You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa dan sastra jawa seperti sekarang ini adalah hasil sebuah proses
panjang perjalanan masyarakat Jawa. Dalam perjalanannya, perkembangan
bahasa Jawa tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sastra, karena itu dari
seni-sastra, bahasa Jawa bisa ditelisik perkembangannya. Lebih jauh lagi,
bahasa Jawa dan seni-sastra jawa adalah hasil proses perjalanan kekuasaan
Jawa, dari jaman pra-kolonial, kolonial, hingga pasca-kolonial.
Bahasa dan sastra Jawa sebagai salah satu sumber pendidikan karakter
tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, karena dalam bahasa dan sastra
Jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan substansi utama dari
pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam bahasa
dan sastra Jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma,
keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong,
andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya.
Pendidikan karakter yang digali dari substansi bahasa dan sastra Jawa dapat
menjadi pilar pendidikan budi pekerti bangsa. Kini, ketika bangsa ini
terkoyak oleh nilai-nilai moral, pendidikan budi pekerti kembali mengemuka
dengan nama yang lebih menjanjikan adalah pendidikan karakter. Makalah ini
akan membahas mengenai bahasa dan sastra jawa.

B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini, dimaksudkan agar pembaca memiliki wawasan
tentang bahasa dan sastra jawa, mengenai:
1. Bagaimana persebaran bahasa jawa?
2. Bagaimana dialek bahasa jawa?
3. Bagaimana undhak-undhuk dalam bahasa jawa?
4. Bagaimana tulisan dan aksara jawa?
5. Bagaimana unggah-ungguh basa jawa?
6. Apakah yang dimaksud sastra jawa?
7. Apa saja jenis sastra?
8. Bagaimana sastra jawa kuna?
9. Bagaimana sastra jawa tengahan?
10. Bagaimana sastra jawa baru?
11. Apakah yang dimaksud dengan geguritan?
12. Apakah itu mitos?
13. Apakah yang dimaksud dongeng?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat mengetahui
tentang:
1. Persebaran Bahasa Jawa.
2. Dialek Bahasa Jawa.
3. Undhak-Undhuk Dalam Bahasa Jawa.
4. Tulisan Dan Aksara Jawa.
5. Unggah-Ungguh Basa Jawa.
6. Sastra Jawa.
7. Jenis Sastra.
8. Sastra Jawa Kuna.
9. Sastra Jawa Tengahan.
10. Astra Jawa Baru.
11. Geguritan.
12. Mitos.
13. Dongeng.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan Suku Jawa, baik
yang bermukim di belahan Utara Pulau Jawa (sekarang Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta) sebagai tempat lahir bahasa tersebut, maupun di
berbagai tempat lainnya, yang dihuni secara signifikan oleh para pendatang
dari tanah Jawa, dengan berbagai latar belakang.
1. Persebaran
Bahasa Jawa (basa Jawa) termasuk ke dalam rumpun bahasa
Austronesian, yang hari ini menjadi bahasa ibu bagi lebih dari 40
persen penduduk dari populasi masyarakat Indonesia, yang tersebar
hampir di seluruh penjuru tanah air. Selain di Indonesia, bahasa Jawa
dengan penutur yang terbilang signifikan juga bisa ditemui di
sejumlah negara, yakni di Malaysia, Singapura, Suriname, Kaledonia
Baru, dan Belanda.
2. Dialek
Sebagai salah satu bahasa besar dengan banyak penutur,
bahasa Jawa memiliki sejumlah dialek, seperti misalnya Jawa
Tengahan, yang terutama di bawah pengaruh dialek Surakarta dan
dialek Yogyakarta, yang dianggap sebagai standar. Berikut sejumlah
dialek dalam ‘rumpun’ dialek Jawa Tengahan:
1) Dialek Pekalongan, yang dituturkan di daerah Pekalongan
(kabupaten dan kotamadya), serta di Pemalang.
2) Dialek Kedu, yang dituturkan di daerah-daerah bekas
keresidenan Kedu, yakni Temanggung, Kebumen,
Magelang, dan Wonosobo.
3) Dialek Bagelen, yang dituturkan di Purworejo.
4) Dialek Semarang, yang dituturkan Semarang (kabupaten
dan kotamadya), Salatiga, Demak, dan Kendal.
5) Dialek Pantai Utara, atau dialek Muria, dituturkan di Jepara,
Rembang, Kudus, Pati, dan juga di Tuban dan Bojonegoro.
6) Dialek Blora, yang dituturkan di Blora, bagian Timur
Grobogan dan bagian Barat Ngawi.
7) Dialek Surakarta, yang dituturkan di Surakarta,
Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, dan Boyolali
8) Dialek Yogyakarta, yang dituturkan di Yogyakarta dan
Klaten.
9) Dialek Madiun, yang dituturkan di Provinsi Jawa Timur,
termasuk Madiun, Ngawi, Pacitan, Ponorogo, dan Magetan

