan lebih lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita HIV sering tidak spesifik.
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV.

1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 



Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. 

2. Tersedia pemeriksaan CD4
3
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm tanpa
memandang stadium klinisnya. 

b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

i. PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat ini
adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi definitif, sehingga prognosis
pada umumnya dubia ad malam.

7. Morbili

a. Definisi
Campak atau biasa dikenal juga dengan morbili adalah penyakit infeksi yang sangat
menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang
kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi
makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit. Agent
campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili paramyxoviridae anggota genus
morbilivirus. Virus campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi
tidak aktif pada suhu 37 derajat Celcius atau bila dimasukkan ke dalam lemari es selama
beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka infektivitasnya akan hilang. Campak
ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau
tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan berlangsung mulai dari hari
pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya Universitas Sumatera Utara
sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam, minimal hari kedua setelah timbulnya ruam.
b. Gejala Klinis
Penyakit campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:

1. Stadium kataral (prodormal)


Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala demam, malaise,
batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam
sebelum timbul eksantema, timbul bercak Koplik. Bercak Koplik 7 Universitas Sumatera
Utara berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal
yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal
dapat meluas sampai seluruh mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai
influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza.

2. Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi adalah koriza
dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole.
Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk makula-
papula disertai naiknya suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di
bagian atas tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang
terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam kemudian akan
menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari
ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3
hari.

3. Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang
lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia
sering ditemukan pula

sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Selanjunormal kecuali bila ada komplikasi.

8. Rubella

Rubella atau di kenal juga dengan nama Campak Jerman adalah penyakit
menular yang di sebabkan oleh Virus Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui
pernapasan seperti hidung dan tenggorokan. Anak-anak biasanya sembuh lebih cepat di
bandingkan orang dewasa.

Rubella virus adalah virus RNA dari keluarga togavirus ukuran c.60 nm, struktur
ikosahendral, memiliki amplop virus, sensitif terhadap eter pathogen kausatif rubella.
Transmisi: mungkin infeksi tetes. Kultur: pada kultur telur (korioallantois), di lakukan
pertama kali oleh Anderson (Melbourne, 1955). Serologi:immunitas sepanjang hidup
bebas dari cacar air dan gondok. Pada eksperimen dengan binatang, biasa
ditransmisikan ke kera.

Congenital rubella syndrome terjadi pada kehamilan trimester ke tiga yang


dapat menyebabkan cataract, microphtalmia, microcephaly, mental
retardation. hepatomegaly, glaucoma, kelainan pada katup jantung dan
tulang. Perlu di lakukan diferesial diagnosis dengan measles dan
erisepalas. Distribusi penyakit dan prevalensi penyakit tersebar di seluruh
dunia dan bersifat endemis.
PATOFISIOLOGI

Manusia adalah satu-satunya pejamu untuk togavirus RNA yang


menyebabkan rubella. Transmisi terutama melalui penyebaran nasofaring,
udara atau droplet. Pasien bersifat infeksius selama 5-7 hari sebelum dan
sampai 2 minggu setelah onsert gejala. Bayi yang terinfeksi secara
kongenital dapat tetap infeksius selama beberapa bulan setelah lahir.
Rubella biasanya merupakan infeksi yang ringan pada anak dan seringkali
bersifat subklinis pada orang dewasa. masa inkubasi berkisar dari 1-21
hari.
PENULARAN RUBELLA

Cara penularan rubella melalui sekret nasofaring dari orang terinfeksi.


Infeksi terjadi melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita.
Pada lingkungan tertutup seperti asrama calon prajurit, semua orang yang
rentan dan terpajan bisa terinfeksi. Bayi dengan CRS mengandung virus
pada sekret nasofarin dan urin mereka dalm jumlah besar, sehingga
menjadi sumber infeksi. Penularan juga terjadi melalui kontak dengan
cairan yang berasal dari nasopharynx penderita.
GEJALA GEJALA TERKENA RUBELLA

Gejala-gejala rubella sebagai berikut:

- Pembekakan pada kelenjar getah bening

- Demam di atas 38o C

- Mata terasa nyeri

- Muncul bintik-bintik merah di seluruh tubuh

- Kulit kering

- Sakit pada persendian

- Sakit kepala

- Hilang nafsu makan

- Wajah pucat dan lemas

- Terkadang di sertai dengan pilek


Gejala rubella terutama pada anak-anak tanda atau gejala rubella seringkali
sangat ringan sehingga sulit untuk di identifikasikan. Jika memang tanda dan gejala
terjadi, umunya baru akan muncul antara 2 atau 3 minggu setelah terpapar virus. Gejala-
gejala umum dari rubella antara lain:

- Ruam merah (di mulai dari wajah lalu menjalar ke leher dan ekstremitas kaki dan
tangan yang berlangsung sekitar 3 hari)

- Demam ringan 38,9o C atau lebih rendah

- Pembesaran kelenjar getah bening (di dasar tengkorak, bagian belakang leher dan
belakang telinga).

- Mata merah

- Hidung tersumbat atau meler

- Nyeri sendri terutama pada wanita muda

- Sakit kepala

Gejala rubella bisa berbeda-beda pada tiap orang dan gejalanya juga mirip dengan
gejala penyakit atau kondisi kesehatan lain.

PENCEGAHAN RUBELLA

Imunisasi MMR pda usia 12 bulan dan 4 tahun. Vaksin rubella merupakan bagian dari
imunisasi rutin pada masa kanak-kanak. Vaksin MMR di berikan pada usia 12-15 bulan,
dosis kedua di berikan pada usia 4-6 tahun.

Wanita usia subur bisa menjalani pemeriksaan serologi untuk rubella. Jika tidak memiliki
antibodi, di berikan imunisasi dan baru boleh hamil 3 bulan setelah penyuntikkan. Vaksin
sebaiknya tidak di berikan ketika ibu sedang hamil atau kepada orang yang mengalami
gangguan sistem kekebalan akibat kanker, terapi kortikosteroid maupun terapi
penyinaran.

9. Mumps

Infeksi virus akut sistemik yang mengenai anak usia sekolah dan dewasa muda dengan
manifestasi klinis utama pembesaran kelenjar parotitis. Umumnya bersifat ringan dan
dapat sembuh sendiri, sepertiga orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis.
Pada orang dewasa biasanya bermanifestasi lebih berat.

a. Epidemiologi

Epidemi mumps pada barak militer, asrama, sekolah, kapal. Tidak ada perbedaan
parotitis pada perempuan dan laki-laki. Manusia sebagai satu-satunya hospes alamiah
virus ini dan tidak dikenal kondisi carrier.

b. Virologi
Virus mumps merupakan golongan paramoxoviridae famili. Virus mumps berbentuk
sferis irregular dengan diameter 90-300nm. Genom virus mengkode 8 proterin:
hemaglutinin-neuromidase(HN), fusion protein(F), nucleocaspid protein(NP),
phospoprotein(P), matrix protein(M), hydrophobic protein (SH), L protein. Protein F dan
HN merupakan determinan umata imunitas. 13 genotipe (A-M) sering dikenal serotipe
virus mumps.

c. Patogenesis
Trasmisi virus melalui kontak langsung, droplet nuclei, muntahan yang melalui hidung
atau mulut. Masa puncak penularan sebelum atau saat timbul parotis. Pada masa inkubasi
virus berproliferasi pada epitel saluran napas bagian atas dan terjadi viremia. Tahap
selanjutnya terlokalisasi pada kelenjar dan jaringan saraf.

d. Patologi
Pada pemeriksaan patologi didapatkan edema interstitial dan eksudat serofibrinous
yang didominasi sel mononukleus.

