You are on page 1of 21

Referat

KOMPOSISI CAIRAN RESUSITASI MEMPENGARUHI


PERADANGAN HATI PADA HEWAN
COBA DI AWAL FASE SEPSIS

Oleh:

Kartika Luthfiana, S.Ked

04054821618113

Pembimbing:

dr. Yusni Puspita, Sp.An, KAKV, KIC, M.Kes

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN

PALEMBANG

2018

1
Patrick et al. Intensive Care Medicine Experimental (2017) 5: 5
DOI 10.1186 / s40635-017-0118-5

KOMPOSISI CAIRAN RESUSITASI MEMPENGARUHI


PERADANGAN HATI PADA HEWAN
COBA DI AWAL FASE SEPSIS

Amanda L. Patrick1, Peter M. Grin2,3 , Nicole Kraus1, Michelle Gold1, Matthew Berardocco1, Patricia
C. Liaw1,3, Alison E. Fox-Robichaud1,3 * dan atas nama Canadian Critical Care Translational Biology
Group
* Korespondensi: afoxrob@mcmaster.ca
1Department of Medicine, McMaster University, Hamilton, Ontario, Kanada
3Thrombosis and Aterosklerosis Research Institute, Universitas McMaster, DBRI C5-106, 237 Barton St East, Hamilton, ON

L8L 2X2, Kanada daftar lengkap informasi penulis tersedia di akhir artikel

Abstrak
Latar Belakang: Cairan resusitasi adalah terapi yang sangat penting untuk sepsis, dan
penggunaan balans cairan dan atau albumin isotonik dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pasien. Kami sebelumnya telah menunjukkan bahwa resusitasi dengan normal saline
meningkatkan jumlah leukosit hati dalam hewan coba di awal fase sepsis. Mengingat bahwa
formulasi klinis albumin dalam saline, tujuan kami adalah untuk mengembangkan sebuah
larutan elektrolit baru yang original dan seimbang khusus untuk sepsis dan untuk menentukan
apakah menambahkan larutan ini dengan albumin akan meningkatkan respon inflamasi pada
sepsis.
Metode: Kami mengembangkan dua larutan elektrolit yang mengandung konsentrasi yang
berbeda dari asetat dan glukonat, bernama Seplyte L dan Seplyte H, dan pemberian larutan
ini dengan atau tanpa albumin5%. Normal saline dengan atau tanpa albumin dan Ringer
laktat digunakan sebagai kontrol. Sepsis diinduksi oleh metode cecal ligation and pucture
(CLP), dan mikrovaskulatur dari hepar dipaparkan in vivo pada 6 jam setelah CLP untuk
mengukur jumlah leukosit. Pengeluaran sitokin hati dan konsentrasi plasma DNA bebas sel
(cfDNA) juga diukur.
Hasil: Tikus yang sepsisdengan pemberian cairan Seplyte menunjukkan penurunan yang
signifikan jumlah leukosit pasca-sinusoidal pada hati dibandingkan dengan pemberian normal
saline. Konsentrasi sitokin hati bervariasi ketika pemberian konsentrasi yang berbeda dari
asetat dan glukonat dalam cairan resusitasi baru tapi tidak terpengaruh oleh adanya komposisi
albumin dalam larutan. Semua cairan Seplyte secara signifikan meningkatkan kadar TNF-α

2
hati pada 6 jam proses sepsis dibandingkan dengan cairan kontrol. Namun, Seplyte H
diidentifikasi memiliki profil sitokin mirip dengan cairan kontrol untuk semua sitokin
lainnya, sedangkan tikus yang diberi Seplyte L menunjukkan peningkatanan secara signifikan
IL-6, IL-10, KC (CXCL1), dan MCP-1 (CCL2). Plasma cfDNA umumnya meningkat selama
sepsis, tetapi komposisi cairan resusitasi tidak secara signifikan mempengaruhi konsentrasi
cfDNA.
Kesimpulan: Konsentrasi elektrolit dan komposisi buffer cairan resusitasi dapat memodulasi
produksi sitokin hati dan perekrutan leukosit pada tikus dengan sepsos, sementara efek
albumin tampak minimal selama fase awal sepsis. Oleh karena itu, pilihan cairan kristaloid
harus menjadi pertimbangan penting untuk resusitasi pada sepsis, dan efek dari komposisi
cairan pada peradangan pada sistem organ lain harus dipelajari untuk lebih memahami
dampak fisiologis terapi sepsis penting ini.

Kata kunci: Sepsis, resusitasi cairan, albumin, leukocyte recruitment, sitokin, kemokin, cfDNA, cecal
ligation and puncture, mikroskop intravital.