Kemudian, dikenal juga istilah Jawa Kulonan yang sering


disebut basa ngapak. Dituturkan di bagian Barat Jawa Tengah dan di
sejumlah wilayah Barat Pulau Jawa, yang meliputi:
1) Dialek Banten Utara (Jawa Serang), yang dituturkan di
Serang, Cilegon, dan bagian Barat Tangerang.
2) Dialek Cirebon (Cirebonan atau Basa Cirebon), yang
dituturkan di Cirebon dan Losari, Sementara dialek
Indramayu (atau Dermayon) yang dituturkan di Indramayu,
Karawang, dan Subang, oleh banyak pihak digolongkan ke
dalam Cirebonan.
3) Dialek Tegal (Tegalan atau Dialek Pantura), dituturkan di
Tegal, Brebes, dan bagian Barat Kabupaten Pemalang.
4) Dialek Banyumas (Banyumasan), dituturkan di Banyumas,
Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Bumiayu.

Selain Jawa Tengahan dan Jawa Kulonan, dikenal juga istilah


Jawa Timuran, yang dituturkan di ujung Timur Pulau Jawa, dari
mulai wilayah Sungai Brantas di Kertosono, dan dari Nganjuk
hingga Banyuwangi, yang mencakup provinsi-provinsi di Jawa
Timur, kecuali Pulau Madura. Dialek-dialek dalam rumpun Jawa
Timuran. Yakni:
1) Dialek Surabaya (Suroboyoan), yang umumnya dituturkan
di Surabaya, Gersik, Sidoarjo. Banyak orang Madura juga
menggunakan dialek ini sebagai bahasa kedua setelah
bahasa mereka sendiri.
2) Dialek Malang, yang dituturkan di Malang (kabupaten dan
kotamadya), dan juga di Mojokerto.
3) Dialek Jombang, yang dituturkan di Jombang.
4) Dialek tengger, yang digunakan oleh orang-orang Tengger
di sekitar Gunung Bromo.
5) Dialek Banyuwangi (Basa Osing), yang dituturkan oleh
orang-orang Osing di Banyuwangi.

Di samping tiga ‘rumpun’ dialek di atas, selebihnya, dikenal


juga bahasa Jawa Suriname (Surinamese Javanese), yang umumnya
berasal dari Jawa Tengah, terutama keresidenan Kedu.
3. Undhak-undhuk
Bahasa Jawa mengenal istilah undhak-undhuk atau aturan
tatakrama dalam berbahasa, yang mencakup pertimbangan-
pertimbangan relasi sosial dan peran sosial para penutur yang terlibat
dalam percakapan. Setidaknya, dikenal tiga bentuk undhak-undhuk,
yakni:
1) Ngoko (Ngaka) yang merupakan bahasa informal, yang
umumnya digunakan di antara teman sebaya dan kerabat-
kerabat terdekat, serta juga digunakan oleh orang dengan
status sosial yang lebih tinggi kepada lawan bicara yang
memiliki status sosial yang lebih rendah.
2) Madya, yang berada di antara ngoko dan krama. Jenis ini
umumnya digunakan di antara para penutur yang tidak
akrab, seperti penanya di jalan di mana satu sama lain tidak
mengetahui kelas sosialnya, dan ketika seseorang ingin
berbicara tidak terlalu formal dan juga tidak terlalu
informal.
3) Krama, yang melupakan gaya paling sopan, umumnya
digunakan orang-orang dalam status sosial sederajat ketika
ingin menghindari gaya infrormal, atau digunakan oleh
kalangan dengan status sosial yang lebih rendah kepada
lawan bicaranya yang berasal dari golongan sosial yang
lebih tinggi, termasuk dari yang lebih muda terhadap yang
lebih tua.
4. Aksara Jawa
Aksara Jawa “ Hanacaraka” dikenal juga dengan nama
Carakan yaitu aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau
pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa,
Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak.
Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak
masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya
baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari
aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan
struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah
huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang
mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata
yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na yang
mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata
yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian,
terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata
apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin.
a. Penulisan Aksara Jawa
Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka
ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi.
Namun pada pengajaran modern menuliskannya di atas
garis.
Aksara Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20
huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8
huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan),
8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal
depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa
sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus,
beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata
penulisan (pada).
1) Huruf Dasar (Aksara Nglegena)
Aksara Nglegena adalah aksara inti yang terdiri
dari 20 suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana,
yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya,
nya, ma, ga, ba, tha, nga.

2) Huruf Pasangan (Aksara Pasangan)


Aksara pasangan dipakai untuk menekan vokal
konsonan di depannya. Misal, untuk menuliskan
mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan
untuk “se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa
pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega
(makanlah nasi).
Berikut daftar Aksara Pasangan:
3) Huruf Utama (Aksara Murda)
Aksara Murda yang digunakan untuk
menuliskan awal kalimat dan kata yang menunjukkan
nama diri, gelar, kota, lembaga, dan nama-nama lain
yang kalau dalam Bahasa Indonesia kita gunakan huruf
besar.
Berikut Aksara Murda serta Pasangan Murda:

Sampai disini sebetulnya sudah bisa langsung


dicoba dan biasanya dianggap sah-sah saja tanpa
tambahan aksara-aksara yang lain (seperti kutulis di
bawah). Karena yang berikutnya rada riweuh juga
mempelajarinya.
4) Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara)
Aksara swara adalah huruf hidup atau vokal
utama: A, I, U, E, O dalam kalimat. Biasanya
digunakan pada awal kalimat atau untuk nama dengan
awalan vokal yang mengharuskan penggunakan huruf
besar.