e. Gambaran klinis

Masa inkubasi 2-4 minggu, kebanyakan 16-18 hari. Gejala prodromal tidak khas,
mencakup demam, malaise, sakit kepala. Dalam waktu satu hari manifestasi menjadi
nyata dengan timbulnya sakit telingan dan nyeri pada kelenjar parotis membesar dan
mencapai ukuran maksimal dengan nyeri berat. Pembesaran kelenjar parotis 25% secara
unilateral dan trismus , gangguan menelan , kesulitan belajar. Nyeri dan demam akan
berkurang dan ukuran kelenjar parotis ke ukuran normal dalam waktu 1 minggu. Infeksi
dapat terjadi ke kelenjar submandibula dan sublingual.

f. Diagnosis

Berdasarkan gambaran pembesaran kelenjar parotis disertai gelaja lainnya. Pada


pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit normal atau leukopenia dengan
limfositosis relatif. Amilase serum meningkat dan tetap tinggi selama 2-3 minggu.
Pemeriksaan labolatorium spesifik untu mumps yangbkhas tidak diperlukan. Diagnosis
definitif berdasarkan pemeriksaan serologis, isolasi virus atau PCR. Adanya igM dengan
pemeriksaan ELISA atau peningkatan 4 kali lipat serum fase akut dan fase konvalesen
dengan tes CF, HAI, ELISA, neutralisasi memastikan diagnosis.

g. Penatalaksanaan

Terapi yang digunakan adalah terapi supportif dan simptomatik. Diberikan analgesik
dan antipiretik untuk mengurangi nyeri karena pembekakan parotis dan murunkan
demam.

10. Poliomielitis
ETIOLOGI

Viruspoliomyelitis (virus RNA) tergolong dalam genus enterovirus dan famili

picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe

3 (Leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut. Epidemi

yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1.

Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunisasi bersifat seumur hidup

dari spesifik untuk satu tipe.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan satu-satunya

reservoir penyakit Poliomielitis. Di negara yang mempunyai 4 musim, penyakit ini

lebih sering terjadi di musim panas, sedangkan di negara tropis musim tidak

berpengaruh. Penyebaran penyakit ini terutama melalui cara fecal-oral walaupun

penyebaran melalui saluran nafas dapat juga terjadi.

Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadis, dimana

epidemi yang pertama sekali dilaporkan dari Scandinavia dan Eropah Barat,

kemudian Amerika Serikat.

PATOGENESIS

Bila tertelan virus yang virulen, maka akan terjadi multiplikasi di orofaring

dan mukosa usus (Peyer's patches). lnvasi sistemik terjadi melalui sistem limfatik dan

kemudian darah.

Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi penyebaran,

termasuk ke susunan syaraf pusat. Penyebaran virus polio melalui syaraf belum jelas

diketahui. Penyakit yang ringan ("minor illness”) terjadi pada saat viremia, yaitu kira-

kira hari ketujuh, sedangan major illness ditemukan bila konsentrasi virus di susunan

syaraf pusat mencapai puncaknya yaitu pada hari ke-12 sampai 14.
GAMBARAN KLINIS

Masa inkubasi penyakit ini berkisar anatara 9 - 12 hari, tetapi kadang-kadang

3 - 35 hari. Gambaran klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling

ringan sampai dengan yang paling berat, yaitu :

1. Infeksi tanpa gejala (asymptomatic, silent, anapparent)

Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup

tinggi terutama di daerah-daerah yang standar higine-nya jelek. Pada suatu

epidemi diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas

terhadap penyakit tersebut. Bayi baru lahir mula-mula terlindungi karena adanya

antibodi maternal yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan.

Penyakit ini hanya diketahui dengan menemukan virus di tinja atau meningginya

titer antibodi.

2. Infeksi abortif

Kejadiannya di perkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu epidemi. Tidak

dijumpai gejala khas Poliomielitis. Timbul mendadak dan berlangsung 1-3 hari

dengan gejala "minor illnesss" seperti demam bisa sampai 39.5 C, malaise, nyeri

kepala, sakit tenggorok, anoreksia, filial, muntah, nyeri otot dan perut serta

kadang-kadang diare .

Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit virus lainnya, hanya dapat diduga

bila terjadi epidemi. Diagnosa pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan

jaringan.

Diagnosa banding adalah influenzae atau infeksi tenggorokan lainnya.

3. Poliomielitis non Paralitik

Penyakit ini terjadi 1 % dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan infeksi

abortif yang berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi

kemudian naik kembali (dromedary chart), disertai dengan gejala nyeri kepala,
mual dan muntah lebih berat, dan ditemukan kekakuan pada otot belakang leher,

punggung dan tungkai, dengan tanda Kemig dan Brudzinsky yang positip. Tanda-

tanda lain adalah Tripod yaitu bila anak berusaha duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk
kedua lututnya ke atas, sedangkan kedua lengan menunjang

kebelakang pada tempat tidur. Head drop yaitu bila tubuh penderita ditegakkan

dengan menarik pada kedua ketiak, akan menyebabkan kepala terjatuh

kebelakang. Refleks tendon biasanya normal. Bila refleks tendon berubah maka

kemungkinan akan terdapat poliomielitis paralitik. Diagnosa banding adalah

Meningitis serosa, Meningismus

4. Poliomielitis Daralitik Gambaran klinis sama dengan Poliomielitis non paralitik

disertai dengan kelemahan satu atau beberapa kumpulan otot skelet atau kranial.

Gejala ini bisa menghilang selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali

disertai dengan kelumpuhan (paralitik) yaitu berupa flaccid paralysis yang

biasanya unilateral dan simetris. Yang paling sering terkena adalah tungkai.

Keadaan ini bisa disertai kelumpuhan vesika urinaria, atonia usus dan kadang-

kadang ileus paralitik. Pada keadaan yang berat dapat terjadi kelumpuhan otot

pernafasan.

Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada

susunan syaraf pusat yaitu :

4.1. Bentuk spinal Dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung,

diaftagma, ada atau ekstremitas, dimana yang terbanyak adalah ekstremitas

bawah. Tersering yaitu otot-otot besar, pada tungkai bawah kuadriseps

femoris, pada lengan otot deltoideus. Sifat kelumpuhan ini adalah asimetris.

Refleks tendon menurun sampai menghilang dan tidak ada gangguan

sensibilitas.

Diagnosa banding adalah :


4.1.1. Pseudo paralisis non neurogen: tidak ada kaku kuduk, tidak

pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam rematik

akut, osteomielitis

4.1.2. Polineuritis : gejala paraplegia dengan gangguan sensibilitas, dapat

dengan paralisis palatum mole dan gangguan otot bola mala.

4.1.3. Poliradikuloneuritis (sindroma Guillain-Barre) : 50% kasus sebelum

paralisis didahului oleh demam tinggi; Paralisis tidak akut tetapi

perlahan-lahan; kelumpuhan blateral dan simetris; pada likuor

serebrospinalis protein meningkat; sembuh tanpa gejala; terdapat

gangguan sensorik.

4.2. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih syaraf

kranial dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi

dan temperatur tubuh. Bila kelemahan meliputi syaraf kranial IX, X dan XII

maka akan menyebabkan paralisis faring, lidah dan taring dengan

konsekwensi terjadinya sumbatan jalan nafas.

4.3. Bentuk bulbospinal Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan

bubar

4.4. Bentuk ensefalitik Ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor, dan

kadang-kadang kejang.

LABORATORIUM

Virus polio dapat di isolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok pada

minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu. Berbeda dengan

enterovirus lainnya, virus polio jarang dapat di isolasi dari cairan serebrospinalis. Bila

pemeriksaan isolasi virus tidak mungkin dapat dilakukan, maka dipakai pemeriksaan

serologi berupa tes netralisasi dengan memakai serum pada fase akut dan konvalesen.
Dikatakan positip bila ada kenaikan titer 4 kali atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan
bermanfaat untuk menegakkan diagnosa Poliomielitis. Selain itu bisa

juga dilakukan pemeriksaan CF (Complement Fixation), tetapi ditemukan reaksi

silang diantara ketiga tipe virus ini.