3
Latar Belakang
Sepsis ditandai dengan peradangan berat yang disertai adanya disfungsi organ yang
dihasilkan dari disregulasi respon host terhadap infeksi dan membutuhkan resusitasi cairan
tepat waktu untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Regimen pengobatan utama
untuk pasien dengan sepsis antara lain memulihkan aliran darah mikrovaskuler menggunakan
resusitasi cairan intravena dalam waktu 6 jam, mengidentifikasi dan menghilangkan sumber
infeksi dengan memberikan antimikroba yang tepat, dan memberikan perawatan suportif
untuk disfungsi organ. Meskipun resusitasi cairan adalah komponen kunci dari pengobatan
sepsis, pilihan ideal cairan intravena untuk resusitasi awal pasien sepsis masih kontroversial.
Cairan kristaloid tradisional, seperti normal saline dan Ringer laktat, tetap sebagai
cairan yang paling umum digunakan oleh dokter anestesi dan terapi intensif untuk mengelola
sepsis dan syok septik. Cairan koloid, yang terdiri dari suspensi protein atau pati dalam
larutan elektrolit, juga telah digunakan untuk resusitasi pasien dengan sepsis. Dengan bukti
bahwa cairan koloid yang mengandung pati hidroksietil meningkatkan risiko gagal ginjal
akut dan kematian pada pasien sepsis fase kritis, dokter sekarang terbatas pada penggunaan
albumin. Berdasarkan pedoman dari The Surviving Sepsis Campaign, saat ini
merekomendasikan kristaloid sebagai terapi lini pertama dan larutan koloid yang
mengandung albumin saat resusitasi cairan masif diperlukan. Sementara bukti menyarankan
bahwa resusitasi dengan albumin isotonik tidak menyebabkan bahaya, akan tetapi hal ini
masih diperdebatkan. Albumin biasanya terlarut dalam larutan garam yang mengandung 109-
137 mM klorida, yang dapat berpotensi menimbulkan kondisi asidosis hiperkloremik.
Demikian halnya, normal saline telah dikaitkan dengan asidosis metabolik hiperkloremik
selama dilakukan resusitasi masif. Fakta bahwa cairan resusitasi yang biasa digunakan
mungkin memiliki efek samping yang serius membenarkan perlunya penelitian bagaimana
cairan tradisional dibandingkan dengan cairan yang balans, larutan elektrolit yang
mengandung ion dan konsentrasi buffer dari plasma orang yang sehat. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa resusitasi dengan cairan dengan balans positif dapat mengurangi risiko
kematian pada pasien dengan sepsis, namun mekanisme fisiologis yang terlibat tidak jelas.
Maka, jelas kiranya bahwa semua cairan resusitasi tidak sama dan cairan yang
optimal diperlukan untuk digunakan dalam pengobatan sepsis. Kami sebelumnya
menunjukkan bahwa resusitasi cairan dengan komposisi tertentu memiliki efek dramatis pada
perekrutan leukosit hati pada hewan coba pada fase sepsis awal. Karena hati adalah pusat
respon inflamasi pada sepsis, dan disfungsi hati telah dikaitkan dengan mortalitas jangka
panjang dari syok septik, kami fokus pada penilaian keadaan inflamasi dari mikrovaskulatur

4
hati dalam menanggapi berbagai cairan resusitasi selama sepsis. Untuk mencapai hal ini,
kami mengembangkan dua cairan yang seimbang yang mengandung konsentrasi ion mirip
dengan plasma dan buffered dengan glukonat baik dengan konsentrasi yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari asetat, bernama Seplyte L atau H. Kami menguji larutan ini dengan dan
tanpa penambahan albumin dan membandingkannya dengan cairan tradisional dalam model
tikus dalam kondisi sepsis dini disebabkan oleh cecal ligation and pucture (CLP). Respon
inflamasi dinilai menggunakan mikroskop intravital dari mikrosirkulasi hati dan konsentrasi
sitokin hati, bersama dengan pengukuran plasma DNA bebas sel (cfDNA). Kami berhipotesis
bahwa resusitasi cairan dengan cairan Seplyte akan mengurangi respon inflamasi hati selama
sepsis awal dan bahwa suplementasi cairan tersebut dengan albumin akan meningkatkan
pengurangan ini.
METODE
Larutan novel buffer eletrolit
Larutan Seplyte L dan Seplyte H dipersiapkan sebanyak 1 L dari Millipore air dengan
komposisi dan konsentrasi terdaftar pada tabel 1. Setelah dilarutkan dan pH diatur menjadi 7,
larutan disterilisasi menggunakan Millipore Stericup dan filter Steritop Express Plus 0.22 μm.

Penyimpanan larutan sodium asetat dan sodium glukonat dipersiapkan pada 10 mg/ml
dengan rasio berat molekul dari setiap ion pada komposisi diperhitungkan. Larutan 10
mg/mL sodium sulfat dipersiapkan untuk standar internal. Standar kalibrasi sipersiapkan pada

5
kisaran 0.6–50 μg/mL, dengan dilusi tiga kali lipat setiap standar. Sampel Seplyte L dan
Seplyte H didilusi menggunakan faktor 100 untuk deteksi optimal. Setiap kalibrasi standar
dan sampel mengandung konsentrasi konstan dari standar internal pada 10 μg/mL.
Spektrometri electrospray ionization mass digunaakn untuk memeriksa stabilitas
larutan elektrolit dengan evaluasi konsentrasi asetat dan glukonat dari waktu ke waktu.
Spektrometer yang digunakan adalah Micromass Quattro Ultima LC-ESI/APCI Triple
Quadrupole Mass untuk semua pengukuran. Injeksi 10 μL dilakukan menggunakan spuit ke
dalam 6 wadah injektor yang dilengkapi dengan sampel loop 10-μL. Sampel kemudian
dibawa ke dalam ruang ionisasi dari massa spectrometer dengan fase mobilisasi (air/metanol,
50:50) pada 50 μL/menit. Instrumen tersebut diatur dengan temperature 800 °C dan
dilarutkan pada temperatur 2100 °C, dengan aliran gas kurang lebih 130 L/jam dan dilarutkan
pada gas 900–1200 L/h. Semua analisis dibuat dalam bentuk ion negatif, dengan tegangan
kapiler 3.00 kV pada ujung dan kerucut tegangan mencapai 35 V. Udara diinjeksi antar
sampel untuk meminimalisir kesalahan. Pengawasan ion terpilih dipilih sebagai metode
pemindaian, dan algoritma penghalusan diaplikasikan pada data untuk memasukkan area
dibawah kurva agar terintegrasi, merefleksikan kekuatan dari signal. Respon dari target yang
akan dianalisis diukur dengan menggunakan respon standar internal. Persamaan dari kalibrasi
kurva diaplikasikan pada nilai relatif untuk mendeterminasi konsentrasi dari asetat dan
glukonat pada cairan. Analisis konsentrasi dilakukan satu kali pada kurang lebih 3 bulan
setelah persiapan dan selanjutnya setelah 1 tahun. Data dilaporkan untuk analisis selama 1
tahun (tabel 2). Kondisi penyimpanan yang beragam diperiksa untuk mendeterminasi
stabilitas jangka panjang ketika disimpan dalam plastic atau kaca dan dibawah cahaya atau
tidak.

