Penilaian Risiko.

You might also like

You are on page 1of 15

A.

LATAR BELAKANG

Wabah avian influenza (AI) H5N1 pada unggas di Asia Tenggara


dimulai pada akhir tahun 2003 dengan wabah gelombang kedua terjadi
pertengahan tahun 2004. Negara-negara yang tertular pada waktu itu adalah
Thailand, Vietnam, Laos dan Kamboja dan virus H5N1 yang ditemukan
termasuk kelompok (clade) 1 (Eagles et al., 2009). Indonesia sendiri
melaporkan kasus pertama pada unggas pada Januari 2004, meskipun wabah
dipercaya sebenarnya sudah muncul pada Juli 2003. Sampai awal tahun 2011
ini, penyakit AI sudah menjadi endemik dengan 31 provinsi dinyatakan tertular
dan virus H5N1 yang ditemukan termasuk kelompok (clade) 2.1 (Eagles et al.,
2009). Penularan zoonosis ke manusia dilaporkan pertama kali di Provinsi
Jawa Barat pada Juli 2005. Status AI di negara-negara Asia Tenggara
dikelompokkan sebagai berikut (Association of Southeast Asia Nations, 2010):
Negara-negara dengan status AI bebas (Brunei Darussalam, Philipina dan
Singapura) – Mengingat negara-negara ini bebas, maka upaya utama
difokuskan kepada pencegahan terhadap masuknya penyakit dan kesiapsiagaan
untuk deteksi dini.Negara-negara dengan status AI bebas kembali (Malaysia
dan Thailand) – Ke-dua negara ini mengalami wabah AI sebelumnya,
kemudian berhasil memberantasnya dan setelah itu mendapatkan status bebas
kembali. Upaya utama difokuskan kepada penguatan strategi yang sudah
berhasil dilaksanakan. Kejadian wabah sebelumnya menjadi pembelajaran
berharga bagi ke-dua negara tersebut untuk memastikan bahwa status bebas
kembali dapat terus dipertahankan.
Negara-negara dengan status wabah sporadik (Kamboja, Laos dan
Myanmar) – Industri perunggasan di negara-negara ini kurang berkembang.
Wabah sporadik terjadi sebagai akibat kejadian berulang dari virus yang belum
berhasil dieliminasi sepenuhnya atau diintroduksi kembali melalui unggas
terinfeksi yang dilalu lintaskan antar negara. Penguatan kesehatan hewan untuk
deteksi dini dan respon adalah kunci utama dalam upaya pencegahan dan
investasi. Negara-negara dengan status AI persisten (Indonesia dan Vietnam) –
Penyakit AI menyebar secara meluas di ke-dua negara ini. Pengendalian dan
pemberantasan di Indonesia dan Vietnam menjadi tantangan besar dan
memerlukan waktu lebih lama. Jadi inisiatif harus dititikberatkan kepada
kemampuan regional untuk mengendalikan penyakit di ke-dua negara ini.
Epidemiologi H5N1 Pada kenyataannya virus H5N1 di Asia Tenggara
sejak kemunculannya pada akhir tahun 2003 memperlihatkan gambaran
epidemiologi penyakit baru yang berbeda dari kejadian sebelumnya (Eagles et
al., 2009). Pada akhir tahun 2000 atau awal tahun 2001 terjadi perluasan
bentangan induk semang dari virus H5N1 ke spesies itik yang mendorong
terjadinya perubahan genetik virus. Kadang-kadang menimbulkan gejala klinis
pada itik, akan tetapi seringkali tanpa gejala sama sekali. Hal ini menimbulkan
pemikiran bahwa itik merupakan faktor signifikan dalam penularan penyakit di
wilayah Asia Tenggara, terutama apabila dikaitkan dengan sistem
pemeliharaan itik berpindah (free-range) yang umum didapatkan di beberapa
negara (Martin et al., 2006; Sims and Brown, 2008; Sturm-Ramirez et al.,
2008).

