You are on page 1of 30

LAPORAN AKHIR

KIMIA BAHAN ALAM II

Kelompok V
Nurmaida (1501033)
Putri Lestari (1501036)
Riska Wahyuni (1501041)
Vany Rahmayani S (1501048)
Widianri Ramandhani (1501050)
Yelly Hidayani (1501053)
Yoni Ardiana Edra (1501056)
Alisa Otilia Pakpahan (1501058)

Dosen :
Dr. Emrizal, M.si. Apt

Asisten Dosen :
Agin Dhelthia Sautaki
Era Fazira S. Farm
Eka Saputri S. Farm
Rizky Reza Septiani S. Farm

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
Januari 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanyalah bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan Laporan Akhir Kimia Bahan Alam II.
Kami menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi penyampaian
yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk sempurnanya makalah ini,
sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang dengan
cepat.

Pekanbaru, 03 Januari 2018

PENULIS

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUA PUSTAKA .................................................................................................. 3
2.1. Uraian Bahan ....................................................................................................................... 3
2.2. Ekstraksi ................................................................................................................................ 3
2.3. Fraksinasi .............................................................................................................................. 6
2.4. Kromatografi Lapis Tipis ...................................................................................................... 7
2.5. Kromatografi Kolom ............................................................................................................. 8
BAB III PELAKSANAAN PRATIKUM ................................................................................. 15
3.1 Alat dan Bahan ...................................................................................................................... 15
3.2 Cara Kerja ............................................................................................................................. 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 21
4.1 Hasil ...................................................................................................................................... 15
4.2 Pembahasan........................................................................................................................... 15
BAB V PENUTUP...................................................................................................................... 21
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 15
5.2 Saran ..................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 22
LAMPIRAN................................................................................................................................ 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kimia Bahan Alam (KBA) mengkaji jenis, distribusi, dan fungsi senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam suatu organisme, sehingga KBA sangat terkait dengan
industri pembuatan obat-obatan, kosmetik, dan pestisida. Indonesia sebagai salah satu negara
yang beriklim tropis, memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat banyak. Indonesia
memiliki 25.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi dan 40 % diantaranya merupakan tumbuhan
endemik Indonesia. Akan tetapi, hanya 0,4% dari tumbuhan tersebut yang telah dikaji
kandungan kimianya (Ersam, 2004), sehingga belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Mahasiswa dapat menggunakan berbagai spesies tumbuhan yang mengandung senyawa
mayor untuk kegiatan praktikum isolasi metabolit sekunder. Pengalaman praktikum tersebut,
nantinya akan dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk melakukan isolasi metabolit sekunder
pada spesies tumbuhan lain yang belum pernah dilaporkan kandungan kimianya.
Proses metabolisme terdiri atas metabolisme primer dan metabolisme sekunder.
Metabolisme primer melewati jalur utama, sedangkan metabolisme sekunder merupakan
terminal-terminal pada cabang-cabang jalur utama tersebut (Sudibyo, 2002). Karbohidrat,
protein, dan lemak merupakan penyusun utama dari makhluk hidup dan terbentuk dari hasil
metabolisme primer, sehingga disebut metabolit primer. Keseluruhan proses sintesis dan
perombakan metabolit primer yang dilakukan oleh organisme untuk kelangsungan hidupnya,
disebut proses metabolisme primer.
Produk-produk metabolisme lainnya, seperti terpenoid, steroid, poliketida, fenil
propanoid, flavonoid, dan alkaloid bukan merupakan produk esensial bagi ekstistensi dari
suatu organisme, karenanya disebut metabolit sekunder (Komatsu, et al., 2013). Metabolit
sekunder sangat berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan
menghadapi spesies lain atau faktor lingkungan lainnya (Komatsu, et al., 2013).

1.2 Tujuan
 Mengisolasi senyawa aktif cubebin dari Piper Cubeba L.f
 Mengisolasi senyawa aktif dari Myristica fragrans
 Mengetahui dan memahami cara isolasi senyawa aktif cubebin dari Piper Cubeba
L.f
 Mengetahui dan memahami cara isolasi senyawa aktif dari Myristica fragrans