5) Huruf vokal tidak mandiri (Sandhangan)


Berbeda dengan Aksara Swara, Sandangan
digunakan untuk vokal yang berada di tengah kata,
dibedakan termasuk berdasarkan cara bacanya.
6) Huruf tambahan (Aksara Rekan)
Aksara Rekan adalah huruf yang berasal dari
serapan bahasa asing, yaitu: kh, f, dz, gh, z
7) Tanda Baca (Pratandha)
Dalam penulisan kalimat dalam Aksara Jawa
dibutuhkan pula pembubuhan tanda baca, yang
berbeda-beda dalam penggunaannya.
Selain huruf, Aksara Jawa juga punya bilangan
(Aksara Wilangan)

5. Unggah-ungguh basa
Unggah-ungguh atau biasa dikenal dengan adab, tata cara, atau
tata krama dalam berperilaku. Unggah-ungguh sendiri menggambarkan
akan perilaku tidak sombong, selalu menghargai orang lain, bermain
perasaan, perasaannya halus, dan berbagai tingkah laku yang bagus.
Sedangkan untuk sopan santun perilaku misalnya saat seseorang
ingin berbicara dengan orang yang lebih tua, sikap yang dilakukannya
adalah meletakkan kedua tangannya di depan dengan menundukkan
badan, dimana posisi tangan di depan biasanya disebut
dengan sikap ngapurancang. Sikap ini sama dengan sikap hormat dan
dilakukan saat kita akan berbicara dengan orang lain, itupun juga berlaku
pada saat kita lewat di depan orang yang lebih tua. Begitulah kebiasaan
dan sikap dari sebagian orang Jawa yang masih memegang erat adat
sopan santun serta bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang
lebih tua ataupun orang yang baru kita kenal sekalipun.
Kesantunan berbahasa dalam kaitan dengan tulisan ini
diidentikkan dengan penerapan tingkat tutur bahasa Jawa, krama
dan ngoko. Tingkat krama mencerminkan tingkatan halus,
tingkat ngoko mencerminkan kenetralan, dan di sekitar krama dan
ngoko masing-masing menunjukkan sifat yang berbeda dari yang sangat
halus hingga yang kasar. Pembagian tingkatan bahasa Jawa mengacu
pada krama (h)alus, krama, ngoko (h)alus, ngoko. Sistem tingkatan ini
ditandai oleh pemakaian unsur-unsur kosakata (sebut:
ragam) krama inggil, krama, dan ngoko. Krama alus memiliki unsur
krama, dan krama inggil untuk mitra tutur; krama semua unsurnya adalah
ragam krama, ngoko alus memiliki unsur ragam ngoko, dan
ragam krama inggil untuk mitra tutur; dan ngoko hanya memiliki
kosakata ragam ngoko. Kosakata ragam ngoko mempunyai jumlah paling
banyak. Tidak setiap kata ragam ngoko memiliki padanan dalam
ragam krama atau ragam krama inggil, sehingga kosakata
ragam ngoko sebenarnya menjadi dasar semua tingkatan dalam bahasa
Jawa dan tidak bisa digantikan ragam lain jika memang tidak ada.
Selain kosakata, penanda ragam yang lain yakni penggunaan
sapaan krama dan ngoko yang juga diaktualisasikan dalam bentuk prefiks
honorifik proklitik (pendahulu verba) sebagai penciri verba persona pasif
dan transhierarkinya; dan enklitik (mengikuti nomina) penunjuk milik
atau kata ganti milik. Kombinasi antara ragam kosakata, sapaan, dan
klitika tersebut membentuk tingkat tutur/unggah-ungguh yang berbeda-
beda. Semakin halus ragam yang digunakan semakin halus dan hormat
pula pertuturan bahasa Jawa yang ada. Unggah-ungguh Bahasa Jawa
dibagi menurut undha-usuke menjadi lima (5) basa, yaitu:
a. Basa Krama :
1) Kramantara
Bahasa Kramantara adalah bahasa yang wujudnya
berupa bahasa krama yang lugu. Penggunaannya bahasa
kramantara kepada sesama, atau bangsawan yang lebih tinggi
dan seorang yang derajatnya lebih tinggi dengan yang diajak
bicaraan. Contohnya:
a) Mangga ta sami dipun penggalih langkung rumiyin.
b) Para Tamu sampun sami kondur sedaya.
c) Ibu nembe tindak pasar wekdal menika.
2) Mudha Krama
Bahasa Mudha Krama adalah bahasa yang
diwujudkan untuk menghormati yang diajak bicara biasannya
digunakan orang muda kepada orang yang lebih tua,
pembantu kepada majikan yang bukan darah luhur, pegawai
kepada pimpinannya. Contoh:
a) Bapak dereng rawuh
b) Nuwun sewu, estunipun panjenengan badhe
ngersaaken menapa?
3) Wredha Krama
Bahasa Wredha Krama adalah wujud bahasa yang
menghormati antara orang tua kepada orang yang muda, dan
dapat juga orang tua kepada sesamanya. Contoh:
a) Sampeyan apa wis dhahar ta nak.
b) Mangga katuran pinarak wong ketingale sampun
sayah.
4) Krama Inggil
Krama inggil adalah bahasa yang tujuannya dipakai
sangat menghormati kepada yang diajak bicara, karma inngil
hampir sama sebagaimana bahasa Mudha Krama.
Wujud perubahan:
 /-mu/ menjadi /kagungan dalem/
 /aku/ menjadi /abdi dalem kawula/, /abdi dalem/,
/adalem/, /dalem/, /kawula/
 /kowe/ menjadi /panjenengan dalem/ utawa
/sampeyan dalem/ menawa marang Ratu
Contoh:
a) Kagungan dalem menapa sampun dipun paringaken?
b) Manapa arta menika saget dalem ampil langkung
rumiyin?
c) Kula wastani panjenegan dalem sampun tindak
kantor.

