Professional Documents
Culture Documents
Makalah Bahasa Jawa - Bahasa Dan Sastra Jawa
Makalah Bahasa Jawa - Bahasa Dan Sastra Jawa
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini, dimaksudkan agar pembaca memiliki wawasan
tentang bahasa dan sastra jawa, mengenai:
1. Bagaimana persebaran bahasa jawa?
2. Bagaimana dialek bahasa jawa?
3. Bagaimana undhak-undhuk dalam bahasa jawa?
4. Bagaimana tulisan dan aksara jawa?
5. Bagaimana unggah-ungguh basa jawa?
6. Apakah yang dimaksud sastra jawa?
7. Apa saja jenis sastra?
8. Bagaimana sastra jawa kuna?
9. Bagaimana sastra jawa tengahan?
10. Bagaimana sastra jawa baru?
11. Apakah yang dimaksud dengan geguritan?
12. Apakah itu mitos?
13. Apakah yang dimaksud dongeng?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat mengetahui
tentang:
1. Persebaran Bahasa Jawa.
2. Dialek Bahasa Jawa.
3. Undhak-Undhuk Dalam Bahasa Jawa.
4. Tulisan Dan Aksara Jawa.
5. Unggah-Ungguh Basa Jawa.
6. Sastra Jawa.
7. Jenis Sastra.
8. Sastra Jawa Kuna.
9. Sastra Jawa Tengahan.
10. Astra Jawa Baru.
11. Geguritan.
12. Mitos.
13. Dongeng.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan Suku Jawa, baik
yang bermukim di belahan Utara Pulau Jawa (sekarang Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta) sebagai tempat lahir bahasa tersebut, maupun di
berbagai tempat lainnya, yang dihuni secara signifikan oleh para pendatang
dari tanah Jawa, dengan berbagai latar belakang.
1. Persebaran
Bahasa Jawa (basa Jawa) termasuk ke dalam rumpun bahasa
Austronesian, yang hari ini menjadi bahasa ibu bagi lebih dari 40
persen penduduk dari populasi masyarakat Indonesia, yang tersebar
hampir di seluruh penjuru tanah air. Selain di Indonesia, bahasa Jawa
dengan penutur yang terbilang signifikan juga bisa ditemui di
sejumlah negara, yakni di Malaysia, Singapura, Suriname, Kaledonia
Baru, dan Belanda.
2. Dialek
Sebagai salah satu bahasa besar dengan banyak penutur,
bahasa Jawa memiliki sejumlah dialek, seperti misalnya Jawa
Tengahan, yang terutama di bawah pengaruh dialek Surakarta dan
dialek Yogyakarta, yang dianggap sebagai standar. Berikut sejumlah
dialek dalam ‘rumpun’ dialek Jawa Tengahan:
1) Dialek Pekalongan, yang dituturkan di daerah Pekalongan
(kabupaten dan kotamadya), serta di Pemalang.
2) Dialek Kedu, yang dituturkan di daerah-daerah bekas
keresidenan Kedu, yakni Temanggung, Kebumen,
Magelang, dan Wonosobo.
3) Dialek Bagelen, yang dituturkan di Purworejo.
4) Dialek Semarang, yang dituturkan Semarang (kabupaten
dan kotamadya), Salatiga, Demak, dan Kendal.
5) Dialek Pantai Utara, atau dialek Muria, dituturkan di Jepara,
Rembang, Kudus, Pati, dan juga di Tuban dan Bojonegoro.
6) Dialek Blora, yang dituturkan di Blora, bagian Timur
Grobogan dan bagian Barat Ngawi.
7) Dialek Surakarta, yang dituturkan di Surakarta,
Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, dan Boyolali
8) Dialek Yogyakarta, yang dituturkan di Yogyakarta dan
Klaten.