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Sampel


1. Kemukus (Piper Cubeba L.f)
a. Klasifikasi Tanaman

b. Nama daerah
Sumatera : Kemukus, Temukus (Melayu), Kemekuh (Simalur)
Jawa : Rinu (Sunda), Kemukus (Jawa), Kamokos (Madura)
Sulawesi : Pamakusu (Makasar)
c. Deskripsi Tanaman
Kemukus atau Piper cubeba L.f merupakan tanaman semak berkayu,
memanjat, panjangnya mencapai 15 m. batang bulat, pemanjat dengan akar
pelekat, gundul, buku tanaman membesar. (Backer & van den Brink, 1965)
Daun tunggal, letak berseling bertangkai, helaian bentuk bulat telur atau bulat
telur memanjang, panjang 8-15 cm, lebar 2,5-9 cm, pangkal berbentuk jantung atau
membulat, ujung meruncing pendek, seperti kulit, permukaan bawah gundul atau
berambut jarang, permukaan bawah dengan kelenjar-kelenjar yang tampak jernih
dan rapat, tangkai daun 0,5-2 cm, panjang untai 3-10 cm, daun pelindung
permukaan atas berambut halus, berumah satu. Daun pelindung bulir jantan bulat
memanjang atau bulat telur terbalik, panjang 1,5-2 cm., lebar 0,75-1 cm, benang
sari 3. Daun pelindung bulir betina bulat memanjang, ukuran panjang 4-5 m, lebar
1-3 mm, bulir agak melengkung ke atas. (Backer & van den Brink, 1965)
Ibu tangkai bulir tidak berambut, kepala putik 3-5. Tipe buah batu, keras,
ukuran 3-15 mm, berkerut dengan sekat yang jelas, pangkal membulat, berwarna

2
jingga tua, diameter buah 6-8 mm. Buah bulat, berusuk, biji kecil, berwarna hitam.
Berbunga dan berbuah sepanjang tahun (Backer & van den Brink, 1965)
d. Kandungan Kimia
Buah dan bunga kemukus mengandung saponin, flavonoid, dan minyak atsiri
(Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). Buahnya mengandung minyak atsiri sebanyak
6-11% yang terdiri atas kadinen, sineol, d-4 karen, kadinol, d-sabinen, pinen,
kamfor, azulen, terpineol, serta turunan seskuiterpen.
Buah kemukus juga mengandung senyawa lignan dan neolignan. Senyawa
lignan dalam buah kemukus terdiri dari kubebininolida (1), kubebinon (2), yatein
(3), thujaplikatin trimetileter (4), kubebinin (5), klusin (6), 5-metoksiklusin (7),
kubebin (8), hinokinin (9), isoyatein (10), 5'-metoksihinokinin (11), 2-(3'',4''-
metilendioksi-benzil)-3-(3',4' dimetoksibenzil) butirolakton (12), askantin (13),
sesamin (14), dihidrokubebin (17), hemiarensin (18), dihidroklusin (19), β-
Oetilkubebin (20), α-O-etilkubebin (21), heterotropan (22), magnosalin (23), 4-
hidroksikubebinon (24) (Elfahmi, 2006), sedangkan senyawa neolignan dalam
buah kemukus antara lain kadsurin A (15), piperenon (16) (Elfahmi, 2006),
magnosalin, dan heterotropan (Badheka et al., 1978). Selain itu, dalam buah
kemukus juga terkandung damar 2,5-3,5%, asam kubebat 1%, piperin 0,1-0,4%,
gom, pati, dan minyak lemak. (Sudarsono et al., 1996).

e. Khasiat dan Penggunaan


Buah kemukus dikenal sebagai karminatif, diuretik, ekspektoran, stimulan,
antiasma, irritan, sedatif, antidisentri, dan antiseptik (Lim, 2012). Buah kemukus

3
digunakan untuk peluruh air liur dan antiemetik (Anonim, 1985). Buah kemukus
juga dapat menstimulasi selaput lendir sehingga dapat digunakan dalam
pengobatan bronkitis.
Buah kemukus digunakan dalam bentuk serbuk sebagai campuran rokok untuk
asma, minyaknya digunakan dalam pengobatan kencing nanah dan antiseptik
(Claus, 1961; Sudarsono et al., 1996). Bahan ini juga sering digunakan sebagai
obat sesak nafas, penghangat badan, dan penghilang bau mulut (Syamsuhidayat &
Hutapea, 1991). Di India buah kemukus digunakan sebagai obat kumur dan buah
keringnya digunkan untuk mengatasi penyakit gigi dan mulut serta sebagai obat
disentri (Lim, 2012). Di Indocina, buah kemukus digunakan sebagai obat
penambah nafsu makan, pencernaan, dan sekresi, sedangkan di Eropa digunakan
sebagai obat gonorrhea (Aliadi, 1996).