5) Krama Desa
Krama Desa adalah bahasa krama yang digunakan
para pengorangan di kampung/ desa, bertujuan ingin
menghormati yang diajak bicara. Krama desa wujudnya kata
krama yang dikramakan lagi, juga yang memakai kata krama
inggil maupun menggunakan basa kawi.
Contoh:
a) Ibu boten teng griya sek kesah dateng Bajul Kesupen.
b) Ing wanci ketigen mekaten, pesiten sami rowa.
b. Basa Madya :
1) Madya Ngoko
2) Madyantara
3) Madya Krama
c. Bahasa Ngoko
Bahasa ngoko adalah bahasa yang digunakan tidak
bersama-sama dengan bahasa krama. Bahasa Ngoko dibedakan
menjadi dua yaitu: Ngoko Lugu dan Ngoko Andhap.
1) Ngoko Lugu
Ngoko Lugu adalah bahasa yang digunakan tanpa
tercampur kata Krama sama sekali. Bahasa Ngoko lugu
biasa digunakan :
a) kepada sesama-sama yang sudah akrab dan se-
usianya
b) kepada orang yang lebih muda
c) Biasanya digunakan anak yang baru belajar bahasa.
d) Orang dari daerah lain.
Contoh:
 Aku mau pas lunga ketemu bapakmu.
 Kowe wingi neng ngendi tak goleki kok ora
ana.
 Bu aku jaluk jajan meneh.
2) Ngoko Andhap
Bahasa ngoko andhap adalah bahasa ngoko yang
tercampur bahasa alus yang tujuannya dipakai
menghormati yang diajak bicara. Bahasa Ngoko andhap
biasanya digunakan:
 kepada teman seusianya tetapi kurang akrab
 kepada orang yang lebih muda tetapi lebih tinggi
drajatnya
bangsawan kepada bangsawan yang sudah akrab
suami/istrinya bangsawan kepada yang laki-laki.
Basa ngoko andhap dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Antya Basa
yaitu bahasa ngoko yang dicampur dengan krama
inggil. Ciri-cirinya:
- Aku, tidak berubah (tetap)
- Kowe, berubah menjadi panjenengan, ki raka, atau
kangmas
- Awalan dak-, ko-, di- dan akhiran -ku, -mu, -e, -ake
tidak berubah.
Contohnya:
- Mas, aku nyuwun ngampil kagungane buku sewengi
wae.
- Ora, kangmas ki suwé ora ngetingal-
ngetingal iku tindak ngendi?
- Wah, adhimas ki rada ngece. Genah wis pirsa bae
kok mundhut pirsa.
b) Basa Antya
yaitu bahasa ngoko yang dicampur dengan krama
inggil dan krama. Ciri-cirinya:
- Aku, tidak berubah (tetap)
- Kowe, berubah menjadi panjenengan, ki raka, atau
kangmas
- Awalan dak-, ko-, di- tidak berubah
Contoh:
- Mas, aku ora bisa nyaosi apa-apa
marang panjenengan, kejaba mung bisa ndherek muji
rahayu, muga-muga panjenengan saged remen,
lan saged ngangsu kawruh sing migunani tumrap nusa
lan bangsa.
- Dak arani sliramu dhèk mau bengi saèstu mriksani
ringgit ana ing dalemé Pak Lurah. Gèklampahé baé
apa ya dhimas, teka gamelané sedalu natas
ngungkung baé, ora ana pedhot-pedhoté.
d. Basa Kedhaton
Bahasa Kedhaton adalah bahasa yang penggunaannya
hanya berada kedhaton. Penggunaan basa kedhaton yaitu para
sentana dan abdining ratu ing saat menghadap pembesar ing
ngarsaning ratu. Contoh:
1) Punapi sira darbe kawasisan ingkang linuwih?
2) Jengandika punapi sampun mengertos pawartos puniki?
Bahasa Kedhaton yang lain diantaranya:
- nedha = mangan
- puniku = iku
- wonten = ana
- punapi = apa
- dhawak = dhewe
- jengandika = kowe
- siyos = sida
- darbe = duwe
- puniki = niki