6
Binatang
Tikus jantan tipe liar, negatif Helicobacter hepaticus, C57BL/6 tikus dibeli dari laboratorium
Taconic (Georgetown, NY, USA) untuk eksperimen. Seluruh tikus dipelihara dibawah
kondisi bebas patogen dan makan dan minum sesuai standar rodensia ad libitum. Eksperimen
dilakukan pada tikus dengan usia antara 7 dan 10 minggu. Studi ini menerima persetujuan
etik oleh Animal Research Ethics Board di Universitas McMaster dan memenuhi semua
kriteria konsil kanada pada perawatan binatang.
Studi cairan awal pada endotoksemia
Respon hepar akut pada normal salin, Ringer’s lactate, dan dua larutan Seplyte diperiksa
menggunakan mikroskopis hepar tikus intravital 4 jam setelah injeksi dari lipopolisakarida
(LPS) atau kontrol.
Ligasi dan penusukan cecal
Sepsis polimikrobial diinduksi oleh CLP seperti yang telah dideskripsikan oleh Baker et al.
[26], dengan modifikasi berikut: semua binatang menerima analgesic subkutan
(buprenorphine; 0.05 mg/kg) dan melalui laparotomy dengan anestesi isoflurane (Baxter,
Mississauga, ON, Canada). Pemasangan jalur intravena, menggunakan teknik steril,
(polyethylene 10 mm, VWR Canada, Mississauga, ON, Canada) dilakukan dengan
pemotongan pada vena jugular interna kanan dan dimasukkan subkutan pada bagian belakang
leher. Bagian distal sekum sebesar 1 cm kemudia dieksteriorisasi, diligasi, dan ditusuk
dengan jarum 18 gauge, dan sedikit bahan fekal diekstrusi. Sekum kemudian dikembalikan ke
dalam kavum abdomen, insisi dijahit lapis demi lapis. Tikus yang telah dioperasi

7
ditatalaksana identic kecuali untuk ligase dan tusukan pada sekum. Semua binatang
diresusitasi berdasarkan desain eksperimental dengna injeksi melalui kateter vena jugularis.
Kateter kemudian dibilas dengan salin + heparin 20 μL untuk mencegang klot dan oklusi
kateter.
Desain eksperimental
Binatang Sham dan CLP dirandomisasi untuk menerima salah satu cairan resusitasi: normal
saline, Ringer’s lactate, normal saline dengan 5% albumin (w/v; Baxter), Seplyte L, Seplyte
L dengan 5% albumin, Seplyte H, atau Seplyte H dengan 5% albumin. Larutan mengandung
albumin 5% dipersiapkan menggunakan endotoksin-bebas albumin dari Amsbio (Lake
Forrest, CA, USA). Cairan diadministrasikan secara intravena segera setelah operasi dan 4
jam kemudian. Larutan kristaloid (tanpa albumin) diberikan secara bolus sebanyak 0.5-mL
setiap titik waktu, berdasarkan dosis 20 mL/kg yang digunakan pada praktek klinis. Larutan
koloid (mengandung albumin) diberikan secara injeksi 0.125-mL. Rasio koloid banding
kristaloid 1:4 berdasarkan propertik onkotik dari larutan tersebut.
Mikroskopi intravital
Mikrosirkulasi hepar diperiksa menggunakan transiluminasi mikroskop intravital 6 jam
setelah induksi sepsis, seperti penelitian sebelumnya [21]. Semua tikus dianestesi dengan
injeksi intraperitoneal ketamine (200 mg/kg) dan xylazine (10 mg/kg). Abdomen dibuka
kembali dengan insisi midline meluas ke arah perbatasan kosta. Tikus kemudian diposisikan
dengan posisi lateral kiri pada mikroskop Plexiglas dengan lobus kiri dari liver
dieksteriorisasi dan dibungkus dengan plastik (Saran Wrap) untuk mencegah dehidrasi dan
pergerakan dari respirasi. Suhu tubuh dipertahankan dengan menggunakan lampu inframerah
dan air yang dihangatkan dalam jaket sirkulasi yang dibuat sesuai stadium.
Sinusoid hepar dan venula post-sinusoidal divisualisasi dengan mikroskop intravital
(Zeiss Inverted Axiovert S100, Toronto, ON, Canada). Aliran darah melalui mikrosirkulasi
difoto menggunakan kamera yang tertempel (Newvicon DAGE- MTI, Michigan City, IN,
USA) dan dilihat pada monitor (Panasonic CT-2086YD, Mississauga, ON, Canada). Gambar
direkam menggunakan rekorder DVD (Panasonic DMR-EH55) untuk analisis offline. Setiap
lapangan pandang, satu venulapost-sinusoidal venule atau kisaran 6-10 sinusoid diobservasi.
Jumlah leukosit adheren dan yang ada dikuantifikasi selama analisis rekaman. Leukosit
dipertibangkan bergerak jika penarikan venule dengan gerakan torsio terlihat. Leukosit
adheren menjadi terimobilisasi di dinding endothelial dan tetap diam untuk minimin 30 detik.
Gambaran pembuluh darah direkam pada menit ke 0 dan 10, untuk durasi titik waktu setiap 2