2. Pala (Myristica fragrans)


a. Klasifikasi Tanaman

Berikut sistematika tumbuhan pala, menurut Hasanah, 2011


Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophya
Sub-Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyletydoneae
Ordo : Magnoliales
Famili : Myrtaceae
Genus : Myristica
Species : Myristica fragrans
b. Morfologi Tumbuhan
Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh
baik didaerah tropis. Tanaman ini termasuk dalam Familia Myristicaceae, yang
mempunnyai sekitar 200 spesies. Tanaman ini jika pertumbuhannya baik dan

4
tumbuh di lingkungan terbuka, tajuknya akan rindang dan ketinggiannya dapat
mencapai 15 - 18 meter. Tajuk pohon ini bentuknya meruncing ke atas dan puncak
tajuknya tumpul (Sunanto, 1993).
Daun pala berbentuk bulat telur, pangkal dan pucuknya meruncing. Warna
bagian bawah hijau kebiru-biruan muda. Bagian atsanya hijau tua. Jangka waktu
pertumbuhan buah dari mulai persarian hingga masa petik tidak boleh lebih dari 9
bulan. Buah berbentuk bulat, lebar, ujungnya meruncing. Kulitnya licin, berwarna
kuning, berdaging, dan cukup banyak mengandung air. Bijinya tunggal, berkeping
dua, dilindungi oleh tempurung, walaupun tidak tebal namun cukup keras. Bentuk
bijinya bulat telur lonjong, bila sudah tua warnanya coklat tua (Rismunandar,
1992).
c. Kandungan Kimia
Buah pala mengandung senyawa-senyawa kimia yang bermanfaat untuk
kesehatan. Kulit dan daging buah pala mengandung minyak atsiri dan zat samak.
Sedangkan fuli atau bunga pala mengandung minyak atsiri, zat samak dan zat pati.
Sedangkan dari bijinya sangat tinggi kandungan minyak atsiri, saponin, elemisi,
enzim lipase, pektin, lemonena dan asam oleanolat. Biji pala juga mengandung
minyak menguap (miristin, pinen, kamfen, dipenten, safrol, eugenol, iso eugenol
dan alcohol), gliserida (asam miristinat, asam oleat, borneol dan giraniol),
protein,lemak, pati dan gula, vitamin A, B1 dan C. Minyak tetap mengandung
trimyristin.
Biji pala dikenal sebagai Myristicae Semen yang mengandung biji Myristica
fragrans dengan lapisan kapur, setelah fulinya disingkirkan. Bijinya mengandung
minyak terbang, dan memiliki wangi dan rasa aromatis yang agak pahit. Sebanyak
8 - 17% minyak terbang yang ditawarkan merupakan bahan yang terpenting pada
fuli.
Menurut Albert Y.Leung dalam Rismunandar (1990), komposisi kimia biji pala
sebagai berikut:
 Minyak atsiri 2 – 16 % rata – rata 10 %
 Fixed oil (minyak kental) 25 – 40 %, terdiri dari beberapa jenis asam
organic misalnya asam palmetic, stearic dan myristic.
 Karbohidrat ± 30 %. Dan Protein ± 6 % .
 Minyak pala mengandung 88% monoterpen hidrokarbon .

5
 Miristisin ± 4 – 8%, dan lain – lain termasuk jenis alcohol misalnya
eugenol, methyleugenol.
 Biji pala dan fuli mengandung zat –zat antioksidan.
d. Khasiat dan Penggunaan
Selain sebagai rempah-rempah, pala juga berfungsi sebagai tanaman penghasil
minyak atsiri yang banyak digunakan dalam industri pengalengan, minuman dan
kosmetik. Khasiat dari pala diantaranya adalah :
 Pereda sakit perut
Buah pala ternyata sejak zaman dulu dikenal sebagai obat alami untuk
mengatasi gangguan pencernaan, diare, dan kembung. Minyak esensial dan zat
kimiawi alami lainnya yang ada di dalam buah ini membantu kelancaran
saluran pencernaan. Untuk membantu masalah pencernaan, taburkan sedikit,
tak lebih dari setengah sendok teh dalam semangkuk oatmeal sarapan setiap
hari selama 2 minggu.
 Membantu tidur
Jika Anda memiliki masalah untuk tidur, tuangkan segelas susu hangat dan
sedikit pala bubuk. Susu mengandung tryptophan, asam amino yang berubah
menjadi serotonin dalam tubuh, sementara buah pala membantu serotonin
bertahan lebih lama, begitu penjelasan dari Michael Murray, ND, pengarang
The Encyclopedia of Healing Foods.
 Pereda sakit gigi
Bagi yang pernah merasakan sakit gigi, pasti pernah merasakan obat yang
dioleskan dokter pada gigi. Rasanya pedas seperti pala. Ya, karena buah pala
memang sudah sejak lama digunakan untuk meredakan sakit gigi dan gusi
meradang. "Coba pijatkan satu-dua tetes minyak pala pada gusi jika terasa
sakit atau meradang," saran Sara Snow, pengarang Sara Snow's Fresh Living.
Tambahannya, zat dalam minyak pala membantu memerangi bakteri dalam
mulut yang bisa menyebabkan gigi berlubang.