e. Basa Kasar
Digunakan oleh rakyat banyak sehari-hari yang menurut
bahasa memakai kata-kata yang tergolong kasar atau tidak sopan,
biasa digunakan oleh orang yang tidak pernah belajar undak-usuk
basa atau bahasa ini digunakan orang yang sedang marah-marah,
orang yang sedang bertengkar.
Contoh:
1) Bocah kok yen ditakoni cangkeme ora tau njeplak.
2) Kira-kira ki yen ra jegos, ya ra sah ditandhang.
B. Sastra Jawa
Kata ‘sastra’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta,
yakni sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi,
dan tra yang berarti alat, atau sarana, sehingga sastra berarti alat untuk
mengajar.
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal
yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra jawa
secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para
pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam
lingkup budaya Jawa. Kebudayaan ini memiliki elemen-elemen amat
majemuk yang berakar pada etika, agama-agama yang berkembang dalam
masyarakat Jawa.
1. Jenis-jenis sastra
Jenis-jenis sastra meliputi:
a. Karya sastra yang berbentuk prosa
Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dalam sebuah pemaparan
dikatakan mengandung nilai karya sastra karena di dalam
pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam
rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana, tidak
berbentuk bait dan baris.
b. Karya sastra yang berbentuk puisi
Puisi merupaakan bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya-
karya besar dunia seperti Oedipus, Hamlet, Mahabarata,
Ramayana dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi.
c. Karya sastra yang berbentuk drama
Karya sastra yang berbentuk drama ditentukan dengan adanya
dialog antar tokoh dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan.
Puisi merupakan karya sastra yang paling tua yang lazim disebut
dengan mantra. Setelah mantra, muncul karya sastra yang lain,
diantaranya parikan dan wangsalan.
Setiap tradisi di setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep
bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal gaib seperti mantra. Selain
mantra, karya sastra yang berbentuk puisi di Indonesia adalah pantun dan
syair. Pantun dan syair menunjukan ikatan yang kuat dalam strukutur
kebahasaan.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun
dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa
pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang
lazim disebut dengan sampiran. Sementara itu, dalam wangsalan, dua
baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan
teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.
Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan, perkembangan
sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu, Budha,
Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit,
Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20
sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-
metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk
masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan asli
Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme
dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah
masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan
India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa,
meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi,
mitologi, dan pengetahuan umum.
Sastra Jawa adalah seluruh karya sastra yang menggunakan
bahasa Jawa sebagai sarana ungkap. Definisi ini mencakup penggunaan
ragam dan tahapan bahasa, genre, bentuk, isi, dan mutu yang ada dalam
khasanah sastra Jawa. Secara garis besar penggunaan bahasanya, sastra
Jawa dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni sastra Jawa kuna, sastra Jawa
tengahan dan sastra Jawa baru.

