You are on page 1of 24

TUGAS KELOMPOK DOSEN PEMBIBING

Drs. Zahirman

MATA KULIAH HUKUM AGRARIA

Oleh:

Dapit Taufiq Ginting

Derry Pelangi

Desti Handayani

Thesy Mersury

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS RIAU

2016
MODUL 7

LAND REFORM DAN LAND USE

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui,


memahami pengertian dan hal- ihwal Land Reform dan Land Use .

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menerangkan pengertian, maksud serta tujuan Land Reform dan Land Use .
2. Memperinci ruang lingkup program Land Reform dan Land Use .
3. Menguraikan dasar hukum pengaturan Land Reform dan Land Use .
4. Menjelaskan instansi penyelenggara Land Reform dan Land Use .

Petunjuk Untuk Mahasiswa

1. Materi yang dibahas dalam pokok bahasan ini adalah :


a. Pengertian Land Reform dan Land Use
b. Ruang lingkup proram Land Reform dan Land Use
c. Dasar hukum Land Reform dan Land Use
d. Instansi penyelenggara Land Reform dan Land Use
2. Materi yang ada dalam pokok bahasan ini hanya merupakan rangkuman dari bahan
pustaka berikut :
a. Untuk Land Reform
1. Pasal 7, 10, 13, 17, 24, dan 53 UUPA beserta penjelasannya.
2. UU No.56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, beserta
penjelasan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
3. UU No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, beserta
penjelasan dan peratura- peraturan pelaksanaannya.
4. PP No. 4 tahun 1977 tentang pemilikan tanah pertanian secara guntai
(absentee) bagi para pensiunan pegawai negeri.
5. Boedi Harsono, HukumAgrariaIndonesia, 1975, Bagian 5, Land Reform di
Indonesia, hlm. 278-332.
6. Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia. Suatu
sarana ke arah pemerataan masalah penguasaan tanah dan pemilikan tanah,
1985.
7. Direktorat Jenderal Agraria Depertemen Dalam Negeri, Bunga Rampai Land
Reform di Indonesia, 1982.
b. Untuk Land Use :
1. Pasal 2 ayat (2), (3), pasal 14, dan pasal 15 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA)
beserta penjelasannya.
2. UU No. 38 Prp tahun 1960 jo UU No.20 tahun 1964 tentang penggunaan dan
penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.
3. UU No.51 Prp tahun 1960 tentang pemakaian tanah tanpa izin yang berhak
atau kuasanya.
4. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia , 1975, Bagian 4, perencanaan tata
guna sumber-sumber daya alam, hlm. 246-276.
5. Sudikno Mertokusumo, dan kawan-kawan/ modul, Hukum dan Politik
Agraria, Tata Guna Tanah Modul 6, Universitas Terbuka, 1998, Modul 1-9,
Hukum Agraria, materi pokok.

Oleh karena itu, anda diwajibkan untuk membaca bahan pustaka tersebut, agar
dapat menguasai lebih mendalam materi pokok bahasan itu dan dapat
berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar-mengajar.

1.Pengertian Land Reforn

Penjelasan UUPA (II.7) mengunakan istilah Land Reforn sebagai sinonim agraria
reform, dalam arti perubahan-perubahan dalam stuktur pertanahan. Perubahan stuktur
pertanahan termaksud, pada masa itu (tahun 1960-an) sedang di selenggarakan hampir di
seluruh dunia, dengan dilandasi asas bahwa pertanian harus diker-jakan atau di usahakan
secara aktif oleh pemiliknya sendiri.

Penerimaan asas ini dimaksudkan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran


rakyat, baik secara perorangan mau-pun secara gontong-royong, yaitu agar usaha dalam
lapangan agraria dapat meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin derajat
kehidupan sesuai dengan marta-bat manusia bagi setiap warga negara indonesia, baik bagi
diri sendiri maupun keluarganya.
Asas termaksud yang tertuang dalam kententuan pasal 10 UUPA di dukung oleh
pelbagai ketentuan lain:

a. Ketentuan mengenai batas minimum luas yang harus dimiliki oleh petani, yang
bertujuan agar ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri
sendiri dan keluarganya.
b. Kententuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dimiliki dengan hak
milik dengan maksud agar dicegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan
tertentu saja.
c. Ketentuan- ketentuan tersebut didukung pula oleh ke-bijakan dan pemberian
kredit,bibit dan kemudahan lai; kemudahan itu berupa bantuan lainnya dengan syarat
yang ringan, agar pemiliknya tidak harus terpaksa bekeja di lapangan lain dengan
menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.

Boedi Harsono (1975:272) berpendapat, bahwa pengertian land reform yang


meliputi perombakan, pemilikan dan pe-nguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah yang dipakai dalam arti yang sempit.
Dalam hal ini land reform merupakan serangkaian tindakan di dalam rangka Agraria
Reform indonesia. Sedang mengenai maksud dan tujuan land reform di indonesia, Beodi
Harsono (1975:279) mengutip pidato Menteri Agraria, Sadjarwo, tanggal 12 september
1960 wak-tu mengantar RUU di muka sidang Pleno DPR-GR,yaitu:

a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang
berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula dengan
merombak stuktur pertanahan sama sekali secara revo-lusioner guna merealisir
kedailan sosial.
b. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
objek spekulasi dan objek (mak-sudnya alat) pemersan.
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara
indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang bersifat sosial.Suatu pengakuan dan
per-lindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat,
bersifat perseorangan dan turun-temurun tetapi yang berfungsi sosial.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan
tanah secara besar- besaran dengan tak terbatas, dengan menyelengarakan batas
maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa
seorang laki-laki maupun wanita. Dengan demikian, mengikis pula sistem
liberalisme dan kapitalisme atas tanah serta memberikan perlindungan terhadap
golongan yang ekonomi lemah.
e. Untuk mempertinggi produksi dan mendorong terseleng-garanya pertanian yang
intensif secara gontong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gontong-royong
lainnya, untuk mencapai kesejahteran yang merata dan adil dibare-ngi dengan
sistem perkreditan yang terkhusus di tunjukan kepada golongan tani.