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehinggga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri,

6
alkaloida, falvonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung
simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM,
2000).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati
atau hewani menurut cara yang cocok. diluar pengaruh matahari langsung (Ditjen POM,
1979). Metode Ekstraksi Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia yang paling sederhana, menggunakan
pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan
(kamar) (Ditjen POM, 2000). Maserasi digunakan untuk nenyari zat aktit yang mudah
larut dalam cairan penyari, tidak mengandung stirak, benzoin dan lain-lain. Maserasi
pada umumnya dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dalam
75 bagian cairan penyari (pelarut) (Ditjen POM, 1986).

b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan dengan mengalirkan pelarut melalui
serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan dan
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

7
c. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Umumnya dilakukan pengulangan pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga
dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

d. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga teijadi ekstraksi yang berkelanjutan dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

e. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50°C. 6. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada
temperatur pemanasan air (bejana infus tercelup dalam air penangas air mendidih),
temperatur terukur (96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
f. Dekokta
Dekokta adalah infus pada waktu yang lebih lama dengan temperatur titik didih
air.

8
g. Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar
atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial. Senyawa
menguap akan terikut dengan fase uap air dari ketel secara kontinu dan diakhiri
dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguap ikut
terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah
sempurna atau memisah sebagian (Ditjen POM, 2000).

2.3 Fraksinasi
Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan senyawa – senyawa berdasarkan tingkat
kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda – beda
tergantung pada jenis tumbuhan. Pada prakteknya dalam melakukan fraksinasi digunakan dua
metode yaitu dengan menggunakan corong pisah dan kromatografi kolom.
Corong pemisah atau corong pisah adalah peralatan laboratorium yang digunakan
dalam ekstraksi cair-cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran
antara dua fase pelarut dengan densitas berbeda yang takcampur. Umumnya salah satu fase
berupa larutan air dan yang lainnya berupa pelarut organik lipofilik
seperti eter, MTBE, diklorometana, kloroform, atau pun etil asetat. Kebanyakan pelarut
organik berada di atas fase air keculai pelarut yang memiliki atom dari unsur halogen.
Macam – macam proses fraksinasi:
 Proses Fraksinasi Kering (Winterization)
Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada berat
molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah dibandingkan
dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian fraksinasinya rendah.
 Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)
Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat
pembasah (Wetting Agent) atau disebut juga proses Hydrophilization atau

9
detergent proses. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi
kering.

 Proses Fraksinasi dengan menggunakan Solvent (pelarut)/ Solvent Fractionation


Ini adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan pelarut. Dimana pelarut
yang digunakan adalah aseton. Proses fraksinasi ini lebih mahal dibandingkan
dengan proses fraksinasi lainnya karena menggunakan bahan pelarut.
 Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (Fractional Condentation)
Proses fraksinasi ini merupakan suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada
titik didih dari suatu zat / bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan
kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini membutuhkan biaya yang
cukup tinggi namun proses produksi lebih cepat dan kemurniannya lebih tinggi.

2.4 Kromatografi Lapis Tipis


a. Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi
diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu
diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya
zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya pembedaan dalam
adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion.
Atau secara sederhana kromatografi biasanya juga di artikan sebagai teknik pemisahan
campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium
tertentu.
Kromatografi di gunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi
komponen-komponen. Seluruh bentuk kromatografi bekerja berdasarkan prinsip ini.
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang
ingin di deteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran. Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisika-kimia
dengan fase gerak (larutan pengembang yang cocok), dan fase diam (bahan berbutir)
yang diletakkan pada penyangga berupa plat gelas atau lapisan yang cocok.
Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) lalu hasil
pengembangan di deteksi. Zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase diam
akan cenderung tertahan dan nilai Rf-nya paling kecil. Kromatografi lapis tipis

10
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi
atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang. Pada identifikasi
noda atau penampakan noda, jika noda sudah berwarna dapat langsung diperiksa dan
ditentukan harga Rf
Rf merupakan nilai dari Jarak relative pada pelarut. Harga Rf dihitung sebagai
jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak tempuh oleh eluen (fase
gerak) untuk setiap senyawa. Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen
dalam fase diam. Karena itu Rf juga disebut factor referensi.
b. Prinsip Kerja KLT
Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan
kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak, dimana ada interaksi antara
permukaan fase diam dengan gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi
yang telah berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran
molekul. Pada kromatografi lapis tipis, eluent adalah fase gerak yang berperan penting
pada proses elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fase diam (adsorbent).
Interaksi antara adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan
komponen. Oleh sebab itu pemisahan komponen secara kromatografi dipengaruhi oleh
laju alir eluent dan jumlah umpan. Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan
teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini
yang banyak digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika.
Suatu pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang tak polar
dari ikatannya dengan alumina (gel silika). Semakin dekat kepolaran antara senyawa
dengan eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Hal ini
berdasarkan prinsip “like dissolved like”.
c. Fase Diam dan Fase Gerak KLT
Pada kromatografi, komponen-komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran
sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang
mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah
larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat. Semua kromatografi memiliki fase
diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa
cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-

11
komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda
bergerak pada laju yang berbeda.

