Professional Documents
Culture Documents
LP Tumor Otak
LP Tumor Otak
A. DEFINISI
Tumor otak adalah lesi intrakranial yang menempati ruang dalam tulang tengkorak.
Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di
sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan
selaputnya dapat berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal
dari jaringan otak itu sendiri, disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ
lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostat, ginjal dan lain-lain, disebut tumor
otak sekunder.
B. ETIOLOGI
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti walaupun telah
banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu:
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali
pada meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-
anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat
dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor familial
yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat
untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan
yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan
merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada
kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu
glioma. Meningioma pernah dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara
infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini
telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone,
nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
6. Trauma Kepala
C. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan jenis tumor
a. Jinak
1) Acoustic neuroma
2) Meningioma
3) Pituitary adenoma
4) Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
1) Astrocytoma (grade 2,3,4)
2) Oligodendroglioma
3) Apendymoma
2. Berdasarkan lokasi
a. Tumor supratentorial
Hemisfer otak, terbagi lagi:
1) Glioma
a) Glioblastoma multiforme
b) Astroscytoma
c) Oligodendrogliom
2) Meningioma
Tumor ini umumnya berbentuk bulat atau oval dengan perlekatan
duramater yang lebar (broad base) berbatas tegas karena adanya
psedokapsul dari membran araknoid. Pada kompartemen supratentorium
tumbuh sekitar 90%, terletak dekat dengan tulang dan kadang disertai reaksi
tulang berupa hiperostosis. Karena merupakan massa ekstraaksial lokasi
meningioma disebut sesuai dengan tempat perlekatannya pada duramater,
seperti Falk (25%), Sphenoid ridge (20%), Konveksitas (20%), Olfactory
groove (10%), Tuberculum sellae (10%), Konveksitas serebellum (5%),
dan Cerebello-Pontine angle. Karena tumbuh lambat defisit neurologik
yang terjadi juga berkembang lambat (disebabkan oleh pendesakan struktur
otak di sekitar tumor atau letak timbulnya tumor). Pada meningioma
konveksitas 70% ada di regio frontalis dan asimptomatik sampai berukuran
besar sekali. Sedangkan di basis kranii sekitar sella turcika (tuberkulum
sellae, planum sphenoidalis, sisi medial sphenoid ridge) tumor akan segera
mendesak saraf optik dan menyebabkan gangguan visus yang progresif.
b. Tumor infratentorial
1) Schwanoma akustikus
2) Tumor metastasis
3) Meningioma
4) Hemangioblastoma
Klasifikasi Stadium
Klasifikasi lesi primer susunan saraf pusat dilakukan berdasarkan grading.
1. WHO grade I: tumor dengan potensi proliferasi rendah, kurabilitas pasca reseksi
cukup baik.
2. WHO grade II: tumor bersifat infiltratif , aktivitas mitosis rendah, namun sering
timbul rekurensi. Jenis tertentu cenderung untuk bersifat progresif ke arah derajat
keganasan yang lebih tinggi.
3. WHO grade III: gambaran aktivitas mitosis jelas, kemampuan infiltrasi tinggi, dan
terdapat anaplasia.
4. WHO grade IV: mitosis aktif, cenderung nekrosis, pada umumnya berhubungan
dengan progresivitas penyakit yang cepat pada pre/post operasi.
Pathway Tumor Otak
Etiologi
Pertumbuhan sel
otak abnormal
Tumor otak
E. DIAGNOSTIK
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu
makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda,
strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dan
sebagainya), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi
kognitif. Pemeriksaan status generalis dan status neurologis.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Terutama untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya
untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi).