9) Dialek Madiun, yang dituturkan di Provinsi Jawa Timur,
termasuk Madiun, Ngawi, Pacitan, Ponorogo, dan Magetan
5. Unggah-ungguh basa
Unggah-ungguh atau biasa dikenal dengan adab, tata cara, atau
tata krama dalam berperilaku. Unggah-ungguh sendiri menggambarkan
akan perilaku tidak sombong, selalu menghargai orang lain, bermain
perasaan, perasaannya halus, dan berbagai tingkah laku yang bagus.
Sedangkan untuk sopan santun perilaku misalnya saat seseorang
ingin berbicara dengan orang yang lebih tua, sikap yang dilakukannya
adalah meletakkan kedua tangannya di depan dengan menundukkan
badan, dimana posisi tangan di depan biasanya disebut
dengan sikap ngapurancang. Sikap ini sama dengan sikap hormat dan
dilakukan saat kita akan berbicara dengan orang lain, itupun juga berlaku
pada saat kita lewat di depan orang yang lebih tua. Begitulah kebiasaan
dan sikap dari sebagian orang Jawa yang masih memegang erat adat
sopan santun serta bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang
lebih tua ataupun orang yang baru kita kenal sekalipun.
Kesantunan berbahasa dalam kaitan dengan tulisan ini
diidentikkan dengan penerapan tingkat tutur bahasa Jawa, krama
dan ngoko. Tingkat krama mencerminkan tingkatan halus,
tingkat ngoko mencerminkan kenetralan, dan di sekitar krama dan
ngoko masing-masing menunjukkan sifat yang berbeda dari yang sangat
halus hingga yang kasar. Pembagian tingkatan bahasa Jawa mengacu
pada krama (h)alus, krama, ngoko (h)alus, ngoko. Sistem tingkatan ini
ditandai oleh pemakaian unsur-unsur kosakata (sebut:
ragam) krama inggil, krama, dan ngoko. Krama alus memiliki unsur
krama, dan krama inggil untuk mitra tutur; krama semua unsurnya adalah
ragam krama, ngoko alus memiliki unsur ragam ngoko, dan
ragam krama inggil untuk mitra tutur; dan ngoko hanya memiliki
kosakata ragam ngoko. Kosakata ragam ngoko mempunyai jumlah paling
banyak. Tidak setiap kata ragam ngoko memiliki padanan dalam
ragam krama atau ragam krama inggil, sehingga kosakata
ragam ngoko sebenarnya menjadi dasar semua tingkatan dalam bahasa
Jawa dan tidak bisa digantikan ragam lain jika memang tidak ada.
Selain kosakata, penanda ragam yang lain yakni penggunaan
sapaan krama dan ngoko yang juga diaktualisasikan dalam bentuk prefiks
honorifik proklitik (pendahulu verba) sebagai penciri verba persona pasif
dan transhierarkinya; dan enklitik (mengikuti nomina) penunjuk milik
atau kata ganti milik. Kombinasi antara ragam kosakata, sapaan, dan
klitika tersebut membentuk tingkat tutur/unggah-ungguh yang berbeda-
beda. Semakin halus ragam yang digunakan semakin halus dan hormat
pula pertuturan bahasa Jawa yang ada. Unggah-ungguh Bahasa Jawa
dibagi menurut undha-usuke menjadi lima (5) basa, yaitu:
a. Basa Krama :
1) Kramantara
Bahasa Kramantara adalah bahasa yang wujudnya
berupa bahasa krama yang lugu. Penggunaannya bahasa
kramantara kepada sesama, atau bangsawan yang lebih tinggi
dan seorang yang derajatnya lebih tinggi dengan yang diajak
bicaraan. Contohnya:
a) Mangga ta sami dipun penggalih langkung rumiyin.
b) Para Tamu sampun sami kondur sedaya.
c) Ibu nembe tindak pasar wekdal menika.
2) Mudha Krama
Bahasa Mudha Krama adalah bahasa yang
diwujudkan untuk menghormati yang diajak bicara biasannya
digunakan orang muda kepada orang yang lebih tua,
pembantu kepada majikan yang bukan darah luhur, pegawai
kepada pimpinannya. Contoh:
a) Bapak dereng rawuh
b) Nuwun sewu, estunipun panjenengan badhe
ngersaaken menapa?