 Fase Diam
Pelaksanaan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika
gel atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau
plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam
untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana
dapat berpendar flour dalam sinar ultra violet. Fase diam lainnya yang biasa
digunakan adalah alumina-aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan
juga memiliki gugus -OH.
 Fase Gerak
Dalam kromatografi, eluent adalah fase gerak yang berperan penting pada
proses elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fase diam (adsorbent).
Interaksi antara adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya
pemisahan komponen. Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan
teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam
hal ini yang banyak digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah lapis
tipis silika. Penggolongan ini dikenal sebagai deret eluotropik pelarut. Suatu
pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak
polar dari ikatannya dengan alumina (gel silika).

2.5 Kromatografi Kolom


a. Pengertian Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal yang
pertamakali di lakukan oleh D.T.Davy yaitu untuk membedakan komposisi minyak
bumi. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan kromatografi
serapan atau adsorbsi. Kromatografi kolom digolongkan kedalam kromatografi cair –
padat (KCP) kolom terbuka. Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan

12
pada adsorpsi komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap
permukaan fase diam. Kromatografi kolom adsorpsi termasuk pada cara pemisahan
cair-padat. Substrat padat (adsorben) bertindak sebagai fase diam yang sifatnya tidak
larut dalam fase cair. Fase bergeraknya adalah cairan (pelarut) yang mengalir
membawa komponen campuran sepanjang kolom.
Prinsip yang mendasari kromatografi kolom adsorpsi ialah bahwa komponen –
komponen dalam zat contoh yang harus diperiksa mempunyai afinitas yang berbeda-
beda terhadap adsorben dalam kolom. Apabila kita mengalirkan cairan ( elutor ) secara
kontinyu melalui kolom yang berisi zat contoh yang telah diadsorpsikan oleh penyarat
kolom, maka yang pertama – tama dihanyutkan elutor ialah komponen yang paling
lemah terikat kepada adsorben. Komponen –komponen lainnya akan dihanyutkan
menurut urutan afinitasnya terhadap adsorben, sehingga terjadi pemisahan daripada
komponen – komponen tersebut.
Pemisahan tergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antarmuka
di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen
pada fase bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi
kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses
diamis. Keduanya secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan
masuk kembali pada fase bergerak. Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk
berpindah oleh aliran fase bergerak yang ditambahkan secara kontinyu. Akibatnya
hanya komponen yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara
selektif tertahan. Komponen dengan afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat
mengikuti aliran pelarut.
b. Persyaratan Kolom
Pola kecepatan arus elutor pada tiap irisan kolom yang dipilih di sembarang tempat
suddah tentu sedapat mungkin harus sama. Keseragaman ini dapat dicapai dengan
memilih adsorben yang ukuran butir – butirnya sama ( diayak ) dan dengan cara
penyaratan yang baik. Makin kecil ukuran butir adsorben, makin cepat keseimbangan
adsorpsi akan tercapai, dan makin besar pula kecepatan elusi yang boleh dipergunakan.
Tetapi dilain pihak, makin kecil butir adsorben, makin besar hambatan bagi cairan
yang harus mengalir melalui kolom. Apabila kecepatan lintas bagi cairan elutor terlalu
kecil, dapat dipergunakan pompa vakum yang menimbulkan tekanan rendah dalam
ruang di bawah kolom sehingga cairan dapat mengalir lebih cepat melalui kolom. Cara