8
menit, untuk mencapat nilai rata-rata leukosti per menit per lapangan pandang (160 × 200
μm).
Pengumpulan sampel
Berdasarkan hasil mikroskopis intravital, binatang dikorbankan melalui penusukan kardiak
dan dislokasi servikal. Darah dikumpulkan melalui ventrikel kiri dengan jarum yang telah di
beri sodium sitrat dan diproses dalam waktu 30 menit. Darah kemudian disentrifugasi pada
1500×g dan plasma disimpan pada −80 °C untuk analisis cfDNA lebih jauh. Sisa darah
dipulas pada slide untuk penghitungan jumlah leukosit menggunakan mikroskop cahaya.
Slide diwarnai untuk identifikasi leukosit menggunakan Hemacolor Staining Set (EMD
Millipore, Gibbstown, NJ, USA). Nilai diferensial leukosit dihitung berdasarkan 100 sel per
slide untuk determinasi persentasi neutrofil, limfosit, monosit, dan eosinofil. Seluruh darah
juga dicampurkan dengan asam asetat 3% dan gentian violet Kristal 1% (rasio darah/asam
asetat/pewarnaan 5:44:1) untuk memeriksan jumlah total leukosit dengan hemositometer.
Masing-masing jenis leukosit absolut dihitung dengan multifikasi proporsi masing-masing
tipe leukosit dengan total jumlah leukosit. Terakhir, sampel jaringan hepar dikumpulkan,
dibekukan pada cairan nitrogen dan disimpan pada suhu −80 °C pemeriksaan sitokin.
Kuantifikasi sel plasma bebas DNA
Untuk isolasi cfDNA dari plasma tikus, Qiagen QIAamp DNA Mini Blood Mini Kit
digunakan berdasarkan instruksi pabrik (Qiagen, Valencia, CA, USA) setelah sentrifugasi
plasma pada 16,800×g selama 10 menit. Spektrofotometer (Eppendorf BioPhotometer Plus,
Hamburg, Germany) digunakan untuk kuantifikasi level dari cfDNA. Densitas optic
merefleksikan jumlah dari DNA yang ada dan diukur pada eksitasi dan emisi panjang
gelombang 260 dan 280 nm. Nilai OD/260 nm dikonversi ke nanogram per mikroliter
menggunakan konversi 1 OD/260 nm = 50 ng/μL DNA. Kalibrasi standar didapatkan dengan
menggunakan konsentrasi ssDNA yang diketahui (UltraPure Salmon Sperm DNA,
ThermoFisher Scientific, Burlington, ON, Canada) dengan kisaran 0-10 mg/mL dan
digunakan untuk konfirmasi akurasi konsentrasi cfDNA yang dikalkulasi dengan metode OD.
Profil sitokin
Bio-Plex Cell Lysis Kit (Bio-Rad Laboratories, Mississauga, ON, Canada) digunakan untuk
persiapan sampel liver untuk pemeriksaan sitokin berdasarkan instruksi pabrik. Sampel yang
telah homogeny disentrifugasi 4500×g selama 10 menit, dan supernatant dikumpulkan dan
dibekukan pada −80 °C. Pemeriksaan Mouse 7-Plex Cytokine Assay (Bio-Plex Pro Assay)
didesain untuk mengukur IL-1β, IL-6, IL-10, IL-17, TNF-α, MCP-1 (CCL2), dan KC
(CXCL1) pada hepar tikus. Supernatant hepar yang sudah homogen dipersiapkan berdasarkan

9
instruksi, dan sampel dianalisis pada sistem Bio-Plex Luminex 200 pada panjang gelombang
635- dan 532-nm menggunakan perangkat lunak Bio-Plex Manager 6.0. Untuk determinasi
konsentrasi masing-masing bahan analisis per milligram dari total protein hepar, massa dari
masing0masing analit diukur menggunakan Bio-Plex assay yang dibagikan oleh nilai
Bradford Protein Assay untuk sampel.
Analisis statistik
Analisis statistic dilakukan menggunakan GraphPad Prism 5.0 (La Jolla, CA, USA). Data
ditampilkan sebagai rata-rata ± standard error dari rata-rata (SEM). Data didapatkan dari
beberapa grup multipel yang dianalisis menggunakan analisis one-way analysis of variance
(ANOVA) diikuti dengan tes post hoc Bonferroni. Perbedaan antar grup dianggap bermakna
jika p< 0,05.

HASIL
Cairan Resusitasi yang Baru
Kedua jenis cairan Seplyte yang baru tetap stabil dalam berbagai kondisi
penyimpanan dalam jangka waktu 1 tahun, kecuali untuk Seplyte H yang disimpan dalam
plastik dan terpapar cahaya (tabel 2).