Virus H5N1 keturunan (lineage) Asia muncul bersirkulasi pada


beberapa spesies unggas liar, suatu kejadian yang tidak umum untuk virus AI
(Morris and Jackson, 2005). Keterlibatan itik domestik dalam pengaturan ulang
gen (reassortment) virus-virus AI dan kesamaan filogenetik dengan spesies
unggas akuatik liar dianggap berkontribusi terhadap fenomena ini (Sims and
Brown, 2008). Pada kenyataannya terjadi perubahan penularan dari jalur
fecal/oral (alat pencernaan) ke jalur respiratori (alat pernafasan) pada unggas
dan sejumlah spesies unggas akuatik liar. Suatu penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan strain virus H5N1 menemukan bahwa pada itik mallards
muda dan bebek Peking, virus berada dalam konsentrasi yang lebih tinggi pada
trachea dibandingkan pada cloaca, baik unggas yang ditularkan melalui
inokulasi maupun kontak (Alexander, 2007; Sturm-Ramirez et al., 2005).

Seperti halnya dengan penyakit menular lain pada unggas, perkembangbiakan


virus yang terus berlanjut di wilayah Asia Tenggara ini disebabkan oleh
perdagangan dan pergerakan unggas hidup, sistem pemeliharaan itik
berpindah, pasar unggas hidup dan biosekuriti yang minimal pada sistem
produksi unggas semi-intensif (Gilbert et al., 2006; Martin et al., 2006; Sims
and Brown, 2008; Sturm-Ramirez et al., 2008).
Suatu penelitian melalui surveilans intensif yang dilaksanakan
berbulan-bulan oleh pemerintah Thailand pada akhir tahun 2004 berhasil
menunjukkan adanya suatu hubungan yang kuat antara penyebaran wabah AI
dengan itik pengembara atau berpindah-pindah. Faktor lain yang juga
dinyatakan berkaitan termasuk jumlah ayam kampung, jumlah ayam adu dan
kepadatan populasi manusia. Wabah juga umumnya lebih banyak terjadi di
daratan rendah dibandingkan dengan dataran yang berelevasi tinggi. Penelitian
di Vietnam juga menunjukkan hal yang sama, dimana wabah gelombang ke-
dua berkorelasi dengan jumlah itik yang ada di wilayah tersebut (Gilbert et al.,
2006).

Gambar 1: Distribusi spasial dari virus AI H5N1 yang terdata selama


tiga kali gelombang wabah di Thailand dan Vietnam (Gilbert et
al.,2008).
Meskipun wabah di Thailand dan Vietnam memiliki pola spasial yang
berbeda, akan tetapi suatu tingkat konsistensi tertentu ditemukan antar
gelombang wabah I, II dan III dan antar ke-dua negara tersebut dimana
keberadaan virus H5N1 berkorelasi secara statistik dengan faktor-faktor risiko
tertentu (lihat Gambar 1). Faktor-faktor yang memperlihatkan tingkat
konsistensi tertinggi adalah populasi manusia, intensitas tanaman padi dan
jumlah itik. Kesemuanya menunjukkan adanya korelasi yang signifikan dengan
keberadaan virus H5N1 di ke-dua negara tersebut (Gilbert et al., 2008).

Eagles D., Siregar E.S., Dung D.H., Weaver J., Wong F., and Daniels
P. (2009). H5N1 highly pathogenic avian influenza in Southeast Asia. Rev. sci.
tech. Off. Int. Epiz., 28(1): 341-348.

Sims L.D. and Brown I.H. (2008). Multicontinental epidemic of H5N1


HPAI virus (1996-2007). In: Avian Influenza (Swayne D., ed.). Blackwell, Iowa,
251-286.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Triad Epidemiologi Flu Burung

Agent Virus penyebab flu burung tergolong family


orthomyxoviridae2. Virus terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A,
B, dan C. Virus influenza A bisa terdapat pada unggas, manusia, babi, kuda,
dan kadang-kadang mamalia yang lain, misalnya cerpelai, anjing laut, dan ikan
paus. Namun, sebenarnya horpes alamiahnya adalah unggas liar. Sebaliknya,
virus influenza B dan C hanya ditemukan pada manusia1. Penyakit flu burung
yang disebut pula avian influenza disebabkan oleh virus influenza A2. Virus
ini merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas haemaglutinin (HA) dan
neurominidase (NA). Pembagian subtipe virus berdasarkan permukaan antigen,
permukaan hamagluinin, dan neurominidase yang dimilikinya.