Pemeriksaan likuor serebrospinalis akan menunjukkan pleiositosis biasanya

kurang dari 500/mm3, pada permulaan lebih banyak polimorfonukleus dari limfosit,

tetapi kemudian segera berubah menjadi limfosit yang lebih dominan. Sesudah 10-14

hari jumlah sel akan normal kembali. Pada stadium awal kadar protein normal,

kemudian pada minggu kedua dapat naik sampai 100 mg%, dengan jumlah set

menurun sehingga disebut dissociation cytoalbuminique, dan kembali mencapai

normal dalam 4-6 minggu. Glukosa normal. Pada pemeriksaan darah tepi dalam batas

normal dan pada urin terlihat gambaran yang bervariasi dan bisa ditemukan

albuminuria ringan.

PENGOBATAN

Tidak ada pengobatan spesifik terhadap Poliomielitis. Antibiotika, γ-globulin

dan vitamin tidak mempunyai efek. Penatalaksanaan adalah simptomatis daft suportif.

lnfeksi tanpa gejala : istirahat

Infeksi abortif : Istirahat sampai beberapa hari setelah temperatur normal. Kalau

perlu dapat diberikan analgetik, sedatif. Jangan melakukan aktivitas selama 2 minggu.

2 bulan kemudian dilakukan pemeriksaan neuro-muskuloskletal untuk mengetahui

adanya kelainan.

Non Paralitik: Sama dengan tipe abortif Pemberian analgetik sangat efektip bila

diberikan bersamaan dengan pembalut hangat selama 15-30 menit setiap 2-4 jam dan

kadang-kadang mandi air panas juga dapat membantu. Sebaiknya diberikan foot

board, papan penahan pada telapak kaki, yaitu agar kaki terletak pada sudut yang

sesuai terhadap tungkai. Fisioterapi dilakukan 3-4 hari setelah demam hilang.
Fisioterapi bukan mencegah atrofi otot yang timbul sebagai akibat denervasi sel kornu

anterior, tetapi dapat mengurangi deformitas yang terjadi.

Paralitik: Harus dirawat di rumah sakit karena sewaktu-waktu dapat terjadi paralisis

pernafasan, dan untuk ini harus diberikan pernafasan mekanis. Bila rasa sakit telah

hilang dapat dilakukan fisioterapi pasip dengan menggerakkan kaki/tangan. Jika

terjadi paralisis kandung kemih maka diberikan stimulan parasimpatetik seperti

bethanechol (Urecholine) 5-10 mg oral atau 2.5-5 mg/SK.

PROGNOSIS

Bergantung kepada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung pada

bagian yang terkena. Prognosis jelek pada bentuk bulbar, kematian biasanya karena

kegagalan fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan nafas. Data dari

negara berkembang menunjukkan bahwa 9% anak meninggal pada fase akut, 15%

sembuh sempurna dan 75% mempunyai deformitas yang permanen seperti kontraktur

terutama sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna, sehingga

mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.
11. Varicella

Varicella zoster virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus
terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein
dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit
yaitu varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles).
c. EPIDEMIOLOGI

Varicella terdapat diseluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis
kelamin. Varicella terutama mengenai anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun
terutama usia 3 - 6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Di
Amerika, varicella sering terjadi pada anak-anak dibawah usia 10 tahun dan 5%
kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di Jepang, umumnya terjadi pada
anak-anak dibawah usia 6 tahun sebanyak 81,4 %.

d. PATOGENESIS

Masa inkubasi varicella 10 - 21 hari pada anak imunokompeten (rata - rata 14 -


17 hari) dan pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu
kurang dari 14 hari. VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari
sekresi pernafasan (droplet infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit.
Droplet infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi
dikulit.

VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian
atas, orofaring ataupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada
hari ke 2 - 4 yang berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti
penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang
mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4 - 6
setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi
virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum
matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus ke dua yang terjadi di
hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini,
partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari
ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi dikulit yang khas. Seorang anak yang
menderita varicella akan dapat menularkan kepada yang lain yaitu 2 hari sebelum
hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit.

e. GAMBARAN KLINIS

Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya
didahului dengan gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual dan
anoreksia, yang terjadi 1 - 2 hari sebelum timbulnya lesi dikulit sedangkan pada
anak kecil (usia lebih muda) yang imunokompeten, gejala prodormal jarang
dijumpai hanya demam dan malaise ringan dan timbul bersamaan dengan
munculnya lesi dikulit.

Lesi pada varicella, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke
dada (penyebaran secara centripetal) dan kemudian dapat meluas ke ekstremitas.
Lesi juga dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi pada varicella
biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya
semua stadium lesi secara bersamaan pada satu saat.

Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa pada daerah wajah dan
dada, dan kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12 - 14 jam menjadi
papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang
jernih dengan dasar eritematosa. Vesikel yang terbentuk dengan dasar yang
eritematous mempunyai gambaran klasik yaitu letaknya superfisial dan
mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat seperti kumpulan tetesan air
diatas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips, dengan aksis
panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau tampak vesikel seperti titik- titik
embun diatas daun bunga mawar (dew drop on a rose petal). Cairan vesikel cepat
menjadi keruh disebabkan masuknya sel radang sehingga pada hari ke 2 akan
berubah menjadi pustula. Lesi kemudian akan mengering yang diawali pada
bagian tengah sehingga terbentuk umbilikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi
krusta dalam waktu yang bervariasi antara 2-12 hari, kemudian krusta ini akan
lepas dalam waktu 1 - 3 minggu. Pada fase penyembuhan varicella jarang
terbentuk parut (scar), apabila tidak disertai dengan infeksi sekunder bakterial.

Varicella yang terjadi pada masa kehamilan, dapat menyebabkan terjadinya


varicella intrauterine ataupun varicella neonatal. Varicella intrauterine, terjadi
pada 20 minggu pertama kehamilan, yang dapat menimbulkan kelainan
kongenital seperti ke dua lengan dan tungkai mengalami atropi, kelainan
neurologik maupun ocular dan mental retardation. Sedangkan varicella neonatal
terjadi apabila seorang ibu mendapat varicella (varicella maternal) kurang dari 5
hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan. Bayi akan terpapar dengan viremia
sekunder dari ibunya yang didapat dengan cara transplasental tetapi bayi
tersebut belum mendapat perlindungan antibodi disebabkan tidak cukupnya
waktu untuk terbentuknya antibodi pada tubuh si ibu yang disebut transplasental
antibodi. Sebelum penggunaan varicella zoster immunoglobulin (VZIG), angka
kematian varicella neonatal sekitar 30%, hal ini disebabkan terjadinya
pneumonia yang berat dan hepatitis yang fulminan. Tetapi jika si ibu mendapat
varicella dalam waktu 5 hari atau lebih sebelum melahirkan, maka si ibu
mempunyai waktu yang cukup untuk membentuk dan mengedarkan antibodi
yang terbentuk (transplasental antibodi) sehingga neonatus jarang menderita
varicella yang berat. Pada anak yang imunokompeten, biasanya dijumpai varicella
yang ringan sehingga jarang dijumpai komplikasi.

Komplikasi yang dapat dijumpai pada varicella yaitu :

1. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan oleh bakteri

 Sering dijumpai infeksi pada kulit dan timbul pada anak-anak yang berkisar
antara 5 - 10%. Lesi pada kulit tersebut menjadi tempat masuk organisme
yang virulen dan apabila infeksi meluas dapat menimbulkan impetigo,
furunkel, cellulitis, dan erysepelas.