3) Wredha Krama
Bahasa Wredha Krama adalah wujud bahasa yang
menghormati antara orang tua kepada orang yang muda, dan
dapat juga orang tua kepada sesamanya. Contoh:
a) Sampeyan apa wis dhahar ta nak.
b) Mangga katuran pinarak wong ketingale sampun
sayah.
4) Krama Inggil
Krama inggil adalah bahasa yang tujuannya dipakai
sangat menghormati kepada yang diajak bicara, karma inngil
hampir sama sebagaimana bahasa Mudha Krama.
Wujud perubahan:
/-mu/ menjadi /kagungan dalem/
/aku/ menjadi /abdi dalem kawula/, /abdi dalem/,
/adalem/, /dalem/, /kawula/
/kowe/ menjadi /panjenengan dalem/ utawa
/sampeyan dalem/ menawa marang Ratu
Contoh:
a) Kagungan dalem menapa sampun dipun paringaken?
b) Manapa arta menika saget dalem ampil langkung
rumiyin?
c) Kula wastani panjenegan dalem sampun tindak
kantor.
5) Krama Desa
Krama Desa adalah bahasa krama yang digunakan
para pengorangan di kampung/ desa, bertujuan ingin
menghormati yang diajak bicara. Krama desa wujudnya kata
krama yang dikramakan lagi, juga yang memakai kata krama
inggil maupun menggunakan basa kawi.
Contoh:
a) Ibu boten teng griya sek kesah dateng Bajul Kesupen.
b) Ing wanci ketigen mekaten, pesiten sami rowa.
b. Basa Madya :
1) Madya Ngoko
2) Madyantara
3) Madya Krama
c. Bahasa Ngoko
Bahasa ngoko adalah bahasa yang digunakan tidak
bersama-sama dengan bahasa krama. Bahasa Ngoko dibedakan
menjadi dua yaitu: Ngoko Lugu dan Ngoko Andhap.
1) Ngoko Lugu
Ngoko Lugu adalah bahasa yang digunakan tanpa
tercampur kata Krama sama sekali. Bahasa Ngoko lugu
biasa digunakan :
a) kepada sesama-sama yang sudah akrab dan se-
usianya
b) kepada orang yang lebih muda
c) Biasanya digunakan anak yang baru belajar bahasa.
d) Orang dari daerah lain.
Contoh:
Aku mau pas lunga ketemu bapakmu.
Kowe wingi neng ngendi tak goleki kok ora
ana.
Bu aku jaluk jajan meneh.
2) Ngoko Andhap
Bahasa ngoko andhap adalah bahasa ngoko yang
tercampur bahasa alus yang tujuannya dipakai
menghormati yang diajak bicara. Bahasa Ngoko andhap
biasanya digunakan:
kepada teman seusianya tetapi kurang akrab
kepada orang yang lebih muda tetapi lebih tinggi
drajatnya
bangsawan kepada bangsawan yang sudah akrab
suami/istrinya bangsawan kepada yang laki-laki.
Basa ngoko andhap dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Antya Basa
yaitu bahasa ngoko yang dicampur dengan krama
inggil. Ciri-cirinya:
- Aku, tidak berubah (tetap)
- Kowe, berubah menjadi panjenengan, ki raka, atau
kangmas
- Awalan dak-, ko-, di- dan akhiran -ku, -mu, -e, -ake
tidak berubah.
Contohnya:
- Mas, aku nyuwun ngampil kagungane buku sewengi
wae.
- Ora, kangmas ki suwé ora ngetingal-
ngetingal iku tindak ngendi?
- Wah, adhimas ki rada ngece. Genah wis pirsa bae
kok mundhut pirsa.
b) Basa Antya
yaitu bahasa ngoko yang dicampur dengan krama
inggil dan krama. Ciri-cirinya:
- Aku, tidak berubah (tetap)
- Kowe, berubah menjadi panjenengan, ki raka, atau
kangmas
- Awalan dak-, ko-, di- tidak berubah
Contoh:
- Mas, aku ora bisa nyaosi apa-apa
marang panjenengan, kejaba mung bisa ndherek muji
rahayu, muga-muga panjenengan saged remen,
lan saged ngangsu kawruh sing migunani tumrap nusa
lan bangsa.