13
yang lain ialah menambahkan tekanan dalam ruang di atas kolom dengan
menggunakan pompa pneumatic.
c. Bentuk Kolom
Penempatan adsorben dalam kolom secara uniform betul sangat sukar
dilaksanakan. Sebagai akibatnya, zona – zona komponen yang dipisahkan menjadi
kurang teratur bentuknya. Bagi kolom yang lebar hal ini dapat menyebabkan
pembauran. Tetapi bagi kolom kecil bahaya ini seberapa besar. Namun di lain pihak,
kolom yang lebar dan pendek itu lebih memudahkan dalam pemakaiannya. Oleh
karena itu, tinggi kebanyakan kolom ialah ± 20 kali diameternya. Di bawah tabung
yang umumnya terbuat dari gelas terdapat lempengan meduk yang terbuat dari
porselen atau dari serbuk gelas yang dipanaskan hingga melengket jadi satu.
Lempengan yang berbentuk cakram ini bergawai sebagai penahan fasa yang stasioner.
Di bagian tabung yang paling bawah terdapat kapiler penyulur dilengkapi dengan
pancur. Kapiler beserta pancur dirakitkan dengan kolom memakai suku asah sehingga
mudah dilepaskan guna membersihkan kolom dan untuk meniup kolom sehingga
menjadi bersih dari cairan. Ruang antara pancur dan cakram penyaring harus sekecil
mungkin supaya tidak terjadi pembauran antara cairan – cairan yang keluar dari kolom.
d. Kecepatan Arus
Semakin rendah kecepatan arus cairan, semakin baik akibatnya bagi tercapainya
keseimbangan adsorpsi dan akan semakin baik pula pemisahannya. Bentuk zona pun
menjadi lebih teratur. Tetapi kecepatan arus yang terlalu rendah dapat menimbulkan
efek difusi axial dalam fasa mobil yang harus dihindarkan sejauh mungkin. Jadi dapat
dikatakan bahwa pemisahan yang terbaik dapat dicapai dengan mempergunakan kolom
yang panjang dan sempit, diisi dengan adsorben yang berbutir halus, dan arus yang
lambat. Elusi dapat dimulai apabila campuran yang harus dipisahkan sudah dimasukan
dalam kolom. Elusi ini dilakukan dengan memasukan cairan elutor berenyai – renyai
melalui kolom dan harus dijaga supaya arusnya tidak berhenti. Komponen – komponen
yang telah diadsorpsikan oleh adsorben akan bergerak dalam bentuk gelang – gelang
atau zona dengan kecepatan yang berbeda – beda melalui kolom dan ditampung di
bawah kolom secara terpisah memakai beberapa tabung yang dibubuhi tanda – tanda.
Tabung – tabung ini ditempatkan dalam sebuah fraksikolektor. Setelah itu fraksi –
fraksi yang diperoleh mulai dapat diselidiki.

14
15
BAB III
PELAKSANAAN PRATIKUM

3.1 Alat dan Bahan


a. Alat
Seperangkat alat maserasi
Corong
Erlenmeyer
Gelas ukur
Pisau, blender
Seperangkat alat refluks
Timbangan analitik
Botol
Beaker glass
Corong pisah
Statif dan klem
Chamber
Plat KLT
Pipet kapiler
Spatel
Kolom kromatografi
Lumpang dan Stanfer
Vial
Kertas saring
Aluminium Foil
b. Bahan
Biji Pala (Myristica fragrans)
Kemukus (Piper Cubeba)
Metanol
Aquadest
n-heksan
Etil Asetat
Silika Gel

16
3.2 Cara Kerja
Penyiapan Bahan
a. Siapkan masing-masing 300 gram buah kemukus dan biji pala
b. Masing-masing haluskan buah kemukus dan biji pala dengan blender.
1. Maserasi
a. Siapkan biji pala yang sudah kering dan yang telah dihaluskan.
b. Timbang 300 gram.
c. Rendam sampel dengan methanol sampai semua sampel terendam sempurna
didalam botol bewarna gelap.
d. Biarkan sampel terendam selama 3 hari. Tiap hari digoncang-goncang
botolnya. Tujuannya untuk menghomogenkan atau supaya pelarut terlarut
sempurna dengan sampel.
e. Setelah 3 hari saring dan pisahkan pelarut dari sampel yang direndam,
masukkan kedalam botol gelap lain. Sisa sampel tadi direndam lagi dengan
pelarut sampai 3 hari berikutnya. Sama dengan cara yang sebelumnya.
2. Refluks
a. Siapkan buah kemukus yang telah dihaluskan.
b. Timbang 300 gram
c. Masukkan sampel kedalam labu alas bulat, lalu tambahkan methanol
secukupnya.
d. Pasang sedemikian rupa alat refluks.
e. Lalu ekstraksi buah kemukus dengan metode refluks selama 30 menit.
f. Setelah 30 menit matikan alat dan saring ektraks methanolnya.
3. Pemekatan
a. Ekstrak yang sudah didapat dari maserasi (ektrak pala) dan refluks (ektrak
kemukus) disiapkan.
b. Timbang wadah kosong yang akan digunakan untuk meletakkan ekstrak yang
akan dikentalkan.
c. Ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam labu rotary maksimal 2/3 bagian,
kemudian pasangkan kea lat rotavapor dan biarkan menguap semua ekstrak
cair menjadi kental.
d. Hidupkan masing-masing alat rotavapor atau destilasi vakum sampai semua
ekstrak cair telah menjadi ekstrak kental yang bias dituang.