Pengeluaran leukosit hepar sebagai respon terhadap resusitasi dengan cairan Seplyte
yang baru
Untuk membandingkan efek dari kristaloid tradisional dan cairan Seplyte yang
diseimbangkan terhadap pengeluaran leukosit in vivo, kami menguji mikrosirkulasi hepatik
menggunakan intravital microscopy (teknik untuk melihat sifat biologi sistem in vivo pada
resolusi tinggi). Leukosit yang bergerak pada venula post-sinusoidal dari tikus yang
dilakukan CLP sama dengan yang diamati pada kelompok kontrol (corresponding sham
group). Bagaimanapun, resusitasi larutan garam normal secara signifikan meningkatkan
leukosit yang bergerak pada venula post-sinusoidal dibandingkan dengan resusitasi cairan
lainnya. Adhesi leukosit pada venula post-sinusoidal secara signifikan meningkat pada tikus
sepsis dibandingkan kelompok kontrol baik pada administrasi cairan tradisional maupun
kristaloid yang diseimbangkan. Lebih lagi, tikus sepsis yang mendapatkan larutan garam
normal memiliki lebih banyak adhesi post sinusoidal daripada tikus sepsis yang mendapatkan
jenis larutan kristaloid lainnya. Tikus yang dilakukan CLP juga memiliki peningkatan
signifikan adhesi leukosit pada venula post-sinusoidal dibandingkan dengan kontrol untuk
setiap kristaloid, meskipun tidak ada perbedaan signifikan antar cairan (gambar 1c). Aliran

10
darah sinusoidal menurun signifikan pada tikus sepsis dibandingkan kontrol untuk semua
cairan kristaloid tapi juga tidak ada perbedaan signifikan antar cairan (gambar 1d).
Digabungkan, hasil ini menggambarkanbahwa cairan Seplyte memiliki efek yang mirip
dengan ringer laktat pada rekrutmen leukosit pada hati selama sepsis. Pada sisi lain,
rekrutmen leukosit di hati meningkat sebagai respon terhadap resusitasi dengan larutan garam
normal.

Komposisi cairan kritalois mempengaruhi produksi sitokin hepatik selama sepsis


Untuk mengetahui lebih lanjut respon inflamasi hepatik terhadap larutan kristaloid
yang diseimbangkan selama sepsis, kami menganalisa produksi sitokin hepatik pada tikus
yang mendapat perlakuan baik CLP maupun pembedahan kontrol (sham surgery). Tikus
sepsis secara umum memiliki ekspresi sitokin hepatik yang lebih banyak dibandingkan
dengan tikus kontrol untuk setiap jenis cairan resusitasi, namun pada titik ini, IL-17 hanya
muncul pada jumlah kecil (<1 pg/mg protein hepatik) pada semua kelompok kontrol dan CLP
(data tidak dilampirkan). Tikus sepsis yang diresusitasi dengan Seplyte H menghasilkan
konsentrasi yang sama dengan sitokin hepatik pada tikus yang diberikan cairan kontrol
(gambar 2a-e)., dengan pengecualian TNF-α (gambar 2f). Menariknya, kedua cairan Seplyte
secara signifikan meningkatkan TNF-α dibandingkan dengan cairan kontrol, dengan Seplyte
L memiliki konsentrasi TNF-α lebih tinggi dari Seplyte H (gambar 2f). Lebih lagi, tikus
sepsis yang mendapatkan Seplyte L memiliki konsentrasi semua sitokin hepatik tertinggi, dan
konsentrasi ini berbeda-beda dari kedua cairan kontrol untuk semua sitokin kecuali IL-1β
(gambar 2a-f). Karena Seplyte L dan H memiliki perbedaan konsentrasi asetat dan glukonat
pada keadaan konsentrasi unsur lain yang sama persis, penemuan ini menunjukkan bahwa
asetat dan glukonan dapat mepengaruhi produksi sitokin hepatik, terutama TNF-α. Hasil ini
menggambarkan bahwa komposisi cairan kristaloid dapat memiliki dampak yang besara
terhadap produksi sitokin inflamasi di hati selama awal sepsis.

11
Rekrutmen leukosit hepatik dan produksi sitokin sebagai respon terhadap resusitasi
cairan dengan albumin
Untuk menentukan apakah penambahan albumin pada cairan Seplyte dapat
mempengaruhi inflamasi di dalam hati, kami pertama menggunakan intravital microscopy
untuk menghitung rekrutmen leukosit hepatik in vivo. Leukosit yang bergerak pada venula
post-sinusoidal sama pada kelompok CLP maupun kontrol yang diresusitasi dengan baik
Seplyte L maupun H + 5% albumin, dimana tikus sepsis yang diberikan larutan garam normal
+ 5% albumin memiliki leukosit bergerak yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol
(gambar 3a). Di sisi lain, sepsis dengan CLP memberikan hasil peningkatan signifikan dari
adhesi leukosit post sinusoidal dibandingkan kontrol untuk semua cairan (gambar 3b).
Terlebih lagi, tikus sepsis yang diresusitasi dengan Seplyte L maupun H yang mengandung
albumin memiliki adhesi leukosit post sinusoidal yang menurun dibandingkan dengan tikus
yang diberikan larutan garam normal yang mengandung albumin.. Sama dengan venula post
sinusoidal hepatik, adhesi leukosit pada sinusoid hepatik secara signifikan meningkat sebagai
respon CLP terhadap semua jenis terapi cairan (gambar 3c). Namun, adhesi sinusoidal