Disebutkan pula oleh Menteri Agraria, Sadjarwo, bahwa land reform akan di
barengi dengan pembukaan tanah-tanah baru dan disinkronisasikan dengan perkembangan
industri serta transmigrasi. Lebih dari 20 tahun kemudian, Presiden Soeharto menge-
mukakan. Betapa pentingnya land reform :

“....Land Reform adalah kebutuhan dan keharusan yang kita tempuh demi rasa
keadilan sosial dan demi peman-faatan sebesar-besarnya dari tanah untuk kemakmuran
rakyat”(Amanat Presiden Soeharto, tanggal 1 maret 1982 dalam rapat
Gubernur/Bupati/Walikotamadya seluruh indonesia, Pengantar Bunga Rampai,hlm.IX)

GBHN tidak mengunakan istilah land reform. Rumusan GBHN 1982 sebagai
berikut:

“Agar pemanfataan tanah sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan


kesejahteraan rakyat, serta dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, maka di samping
menjaga kelestariannya perlu dilaksanakan penataan kem-bali pengunaan penguasaan dan
pemilikan tanah”(Bu-nga Rampai,hlm.32).

2. Ruang Lingkup Land Reform

a. Kewajiban Mengerjakan atau Mengusahakan Sendiri secara Aktif, bagi Pemegang


Hak atas Tanah Pertanian

Dalam pasal 10 ayat (1) UUPA ditentukan, bahwa setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asassnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Kata-kata “pada
asasnya” menunjuk pada ke- mungkinan diadakannya pengecualian, hanya saja penge-
cualiannya itu sendiri perlu diatur di dalam peraturan per-undangan (ayat(2) dan (3).
Dalam penjelasan umum angka II dirumuskan, bahwa dengan mengigat keadaan
susunan masyarakat sekarang ini, kiranya nanti masih. Perlu membuka kemungkinan di-
adakannya dispensasi. Contoh, seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari tuanya
mempunyai tanah 1-2 hektar tanah pertanian. Berhubungan dengan pekerjaannya tidak
mungkin ia dapat mengusahakannya sendiri. Kiranya harus dimungkinkan baginya untuk
terus memiliki tanah tersebut dan selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain
untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi hasil, dan sebagainya. Tetapi setelah ia tidak
bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktif.

Menurut pasal 24 UUPA, penggunaan tanah dengan hak milik oleh bukan pemiliknya
masih dimungkinkan, misal-nya. Tetapi dalam pengunaan tanah atas dasar sewa, per-janjian
bagi hasil, gadai dan sebagainya itu, tidak boleh diserahkan hanya pada persetujuan pihak-
pihak yang ber-kepentigan sendiri atas dasar free fight. Penguasa akan memberi ketentuan
tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah
cara-cara pemerasan (contoh :UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil).

a.1 Larangan Untuk Memiliki Tanah Guntai(Absentee)

Pada waktu diterbitkan PP No. 224 tahun 1969 jo PP No.41 tahun 1964 mengenai
tanah guntai ini ditentukan, bahwa pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar
kecamatan tempat letak tanahnya kepada orang lain di kecamatan letak tanah itu (Pasal 3 ayat
(1)). Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang ber-tempat tinggal di kecamatan
yang berbatasan dengan keca-matan letak tanah, jika jarak diantarannya masih me-
mungkinkan untuk mengerjakan tanah itu secara efisien, menurut pertimbangan panitia Land
Reform Daerah Tingkat II (Pasal 3 ayat (2)). Juga ketentuan tersebut tidak berlaku bagi
mereka yang sedang menjalankan tugas negara, me-nunaikan kewajiban agama atau
mempunyai alasan khusus lainnya dapat diterima oleh menteri agraria. Per-kecualian bagi
pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, terbatas pada
pemilik-an tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk
daerah yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (4) PP dimaksud dan penjelasan umum PP No. 4
tahun 1997).

Ketentuan mengenai tanah guntai ini ditambah dengal pasal 3a, 3b, 3c, dan 3d oleh PP
No.41 tahun 1964. Sedangkan dengan PP No. 4 tahun 1977, diatur lebih lanjut mengenai
pengecualian pemilikan tanah petanian secara guntai (absentee) bagi para pensiunan pegawai
negeri (Pasal 2 dan penjelasan angka 4 PP No. 4 tahun 1977).
a.2 Pengaruh Kembali Perjanjian Bagi Hasil

Ketentuan pemilikan pasal 53 UUPA menyebutkan, bah-wa hak usaha bagi hasil
tersebut salah satu hak atas tanah yang sifatnya sementara yang akan diatur kembali untuk
membatasi sifat-sifatnya sementara yang akan diatur kembali untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan UUPA, dan diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

Di dalam UU No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (LN tahun 1960:2) jo
Inpres No. 13 tahun 1980 tentang pedoman pelaksanaan UU No.2 tahun 1960 ditentukan
pengaturan sebagai berikut: Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 huruf c UU termaksud, adalah perjanjian dengan nama apa pun juga
yang diadakan antara pemilik dan seseorang atau badan hukum (penggarap) untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik dengan pembagian hasil.