17
e. Tuang masing-masing ekstrak kental kedalam wadah kosong yang telah
ditimbang sebelumnya dan dihitung berapa berat ekstrak kental yang di dapat
dengan menggunakan rumus :
W2 – W1
Kadar sampel = X 100%
W

Keterangan : W1 = berat sampel

W2 = berat wadah kosong

W = berat wadah + berat sampel

4. Fraksinasi
a. Ekstrak kental yang didapat dari pemekatan dihomogenkan dengan aquadest
sama banyak sampai semua ekstrak terlarut sempurna.
b. Ekstrak berair ini kemudian pindahkan kedalam corong pisah dan letakkan
dalam statif yang tegak.
c. Kedalam corong pisah tambahkan pelarut heksan 50 ml, kocok corong pisah
sambil dikeluarkan gas/udara yang terbentuk dengan membuka katup corong
pisah dengan mengarah ke atas.
d. Setelah itu letakkan kembali corong pisah pada statif, biarkan sebentar sampai
terbentuk dua lapisan, perhatikan lapisan organic dan lapisan air.
e. Pisahkan lapisan sebelah bawah melalui katup bawah dan lapisan sebelah atas
melalui mulut corong pisah.
f. Lakukan percobaan ini sebanyak 3 kali dan kemudian kumpulkan ketiga fraksi
yang didapat, lalu pekatkan dengan rotavapor, setelah kental pindahkan
kedalam wadah yang sudah ditimbang sebelumnya.
g. Hiting berat fraksi kental yang didapat dan beri label yang sesuai.
h. Lapisan air masukkan kembali kedalam corong pisah kemudian tambahkan
pelarut etil asetat atau kloroform 50 ml, kocok corong pisah sambil
dikeluarkan gas/udara yang terbentuk dengan membuka katup corong pisah.
i. Setelah itu letakkan kembali corong pisah pada statif, biarkan sebentar sampai
terbentuk dua lapisan, perhatikan lapisan organic dan lapisan air.
j. Pisahkan lapisan sebelah bawah melalui katup bawah dan lapisan sebelah atas
melalui mulut corong pisah.

18
k. Lakukan percobaan ini sebanyak 3 kali dan kemudian kumpulkan ketiga fraksi
yang didapat, lalu pekatkan dengan rotavapor, setelah kental pendahkan
kedalam wadah yang sudah ditimbang sebelumnya.
l. Hitung berat fraksi kental yang didapat dan beri label yang sesuai.
m. Lapisan air masukkan kembali kedalam corong pisah kemudian tambahkan
pelarut etil asetat 50 ml, kocok corong pisah sambil dikeluarkan gas/udara
yang terbentuk dengan membuka katup corong pisah.
n. Setelah itu letakkan kembali corong pisah pada statif, biarkan sebentar sampai
terbentuk dua lapisan, perhatikan lapisan organic dan lapisan air.
o. Pisahkan lapisan sebelah bawah melalui katup bawah dan lapisan sebelah atas
melalui mulut corong pisah.
p. Lakukan percobaan ini sebanyak 3 kali dan kemudian kumpulkan ketiga fraksi
yang didapat, lalu pekatkan dengan rotavapor, setelah kental pendahkan
kedalam wadah yang sudah ditimbang sebelumnya.
q. Hitung berat fraksi kental yang didapat dan beri label yang sesuai.
5. Kromatografi Lapis Tipis
a. Persiapkan chamber dan tutupnya. Jenuhkan sekeliling chamber dengan eluen
yang sesuai dengan meletakkan kertas saring disekeliling dinding chamber.
b. Buat eluen tunggal atau dengan perbandingan tertentu sebanyak 5 ml dan
masukkan kedalam chamber, biarkan chamber menjadi jenuh.
c. Persiapkan larutan masing-masing sampel dengan mengencerkan sedikit
ekstrak kental dalam vial dengan pelarut sesuai.
d. Persiapkan plat KLT sesuai ukuran dan jumlah totolan yang akan diletakkan
pada plat KLT. Buat garis tepi bawah dan tepi atas pada plat KLT. Tandai titik
tempat penotolan sampel.
e. Totolkan sampel beberapa kali pada titik penotolan sehingga konsentrasi yang
cukup.
f. Plat yang sudah ditotolkan sampel dimasukkan kedalam chamber yang telah
berisi eluen. Kemudian lakukan elusi sampai pelarut naik pada garis tepi
bagian atas plat.
g. Lihat noda pada plat KLT secara visual dan dibawah lampu UV pada panjang
gelombang 254 dan 366 nm. Tandai dengan pensil noda yang dihasilkan.
h. Hitung nilai Rf setiap noda yang tampak, baik secara visual maupun dibawah
lampu UV.