 Organisme infeksius yang sering menjadi penyebabnya adalah


streptococcus grup A dan staphylococcus aureus.

2. Scar

 Timbulnya scar yang berhubungan dengan infeksi staphylococcus atau


streptococcus yang berasal dari garukan.

3. Pneumonia

 Dapat timbul pada anak - anak yang lebih tua dan pada orang dewasa, yang
dapat menimbulkan keadaan fatal. Pada orang dewasa insiden varicella
pneumonia sekitar 1 : 400 kasus.

4. Neurologik

 Acute postinfeksius cerebellar ataxia

a. Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2 - 3 minggu setelah


timbulnya varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan.

b. Manisfestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi berdiri


hingga tidak mampu untuk berdiri dan tidak adanya koordinasi dan
dysarthria.

c. Insiden berkisar 1 : 4000 kasus varicella.

 Encephalitis

a. Gejala ini sering timbul selama terjadinya akut varicella yaitu beberapa
hari setelah timbulnya ruam. Lethargy, drowsiness dan confusion adalah
gejala yang sering dijumpai.

b. Beberapa anak mengalami seizure dan perkembangan encephalitis yang


cepat dapat menimbulkan koma yang dalam.

c. Merupakan komplikasi yang serius dimana angka kematian berkisar 5 -


20 %.

d. Insiden berkisar 1,7 / 100.000 penderita.

5. Herpes zoster

 Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster, timbul
beberapa bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer.
 Varicella zoster virus menetap pada ganglion sensoris.

6. Reye syndrome

 Ditandai dengan fatty liver dengan encephalophaty.

Keadaan ini berhubungan dengan penggunaan aspirin, tetapi setelah digunakan


acetaminophen (antipiretik) secara luas, kasus reye sindrom mulai jarang
ditemukan.

d. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Untuk pemeriksaan virus varicella zoster (VZV) dapat dilakukan beberapa


test yaitu :

1. Tzanck smear

Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s,
toluidine blue ataupun Papanicolaou’s. Dengan menggunakan mikroskop
cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells.

- Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.

- Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan
herpes simpleks virus.

2. Direct fluorescent assay (DFA)

- Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah


berbentuk krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.

- Hasil pemeriksaan cepat.

- Membutuhkan mikroskop fluorescence.

- Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.

- Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks


virus.

3. Polymerase chain reaction (PCR)

- Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.


- Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti
scraping dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat
juga digunakan sebagai preparat, dan CSF.

- Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.

Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.

4. Biopsi kulit

Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan


degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai
adanya lymphocytic infiltrate.

e. DIAGNOSIS
BANDING

1. Herpes simpleks diseminata.

2. Herpes zoster diseminata.

3. Impetigo.

f. PENATALAKSANAAN

Pada anak imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan yang


spesifik dan pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis yaitu :

- Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah.

- Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salap
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

- Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan


salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya terjadi sindroma Reye.

- Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder
akibat garukan.

- Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu


penyembuhan akan lebih singkat.

- Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48 - 72 jam


setelah erupsi dikulit muncul.

- Golongan antivirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir dan


famasiklovir.
- Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varicella dan herpes zoster :

a. Neonatus : Asiklovir 500 mg / m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari.

b. Anak ( 2 -12 tahun) : Asiklovir 4 x 20 mg / kg BB / hari / oral selama 5


hari.

c. Pubertas dan dewasa :

● Asiklovir 5 x 800 mg / hari / oral selama 7 hari.

● Valasiklovir 3 x 1 gr / hari / oral selama 7 hari.

● Famasiklovir 3 x 500 mg / hari / oral selama 7 hari.

g. PENCEGAHAN

Pada anak imunokompeten yang telah menderita varicella tidak diperlukan


tindakan pencegahan, tetapi tindakan pencegahan ditujukan pada kelompok yang
beresiko tinggi untuk menderita varicella yang fatal seperti neonatus, pubertas
ataupun orang dewasa, dengan tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala
varicella.

Tindakan pencegahan yang dapat diberikan yaitu :

1. Imunisasi pasif

● Menggunakan VZIG (Varicella zoster immunoglobulin).

● Pemberiannya dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah terpajan


VZV, pada anak-anak imunokompeten terbukti mencegah varicellla
sedangkan pada anak imunokompromais pemberian VZIG dapat
meringankan gejala varicella.

● VZIG dapat diberikan pada yaitu :

- Anak - anak yang berusia < 15 tahun yang belum pernah menderita
varicella atau herpes zoster.

- Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita varicella atau
herpes zoster dan tidak mempunyai antibodi terhadap VZV.

- Bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varicella dalam kurun
waktu 5 hari sebelum atau 48 jam setelah melahirkan.

- Bayi premature dan bayi usia ≤ 14 hari yang ibunya belum pernah
menderita varicella atau herpes zoster.
- Anak - anak yang menderita leukaemia atau lymphoma yang belum
pernah menderita varicella.

- Dosis : 125 U / 10 kg BB. Dosis minimum : 125 U dan dosis maximal : 625
U. Pemberian secara IM tidak diberikan IV. Perlindungan yang didapat
bersifat sementara.

2. Imunisasi aktif

● Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus (Oka strain) dan


kekebalan yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun.

● Digunakan di Amerika sejak tahun 1995.

● Daya proteksi melawan varicella berkisar antara 71 - 100%.

● Vaksin efektif jika diberikan pada umur ≥ 1 tahun dan


direkomendasikan diberikan pada usia 12 – 18 bulan.

● Anak yang berusia ≤ 13 tahun yang tidak menderita varicella


direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua
diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 4 - 8 minggu.

● Pemberian secara subcutan.

● Efek samping : Kadang - kadang dapat timbul demam ataupun reaksi lokal
seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3- 5% anak - anak
dan timbul 10 - 21 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan.

● Vaksin varicella : Varivax.

Tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat Menyebabkan
terjadinya kongenital varicella.

h. PROGNOSIS

Varicella dan herpes zoster pada anak imunokompeten tanpa disertai


komplikasi prognosis biasanya sangat baik sedangkan pada anak
imunokompromais, angka morbiditas dan mortalitasnya signifikan.

12. Rabies
A. Definisi
Rabies merupakan penyakit infeksi susunan syaraf pusat akut pada manusia dan hewan
mamalia berdarah panas yang disebabkan oleh virus rabies.

B. Etiologi

Rabies disebabkan oleh virus rabies yang merupakan kelompok virus RNA negative-stranded.
Bentuk virus ini berenvelope.

C. Reservoir

Anjing adalah reservoir utama rabies. Kasus pada manusia dialporkan juga terjadi karena
gigitan kucing dan hewan liar, luwak, rubah, dan serigala.

D. Cara penularan

Cara penularan rabies ke manusia dapat dibedakan menjadi 2 yaitu secara alamiah dan
iatrogenik. Penularan secara alamiah melalui kontak selaput mukosa dan inokulasi virus oleh
gigitan hewan. Sedangkan penularan secara iatrogenik melalui udara (droplet)

E. Patogenesis

Virus berinokulasi pada tempat gigitan, glikoprotein virus akan berikatan dengan reseptor
nikotinik (asetilkolin) pada permukaan sel syaraf. Pada paparan perinhalasi, virus masuk
melalui jalur olfaktori menuju otak. Pada paparan per-oral, transmisi terjadi melalui
kerusakan integritas mukosa saluran cerna. Pada tempat inokulasi tersebut, virus
memperbayak diri. Selanjutnya, virus menyebar secara retrograde melalui sel syaraf motorik
dan sensorik menuju syaraf pusat dan menginfeksi batang otak,diensefalon, dan
hipokampus. Setelah mencapai syaraf pusat, virus kemudian menyebar secara antregrade
menuju beberrapa organ. Infeksi virus akan menimbulkan infiltrat dan nekrosis selular.