Mengenai bentuk perjanjian ditentukan dalam pasal 3UU itu, bahwa semua perjanjian
bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadap-an kepala
desa dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.

Sedangkan besarnya bagi hasil tanah ditentukan dalam pasal 4 Inpres No. 13 tahun
1980, sebagai berikut:

a. Satu bagian untuk penggarap dan satu bagian untuk pemilik tanaman padi yang
ditanam di sawah.
b. Dua pertiga bagian untuk penggarap serta satu pertiga bagian untuk pemilik bag
tanaman palawija di sawah yang di tanami di ladang kering.

Bahwa hasil yang dibagi ialah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudahnya dikurangi
biaya-biaya yang harus di pikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak, biaya
mena-nam, biaya panen zakat (pasal 4 ayat (2)).

a. 3 Penyelesaian Masalah Gadai

Yang dimaksud dengan gadai tanah pertanian dalam UU No. 56 Prp tahun 1960, adalah
hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang
padanya, dan selamama utang tersebut di bayar lunas, tanah itu tetap berada dalam
penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selain itu, hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai yang demikian merupakan bunga dari utang
tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang mengadaikan.
Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh tahun, bahkan ada pula yang
dilanjutkan oleh para ahli waris penggadai dan pemegang gadai, kare-na penggadai tidak
mampu untuk menebus tanahnya kem-bali (penjelasan umum angka 9 UU tersebut).

Pasal 7 UU No. 56 Prp tahun 1960, menentukan bahwa barang siapa menguasai tanah
pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembali-kan tanah itu kepada pemiliknya dalam
waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan. Pengaturan berikutnya adalah ketentuan mengenai
perhitungan pem-bayaran kemballi uang gadainya. Menurut Keputusan Menteri Pertanian
dan Agraria No. SK 10/K/1963, bahwa ke-tentuan tadi berlaku juga bagi tanaman-tanaman
keras yang digadaikan berikut atau tanpa tanahnya. Lebih lanjut peng-aturan dalam
penyelesaian masalah gadai ini ditentukan dalam Peraturan Menteri dan Agraria No. 20
TAHUN 1963.

b. Penetapan Batas Luas Areal Pemilikan Tanah

Pasal 7 UUPA Menentukan, bahwa untuk tidak merugikan kepentigan umum, maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan.

Asas yang terkandung dalam ketentuan ini adalah di-larangnya groot-groundbazit (tuan
tanah). Perlu diper-hatikan, bahwa telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 7 UUPA tersebut,
bahwa atas asas ini tidak dikehendakinya ada-nya pengecualian. Atas pembatasan ini diatur
lebih lanjut dalam pasal 17 UUPA dengan cara menentukan luas maksi-mum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai de-ngan sesuatu hak (tersebut dalam pasal 16) oleh
suatu keluarga atau badan hukum. Bahwa penetapan batas maksimum dan batas minimum
dilakukan dengan peraturan perundangan (UU No.56 Prp tahun 1960). Ditentukan lebih
lanjut dalam pasal 17 ayat (3) itu, bahwa tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas
maksimum tidak akan disita, tetapi akan diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian
kepada bekas pemilik tanah. Tanah-tanah kelebihan itu akan dibagi-bagikan ke-pada rakyat
yang membutuhkannya.

Penetapan batas maksimum, dimaksudkan untuk men-cegah pemecah belahan areal


tanah lebih lanjut (versplin-tering) dan tidak untuk diartikan, bahwa orang-orang yang
mempunyai tanah kuarang dari batas itu akan dipaksakan un-tuk melepaskan tanahnya. Usaha
untuk mencapai tujuan penetapan batas minimumini akan dilakukan secar ber-angsur dengan
pelbagai program, misalnya program trans-migrasi, pembukaan tanah besar-besaran di luar
jawa dan industrilasasi.

Pengaturan lebih lanjut mengenai penetapan batas luas pemilikan, khususnya di


bidang tanah pertanian terdapat dalam UU No. 56 Prp tahun 1960. Pasal 1 UU No. 56 Prp
tahun 1960 menentukan lebih lanjut, bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam
penghidup-annya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diper-bolehkan menguasai
tnah pertanian, baik miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain yang jumlah luasnya
tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan.

Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri
Agraria tanggal 5 januari 1961 No. Sekra 9/1/12, memberikan penjelasan mengenai beberapa
istilah yang dipergunakan dalam pegaturan ini.

1. Bahwa yang dimaksud dengan “keluarga” dalam pasal 1 ayat (P) UU


No.56/Perpu/1960, ialah sekelompok orang yang merupakan kesatuan penghidupan
dengan mengan-dung pertalian darah atau perkawinan.

Jumlah anggota keluarga dalam penjelasan umum angka 7c UU termaksud ditetapkan 7


orang termasuk kepala keluarga (rata-rata keluarga indonesia dewasa itu).