Gambar 3. Agent penyakit flu burung (avian influenza virus)

a) Host sendiri merupakan adalah organisme tempat hidup agent tertentu yang
dalam suatu keadaan menimbulkan penyakit pada organisme tersebut. Jika
membicarakan masalah penyakit flu burung pada manusia maka host yang
dimaksud adalah manusia. Faktor intristik pada flu burung diantaranya
kekebalan tubuh (imunitas) dan pola pikir seseorang1. Flu burung
sebenarnya tidak mudah menular dari hewan yang telah terinfeksi, namun
jalan untuk penularan itu akan semakin mudah apabila seseorang itu berada
dalam kondisi yang lemah dan tidak memiliki system imun yang baik,
begitu pula dengan pola pikir orang yang masih tidak percaya dan terkesan
meremehkan bahaya penyakit ini.

Gambar 2. Host berupa hewan

Gambar 3. Host berupa manusia

b) Environment Faktor lingkungan ini dibagi menjadi tiga:

1) Lingkungan Biologis Faktor lingkungan biologis pada penyakit flu


burung yaitu agent. Agent merupakan sesuatu yang merupakan sumber
terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant influenza
(H5N1). Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan
mudah bermutasi. Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ
pernafasan dalam, hal itulah yang membuat angka kematian akibat
penyakiini sangat tinggi.
2) Lingkungan Fisik
Suhu Pada suhu lingkungan yang tidak optimal baik suhu yang
terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh terhadap daya
tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara tidak langsung
berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang.
Selain itu virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar
dapat bertahan hidup.
Musim Faktor musim pada penyakit flu burung terjadi karena
adanya faktor kebiasaan burung untuk bermigrasi ke daerah yang lebih
hangat pada saat musim dingin. Misalkan burung-burung yang tinggal
di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia dan Asia Tenggara
pada musim dingin, burung-burung yang telah terjangkit tersebut akan
berperan menularkan flu burung pada hewan yang tinggal di daerah
musim panas atau daerah tropis tempat burung tersebut migras.
Tempat tinggal Faktor tempat tinggal pada penyakit flu burung
misalnya apakah tempat tinggal seseorang dekat dengan peternakan
unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang yang sedang
menderita flu burung atau tidak.
3) Lingkungan sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi kebiasaan sosial, norma
serta hukum yang membuat seseorang berisiko untuk tertular penyakit.
Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang menggunakan daging
mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai
makanan tradisional. Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang
terbiasa mengonsumsi daging panggang yang setengah matang atau
bahkan hanya seper-empat matang. Selain itu juga pada tradisi sabung
ayam akan membuat risiko penyakit menular pada pemilik ayam
semakin besar.

Sumber :

Widoyono, 2005, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,


Dan Pemberantasannya), Erlangga; Jakarta 2.

Nurheti Yuliarti, 2006, Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung, Andi


Yogyakarta; Yogyakarta

C. TAHAP-TAHAP RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT FLU BURUNG

1) Tahap prepatogenesis
Fase rentan (pre-patogenesis) adalah tahap berlangsungnya proses
etiologis, dimana faktor penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu
dengan pejamu (Host). Faktor penyebab pertama ini belum menimbulkan
penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya
penyakit di kemudian hari. Faktor penyebab pertama ini disebut juga
faktor resiko karena kehadirannya meninggalkan kemungkinan terhadap
terjadinya penyakit sebelum fase ireverbilitas. Tahap rentan pada flu
burung adalah orang yang berada di daerah endemik. Pada tahap ini terjadi
penyebaran dan penularan virus tapi proses penyebarannya belum
dipahami secara menyeluruh. Bebek dan angsa merupakan pembawa
(carrier) virus influenza A subtipe H5 dan H7. Unggas air liar ini juga
menjadi reservoir alami untuk semua virus influenza. Diperkirakan
penyebaran virus flu burung karena adanya migrasi dari unggas liar
tersebut.