Sebagai bahan pertimbangan untuk persiapan kemoterapi diusulkan
pemeriksaan:
1) Darah lengkap
2) Hemostasis
3) LDH
4) Fungsi hati, ginjal, gula darah
5) Elektrolit lengkap
3. Pemeriksaan Radiologik
a. CT Scan
b. MRI, MRS, DWI
c. SPECT CT
d. PET CT
F. PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
Operasi pada tumor otak dapat bertujuan untuk menegakkan
diagnosis yang tepat, menurunkan tekanan intrakranial, meningkatkan
kerja terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk
hamper seluruh jenis tumor otak yang operabel. Tumor otak yang terletak
jauh di dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali apabila
tindakan bedah tidak memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi
operasi rendah).
Steroptaktik biopsi dapat dikerjakan pada lesi yang letak dalam.
Pada glioma derajat rendah dilakukan reseksi tumor secara maksimal
dengan tujuan utama perbaikan gejala klinis. Pada pasien dengan total
reseksi dan subtotal reseksi tanpa gejala yang mengganggu, maka cukup
dilakukan follow up MRI setiap 3-6 bulan selama 5 tahun dan selanjutnya
setiap tahun. Bila operasi tetap menimbulkan gejala yang tidak dapat
dikontrol dengan obat simtomatik, maka radioterapi dan kemoterapi
merupakan pilihan selanjutnya. Pada glioma derajat tinggi maka operasi
dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi.
2. Radioterapi
Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis tumor
otak. Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel,
sebagai adjuvant pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang
sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya teknik
radioterapi yang dipakai adalah 3D conformal radiotherapy, namun
teknik lain dapat juga digunakan untuk pasien tertentu seperti stereotactic
radiosurgery / radiotherapy, dan IMRT.
Pada glioma derajat rendah, gambaran volume tumor sebaiknya
dilihat melalui pre dan pasca operasi dengan MRI sebagai modalitas.
CTV meliputi GTV + 1-2 cm dan mendapatkan dosis total 45 – 54 Gy
dengan dosis per fraksi sebesar 1.8 – 2.0 Gy. PTV meliputi CTV + 0.5
cm sebagai perkiraan dari mobilitas massa tumor dan pasien selama
radiasi.
Pada glioma derajat tinggi modalitas dan penentuan GTV, CTV dan
PTV sama dengan glioma derajat rendah namun dosis total yang
diberikan lebih besar yaitu 54 – 60 Gy, dan dapat digunakan teknik
shrinking field.
3. Kemoterapi
Kemoterapi pada kasus tumor otak saat ini sudah banyak
digunakan karena diketahui dapat memperpanjang survival rate dari
pasien terutama pada kasus oligodendroglioma. Glioblastoma
merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini
sedang berkembang penelitian mengenai kegunaan temozolomide dan
nimotuzumab pada glioblastoma.
Sebelum menggunakan agen-agen diatas, sebaiknya diperiksakan:
a. EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor).
b. MGMT (Methyl Guanine Methyl Transferase).
Kemoterapi pada tumor otak tidak bersifat kuratif, tujuan
utama dari kemoterapi adalah untuk menghambat pertumbuhan
tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien
selama mungkin.
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, penghasilan,
alamat, penanggung jawab, dan lain-lain.
b. Riwayat kesehatan:
1) Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan sekarang
3) Riwayat kesehatan lalu
4) Riwayat kesehatan keluarga
c. Pemeriksaan fisik:
1) Saraf: kejang, tingkah laku aneh, disorientasi, afasia,
penurunan/kehilangan memori, afek tidak sesuai.
2) Penglihatan: penurunan lapang pandang, penglihatan kabur.
3) Pendegaran: tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi.
4) Jantung: bradikardi, hipertensi.
5) Sistem pernafasan: irama nafas meningkat, dispnea, potensial
obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler.
6) Sistem hormonal: amenorea, rambut rontok, diabetes melitus.
7) Motorik: hiperekstensi, kelemahan sendi.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas
b. Perubahan perfusi jaringan serebral
c. Nyeri akut
d. Resiko ketidakseimbangan elektrolit
e. Risiko cidera
3. Rencana Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas
NOC:
Respiratory Status: Ventilation
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. x …. menit
pasien akan:
1) Melaporkan kenyamanan dalam bernafas (pasien tidak merasa
sesak)
2) Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi
Airway Management
1) Monitor status respirasi (kecepatan, kedalaman, dan kemudahan
pasien dalam bernafas).