F. Manifestasi klinis

Gambara klinis terdiri dari 5 fase yaitu : masa inkubasi, fase prodormal, fase neurologis akut,
koma, dan kematian.

Masa inkubasi bervariasi antara 2 minggu sampai 6 tahun (rata-rata 2-3 bulan). Semakin
dekat jarak antara lokasi gigitan dengan susunan syaraf pusat maka akan semakin pendek
masa inkubasi.

Fase prodormal berlangsung 2 sampai 10 hari, diawali dengan gejala rasa baal, nyeri, gatal
pada lokasi bekas gigitan. Gejala lainnya adalah lemas, cepat lelah, mual, muntah, nyeri
kepala, nafsu makan turun, dan demam

Fase neurologis akut berlangsung 2 sampai 7 hari. Terdapat episode hipereksitabilitas dalam
beebrapa menit, ditandai dengan kebingungan, hipersetesia, halusinasi, agitasi, tingkah laku
agresif, kemudian diikuti fase tenang. Tanda khas dari rabies yaitu Hidrofobia, paresis
keempat ekstremitas.

Koma dengan paalisis flaksid generalisata dan respirasi serta kegagalan vaskuler terjadi
setelah fase neurologis akut
Sebagian besar pasien meninggal setelah 2 minggu timbulnya koma, biasanya karena
distress nafas.

G. Diagnosis

Who mengklasifikasikan menjadi :

1. Suspect : dijumpai sindroma neurologis akut yang cepat memburuk menjadi koma dan
meninggal, paling sering karena gagal pernafasan, dalam waktu 7-10 hari setelah gejala awal
2. Probable : kasus suspek dengan riwayat kontak dengan hewan terinfeksi rabies
3. Confirmed : kasus suspek yang sudah dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium.

H. Pemeriksaan laboratorium
Spesimen pemeriksaan laboratorium dapat berupa saliva, serum, urine, biopsi kulit leher.
Metode pemeriksaan meliputi deteksi antibodi terhadap virus, deteksi antigen melalui ELISA,
deteksi antivirus dengan PCR, isolasi virus, dan pemeriksaan histopatologis.

I. Penatalaksanaan
1. Perawatan luka
- Harus dilakukan sesegera mungkin untuk mnegeliminasi dan menginaktifkan virus rabies
- Pembersihan luka dengan air mengalir paling sedikit 15 menit.
- Disinfeksi luka dengan etanol atau povidon iodine atau zat antiviral lainnya
- Tunda penjahitan luka. Jika luka memang harus dijahit maka harus dipastikan
sebelumnya sudah diberikan imunoglobulin
- Pemberian antibiotika dan tetanus toksoid jika ada indikasi
2. Setelah perawatan luka, selanjutnya pemberian imunoglobulin (serum anti rabies SAR) dan
vaksinasi anti rabies (VAR) sesuai dengan indikasi :
kategori Jenis kontak Jenis paparan Anjuran profilaksis
I Menyentuh, memberi makan binatang atau Tidak terpapar Tidak perlu
jilatan pada kulit yang utuh profilaksis
II Goresan ringan atau abrasi tanpa Minor Segera berikan VAR
perdarahan atau gigitan main-main pada
kulit yang tidak utuh
III Gigitan transdermal tunggal atau multiple, Mayor Segera berikan SAR
jilatan pada kulit yang rusak, kontaminasi dan VAR
selaput mukosa dengan air liur dan curiga
kontak dengan kelelawar
Hindari pemberian kortikosteroid karena dapat memperpendek masa inkubasi dan
mmeningkatkan mortalitas. Selain itu, kortokosteroid menurunkan distribusi obat-obat
melewati sawar darah otak.

13. Influenza
A. Definisi
Influenza adalah infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus influenza, dan
menyebar dengan mudah dari orang ke orang. Virus ini beredar di seluruh dunia dan
dapat mempengaruhi orang tanpa memandang usia dan jenis kelamin (WHO, 2009).
Flu sendiri merupakan suatu penyakit yang self-limiting, dimana bila tidak
terjadi komplikasi dengan penyakit lain, maka setelah 4-7 hari penyakit akan sembuh
sendiri. Daya tahan tubuh seseorang akan sangat berpengaruh terhadap berat
ringannya penyakit tersebut. Daya tahan tubuh dipengaruhi oleh pola hidup seseorang
(BPOM, 2006).
B. Etiologi
Penyebab influenza adalah virus RNA yang termasuk dalam keluarga
Orthomyxoviridae yang dapat menyerang burung, mamalia termasuk manusia. Virus
ditularkan melalui air liur terinfeksi yang keluar pada saat penderita batuk, bersin atau
melalui kontak langsung dengan sekresi (ludah, air liur, ingus) penderita.
Dikenal tiga jenis influenza musiman (seasonal) yakni A, B dan Tipe C. Di
antara banyak subtipe virus influenza A, saat ini subtipe influenza A (H1N1) dan A
(H3N2) adalah yang banyak beredar di antara manusia. Virus influenza bersirkulasi di
setiap bagian dunia. Kasus flu akibat virus tipe C terjadi lebih jarang dari A dan B.
Itulah sebabnya hanya virus influenza A dan B termasuk dalam vaksin influenza
musiman. Influenza musiman menyebar dengan mudah Saat seseorang yang terinfeksi
batuk, tetesan yang terinfeksi masuk ke udara dan orang lain bisa tertular. Mekanisme
ini dikenal sebagai air borne transmission. Virus juga dapat menyebar oleh tangan
yang terinfeksi virus. Untuk mencegah penularan, orang harus menutup mulut dan
hidung mereka dengan tisu ketika batuk, dan mencuci tangan mereka secara teratur
(WHO, 2009). Virus influenza A inang alamiahnya adalah unggas akuatik. Virus ini
dapat ditularkan pada spesies lain dan dapat menimbulkan wabah yang berdampak
besar pada peternakan unggas domestik atau menimbulkan suatu wabah influenza
manusia. Virus A merupakan patogen manusia yang paling virulen di antara ketiga
tipe infleuenza dan menimbulkan penyakit paling berat, yang paling terkenal di
Indonesia adalah flu babi (H1N1) dan flu burung (H5N1).
C. Gejala
Gejala influenza biasanya diawali dengan demam tiba-tiba, batuk (biasanya
kering), sakit kepala, nyeri otot, lemas, kelelahan dan hidung berair. Pada anak
dengan influenza B dapat menjadi lebih parah dengan terjadinya diare.
D. Pengobatan
Orang yang menderita flu disarankan banyak beristirahat, meminum banyak
cairan, dan bila perlu mengkonsumsi obat-obatan untuk meredakan gejala yang
mengganggu.
Tindakan yang dianjurkan untuk meringankan gejala flu tanpa pengobatan meliputi
antara lain :
a. Beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan.
b. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang tinggi akan
menambah daya tahan tahan tubuh. Makan buah-buahan segar yang banyak
mengandung vitamin.
c. Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi rasa kering di tenggorokan,
mengencerkan dahak dan membantu menurunkan demam.
Obat flu umumnya merupakan kombinasi dari beberapa zat aktif, seperti kombinasi-
kombinasi dari :
a. Analgesik/antipiretik dikombinasikan dengan nasal dekongestan.
b. Analgesik/antipretik dikombinasikan dengan nasal dekongestan dan antihistamin.
c. Analgesik/antipiretik dikombinasikan dengan nasal dekongestan, antihistamin dan
antitusif atau ekspektoran.