12
hepatik lebih tinggi pada tikus yang diberikan Seplyte H + 5% albumin. Menariknya,
meskipun peningkatan adhesi sinusoidal yang dapat menyebabkan obstruksi aliran darah,
tikus sepsis yang diberikan Seplyte H + 5% albumin juga memiliki persentase aliran sinusoid
yang besar dibandingkan dengan larutan garam normal maupun Seplyte L dengan albumin
(gambar 3d). Karena aliran darah sinusoid secara signifikan menurun akibat respon terhadap
sepsis pada semua jenis cairan resusitasi, penemuan ini menunjukkan bahwa efek osmotik
dari albumin tidak cukup untuk mengembalikan aliran darah sinusoid pada tikus sepsis.
Secara keseluruhan, pola dari rekrutmen leukosit hepatik sebagai respon terhadap cairan
resusitasi dengan albumin nampaknya sama dengan hasil pada resusitasi dengan cairan saja
(gambar 1 dan 3), meskipun resusitasi dengan albumin secara sederhana memperbaiki
kenaikan adhesi leukosit post sinusoidal selama sepsis (bandingkan gambar 1b dan 3b).
Dilihat bersama, pengamatan ini menyarankan bahwa penambahan cairan resusitasi dengan
albumin memiliki sedikit reduksi dari rekrutmen leukosit pada mikrosirkulasi hepatik.
Untuk lebih lanjut meneliti efek dari albumin dalam inflamasi hepatik, kami
menghitung konsentrasi dari berbagai sitokin pro- dan anti- inflamasi yang berhubungan
dengan sepsis. Sama dengan hasil dari cairan kristaloid saja (gambar 2), kami mengamati
peningkatan signifikan pada MCP-1, KC, IL-6, IL-10, dan TNF-α namun tidak IL-1β, pada
tikus sepsis yang diresusitasi dengan Splyte L + 5% albumin ketika dibandingkan dengan
larutan garam normal + 5% albumin (gambar 4a-f), Menariknya, TNF-α tetap meningkat
secara signifikan pada kedua cairan Seplyte yang ditambah albumin jika dibandingkan
dengan larutan garam normal ditambah albumin (gambar 4f), dengan konsentrasi sama pada
cairan kristaloid saja tetap meningkat signifikan (gambar 2f). Efek yang disadari dari
albumin pada profil sitokin hepatik yang kami amati pada tikus sepsis adalah penurunan IL-
1β dalam responnya terhadap Seplyte H + 5% albumin (gambar 4c), yang berbeda dari respon
yang diamati pada resusitasi cairan kristaloid saja (gambar 2c). Sehingga, data ini
menunjukkan bahwa albumin memiliki efek pada konsentrasi sitokin hepatik saja hanya jika
digabungkan dengan cairan Seplyte H.

13
14
Level cfDNA
Untuk semua cairan resusitasi, nilai cfDNA cenderung meningkat pada tikus CLP
dibandingkan dengan kontrol, dan pada perbandingan ini juga terdapat perbedaan pada
Seplytedengan atau tanpa albumin, Seplyte H saja, dan larutan garam nornal dengan albumin
(gambar 5a, b). Konsentrasi cfDNA plasma pada tikus sepsis tidak berbeda terhadap berbagai
macam cairan kristaloid. Selanjutnya, menambahkan albumin pada setiap kristaloid tidak
mempengaruhi konsentrasi cfDNA, kecuali sedikit menurunkan cfDNA pada tikus sepsis
yang diberikan Seplyte H + 5% albumin. Sehingga data ini menunjukkan bahwa cfDNA
secara umum awalnya meningkat pada sepsis yang diinduksi CLP dan kegunaannya sebagai
biomarker tidak akan dipengaruhi oleh penggunaan cairan resusitasi yang berbeda-beda.

15
Perhitungan jumlah pasti leukosit sirkulasi
Untuk menilai efek dari komposisi cairan resusitasi terhadap jumlah leukosit sistemik,
kami menghitung level neutrofil, limosit, dan monosit yang bersirkulasi pada tikus kontrol
dan sepsis. Jumlah neutrofil sirkulasi secara signifikan lebih rendah pada tikus sepsis untuk
semua cairan resusitasi, kecuali untuk Seplyte H dengan albumin, dibandingkan dengan tikus
kontrol (tabel 3). Pada tikus sepsis, larutan garam normal dengan albumin menghasilkan
jumlah neutrofil sirkulasi tertinggi, dimana secara signifikan lebih besar daripada respon
terhadap Seplyte L dengan albumin. Pada sirkulasi limfosit, tidak ada perbedaan signifikan
antara berbagai kelompok (tabel 3). Jumlah pasti monosit sirkulasi secara signifikan lebih
rendah pada tikus sepsis yang mendapat ringer laktat, larutan garam normal, atau Seplyte L
dibandingkan dengan tikus kontrol yang mendapatkan cairan yang sama, meskipun begitu
tidak ada perbedaan signifikan antara kedua cairan resusitasi terhadap tikus sepsis (tabel 3).
Sehingga penemuan ini menunjukkan bahwa komposisi cairan resusitasi memiliki efek
minimal sampai tidak ada terhadap jumlah leukosit sirkulasi selama sepsis.