Jika jumlahnya melebihi 7 orang luas maksimum untuk setiap anggota keluarga yang
selebihnya ditambah 70% ,tapi jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%,
sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh dari 20 hektar, baik
swah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering.

2. Bahwa yang dimaksud dengan “tanah pertanian” itu meli-puti juga semua tanah
perkebunan,tambak untuk per-ikanan, tanah untuk penggrmbalaan ternak, tanah
belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pen-caharian adalah
semua tanah yang menjadi hak orang, lainnya untuk perumahan dan perusahaan.

Adapun kriteria yang dipergunakan dalam menentukan batas maksimum pemilikan seperti
yang ditetapkan dalam pasal 1 ayat (2) UU No.56 Prp tahun 1960 dark angka 7 dari
penjelasan umumnya, ialah jumlah penduduk (kepadatan penduduk), luas daerah dan faktor-
faktor lain, seperti jenis kesuburan tanahnya (tersedianya tanah yang dapat dibagi), sawah
atau tanah kering.

b.1 Wajib Lapor Tanah Kelebihan


Pasal 3 W No. Prp tahun 1960 menetapkan,bahwa orang-orang dan kepala-kepala
kelurganya yang anggota-anggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jum-lah
luasnya melebihi luas maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Kantor Agraria
Daerah Kabupaten/Kota-madia yang bersangkutan dalam waktu 3 bulan sejak mulai
berlakunya peraturan ini (tanggal 1 januari 1961).

Sanksi pidana atas pelanggaran wajib lapor ini tercamtum Pasal 10 ayat (1) huruf b,
diancam hukuman selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.

b.2 Larangan Mengalihkan Hak atas Tanah KelebKihan

Orang atau orang-orang sekeluarga yang wajib lapor tadi, dilarang memindahkan hak
miliknya seluruh atau sebagian tanahnya tersebut,kecuali izin Kepala Kantor Agraria Daerah
Kabupaten/Kota-madia yang bersangkutan (pasal 4). Ketentuan ini bermaksud untuk
mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri akibat penetapan luas maksi-mum.sanksi
pidana atas pelanggarannya sama dengan untuk wajib lapor (Pasal 10 ayat (1) huruf a).

c. Redistribusi tanah

Setelah ditentukan batas luas maksimum yang boleh dikuasai oleh suatu keluarga sesuai
dengan keadaan daerahnya masing-masing dalam pasal 2 UU No. 56 1960, maka keluarga
yang menguasai tanah pertanian yang jumlahnya/luasnya melebihi batas maksimum wajib
melaporkan tanah kelebihannya kepada pejabat yang berwenang (pasal3 ).

Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu akan diambil oleh
pemerintah dengan kerugian yang selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang
membutuhkannya (penjelasan pasal 17 UUPA).

Tanah yang akan di bagikan itu meliputi:

1. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum.


2. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemiliknya bertempat tinggal diluar
daerah
3. Tanah-tanah yang swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara dan
4. Tanah –tanah yang dikuasai langsung negara (pasal 1 dari penjelasan umum angka 2 PP
No. 224 tahun 1961). Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang diambil oleh
prmerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau dipergunakan oleh pemerintah
sendiri, diberikan ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh panitia land reform daerah
tingkat II yang bersangkutan atas dasar perhitungan yang ditentukan dalam pasal 6 ayat
(1)dan seterusnya, dengan cara yang ditentukan dalam pasal 7 PP No. 224/1961
termaksut.
Tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka pelaksanaan land reform, harus benar
benar berdasarkan find to the tiller (tanah unruk petani/penggarap). Oleh panitia land reform
daerah tingkat II yang bersangkutan dibagi bagikan dengan hak milik kepada para petani
menurut prioritas dalam pasal 8 ayat (1), sebagai berikut:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan,
b. Buruh tani tetap yang pada bekas pemilik yang mengerjakan tanah yang bersangkutan,
c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkuta,
d. Penggrap yang belum sampai 3 tanhun yang mengerjakan tanah yang bersangkutan,
e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak milik,
f. Pengggrap tanah-tanah yang yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan
pasal 4 ayat (2), (3),
g. Penggrap tanha yang garapannya kurang dari 0,5 hektar,
h. Petani atau buruh tani lainnya.
Pengutamaan di atas petani-petani lain yang berada dalam golongan prioritas yang sama
menurut pasal 8 ayat (2) diberikan kepada:
a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari dua derajat dengan bekas
pemilik dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 5 orang,
b. Petani yang terdaftar sebagai peteran,
c. petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur.
d. Petani yang menjadi koraban kekacauan.
Adapun mereka yang dimaksut denagn petani, penggarap buruh tani tetap dan pekerja tetap,
dalam ayat-ayat yang seterusnya dari pasal 8 dirumuskan sebagai berikut:
a. Petani ialah orang baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah sendiri yang
mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
b. Penggarap ialah petani yang secara sha mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara
aktif tanah yang bukan miliknya denagn memikul seluruh atau secara aktif tanah yang
bukan sebagian dari hasil produksinya.
c. Buruh tani ialah petani yang mengerjakan atau mengusahakan secara terus-menerus tanah
lain dengan mendapat upah.
d. Pekerja tetap ialahh orang yang bekerja pada bekas pemilik tanah secara terus-menerus
Dalam lamiran suart keputusan mentri paertanian dan agraria No. 5d XIII/17/ka/1962,
dirumuskan syarat –syarat pemberian tanah dengan hak milik dalam rangka redistribusi.

d. Pemberian ganti rugi

Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah kelebihan merupakan perwujudan asas
hukum agraria nasional, yang mengakui adanya hak milik perseorangan atas tanah dan
merupakan ciri pokok dari pasa land reform di indonesia.