2. Pembagian sastra jawa


Adapun penjelasan tentang pembagian sastra Jawa dalam tiga
kelompok sebagai berikut.
a. Sastra Jawa Kuna
Sastra Jawa kuna adalah sastra Jawa dengan menggunakan
bahasa Jawa kuna sebagai wahana penyampaian. Sastra Jawa
kuna merupakan tahap sastra ketika kebudayaan Jawa
menampakkan pengaruh India yang sangat kuat. Hampir semua
unsur kebudayaan Jawa menampakkan adanya pengaruh India
yang sangat kuat: sistem religi, bahasa, kesenian, ilmu
pengetahuan, dan organisasi sosial; walaupun di sana ada
akulturasi akibat kuatnya local genius dalam kebudayaan Jawa.
Macam-macam sastra pada zaman Jawa kuna yaitu :
1) Candhakarana
Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga
disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling
awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi. Para pakar
menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini
memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang
membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah
pada akhir abad ke-8 Masehi.
2) Sang Hyang Kamahayanikan
Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra
dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama
seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di
Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947
Masehi.
3) Brahmandapurana
Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna
berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat
penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi
dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa
yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan. Namun
ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan
adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana
sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh
penganut agama (Hindu) Siwa. Isinya bermacam-macam,
seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya
diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana,
ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para
brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
4) Agastyaparwa
Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna
berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski
Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun
banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sanskerta.
Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut
sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran
kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal
yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke
surga atau jatuh ke neraka.
5) Uttarakanda
Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan
kitab ini merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam
bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna.
Isinya tidak diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di
permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke
prabu Dharmawangsa Teguh.
6) Adiparwa
Adiparwa adalah buku pertama atau bagian (parwa)
pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini
berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-
kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang
keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan
Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita
bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak
mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar
Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara
Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di
hutan Nemisa.
7) Sabhaparwa
Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini
menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika
diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana
selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam
buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah
dari Duryodana.
8) Wirataparwa
Wirataparwa adalah bagian keempat dari epos
Mahabarata. Menceritakan kisah ketika para Pandawa
harus bersembunyi selama setahun lagi dengan menyamar
tanpa ketahuan, setelah mereka dibuang selama duabelas
tahun di hutan gara-gara kalah berjudi dengan Korawa.
Kisah pembuangan di hutan ini diceritakan dalam bagian
Wanaparwa.
9) Wanaparwa
Wanaparwa adalah buku ke-3 Mahabharata dan
merupakan terusan langsung buku ke 2; Sabhaparwa. Di
dalam Wanaparwa diceritakan bagaimana para Pandawa
dan dewi Dropadi harus hidup di hutan selama 12 tahun
karena Yudistira kalah berjudi. Buku Wanaparwa
merupakan dasar inspirasi karya sastra Jawa Kuna;
kakawin Arjunawiwaha karangan empu Kanwa.
10) Udyogaparwa
Udyogaparwa adalah buku kelima dalam epos
Mahabharata. Teks lengkap karya sastra parwa ini belum
pernah diterbitkan. Isinya mengenai persiapan peperangan
antara Korawa dan Pandawa. Pihak Pandawa menuntut
separoh dari Kerajaan tetapi Korawa bersikeras menolak
dengan alasan bahwa Pandawa telah kehilangan haknya.
Namun di pihak Korawa Widura, Drona, dan Bhisma
menasihati sebelumnya agar diupayakan penyelesaian
damai.
b. Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa tengahan merupakan sastra Jawa dengan
bahasa Jawa pertengahan sebagai wahana penyampaian, muncul
pada akhir Majapahit dan berkembang pada periode sastra Jawa-
Bali. Macam-macam sastra pada zaman Jawa Tengahan yaitu :
1) Tantu Panggelaran
Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang
menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau
Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu
Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada
zaman Majapahit.
2) Calon Arang
Calon Arang adalah seorang janda penguasa ilmu hitam
yang sering merusak hasil panen para petani dan
menyebabkan datangnya penyakit. Kemudian Prabu
Airlangga menyuruh Mpu Baradah untuk menyirnakan
Calon Arang.
3) Tantri Kamandaka
Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab
Pancatantra. Tantri Kamandaka berisi cerita tentang
dongeng hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan
cerita mirip seribu satu malam. Dalam kitab ini juga
diceritakan tentang prabu Angling darma yang mengerti
akan bahasa dialog hewan
4) Pararaton
Serat Pararaton, atau Pararaton (Kitab Raja-Raja) adalah
sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang
digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup
singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri
dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari
dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal
dengan nama Pustaka Raja, yang dalam bahasa Sanskerta
juga berarti kitab raja-raja.
5) Kidung
Selain bentuk prosa, sastra Jawa tengahan mengenal
bentuk puisi yaitu kidung. Kata kidung benar-benar asli
Jawa. Tidak sebagaimana halnya kakawin yang baik
prosodi maupun isinya dibawa dari India, prosodi dan isi
sastra kidung benar-benar Jawa. Beberapa teks sastra Jawa
tengahan misalnya Tantu Panggelaran, Pararaton, Sri
Tanjung, Sudamaia, Kidung Ranggalawe, Kidung
Harsawijaya, Kidung Sunda, dan Kidung Sorandaka.