16
DISKUSI
Dalam penelitian ini, kami membandingkan efek dari balans cairan Seplyte yang baru
dengan cairan yang digunakan secara klinis untuk menentukan apakah balans cairan ini
berdampak pada respons imun yang terjadi pada sepsis. Cairan Seplyte dirancang khusus
untuk resusitasi pada sepsis, dan komposisi mereka didasarkan pada tiga prinsip. Pertama,
diketahui bahwa cedera ginjal akut adalah disfungsi organ umum yang terkait dengan sepsis
sehingga pasien mungkin mengalami gangguan pembuangan K+ pada ginjal, dan
hiperkalemia adalah faktor pembatas yang mempengaruhi kegunaan balans cairan yang ada
saat ini (seperti Ringer laktat dan Plasma-Lyte) selama resusitasi volume besar. Dengan

17
pemikiran ini, cairanSeplyte bebas dari K +. Kedua, hiperlaktatemia dan mengurangi laktat
clearance telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien septik. Oleh karena itu,
larutan Seplyte disangga dengan asetat dan glukonat, bukan laktat, untuk meminimalkan
beban laktat selama disfungsi organ, sambil mempertahankan kemampuan buffering dan
kemampuan produksi pH melalui metabolisme asetat menjadi bikarbonat dan metabolisme
glukonat untuk menghasilkan ATP, masing-masing. Alasan ini juga digunakan oleh peneliti
lain untuk mempelajari penggunaan Plasma-Lyte sebagai cairan resusitasi pada sepsis
(NCT02614040 dan ANZICS CTG 1415-03). Terakhir, cairan ini dikembangkan untuk
memenuhi kriteria balans cairan dan dengan demikian mengandung konsentrasi klorida 103
mM, yang serupa dengan konsentrasi yang ditemukan dalam plasma untuk meminimalkan
risiko asidosis hiperkloremik.
Setelah diuji, kami menemukan bahwa cairan resusitasi Seplyte lebih bermanfaat
daripada garam biasa untuk mengurangi rekrutmen leukosit dalam mikrovaskulsi hati selama
sepsis dini pada tikus. Tikus septik diresusitasi dengan balans cairan ini menunjukkan pola
rekrutmen leukosit yang serupa dengan yang terlihat pada tikus yang diresusitasi dengan
laktat Ringer. Profil sitokin yang diamati untuk Seplyte H juga serupa dengan laktat Ringer,
kecuali peningkatan TNF-α sebagai respons terhadap cairan baru. Temuan ini menunjukkan
bahwa Seplyte H mungkin merupakan cairan kristaloid yang sesuai untuk resusitasi pada
sepsis, meskipun penelitian lanjutan akan diperlukan untuk konfirmasi. Sebaliknya, Seplyte L
meningkatkan konsentrasi hepar paling banyak pada sitokinat, yang berpotensi memperburuk
peradangan sistemik yang merupakan karakteristik sepsis dini. Selama peradangan semacam
itu, terjadi peningkatan rekrutmen neutrofil sistemik, yang kami amati melalui jumlah
neutrofil sirkulasi berkurang secara signifikan pada kebanyakan hewan septik, mungkin
karena meningkatnya migrasi keluar dari sirkulasi dan ke jaringan yang terinfeksi. Namun,
Seplyte L tidak secara dramatis mengurangi jumlah neutrofil yang beredar dibandingkan
cairan lainnya; Oleh karena itu, tidak mungkin peningkatan sitokin hati memperburuk
respons imun sistemik pada model kami. Sangat menarik bahwa Seplyte L menurunkan
rekrutmen leukosit di hati meskipun meningkatkan sitokin proinflamasi hepatik. Kami
menduga bahwa peningkatan simultan sitokin antiinflamasi dapat menjelaskan perbedaan ini
karena peningkatan peningkatan IL-10 hati yang mendukung hipotesis ini, walaupun sitokin
antiinflamasi lebih banyak perlu dievaluasi untuk konfirmasi.
Tinggi atau tidaknya TNF-α yang merugikan sepsis tetap kontroversial. Beberapa
studi menunjukkan bahwa TNF-α yang bersirkulasi dapat menyebabkan disfungsi
hepatoselular pada sepsis awal dan bahwa konsentrasi TNF-α dalam plasma merupakan