2) Tahap patogonesis
Tahap ini meliputi 4 sub tahap yaitu :
 Tahap inkubasi
 Pada Unggas : 1 minggu
 Pada Manusia : 1-3 hari , Masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari
sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari .
 Tahap Penyakit Dini Tahap ini melalui dengan munculnya gejala
penyakit yang kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi
masalah kesehatan.
 Demam (suhu badan diatas 38 °C)
 Batuk dan nyeri tenggorokan
 Radang saluran pernapasan atas
 Pneumonia
 Infeksi mata
 Nyeri otot.
 Tahap Penyakit Lanjut

Manusia yang tertular virus flu burung diketahui dengan


gejala-gejala umumnya orang terkena flu biasa seperti pilek, demam dengan
suhu badan tidak stabil, batuk, nyeri otot, sakit tenggorokan dan sesak napas.
Apabila keadaan memburuk bisa menimbulkan penyakit saluran pernapasan
akut sampai mengancam jiwa seseorang dan menyebabakan kematiaan.

3) Tahap pascatogenesis
Penanganan medis maupun pemberian obat dilakukan oleh petugas
medis yang berwenang. Obat-obatan yang biasa diberikan adalah penurun
panas dan anti virus. Di antara antivirus yang dapat digunakan adalah jenis
yang menghambat replikasi dari neuramidase (neuramidase inhibitor), antara
lain Oseltamivir (Tamiflu) dan Zanamivir. Masing-masing dari antivirus
tersebut memiliki efek samping dan perlu diberikan dalam waktu tertentu
sehingga diperlukan opini dokter.

Sumber :

Widoyono, 2005, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,


Dan Pemberantasannya), Erlangga; Jakarta

Nurheti Yuliarti, 2006, Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung, Andi


Yogyakarta; Yogyakarta

Soeyoko, Tinjauan Pustaka Flu Burung, Vol.1, No.1 Januari 2007 : 1-50,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/410715.pdf, di akses pada
tanggal 24 april 2017
D. Transisi Epidemiologi Penyakit Flu Burung
Variasi antigenik virus influenza sering ditemukan melalui drift dan
shift antigenik. Drift antigenik terjadi karena adanya perubahan struktur
antigenik yag bersifat minor pada permukaan antegen H dan atau N, sedangkan
shift antigenik terjadi karena adanya perubahan yang bersifat dominan pada
struktur antigenik. Pengaturan kembali struktur genetik virus pada unggas dan
manusia diperkirakan merupakan suatu sebab timbulnya strain baru virus pada
manusia yang bersifat pandemik (meluas ke berbagai negara). Dalam hal ini
virus pada unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus
influenza pada manusia dengan menyumbangkan gen pada virus galur
manusia.
Unggas yang menderita flu burung dapat mengeluarkan virus
berjumlah besar dalam kotoran (feses) maupun sekreta yang dikeluarkannya.
Menurut WHO, kontak unggas liar dengan ungas ternak menyebabkan
epidemik flu burung di kalangan uggas. Penularan penyakit terjadi melalui
udara dan eskret unggas yang terinfeksi. Virus flu burung mampu bertahan
hidup dalam air sampai 4 hari pada suhu 22 derajat celius dan lebih dari 30 hari
pada suhu 0 derajat celcius. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas
yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, namun akan mati pada pemanasan
60 detajat celcius selama 30 menit atau 90 derajat celcius selama 1 menit.

Mekanisme penulara flu burung pada manusia melalui beberapa cara:

1. virus unggas liar unggas domestik manusia manusia

2. virus unggas liar unggas domestik babi manusia

3. virus unggas liar unggas domestik babi manusia


Tabbu, Charles Rangga, 2000, Penyakit Ayam Dan Penanggulangannya,
Kanisius; Yogyakarta

Anonim, Key Facts About Avian Influenza (Bird Flu) And Highly Pathogenic
Avian Influenza A (H5N1) Virus,
Http://Www.Cdc.Gov/Flu/Avian/Gen-Info/Facts.Htm,di akses pada
tanggal 24 april 2017
E. Pencegahan Flu burung