AVIAN INFLUENZA A/ FLU BURUNG (H5N1)

 Definisi
Penyakit Flu Burung atau Avian Influenza adalah penyakit menular yang
disebabkan virus influenza yang ditularkan oleh unggas ke unggas atau dari unggas ke
manusia. Influenza A (H5N1) adalah penyebab wabah flu burung pada hewan di
Hong Kong, Cina, Vietnam, Thailand, Indonesia, Korea, Jepang, Laos, Kamboja
kecuali Pakistan.
 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus influenza A H5N1 pada
manusia sangat bervariasi dan pada umumnya sama seperti infeksi virus influenza
yang lain. Masa inkubasi juga sangat bervariasi antara 2 hingga 17 hari. Gejala yang
muncul dapat berupa penyakit ringan, infeksi subklinis, atau dapat juga menampilkan
gejala yang tidak khas, misalnya ensefalopati dan gastroenteritis. Pada sebagian
penderita ditemukan gejala demam, badan lemas, nyeri otot, nyeri tenggorokan, batuk
dan pilek. Gejala konjungtivitis sangat jarang ditemukan. Demam tinggi secara terus-
menerus merupakan gejala yang cukup khas.
 Diagnosis
Pasien dicurigai menderita influenza unggas atau flu burung jika mengeluh
adanya penyakit saluran napas, yang sebelumnya pernah mengadakan kontak
langsung ataupun tidak langsung, menangani atau memelihara, atau terpajan langsung
dengan ayam atau burung yang sakit influenza. Selain adanya gejala klinis tersebut di
atas, pemeriksaan foto thoraks juga sangat berguna untuk mendeteksi adanya
pneumonia fase dini. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium
spesimen yang berasal dari hapusan tenggorokan, cairan yang berasal endotrakhea,
sputum, dan serum penderita yang dicurigai secara klinis.
 Pengobatan
Jika seorang pasien dicurigai menderita penyakit flu burung, maka pengobatan
harus diberikan secepat mungkin, tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium.
Pengobatan terhadap infeksi subtipe virus influenza A H5N1, pada prinsipnya adalah
sama dengan infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A yang lain. Sayangnya,
subtipe virus influenza A H5N1 yang beredar saat ini sudah ada yang resisten
terhadap obat amantadin dan rimantadin. Kedua obat ini biasanya digunakan untuk
mengobati influenza. Tetapi, obat antivirus lain (oseltamivir dan zanavir) masih
efektif terhadap virus galur H5N1. Walaupun demikian, virus H5N1 juga dilaporkan
sudah ada yang resisten terhadap obat oseltamivir.
Saat ini sedang diteliti tentang efektivitas obat oseltamivir dengan dosis dua
kali lipat untuk mencegah terjadinya resistensi. Dosis obat antivirus oseltamivir yang
diberikan kepada penderita H5N1 pada prinsipnya adalah sama dengan penderita
influenza yang lain.
a. Untuk orang dewasa umur lebih 13 tahun diberikan 2x75 mg sehari selama 5 hari,
b. Untuk anak yang berumur >1 tahun dengan berat 40 kg diberikan 2x75 mg sehari
diberikan selama 5 hari.
c. Untuk penggunaan profilaksis pada orang dewasa yang berumur lebih 13 tahun
yang kontak erat dengan penderita diberikan 1x75 mg sehari selama lebih 7 hari,
dan bila terjadi wabah diberi 1x75 mg sehari selama 6 minggu.

FLU BABI/ SWINE FLU (H1N1)

A. Definisi
Adalah influenza H1N1 2009 tipe A, adalah penyakit infeksi pernapasan yang terjadi
pada manusia, disebut “flu babi” karena virusnya menyerupai virus pada babi, namun
kondisi ini cukup berbeda dengan flu yang sesungguhnya terjadi pada babi. Flu ini
telah berevolusi dan dapat menular dari orang ke orang lainnya walau tidak memiliki
kontak apapun dengan babi.
B. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala flu babi pada manusia sama dengan flu musiman lainnya:
a. Demam mendadak (tidak selalu): biasanya di atas 38 derajat Celcius
b. Batuk (biasanya kering)
c. Radang tenggorokan
d. Hidung beringus atau tersumbat
e. Mata berair dan merah
f. Nyeri pada tubuh
g. Sakit kepala
h. Kelelahan
i. Diare
j. Mual dan muntah.

Pada beberapa situasi, gejala dapat memburuk dan memiliki banyak komplikasi:
- Sesak napas
- Pneumonia
- Perubahan status mental (dari perubahan perilaku hingga linglung, kejang)
- Kematian
C. Diagnosis
Gejala dari flu musiman dan flu babi kurang lebih sama kecuali Anda
memiliki komplikasi serius, sehingga tes laboratorium adalah cara satu-satunya untuk
mengetahui apakah Anda terkena influenza pandemik ini. Untuk menguji flu babi,
sampel dari hidung atau tenggorokan diambil. Sampel akan dianalisis menggunakan
berbagai teknik genetis dan laboratorium untuk mengidentifikasi jenis virus. Namun,
tes tidak dilakukan secara rutin, Anda hanya memerlukannya jika Anda berada di
kelompok dengan risiko tinggi.
D. Pengobatan
Ada 2 obat antiviral yang paling efektif menangani flu babi, yaitu Tamiflu dan
Relenza. Namun, untuk membantu mengurangi pertahanan obat, dokter biasanya
hanya memberi obat ini untuk orang dengan risiko tinggi terhadap komplikasi. Obat
harus dikonsumsi dalam 48 jam pertama dari gejala awal flu untuk mengurangi
keparahan dan komplikasi.
E. Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah flu babi adalah vaksinasi. Anda dapat
mendapatkannya dalam bentuk suntikan atau spray hidung dalam beberapa kondisi
tertentu. Spray hidung hanya direkomendasikan untuk orang yang sehat di antara 2-49
tahun dan tidak hamil.
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan
vaksinasi flu untuk orang-orang di atas usia 6 bulan. Suntikan flu juga melindungi
dari 2-3 virus influenza yang umum terjadi saat musim flu.

14. New Emerging Disease


14.1 Ebola
a. Definisi
Penyakit virus Ebola (sebelumnya dikenal sebagai Demam Berdarah Ebola)
adalah demam berdarah viral berat yang seringkali fatal dengan angka kematian
mencapai 90%. Penyakit ini menyerang manusia dan hewan golongan primata
(monyet, gorila dan simpanse).
Asal virus ebola belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan bukti yang
ada diperkirakan kelelawar buah (Pteropodidae) adalah host dari virus ini.

b. Transmisi
Virus Ebola terjangkit pada manusia melalui kontak langsung dengan darah atau
sekresi, atau organ dan cairan tubuh lainnya dari binatang yang positif terinfeksi virus
Ebola. Sekali manusia terpajan dengan binatang yang terinfeksi virus Ebola, maka
penyakit ini dapat terjangkit antar manusia pada komunitas tersebut. Infeksi yang
timbul adalah akibat kontak langsung melalui luka atau selaput lendir dengan darah,
cairan tubuh atau sekresi (feses, urine, air ludah, cairan semen) dari orang yang positif
terinfeksi penyakit virus Ebola.
Infeksi juga dapat terjadi pada orang sehat yang mengalami luka, atau iritasi
selaput lendir yang terpajan dan kontak langsung dengan lingkungan sekitar yang
telah terkontaminasi dengan cairan tubuh pasien penyakit virus Ebola, seperti baju
kotor pasien, seprei atau jarum bekas pasien tersebut. Virus penyebab penyakit Ebola
seringkali ditularkan dan tersebar melalui keluarga atau kerabat yang merawat
keluarganya yang sakit atau mereka yang menangani mayat keluarganya yang
meninggal karena penyakit virus Ebola.

c. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang tipikal adalah:
g. Panas tinggi,
h. Sangat lemah,
i. Nyeri otot dan sendi,
j. Sakit kepala dan nyeri tenggorokan,
k. muntah,
l. diare,
m. ruam atau bintik merah pada kulit,
n. Mengalami gagal ginjal dan fungsi hati.
Pada beberapa kasus, mengalami perdarahan internal dan eksternal. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan jumlah darah putih yang rendah, jumlah
trombosit menurun dan enzym hati yang meningkat.

d. Masa Inkubasi
Masa Inkubasi atau masa antara infeksi dan timbulnya gejala penyakit virus Ebola
adalah 2—21 hari. Pasien akan mudah menularkan penyakit virus Ebola saat timbul
tanda dan gejala penyakit. Penyakit virus Ebola tidak menular selama masa inkubasi.

e. Pengobatan
Penyakit virus Ebola hanya dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium.
Penderita penyakit virus Ebola berat membutuhkan perawatan intensif. Biasanya
pasien mengalami dehidrasi dan membutuhkan cairan infus atau oralit yang
mengandung elektrolit. Saat ini belum ada obat untuk penyakit virus Ebola. Beberapa
pasien sembuh dengan penanganan dan perawatan medis yang tepat. Untuk
membantu mengendalikan penyebaran infeksi penyakit virus Ebola, pasien terduga
atau terkonfirmasi virus Ebola perlu dirawat di ruang isolasi dan fasilitas kesehatan
wajib menerapkan tindakan pengendalian infeksi ketat.

14.2 Zika
f. Definisi dan Sejarah
ZIKA adalah penyakit new emerging disease yang baru baru ini
ditemukan. Zika disebabkan oleh virus zika (ZIKV). Awalnya ZIKV di duga
menginfeksi manusia setelah ditemukannya monyet demam melalui survei
serologis dan dalam kasus infeksi manusia pada seorang pekerja lapangan.
Selanjutnya, ZIKV telah diisolasi dari berbagai nyamuk Aedes dan
penyebab infeksi manusia di seluruh daerah katulistiwa termasuk Afrika,
Indonesia, Malaysia, dan Kamboja dengan Aedes aegyptii menjadi vektor
utama di Asia Tenggara. Pada tahun 2007, wabah besar infeksi ZIKV terjadi di
Pulau Yap, Mikronesia. Secara keseluruhan, ada 49 yang dikonfirmasi dan 59
kemungkinan kasus penyakit ZIKV. Pasien mengalami ruam, demam,
artralgia, dan konjungtivitis. Aedes hensilli adalah spesies nyamuk dominan
yang diidentifikasi. Saat ini, ZIKV tersebar luas di luar Afrika dengan kasus
atau bukti serologis infeksi di India, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan
Indonesia.

g. Etiologi
Virus Zika (ZIKV) pada awalnya diisolasi di stasiun pengawas YF di monyet
demam yang terletak di Hutan Zika, Entebbe, Uganda. Virus Zika merupakan
arbovirus. Virus Zika menyebar ke orang terutama melalui gigitan nyamuk
tipe Aedes yang terinfeksi (Ae aegypti dan Ae albopictus). Zika juga bisa
dilewati seks dari seseorang yang memiliki Zika ke pasangan seksnya dan
bisa menyebar dari wanita hamil ke janinnya.

h. Epidemiologi
Belum terbukti ditemukannya orang yang terinfeksi ZIKV di Indonesia.

i. Transmisi
1. Melalui gigitan nyamuk
Virus Zika ditularkan ke orang terutama melalui gigitan
nyamuk tipe Aedes yang terinfeksi (Ae aegypti dan Ae albopictus). Ini
adalah nyamuk yang sama yang menyebarkan virus dengue dan
chikungunya.
Nyamuk-nyamuk ini biasanya bertelur di dekat genangan air
dalam hal-hal seperti ember, mangkuk, piring hewan, pot bunga, dan
vas bunga. Mereka lebih suka menggigit orang, dan tinggal di dalam
rumah dan di luar rumah di dekat orang.
2. Dari ibu ke anak
Seorang wanita hamil bisa menularkan virus Zika ke janinnya
saat hamil. Zika adalah penyebab microcephaly dan defek otak janin
berat lainnya. Seorang wanita hamil yang sudah terinfeksi virus Zika
bisa menyebarkan virus ke janinnya selama kehamilan atau sekitar
waktu kelahiran. Sampai saat ini, belum ada laporan tentang bayi
yang mendapatkan virus Zika melalui menyusui. Karena manfaat
menyusui, ibu dianjurkan untuk menyusui bahkan di daerah dengan
risiko Zika.
3. Melalui seks
Zika dapat dilewatkan melalui seks dari seseorang yang
memiliki Zika ke pasangannya. Zika bisa dilewatkan melalui seks,
meski orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala pada saat itu. Ini
bisa dilalui dari seseorang dengan Zika sebelum gejalanya mulai,
sementara mereka memiliki gejala, dan setelah gejala mereka
berakhir.
Studi sedang dilakukan untuk mengetahui berapa lama Zika tetap
berada di air mani dan cairan vagina orang-orang yang memiliki Zika,
dan berapa lama bisa dilewatkan ke pasangan seks (Zika dapat tetap
berada dalam air mani lebih lama daripada cairan tubuh lainnya,
termasuk cairan vagina)
4. Melalui transfusi darah
Sampai saat ini, belum ada kasus transmisi transfusi darah yang
dikonfirmasi di Amerika Serikat. Ada beberapa laporan tentang kasus
transmisi transfusi darah di Brasil. Laporan ini saat ini sedang
diselidiki. Selama wabah Polinesia Prancis, 2,8% donor darah
dinyatakan positif terhadap Zika dan pada wabah sebelumnya, virus
tersebut ditemukan pada donor darah.

5. Melalui paparan laboratorium dan perawatan kesehatan


Sebelum wabah saat ini, ada empat laporan infeksi virus Zika yang
diperoleh di laboratorium, walaupun jalur penularannya tidak jelas
dalam semua kasus. Pada tanggal 15 Juni 2016, telah terjadi satu
kasus penyakit virus Zika yang didapatkan di laboratorium di Amerika
Serikat.

j. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada bayi :
Seorang wanita hamil bisa menularkan virus Zika ke janinnya saat hamil.
Zika menyebabkan microcephaly dan defek otak janin berat.

k. Pemeriksaan
Untuk ibu hamil pemeriksaan berupa RT-PCR yang di deteksi pada
minggu pertama kehamilan.

l. Tatalaksana
Belum ada pengobatan atau vaksin yang spesifik untuk penanganan penyakit
ini. masih fokus terhadap gejala penyakit yang ada.
m. Komplikasi
Pada beberapa kasus suspek Zika dilaporkan juga mengalami
sindrom Guillane Bare. Namun hubungan ilmiahnya masih dalam tahap
penelitian.
n. Pencegahan
Pencegahan penularan virus ini dapat dilakukan dengan:
1. Menghindari kontak dengan nyamuk
2. Melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus (menguras dan
Menutup tempat penampungan air, melakukan daur ulang barang bekas,
ditambah dengan melakukan kegiatan pencegahan lain seperti menabur
bubuk larvasida, menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan obat
nyamuk atau anti nyamuk, dll)
3. Melakukan pengawasan jentik dengan melibatkan peran aktif
masyarakat melalui Gerakan Satu Rumah Satu Juru Pemantau Jentik
(Jumantik) meningkatkan daya tahan tubuh melalui perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) seperti diet seimbang, melakukan aktifitas fisik secara
rutin, dll.
4. Pada wanita hamil atau berencana hamil harus melakukan perlindungan
ekstra terhadap gigitan nyamuk untuk mencegah infeksi virus Zika
selama kehamilan, misalnya dengan memakai baju yang menutup
sebagian besar permukaan kulit, berwarna cerah, menghindari
pemakaian wewangian yang dapat menarik perhatian nyamuk seperti
parfum dan deodoran.