- Dak arani sliramu dhèk mau bengi saèstu mriksani
ringgit ana ing dalemé Pak Lurah. Gèklampahé baé
apa ya dhimas, teka gamelané sedalu natas
ngungkung baé, ora ana pedhot-pedhoté.
d. Basa Kedhaton
Bahasa Kedhaton adalah bahasa yang penggunaannya
hanya berada kedhaton. Penggunaan basa kedhaton yaitu para
sentana dan abdining ratu ing saat menghadap pembesar ing
ngarsaning ratu. Contoh:
1) Punapi sira darbe kawasisan ingkang linuwih?
2) Jengandika punapi sampun mengertos pawartos puniki?
Bahasa Kedhaton yang lain diantaranya:
- nedha = mangan
- puniku = iku
- wonten = ana
- punapi = apa
- dhawak = dhewe
- jengandika = kowe
- siyos = sida
- darbe = duwe
- puniki = niki
e. Basa Kasar
Digunakan oleh rakyat banyak sehari-hari yang menurut
bahasa memakai kata-kata yang tergolong kasar atau tidak sopan,
biasa digunakan oleh orang yang tidak pernah belajar undak-usuk
basa atau bahasa ini digunakan orang yang sedang marah-marah,
orang yang sedang bertengkar.
Contoh:
1) Bocah kok yen ditakoni cangkeme ora tau njeplak.
2) Kira-kira ki yen ra jegos, ya ra sah ditandhang.
B. Sastra Jawa
Kata ‘sastra’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta,
yakni sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi,
dan tra yang berarti alat, atau sarana, sehingga sastra berarti alat untuk
mengajar.
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal
yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra jawa
secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para
pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam
lingkup budaya Jawa. Kebudayaan ini memiliki elemen-elemen amat
majemuk yang berakar pada etika, agama-agama yang berkembang dalam
masyarakat Jawa.
1. Jenis-jenis sastra
Jenis-jenis sastra meliputi:
a. Karya sastra yang berbentuk prosa
Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dalam sebuah pemaparan
dikatakan mengandung nilai karya sastra karena di dalam
pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam
rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana, tidak
berbentuk bait dan baris.
b. Karya sastra yang berbentuk puisi
Puisi merupaakan bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya-
karya besar dunia seperti Oedipus, Hamlet, Mahabarata,
Ramayana dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi.
c. Karya sastra yang berbentuk drama
Karya sastra yang berbentuk drama ditentukan dengan adanya
dialog antar tokoh dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan.
Puisi merupakan karya sastra yang paling tua yang lazim disebut
dengan mantra. Setelah mantra, muncul karya sastra yang lain,
diantaranya parikan dan wangsalan.
Setiap tradisi di setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep
bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal gaib seperti mantra. Selain
mantra, karya sastra yang berbentuk puisi di Indonesia adalah pantun dan
syair. Pantun dan syair menunjukan ikatan yang kuat dalam strukutur
kebahasaan.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun
dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa
pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang
lazim disebut dengan sampiran. Sementara itu, dalam wangsalan, dua
baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan
teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.
Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan, perkembangan
sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu, Budha,
Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit,
Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20
sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-
metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk
masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan asli
Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme
dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah
masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan
India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa,
meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi,
mitologi, dan pengetahuan umum.
Sastra Jawa adalah seluruh karya sastra yang menggunakan
bahasa Jawa sebagai sarana ungkap. Definisi ini mencakup penggunaan
ragam dan tahapan bahasa, genre, bentuk, isi, dan mutu yang ada dalam
khasanah sastra Jawa. Secara garis besar penggunaan bahasanya, sastra
Jawa dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni sastra Jawa kuna, sastra Jawa
tengahan dan sastra Jawa baru.