Menurut Ririh (2006: 187-188) Tindakan pencegahan yang bisa kita lakukan
adalah:
1) Menjaga kebersihan diri sendiri antara lain mandi dan sering cuci tangan
dengan sabun, terutama yang sering bersentuhan dengan unggas.
2) Membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal kita.
3) Menggunakan Alat Pelindung Diri (masker, sepatu, kaca mata dan topi
serta sarung tangan) bagi yang biasa kontak dengan unggas.
4) Melepaskan sepatu, sandal atau alas kaki lainnya di luar rumah.
5) Bersihkan alat pelindung diri dengan de terjen dan air hangat, sedangkan
benda yang tidak bisa kita bersihkan dengan baik dapat dimusnahkan.
6) Memilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala flu burung) hindari
membeli unggas dari daerah yang diduga tertular flu burung.
7) Memilih daging unggas yang baik yaitu segar, kenyal (bila ditekan daging
akan kembali seperti semula), bersih tidak berlendir, berbau dan bebas
faeces dan kotoran unggas lainnya serta jauh dari lalat dan serangga
lainnya
8) Sebelum menyimpan telur unggas dicuci lebih dulu agar bebas dari faeces
dan kotoran unggas lainnya.
9) Memasak daging dan telur unggas hingga 70 ºC sedikitnya selama 1 menit.
Sejauh ini bukti ilmiah yang ada mengatakan aman mengkonsumsi unggas
dan produknya asal telah dimasak dengan baik.
10) Pola hidup sehat secara umum dapat mencegah flu seperti istirahat cukup
untuk menjaga daya tahan tubuh ditambah dengan makan dengan gizi
seimbang serta olah raga teratur dan jangan lupa komsumsi vitamin C.
11) Hindari kontak langsung dengan unggas yang kemungkinan terinfeksi flu
burung, dan laporkan pada petugas yang berwenang bila melihat gejala
klinis flu burung pada hewan piaraan.
12) Tutup hidung dan mulut bila terkena flu agar tidak menyebarkan virus.
13) Pasien influenza dianjurkan banyak istirahat, banyak minum dan makan
makanan bergizi.
14) Membawa hewan ke dokter hewan atau klinik hewan untuk memberikan
imunisasi.
15) Sering mencuci sangkar atau kurungan burung dengan desinfektan dan
menjemurnya dibawah sinar matahari, karena sinar ultra violet dapat
mematikan virus flu burung ini.
16) Apabila anda mengunjungi pasien flu burung, ikuti petunjuk dari petugas
rumah sakit untuk menggunakan pakaian pelindung (jas lab) masker,
sarung tangan dan pelindung mata. Pada waktu meninggalkan ruangan
pasien harus melepaskan semua alat pelindung diri dan mencuci tangan
dengan sabun.
17) Bila ada unggas yang mati mendadak dengan tanda –tanda seperti flu
burung harus dimusnahkan dengan cara dibakar dan dikubur sedalam 1
meter.

Ririh Y, Sudarmaji. 2006. Mengenal Flu Burung dan Bagimana Kita


Menyikapinya. Forum Penelitian, 1 (2): 183-196
Daftar Pustaka

Eagles D., Siregar E.S., Dung D.H., Weaver J., Wong F., and Daniels P.
(2009). H5N1 highly pathogenic avian influenza in Southeast Asia.
Rev. sci. tech. Off. Int. Epiz., 28(1): 341-348.

Sims L.D. and Brown I.H. (2008). Multicontinental epidemic of H5N1 HPAI
virus (1996-2007). In: Avian Influenza (Swayne D., ed.). Blackwell,
Iowa, 251-286.

Widoyono, 2005, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan


Pemberantasannya), Erlangga; Jakarta 2.

Nurheti Yuliarti, 2006, Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung, Andi


Yogyakarta; Yogyakarta

Widoyono, 2005, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan


Pemberantasannya), Erlangga; Jakarta

Nurheti Yuliarti, 2006, Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung, Andi


Yogyakarta; Yogyakarta

Soeyoko, Tinjauan Pustaka Flu Burung, Vol.1, No.1 Januari 2007 : 1-50,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/410715.pdf, di akses pada
tanggal 24 april 2017

Tabbu, Charles Rangga, 2000, Penyakit Ayam Dan Penanggulangannya,


Kanisius; Yogyakarta

Anonim, Key Facts About Avian Influenza (Bird Flu) And Highly Pathogenic
Avian Influenza A (H5N1) Virus,
Http://Www.Cdc.Gov/Flu/Avian/Gen-Info/Facts.Htm,di akses pada
tanggal 24 april 2017

Ririh Y, Sudarmaji. 2006. Mengenal Flu Burung dan Bagimana Kita


Menyikapinya. Forum Penelitian, 1 (2): 183-196

You might also like