18
prediktor kematian pada tikus septik. Di sisi lain, blokade TNF-α yang menggunakan
antibodi gagal melindungi tikus yang menjalani CLP, sementara itu perlindungan diamati
mengikuti suntikan TNF-α manusia rekombinan pada tikus septik. Yang penting, kami
mengukur TNF-α hepatik dalam penelitian ini, dan bukan konsentrasi plasma, karena
relevansi konsentrasi sitokin lokal yang lebih baik untuk rekrutmen leukosit di hati. Memang,
Andrejko dan Deutschman menemukan bahwa ekspresi gen modifikasi TNF-α yang hati-hati
namun tidak beredar di hati melalui fungsi paracrine, yang menunjukkan bahwa mengukur
TNF-α dalam plasma tidak cukup untuk menentukan konsentrasi dan efek pada hati. Ada
kemungkinan bahwa balans cairan, dengan TNF-α yang agak tinggi di jaringan sambil
menghambat kelebihan TNF-α dalam sirkulasi, akan mempertahankan rekrutmen leukosit
yang efisien ke tempat-tempat infeksi sambil membatasi efek sistemik yang berbahaya,
seperti rekrutmen leukosit sistemik yang berlebihan dan kebocoran mikrovaskular. Jika
hipotesis ini benar, maka peningkatan hepatik TNF-α yang diamati dalam menanggapi
resusitasi dengan cairan baru kita sebenarnya bisa bersifat protektif, walaupun penelitian
tambahan diperlukan untuk membuat kesimpulan semacam itu. Penelitian selanjutnya harus
mempertimbangkan untuk membandingkan konsentrasi sitokin sistemik dan lokal yang
efektif, dalam upaya untuk mendamaikan literatur tentang pentingnya dan merugikan TNF-α
pada sepsis dini.
Dalam penelitian ini, kami telah menunjukkan bahwa resusitasi cairan dengan
albumin memiliki efek minimal pada rekrutmen leukosit hepatik dalam model murine sepsis
dini. Hasil ini kontras dengan temuan sebelumnya bahwa resusitasi cairan albumin dapat
melemahkan interaksi sel endotelosit in vitro dan in vivo, pada model syok septik dan
hemoragik. Melengkapi cairan kristaloid dengan albumin juga tidak mengubah jumlah
neutrofil, monosit, atau limfosit yang beredar, yang menunjukkan bahwa rekrutmen leukosit
sistemik tidak terpengaruh oleh albumin, dan konsisten dengan data dari percobaan
mikroskopi intravital kami yang menunjukkan efek minimal albumin pada rekrutmen leukosit
hati. Selanjutnya, albumin tidak mempengaruhi konsentrasi sitokin hepatik yang diukur
dalam penelitian ini, yang selanjutnya mendukung bahwa resusitasi dengan albumin tidak
memiliki efek signifikan pada peradangan hati selama sepsis dini. Resusitasi dengan albumin
juga tidak memperbaiki aliran darah sinusoidal dalam penelitian ini, yang kontras dengan
temuan kami sebelumnya bahwa koloid lain, yaitu pati dan alpha-1 acid glycoprotein,
membantu mengembalikan aliran ke tingkat yang hampir normal pada tikus septik. Aktivitas
diferensial antara albumin dan koloid lainnya lebih jauh menyoroti kebutuhan untuk secara

19
ekstensif mempelajari efek fisiologis koloid dalam resusitasi cairan sebelum penggunaan
klinis.
Dalam penelitian ini, kami juga mengukur cfDNA sebagai biomarker sepsis.
Pelepasan cfDNA dari neutrofil selama sepsis telah diidentifikasi sebagai mekanisme
perlindungan untuk menjebak patogen dalam apa yang disebut neutrophil extracellular traps
(NETs). Namun, NET juga dapat mengaktifkan sel endotel dan menyebabkan kerusakan
jaringan agunan di paru-paru, jantung, dan hati. Studi yang meneliti efek DNase manusia
rekombinan terhadap efek NET dalam model murine dari sepsis telah menunjukkan manfaat
dari pengobatan DNase yang tertunda dan dari DNase sebagai pengobatan tambahan terhadap
antibiotik. Sumber lain cfDNA dalam sepsis adalah DNA mitokondria [50], yang ditemukan
berkontribusi pada cedera ginjal akut dan produksi sitokin pada model sepsis polymicrobial.
Hasil kami menunjukkan bahwa jenis cairan yang digunakan untuk resusitasi tidak
mempengaruhi konsentrasi cfDNA plasma selama sepsis awal pada tikus. Selanjutnya, ada
tidaknya albumin dalam cairan resusitasi ini tampaknya tidak memodulasi konsentrasi
cfDNA selama sepsis awal. Temuan ini menunjukkan bahwa pilihan cairan resusitasi tidak
mungkin mempengaruhi produksi NET selama sepsis awal dan bahwa cfDNA mungkin
merupakan biomarker yang masuk akal untuk mengkonfirmasi induksi sepsis pada tikus yang
menjalani CLP.
Terdapat beberapa keterbatasan dalam studi percontohan kami yang membandingkan
cairan resusitasi tradisional dan novel pada sepsis awal. Kami berfokus pada titik waktu awal
untuk membandingkan data dengan penelitian mikroskopi sebelumnya tentang mikrosirkulasi
hati selama sepsis dini. Penelitian selanjutnya harus memperpanjang waktu untuk
mendapatkan informasi tentang efek resusitasi cairan pada rekrutmen, peradangan, dan
cedera sel leukosit selama tahap sepsis selanjutnya. Studi kami juga dibatasi oleh fokusnya
pada organ hepar; Dengan demikian, menyelidiki efek dari cairan resusitasi ini pada organ
lain yang menjadi tidak berfungsi selama sepsis, seperti paru-paru dan ginjal, akan menjadi
jalan penting untuk penelitian di masa depan.

KESIMPULAN
Balans cairan kristaloid dari Seplyte H memberikan beberapa manfaat antiinflamasi
lebih dari saline biasa dengan mengurangi rekrutmen leukosit dalam mikrosirkulasi hati
dengan efek minimal pada profil sitokin hepatik, walaupun penelitian selanjutnya diperlukan
untuk menentukan apakah peningkatan TNF-α hepatik merugikan. Melengkapi cairan
kristaloid dengan albumin hanya memiliki efek sederhana pada rekrutmen leukosit dalam

20
mikrosirkulasi hati dan tampaknya tidak mengubah produksi sitokin hati atau jumlah leukosit
yang beredar relatif terhadap kristaloid saja. Akhirnya, cfDNA plasma tidak terpengaruh oleh
pilihan cairan resusitasi dan dengan demikian dapat menjadi biomarker yang berguna dalam
penelitian eksperimental resusitasi cairan selama sepsis.

21

You might also like