19
i. Percobaan dilakukan untuk ketiga sampel ekstrak. Lakukan juga pada plat
yang sama sekaligus untuk 3 sampel.
j. Lakukan KLT dengan menaikkan dan menurunkan harga Rf.
6. Kromatografi Kolom Fraksi Terpilih
a. Timbang 1 gram sampel (sampel cair)
b. Siapkan kolom kromatografi, tutup lubang dasar kolom dengan kapas untuk
menahan supaya silikka gel tidak turun sewaktu katup kolom dibuka.
c. Timbang silica gel dengan jumlah 20-50 kali berat sampel yang akan
dipisahkan.
d. Setelah itu buat bubur silica dengan ,mencampurkan silica gel tersebut dengan
pelarut heksan, aduk sampai homogen.
e. Tuang kedalam kolom kromatografi dengan bantuan batang pengaduk kaca
atau corong kecil. Biarkan pelarut yang digunakan menetes kebawah secara
berulang sambil diaduk-aduk/ketok-ketok.
f. Setelah permukaan silica dalam kolom rata, masukkan sampel dengan hati-
hati, boleh menggunakan pipet tetes. Permukaan silica gel harus rata dan tidak
boleh dibiarkan kering.
g. Setelah itu elusi kolom tersebut, dimulai dari pelarut non polar sampai pelarut
yang bersifat polar.
h. Tamping tetesan dalam vial-vial kecil sekitar 2/3 bagian vial, kemudian
biarkan menguap dalam vial tersebut.
i. Perhatikan pemisahan warna yang terjadi pada kolom dan amati juga warna
yang terdapat pada vial-vial tersebut.
7. Kromatografi Lapis Tipis Fraksi Senyawa
a. Persiapkan chamber dan tutupnya. Jenuhkan sekeliling chamber dengan eluen
yang sesuai dengan meletakkan kertas saring disekeliling chamber.
b. Buat eluen tunggal atau dengan perbandingan tertentu sebanyak 5 ml dan
masukkan kedalam chamber, biarkan chamber menjadi jenuh.
c. Perkirakan berapa vial yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya. Jika
pelarut pada vial tersebut telah kering, maka encerkan dengan pelarut yang
sesuai (jangan terlalu banyak pelarutnya).
d. Persiapkan plat KLT sesuai ukuran dan jumlah totolan yang akan diletakkan
pada plat KLT. Buat garis bawah dan tepi atas pada plat KLT. Tandai titik
tempat penotolan sampel.

20
e. Totolkan sampel beberapa kali pada titik penotolan sehingga konsentrasi yang
cukup didapat.
f. Plat yang sudah ditotolkan sampel dimasukkan kedalam chamber yang telah
berisi eluen. Kemudian lakukan elusi sampai pelarut naik pada garis tepi
bagian atas plat.
g. Lihat noda yang terdapat pada plat KLT secara visual dan dibawah lampu UV
pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Tandai dengan pensil noda yang
dihasilkan.
h. Percobaan ini dilakukan untuk semua vial yang telah dihasilkan. Jika vial
terlalu banyak, maka penotolan boleh dilakukan terhadap vial dengan jarak
tertentu.
i. Setelah semua pola KLT semua vial didapat, maka deretkan plat tersebut dari
nomor awal sampai nomor akhir.
j. Lakukan penggabungan tiap vial berdasapkan pola KLT yang didapat
sehingga nanti akan menghasilkan beberapa fraksi lagi.
k. Jika ada vial-vial yang memperlihatkan adanya pembentukan butiran Kristal
pada dinding, lakukan proses rekristalisasi (jika ditemukan Kristal).

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

22
Uji kromatografi lapis tipid pada sampel kemukus dan buah pala

23
24
4.2 Pembahasan

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada praktikum ini digunakan metode kristalisasi

5.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar lebih memahami dan mengetahui tentang
mengekstraksi senyawa dari bahan alam sehingga didapat hasil yang sesuai.Selain itu,
diharapkan kepada mahasiswa mematuhi peraturan dilaboratorium agar terhindar dari
bahaya, dan juga memahami cara kerja yang akan dilakukan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1989, Materia Medika Indonesia, edisi V, 257-261, Departeman kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 10-11, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,Jakarta.
Backer, A and Van Den Brink, B., 1965, Flora of Java (Spermatophytes Only),Volume I,
N.V.P. The Nederlands, Noordhoff-Groningen.
Ersam, T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia Dalam Merekayasa
Model Molekul Alami. Prosiding Seminar Nasional Kimia VI. ITS. Surabaya. Hlm 4-
12.
Gritter, R.J., J.M. Bobbitt, dan A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. Alih Bahasa
Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hlm 266.
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Retno Sunarminingsih Sudibyo, 2002, Metabolit Sekunder: Manfaat dan Perkembangannya
dalam Dunia Farmasi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar UGM, Jogjakarta.
Syafii W, Yoshimoto T. 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their
Influences on The Growth of Wood-Decaying Fungi. Indonesian Journal of tropical
Agricultural. Volume 4, Number 2.
Syamsuhidayat dan Hutapea, J.R., 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 305-306,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan , Jakarata.
Tjitrosoepoemo, G., 2002, Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Wijayakusuma, H., 2002, Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia Rempah, Rimpang dan
Umbi, Prestasi Instan Indonesia, Jakarta.

27

You might also like