Yang dijadikan dasar perhitungan besarnya ganti rugi menurut passal 6 PP No. 224 tahun
1961 adalah perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap
hektarnya menurut golongan kelas tanahnya dengan mempergunakan degresivitas, yaitu:

a. Untuk 5 hektar yang pertama tiap hertarnya 10 kali hasil bersih setahun
b. Unruk 5 hektar yang kedua, ketiga, dan ke empat tiap hektarnya 9 kali hasil bersih setahun
c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun.

Adapun yang dimaksut “hasil bersih” adalah seperdua hasil kotor bagi tanaman padi atau
sepertiga hasil kotor bagi palawijaya.
Apabila harga tanah menurut perhitungan padi lebih tinggi daripada harga umum , maka
harga umumlah yang dipakai untuk penetapan besarnya ganti rugi itu. Penggunaan ganti
kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada bekas pemilik tidak dibiarkan secara bebas,
malaikan diarahkan pada usaha-usaha pembangunan. Disamping itu keperluan pribadi tidak
diabikan. Karenanya pemberian ganti kerugian diatur 10% dalam bentuk uang simpanan yang
dapat diambilsewaktu-waktu sesuai denagn kebutuhan pribadi bekas pemilik, sejak 1 tahun
setelah itu dibagikan kepada rakyat sedangkan 90% harus di gunakan untuk usaha-usaha
pembangunan industri berupa surat utang land reform (pasal 7) , mengenai surat utang land
reform (SHL) ini lebih lanjut diatur dalam UU No. 6 tahun 1964.

Dasar Hukum Land Reform

Ketentuan-ketentuan mengenai land reform ditemukan pengaturannya dalam peraturan


perundang-undangan berikut :

a. Mengenai asas-asas land reform :


Pasal 7, 10, 13, 17, 21 dan 53 UU No.5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA).
b. Mengenai penetapan dari luas kepemilikan areal tana peranian dan redistribusi
tanah :
1. Undang-undang No. 56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.
2. PP No. 224 tahun 1961 No. 41 tahun 1964 tentang pelaksanaan pembagian
tanah dan pemberian ganti kerugian.
3. PMDN No. 15 tahun 1974 tentang pedoman tindak lanjut pelaksanaan land
reform
c. Mengenai kececualian pemilikan tanah gutai :
PP No. 4 tahun 1977 tentang pemilikan tanah pertanian secara guntai (absentee)
bagi para pensiunan pegawai negri.
d. Mengenai penyelesayan masalh gadai :
1. Peraturan Mentri Pertanian Dan Agraria (PMPA) No. 20 tahun 1963 tentang
pedoman penyelesaian masalah gadai.
2. Suraat Keputusan Mentri Pertanian Dan Agraria (PMPA) No. SK 10/Ka/1963
tentang penegasan berlakungnya pasal 7 W No. 56 Prp tahun 1960 bagi gadai
tanaman kertas.
e. Mengenai bagi hasil
1. Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian

Instansi Penyelenggara Land Reform

Dengan Keputusan Presiden No. 26 tahun 1988 urusan land reform berada dibawah
Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah pada Deputy Bidang Pengaturan Penguasaan dan
Penatagunaan Tanah Badan Pertahanan Nasional. Sedang mengenai organisasi dan tata
penyelenggara land reform telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Presiden No. 55 tahun
1980 jo Keputusan Mendagri No. 37 tahun 1981 yang mencabut Keputusan Presiden No. 131
taun 1961 jo No. 263 tahun 1964. Kegiatan pelaksanaan tugas land and reform menurut
pengaturan lama itu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan para
Gubernur/Bupati/Walikota/Camat/Kepala Desa selaku kepala wilayah yang didampingi
Panitia Pertimbangan Land Reform Tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kotamdya.
Untuk memperlancar pembiayaan land reform dan mempermudah pemberian fasilitas-
fasilitas kredit, pasal 16 PP No. 224 tahun 1961 mewajibkan dibentuknya suatu yayasan yang
berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom dengan nama Yayasan Dana Land Reform
(YDL). Yayasan ini kemudian dibentuk dengan Akta Notari R. Kardiman, Jakarta No. 110.

Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-


peraturan land reform, yang dianggap perlu dilakukan secara cepat agar tidak menghambat
program diperlukan badan pegadilan tersendiri dengan susunan, kekuatan, dan cara yang
khusus. Dengan UU No. 21 tahun 1964 dibentuklah pengadilan land reform.Ttapi keudian
dibubarkan dengan UU No. 7 thun 1970 karena dianggap sebagai bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945.