15. Farmakologi Anti Virus

a. Mekanisme Kerja Antivrus (MOA)


Mekanisme kerja agen antiviral umumnya melibatkan penghambatan langkah
spesifik virus dalam replikasi virus. Karena replikasi virus terutama bergantung pada
fungsi metabolisme sel inang, agen antivirus yang berguna harus menghambat fungsi
spesifik virus dan membiarkan fungsi sel inang utuh, atau paling tidak secara
istimewa menghambat virus yang diarahkan berlawanan dengan sintesis
makromolekul sel induk. Akibatnya, agen antivirus biasanya memiliki spektrum
aktivitas terbatas. Meskipun banyak senyawa dapat ditemukan yang menunjukkan
aktivitas antiviral secara in vitro, sebagian besar juga mempengaruhi beberapa
fungsi sel inang dan dikaitkan dengan rasio terapeutik rendah atau mungkin
memiliki toksisitas yang tidak dapat diterima pada manusia.
Sebagian besar agen antiviral saat ini menghambat replikasi virus yang sedang
berlangsung, dan replikasi dapat berlanjut saat obat tersebut dikeluarkan. Dengan
demikian, agen antiviral saat ini tidak efektif dalam penghapusan virus yang tidak
berulang atau laten.
Berdasar tempat hambatannya, dibagi menjadi:
1. Obat yg menghambat virus masuk/ meninggalkan sel pejamu
2. Obat yang menghambat sintesis asam nukleat
3. Inhibitor protease

1. Obat yg menghambat virus masuk/ meninggalkan sel pejamu


a. Amantadin
- MOA : Menghambat fase ujung dr proses perakitan virus influenza
A
- Spektrum : sempit.

- Baik secara oral


- Mudah menembus SSP
- ES : pusing, insomnia, ataksia, kejang
- Pemakaian hati – hati pada : ibu hamil dan ibu menyusui
b. Imunoglobulin
- Mengandung antibodi spesiik yang
- Melawan antigen superfisial virus dan dapat
- Mengganggu proses masuknya virus ke dalam sel pejamu.
- Suntikan imunoglobulin normal → memberikan perlindungan
sementara melawan hepatitis A, campak & rubela.
c. Zanamavir
- Menghambat neuramidase influenza A dan B → enzim yg penting
untuk pelepasan virus dari sel yang terinfeksi.
- Digunakan pula pada pencegahan influenza pada orang dewasa.

2. Obat yang menghambat sintesis asam nukleat


a. Asiklovir
- Bersifat : Toksik selektif.
- MOA : “diambil” secara selektif oleh sel yg terinfeksi virus herpes,
dgn mengubah dulu ke bentuk monofosfat oleh timidin kinase milik
virus tsb
- Diberikan scr topikal, oral & parenteral.
- ES : iritasi lokal, gangguan GIT.
- Sediaan Asiklovir : 200 mg, 400 mg, 800 mg
- Indikasi dan Dosis Asiklovir
a) Infeksi herpes simpleks
Infeksi herpes genitalis inisial pada dewasa : Acyclovir 200
mg 5 kali sehari setiap 4 jam, selama 5 – 10 hari. Anak dibawah
2 tahun : ½ dosis dewasa. Untuk penderita
“immunocompromised” atau kelainan absorbsi pada usus dosis
dapat ditingkatkan menjadi 400 mg, atau sebagai alternatif
diberikan pengobatan secara intravena. Pengobatan harus
dimulai sedini mungkin, untuk rekuren sebaiknya pada periode
mulai terjadinya lesi pertama.
Pengobatan supresi infeksi herpes genitalis rekuren :
Acyclovir 400 mg 2 kali sehari atau 200 mg 2 – 5 kali sehari,
selama 12 bulan.
Pengobatan intermitten infeksi herpes genitalis rekuren :
Acyclovir 200 mg 5 kali sehari setiap 4 jam, selama 5 hari.
b) Infeksi herpes zoster dan varisela
Dewasa : Acyclovir 800 mg 5 kali sehari setiap 4 jam,
selama 7 – 10 hari. Anak 2 – 12 tahun : Acyclovir 400 – 800 mg
4 kali sehari, selama 5 kali. Anak dibawah 2 tahun : Acyclovir
200 mg atau 20 mg/kg BB 4 kali sehari, selama 5 hari.
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin dan pada saat awal
timbulnya gejala infeksi. Penderita yang mengalami gangguan
fungsi ginjal diperlukan penyesuaian dosis.

b. Gansiklovir
- Hanya digunakan untuk mengobati infeksi CMV berat pada pasien
immunocompromised.
- Diberikan mll infus intravena & tersebar luas ke berbagai jaringan
tmsk otak
- ES : Supresi sutul, neutropenia, trombositopenia, anemia

c. ARV (antiretrovirus) yang menghambat sintesis asam nukleat


- NRTI : Penghambat nukleosida pengubah transcriptase , contohnya
Stavudin, Zidovudin
- NNRTI : Penghambat Non-nukleosida pengubah transcriptase,
contohnya Nevirapin

3. Inhibitor protease ARV


- Saquinavir
- Ritonavir

4. Modifikasi Host Cell à Interferon


Interferon adalah sitokin yang tidak secara langsung memiliki aktivitas
antivirus sendiri namun menginduksi keadaan antiviral pada sel inang
melalui aktivasi tirosin kinase (Tyk2, JAK1, JAK2) dan fosforilasi protein
STAT sitoplasma. Hal ini menyebabkan penghambatan beberapa langkah
dalam replikasi virus, tergantung pada jenis virus dan sel tertentu.
Interferon paling banyak digunakan dalam pengobatan infeksi virus
hepatitis B dan C, kombinasi dengan ribavirin, dan dengan protease
penghambat hepatitis C
- IFN-α : s/ prot yg biasax normal dhsilkn o/ leukosit
- Hambatan translasi RNA  degradasi mRNA & tRNA virus
- Diberikan I.V
- ES : demam, letargi, depresi sutul, gangguan kardiovasa, & alergi
- IFN alfa: hepatitis B & C, leukemia, sarkoma kaposi

16. Imunisasi
a. Definisi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak
terjadi penyakit. Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk
merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan
(misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio).
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak di berikan
kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu penyakit tapi
belum kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi merupakan suatu upaya untuk
menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit.

b. Tujuan imunisasi

Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang
dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau
bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia. Program imunisasi bertujuan
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk
rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tuberkulosis. Program imunisasi bertujuan
untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi
serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umun tujuan
imunisasi antara lain: (Atikah, 2010, p5)

1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular


2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular
3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka
kematian) pada balita

c. Manfaat imunisasi
1. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
2. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak
sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya
akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
3. Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan
berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
d. Jenis-jenis imunisasi

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek yang
merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu:

a. Imunisasi aktif merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan
(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu
ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan
meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak. Dalam
imunisasi aktif, terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu:

1. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan,


eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada protein
pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari ekstrak
komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen
harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.

2. Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan


agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan
mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa
dan antibiotik yang biasa digunakan.

3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur
jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya antigen
telur, protein serum, dan bahan kultur sel.

4. Adjuvan, terdiri dari garam alumunium yang berfungsi meningkatkan


sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh,
antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi
perlawanan maka semakin tinggi peningkatan antibodi tubuh.

b. Imunisasi pasif merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan


cara pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses
infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu
melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba
yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah
penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka
kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi
tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama
masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

You might also like