2) Kaji faktor yang menyebabkan dispnea apakah fisiologis atau
psikologis.
3) Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi
duduk dengan meninggikan kepala 60-90o.
4) Catat adanya penggunaan otot-otot bantu nafas.
5) Auskultasi suara nafas, catat penurunan dan hilangnya suara
nafas.
6) Monitor saturasi oksigen secara berkala dengan pulse oksimetri.
Catat hasil analisa gas darah jika memungkinkan.
7) Observasi warna lidah, mukosa mulut, dan kulit dari tanda-tanda
sianosis.
8) Kolaborasi pemberian terapi oksigen.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral
Tujuan: gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang
Tindakan:
1) Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu,
yang dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial
peningkatan TIK.
2) Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai
standar.
3) Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana.
4) Pantau tekanan darah.
5) Evaluasi: pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman
penglihatan dan penglihatan kabur.
6) Pantau suhu lingkungan.
7) Pantau intake, output, turgor kulit.
8) Perhatikan adanya gelisah meningkat, atau tingkah laku yang
tidak sesuai.
c. Nyeri akut
NOC:
Pain Control
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. x ….
diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil:
1) Penurunan perilaku yang berhubungan dengan nyeri.
2) Menggunakan penilaian klinis untuk menilai efektivitas
intervensi jika pasien tidak mampu menunjukkan perilaku.
3) Menunjukkan tidak adanya efek samping yang diinduksi oleh
penggunaan analgesik opioid atau nonopioid.
Pain Management
1) Kaji tingkat nyeri pada pasien dengan menggunakan alat self-
report pasien yang valid dan reliable, seperti skala tingkat nyeri
numerik 0-10.
2) Jika pasien tidak dapat menggunakan alat self-report:
pertimbangkan kondisi pasien dan cari penyebab
memungkinkan dari nyeri (misalnya adanya kerusakan jaringan,
kondisi patologis, atau terpapar dengan tindakan atau prosedur
yang biasanya menyebabkan nyeri), observasi tingkah laku
pasien yang mengindikasikan adanya nyeri (misalnya ekspresi
wajah, menangis, gelisah, atau perubahan perilaku), evaluasi
indikator fisiologis, dengan pemahaman bahwa ini adalah
indikator paling sensitif dari nyeri dan mungkin berhubungan
dengan kondisi lain nyeri (misalnya syok hipovolemik,
ansietas), dan lakukan uji coba analgesik.
3) Kaji nyeri pasien secara rutin dengan interval waktu yang
konsisten bersama dengan pengukuran vital sign.
4) Sebagai tambahan pemberian analgesik, dukung klien untuk
menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu
mengontrol nyeri, seperti distraksi, imagery, relaksasi.
5) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai tipe dan beratnya nyeri.
6) Kolaborasi manajemen nyeri akut dengan pendekatan
multimodal.
7) Kolaborasi pemberian analgesik opioid sesuai indikasi,
khususnya pada nyeri dengan tingkat sedang sampai berat.
8) Hindari pemberian pengobatan nyeri secara intramuskular.
9) Kaji tingkat nyeri, tingkat sedasi, dan status respirasi secara
rutin dengan interval waktu yang konsisten selama
menggunakan manajemen nyeri dengan analgesik opioid. Kaji
tingkat sedasi dan status pernafasan minimal setiap 1-2 jam
pertama pemberian terapi analgesik opioid, kemudian setiap 4
jam sekali jika status respirasi stabil tanda adanya episode
hipoventilasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ackley BJ & Ladwig GB. Nursing diagnosis handbook ninth edition: an evidence-
based guide to planning care. Mosby Elsevier, 2011.
Brunner & Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 volume 3.
Jakarta: EGC, 2002.