c. Sastra Jawa Baru


Sastra Jawa baru adalah sastra Jawa dengan bahasa Jawa
baru sebagai sarana ungkap, mucul sejajar dengan sastra Jawa
tengahan dan berlangsung hingga sekarang. Sastra Jawa baru
dibagi menjadi dua bagian, yakni sastra Jawa tradisional dan
sastra Jawa gagrag anyar (modern).
1) Sastra Jawa Tradisional
Sastra tradisional adalah sastra yang dibatasi oleh aturan
tertentu secara konvensional dan berlaku turun-temurun.
Karya sastra pada Jawa Tradisional adalah macapat.
 Macapat
Macapat merupakan bentuk puisi yang berbahasa
Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk
tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vocal akhir
baris, baik jumlah suku kata maupun vocal akhir
tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada
pola metrum yang digunakan.
2) Sastra Jawa Modern
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah
Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad
kesembilan belas Masehi. Munculah karya sastra seperti di
Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre
yang cukup populer adalah tentang perjalanan. Gaya
bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa
Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak
digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata
Belanda. Daftar Karya Sastra Modern meliputi :
 Lelampahaning Purwalelana, Raden Mas Purwalelana
(jeneng sesinglon) 1875-1880
 Rangsang Tuban, Padmasoesastra, 1913
 Ratu, Krishna Mihardja, 1995
 Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet
 Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004
 Pagelaran, J. F. X. Hoery
 Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery
3. Geguritan
Geguritan merupakan sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama
atau klasik yang bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan
penulis. Hal tersebut disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang
penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik
bersama. Selain itu, puisi yang dibuatnya ada yang dipersembahkan
untuk pemimpinnya, yaitu raja yang berkuasa pada masa itu. Sehingga
keberadaan puisi yang dibuatnya tidak mencantumkan namanya sebagai
pengarang suatu puisi.
Geguritan (berasal dari bahasa Jawa Tengahan, kata dasar: gurit,
berarti "tatahan", "coretan") merupakan bentuk puisi yang berkembang di
kalangan penutur bahasa Jawa dan Bali.
Geguritan berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa
bentuk geguritan yang berbeda. Dalam bentuk yang awal, geguritan
berwujud nyanyian yang memiliki sanjak tertentu. Di Bali berkembang
bentuk geguritan semacam ini. Pengertian geguritan di Jawa telah
berkembang menjadi sinonim dengan puisi bebas, yaitu puisi yang tidak
mengikatkan diri pada aturan metrum, sajak, serta lagu.
Geguritan merupakan salah satu penciri sastra Jawa Modern yang
sangat berkembang, diajarkan di sekolah-sekolah dan kerap dilombakan.
Puisi dalam bahasa jawa atau yang disebut geguritan. Geguritan adalah
lantunan lagu-lagu suci yang dinyanyikan pada saat pelaksanaan yadnya.
Setiap jenis yadnya memiliki lagu suci tersendiri.
Berdasarkan jenis yadnya, geguritan dapat dikelompokkan
menjadi 3, yaitu antara lain:
a. Geguritan Dewa Yadnya
b. Geguritan Manusa Yadnya
c. Geguritan Pitra Yadnya
Contoh geguritan:
Cerita Saka Manca

ing papan sarwa salju, aku


ngangen-angen lawang gubug binuka
ana bedhiyang lan lincak

nanging wis kebacut dadi salju


guritan apadene kekarepan
nglinthing bareng tumiyupe angin
nunjem-nunjem dom periih
sadawane wengi

kangmangka ing ngisor salju pinendhem candhi


sing durung kober kababar unine prasasti

a. Paugeran (aturan) nyerat geguritan:


1) Geguritan menika kalebet puisi Jawi bebas
2) Tembung-tembungipun mboten kedah ngange basa Jawa
Kuna, ananging pamilihing tembung ingkang menthes
3) Anggenipun nyerat kedah awujud larik-larik
4) Saben setunggal irah-irahan saged dumadi 1 pada/ larik,
ingkang baku maknanipun manunggal
b. Syarat menawi badhe damel geguritan:
1) Tema yaiku idhe baku utawi pikiran baku ingkang dados
dasare geguritan.
2) Diksi yaiku pamilihing tembung ingkang dienggo ing
geguritan.
3) Sarana Retorika yaiku alat kangge ngungkapake menapa
ingkang badhe dipunandharaken ing geguritan.
4) Amanat utawi pesen ing geguritan
c. Titikane/Ciri-cirine Geguritan:
1) Tembung-tembunge singkat
2) Mentes
3) Padhet
4) Bisa nggunakake purwakanthi
5) Ora nggunakake metrum/ paugeran kayadene macapat
d. Enem laku minangka tuntunan mekarake kreativitas:
1) Nglatih tanggap sasmita
2) Nangkep ilham
3) Ngetokake tembung pisanan kang bisa nuntun tembung
sateruse
4) Ngolah tembung
5) Menehi vitamin ing tembung-tembung mau
6) Nyeleksi tembung
e. Caranipun damel Geguritan:
1) Nemtokaken tema
2) Milih irah-irahan ingkang sae
3) Milih tembung ingkang sae lan mentes
4) Antawisipun judul lan tema wonten sambungipun
5) Saged migunakaken purwakanthi
f. Ingkang kedah dipungatosaken nalika maos geguritan:
1) wicara : basa, pocapan/ lafal
2) Wirama : lagu/ irama
3) Wirasa : penjiwaan
4) Wiraga : solah/ gerak, pasemon/ raut muka
4. Mitos
Secara sederhana, definisi mitos adalah suatu informasi yang
sebenarnya salah tetapi dianggap benar karena telah beredar dari generasi
ke generasi. Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang di
tokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia
lain (kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi
oleh yang punya cerita atau penganutnya. Mitos juga disebut Mitologi,
yang kadang diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap
benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta,
para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Mitos juga merujuk
kepada satu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai
kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa
dahulu. Jadi, Mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta,
manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan
mengandung arti yang dalam.
Masyarakat Jawa percaya bahwa kejadian-kejadian di alam
sekitar berhubungan dengan pertanda yang berusaha mengingatkan
makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, termasuk manusia. Terutama
apabila ada kejadian yang berlangsung secara konstan (terus-menerus),
kondisi tersebut tak bisa hanya diabaikan saja, karena sudah banyak
kejadian yang ternyata membawa dampak yang besar.
Mitos yang beredar dan telah mengakar di jawa kususnya, mitos
adakalanya hanya cerita hayalan namun ada juga yang memang benar-
benar akurat dan terbukti nyata dan memiliki dasar alasan yang kuat dan
positif. Itulah kearifan lokal, budaya yang kadang hanya berlaku di
daerah tertentu. Orang jawa sangat peka terhadap gejala alam, sudah
turun temurun dalam meneliti tanda-tanda gejala alam. Berikut beberapa
mitos yang berkembang di Jawa :
a. Kupu-kupu di dalam rumah
Apabila kupu-kupu masuk ke dalam rumah dan berputar-
putar bahkan hinggap, tandanya rumah tersebut akan kedatangan
tamu. Bila si kupu hinggap di badan salah satu anggota keluarga,
maka yang datang adalah orang dekat.
b. Ayam jantan berkokok
Jika ada ayam jantang berkokok sore hari atau sebelum
tengah malam, akan ada gangguan dari makhluk halus, bisa juga
menandakan ada gadis bunting tanpa suami alias hamil di luar
nikah.
c. Mimpi bertemu Ular
Ini merupakan tanda akan bertemu dengan jodoh.
d. Kalau makan di habiskan
Jika makan tidak di habiskan, akan berdampak pada ayam
peliharaan yang akan mati. Hal ini bersifat nasehat saja karena
makanan menjadi mubadzir, serta membuang makanan itu dosa.
e. Mitos dalam menyapu
Kalo menyapu dengan bersih akan mendapatkan istri cantik,
tetapi jika menyapu tidak bersih akan mendapat pasangan yang jelek.
f. Mimpi bertemu harimau
Kalau ada yang bermimpi di tengah malam bertemu
harimau atau sejenis, maka besok atau beberapa hari lagi akan
bertemu dengan seorang tokoh besar.
g. Menabrak kucing
Ini mitos yang sudah dikenal secara luas, pada saat
berkendara atau bepergian lalu tanpa sengaja menabrak kucing,
hati-hati saja. Sebab bisa jadi kita akan mengalami kecelakaan di
jalan.
h. Perempuan jangan tidur tengkurap
Mitos ini menyatakan bahwa jika perempuan tidur
tengkurap akan susah dapat jodoh.
5. Dongeng
Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran
fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan
moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan
makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi
dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa
membawa pendengarnya terhanyut ke dalam dunia fantasi, tergantung
cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan.
Menurut nurgianto dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar
terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal. Pendapat lain
mengenai dongeng dalam KBBI adalah cerita yang tidak benar-benar
terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh. Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dongeng adalah
cerita yang tidak benar-benar tejadi yang berisi tentang petualangan yang
penuh imajinasi dan terkadang tidak masuk akal dengan menampilkan
situasi dan para tokoh yang luar biasa atau goib. Dongeng dalam
kebudayaan jawa meliputi :
a. Rara Jonggrang
Sebuah cerita populer yang berasal dari Jawa Tengah dan
Yogyakarta di Indonesia. Cerita ini mengisahkan cinta seorang
pangeran kepada seorang putri yang berakhir dengan dikutuknya
sang putri akibat tipu muslihat yang dilakukannya. Dongeng ini
juga menjelaskan asal mula yang ajaib dari Candi Sewu, Candi
Prambanan, Keraton Ratu Baka, dan arca Dewi Durga yang
ditemukan di dalam candi Prambanan.
b. Jaka Tarub
Legenda Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat yang
diabadikan dalam naskah populer Sastra Jawa Baru, Babad Tanah
Jawi. Kisah ini berputar pada kehidupan tokoh utama yang
bernama Jaka Tarub (pemuda dari Tarub. Setelah dewasa ia
digelari Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub adalah tokoh yang
dianggap sebagai leluhur dinasti Mataram, dinasti yang
menguasai politik tanah Jawa sejak abad ke-17 hingga sekarang.
c. Aji Saka
Aji Saka mengisahkan mengenai kedatangan seorang
pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan
ke Jawa dengan mengalahkan raja raksasa jahat yang menguasai
tanah Jawa. cerita ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah
pencipta tarikh Tahun Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama
yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa.
d. Suronggotho
Suronggoto merupakan mengisahkan seorang dari masa
kasunanan yang berkembang di sekitar Bangsri dan Mlonggo. Ia
diceritakan sebagai orang yang memiliki kesaktian dan ambisinya
untuk mempersunting wanita yang disukai berani mengorbankan
apa saja. Ceritanya kemudian dihubungkan dengan pemberian
nama desa tertentu dan dengan binatang yang dinamai Yuyu
Gotho serta dikaitkan dengan Ular Lempe.
e. Rara Mendut
Cerita rakyat klasik yang merupakan salah satu cerita
dalam Babad Tanah Jawa. Kisah ini menceriterakan perjalanan
hidup dan tragedi cinta seorang perempuan cantik dari pesisir
pantai Kadipaten Pati (sekarang Kabupaten Pati) yang hidup pada
zaman Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram abad ke-17
di Jawa.

You might also like