Pelaksanan Program Land Reform

Dalam Pembukaan Sidang 1 Panitia Pertimbangan Land Reform Pusat, Mei 1982,
Menteri Dalam Negeri menjelaskan, bahwa sejak 15 tahun kurang terdengar kegiatan panitia
land reform dan karenannya timbul kesan, seolah-olah land reform di Indonesia tidak
diperlukan lagi. Suatu nanggapan yang tidak benar.Diakuinya, bahwa sejak pemberontakan
G30 S/PKI memang terasa adannya perasaan takut dan lain-lain dari masyarakat dan aparat
pemerintah untuk mengucapkan kata land reformapalagi melaksanakannya, karena kata land
reform itu diidentikkan komunis. Padahal land reform adalah kebajikan pertahanan yang
dilaksanakan dihampir semua negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pengantar
Bunga Rumpai, him. X)

Mengenai hasil pelaksanaan land reform di Indonesia, Arie Sukanti Hutagalung


menyebutkan, bahwa tidak ada data yang akurat mengenai pendaftaran tanah(land cadastre),
jumlah orang yang tidak mempunyao tanah secara minimum dan maksimum , jumlah orang
yang tidak mempunyai tanah, buruh tani, dan sebagainya. Juga dikatakannya tidak ada
yangtersedia mengenai tanah yang didistribusikan yang dapat dipakai untuk mengetahui
sejauh mana program redistribusi tanah mempengaruhi baik kesejahteraan sosial maupun
peningkatan produksi pertanian.Bahkan atas tabel-tabel mengenai tanah yang
didistribusikan, Arie Sukanti Hutagalung mengomentarinya sebagai memperlihatkan
perbedaan data yang ada merupakan kelemahan mekanisme land reform. Meskipun demikian,
dari tabel-tabel yang telah dikutipnya, kiranya dapat memberikan gambaran mengenai
pelaksaan land reform dan masalah yang dihadapi termaksud.
Pengertian Land Use

Pasal 14 UUPA menentukan, bahwa dengan mengingat wewenang yang bersumber


pada hak menguasai dari negara (Pasal 2 ayat(2) )dan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3) ). Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan, penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayan alam yang
terkandung didalamnya.

Ketentuan pasal ini, rupanya merupakan perintah untuk menyusun perencanaan


agrarian agrarian use planning) yang didalamnya termasuk land use planning (panatagunaan
tanah), water use planning (penatagunaan air), dan air planning( penatagunaan ruang angkasa
atau lebih sering disebut perencanaan tata ruang). Kiranya dari ketentuan tersebut dapat
ditarik perumusan mengenai arti penatagunaan tanh sebagai serangkaian kegiatan penataan,
penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah secara berencana untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam penataan ini diusahakan dan direncanakan penggunaan tanah yang sesuai
dengan kata kemmapuan fisik tanah dana keadaan serta perkembangan sosial ekonomis
masyarakat, sehingga dapat dihindari salah tempat dan salah urus dalam oenggunaan tanah,
dan perubahan penggunaan tanah dapat lebih dikendalikan. Dirumuskan sebagai kebijakan
pembangunan (dalam repelita V ) bahwa tata guna tanah dimaksudkan untuk meningkatkan
pelestarian produktivitas dan mutu tanah serta untuk pencegahan kerusakan dan kemerosotan
keuburannya. Juga dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan pengarahan dalam
meningkatkan efisiensi penggunaan tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan
pembangunan.

Dalam penatagunaan tanah ini perlu ditingkatkan usaha penetapan hutan lindung,
suaka alam, dan wilayah perlindungan khusus lainnyauntuk menghindari bencana ekologis
dikemudian hari.Penatagunaan tanah juga diperlukan untuk memberikan perlindungan
masyarakat tradisional dan suku terasing.

Ruang Lingkup Land Use

a. Penatagunakan Tanah Pertanian


Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan
berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan isidentil yang mereka
harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning, maka dapatlah dicapai
keseimbangan yang baik dari pada Was jenis-jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan
Negara. Jaminan bagi kepentingan umum dan Negara akan dapat perhatian sebagaimana
mestinya. Dalam planning tersebut, diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan
Negara untuk jenis-jenis tanaman yang penting bagi program sandangan-pandang, baik bagi
bahan makanan maupun tanaman perdagangan.

Usaha-usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah lama dilakukan, hanya yang
telah berhasil diungkapkan dalam bentuk perundang-undangan belum menyeluruh hanya
bersifat sektoral. UU No. 38 Prptahun 1960 baru menata mengenai luas minimum tanaman
tebu yang harus ditetapkan oleh menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan
kesinambungan produktivitas pabrik gula yang harus pula di imbangi dengan penetapan
maksimum luas tanah didaerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang
boleh ditanami tanaman perdagangan lain (misalnya tembakau Virginia) yang sedang
mempunyai harga pasar yang lebih baik. Ketentuan tadi di perbaiki dengan UU No. 20/1964,
yang menyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan
kaum tani atas tanah-tanah yang di haruskan ditanam yang diwajibkan (dalam hal ini “ tebu”
).

b. Penertiban Pemakaian Tanah


1. Pemakaian Tanah Secara Liar

Atas masalah penghunian liar telah lama dilakukan penertiban. Sejak tahun 1948 ada
Ordonnansi Onreehtmatige Oooupatie van gronden dan kemudian UU Darurat No. 8/1954
dan No. 1/1956. Karena berbagai pertimbangan, peraturan-peraturan itu tidak berlaku lagi.
Kemudian dengan UU No. 51 Prp tahun 1960 ditetapkan peraturan tentang larangan
pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atas kuasanya. Kepada penguasa daerah
diberikan wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaikan atas tanah yang
bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang be..:..ak atau kuasanya yang sah yang ada di
daerahnya (Antara lain dengan perintah pengosonagan), dengan memperhatikan rencana
peruntukan dan pengunaan tanah yang bersangkutan (pasal 3,4).

Didalam penjelasan undang-undang itu, disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah


(meliputi tanah perkebunan dan hutan) di dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-
orang tanpa izin. Juga pemakaian tanah secara tidak teratur di daerah perkotaan, lebih-lebih
yang melanggar norma hukum dan tata tertib yang menghambat pembangunan yang
direncanakan.

2. Tanah yang Dicadangkan bagi dan atau dikuasai oleh perusahaan-perusahaan

Sejak tahun 1971, banyak perusahaan terutama perusahaan pembangunan perumahan


yang memperoleh surat keputusan percadangan tanah dan atau izin pembebasan tanah untuk
pembangunan perumahan, perkantoran, pusat perbelanjaan dan sebagainya, yang
keseluruhannya meliputi areal ribuan hektar didalam dan sekitar wilayah perkotaan. Tanah-
tanah yang dicadangkan itu kenyataannya belum seluruhnya dipergunakan sesuai dengan
rencana proyek yang diajukan dan yang menjadi dasar pemberian surat keputusannya.

Keadaan demikian selain mengganggu proses pembangunan dalam memenuhi


kebutuhan vital masyarakat yang gersangkutan, juga menimbulkan kesan seakan-akan
pemerintah membiarkan diabaikannya pelaksanaan asas fungsi sosial. Untuk menerbitkannya
maka oleh Mendagri telah di keluarkan instruksi No. 2 tahun 1982 dengan tujuan :

a. Agar tanah yang dimaksud benar-benar digunakan sesuai dengan rencana proyek
yang sudah disetujui dalam jangka waktu dan sekaligus.
b. Mencegah digunakannya tanah-tanah tersebut sebagai objek spekulasi atas
investasi semata-mata.

c. Perencanaan Tata Guna Tanah

Pengaturan mengenai tata guna tanah belum berhasil dituangkan dalam bentuk undang-
undang. Telah lama di informasikan bahwa RUU tata guna tanah sudah siap penyusunannya,
yang dalam pembahasannya selalu berkaitan dengan RW tata ruang. Penatagunaan atau
perencanaan tata guna tanah itu disusun dengan memperhatikan berbagai keperluan
(kepentingan), baik keperluan-keperluan Negara, peribadatan, pusat-pusat kehidupan maupun
bagi perkembangan produksi pertanian, industry, transmigrasi dan pertambangan. Seminar
tata guna sumber-sumber alam kesatu tahun 1967 berhasil merumuskan, bahwa perencanaan
tata agrarian harus didasarkan pada tiga atau asas, yaitu :

a. Asas penggunaan ganda (principle of multiple use), terutama dalam mengatasi


keterbatasan areal diwilayah dengan penduduk sangat padat.
b. Asas produksi maksimal (principle of maximum production), untuk memperoleh hasil
setinggi-tingginya.
c. Asas pengucaan optimal (principle of optimum use) yang dapat memberi keuntungan
ekonomis sebesar-besarnya tanpa merusak sumber alam itu sendiri.

Berdasarkan rencana umum yang bersifat nasional tadi, pemerintah daerah (regional)
sesuai dengan keadaan daerah masing-masing (pasal 14 ayat 2 UUPA). Dalam praktek,
rupanya perencanaan penggunaan tanah itu dibedakan Antara perencanaan tanah pertanian di
daerah pedesaan (rural land use planning) dan perencanaan tanah perkotaan (urban land use
planning). Asas-asas penggunaan tanah yang dikemukakan dalam perencanaan di daerah
pedesaan adalah asas lestari, optimal, serasi dan seimbang (bisa di singkat LOSS), sedangkan
untuk perencanaan daerah perkotaan adalah asas-asas aman, tertib, lancer, dan sehat
(disingkat ATLAS).

Dalam ilmu perencanaan tanah itu, biasanya dikembangkan model-model tertentu (zoning
misalnya) dan pula dilaksanakan dengan teknik tertentu dibagi atas zone penggunaan, atas
dasar keperluan pusat-pusat kegiatan.

Zone pemukiman, zone perkantoran, perdagangan atau industry, zone pertanian,


kehutanan dan sebagainya. Model lain, lebih didasarkan pada data dilapangan (existing land
use) dengan lebih memperhatikan peta kemampuan tanah serta perkembangan sosial ekonomi
masyarakat.

Adapun teknik konsolidasi tanah (land consolidation) adalah teknik penataan kembali
lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelusuran jalan, sungai, saluran
pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk
segi empat (panjang) dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap dan saluran
air.

Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara dengan
baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan didaerah bersangkutan sesuai dengan
pertunjukan-pertunjukan jawata-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburannya
serta di cegah kerusakannya. Kewajiban memeliharan tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, menjadi beban pula setiap orang,
badan hukum atau instasi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

d. Fatwa Tata Guna Tanah


Dalam rangka usaha dalam menertibkan peruntukan dan penggunaan tanah secara efisien
berdasarkan suatu pola tata guna tanah, maka didalam setiap pemberian hak atas tanah perlu
diperhatikan persyaratan dari segi tata guna tanahnya, selain memakai aspek land reform,
hak-hak atas tanah dan jaminan kepastian hukumnya. Karena pada hakekatnya setiap
pemberian ha katas tanah itu, merupakan penetapan tentang peruntukan dan penggunaan
tanah tersebut.

Adapun pertimbangan dari segi tata guna tanah itu, Antara lain menjawab pertanyaan :

a. Apakah pemberian hak atas tanh kepada pemohon itu sesuai dengan rencana tata guna
tanah yang sudah ada ?
b. Apakah penggunaan tanahnya sebagai yang dimakudkan pemohon sesuai dengan
daya kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?
c. Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan kesuburan
dan pengawetan tanah yang bersangkutan ?

Pertimbangan semacam yang diperoleh dari pejabat instansi yang berwenang


(kompenten) dan di kenal sebagai fatwa tata guna tanah itu harus tercermin baik dalam
pertimbangan maupun dalam dictum surat keputusan pemberian hak yang bersangkutan.
Fatwa land use ini dalam peraturan dirjen agraria No. 2 tahun 1968 jo PMDN No. 3 tahun
1978 dijadikan persyaratan khusus yang terpisah.

Tetapi kemudian dengan PMDN No. 6 tahun 1986, dalam rangka dalam penyerdehanaan
dan pengendalian perizinan di bidang usaha (Inpres No. 5 tahun 1984) peraturan khusus
mengenai tata cara pelayanan pemberian fatwa ini dicabut.

Pemberian fatwa ini cukup diintegrasikan kedalam keseluruh rangkaian proses pelayanan
agraria dengan cara menuangkannya dalam risalah pemeriksaan tanah yang dibuat oleh
panitia pemeriksaan tanah (panitia “A” dan/atau panitia “B”).

Dasar Hukum Land Use

a. Pasal 2 ayat (2), (3), pasal 14, dan pasal 15 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA).
b. UU No. 4 tahun 1982 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
c. UU No. 38 Prp tahun 1960 jo UU No. 20 tahun 1964 tentang penggunaan dan
penetapan luas tanah intuk tanaman-tanaman tertentu.
d. Mengenai penertiban/pemanfaatan :
1. UU No. 51 Prp tahun 1960 tentang pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya.
2. Instruksi Mendagri No. 2 tahun 1982 tertanggal 30 januri 1982.
3. Keputusan Mentri Dalam Negeri No. 268 tahun 1982 bertanggal 17 september
1982.
e. Mengenai fatwa tata guna tanah Peraturan Menti Dalam Negeri No. 3 tahun 1972 jo
No. 6 tahun 1986.

Instansi Penyelenggaraan Land Use

Kegiantan land use (penatagunaan tanah) yang sebelumnya merupakan fungsi dan
tugas direktorat land use, berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26
tahun 1988 sekarang menjadi tugas Direktorat penataan Tanah pada Deputy pengaturan
penguasaan dan penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional.

RANGKUMAN

Maksud dan tujuan land reform di Indonesia, Boedi Harsono (1975:279) mengutip pidato
Menteri Agraria, Sadjarwo 12 september 1960 waktu mengantar RUU di muka sidang Pleno
DPR-GR, yaitu :

a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang
berupa tanah.
b. Melakukan prinsip yaitu “tanah untuk tani”
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara
Indonesia.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasa tanah.
e. Untuk mempertinggi produksi dan terselenggaranya pertanian intensif.

Menurut asas land reform merupakan pemiliknya sendiri lah yang harus mengerjakan
tanah milik pertaniannya. Ini adalah untuk mencapai suatu tujuan agar bisa tercapai dan
sukses besarnya kemakmuran rakyat. Hukum pertanahan telah menetapkan bahwa batas
maksimum yang harus dimiliki oleh petani adalah 20 hektar tanah kering, 15 hektar tanah
basah, pada daerah yang penduduknya tidak padat. Daerah yang kuran padat batas
maksimumnya adalah 12 hektar tanah kering, sedangkan tanah basah 10 hektar. Lalu daerah
yang cukup padat tanah keringnya hanya 6 hektar, tanah sawah 5 hektar saja.

Dalam UU No. 56 Prp tahun 1960 (pasal 17 ayat 3) bahwa tanah-tanah yang kelebihan
dari batas maksimum tidak akan disita, namun akan diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian kepada bekas pemilik tanah. Batas maksimum tanah yang dimiliki petani adalah 2
hektar. Guntai adalah tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan
tersebut.

SOAL-SOAL LATIHAN

1. Apakah yang diartikan dengan kegiatan pendaftaran tanah ?


2. Sebutkan maksud dan tujuan dari kegiatan pendaftaran tanah ?
3. Sebutkan dasar hukum kegiatan pendaftaran tanah !
4. Instansi manakah yang dibebani tugas kegiatan pendaftaran tanah ?
5. Uraikan garis-garis besar tata cara pendaftaran tanah !
6. Apakah tata cara termaksud sudah menunjukan unsur-unsur pelayanan pada
masyarakat, mudah, sederhana dan murah ?
7. Apakah yang dimaksud dengan sertifikat sementara ?
8. Sertifikat atas tanah itu tanda bukti apa ? dan bagaimana kekuatan buktinya ?
9. Kalau menjadi keberatan dari pihak ketiga terhadap pemilikan seseorang atas
sertifikat sebidang tanah, siapakah yang harus berupaya membuktikan kebenaran
dalilnya ?
10. Mengapa masih banyak tanah yang pemiliknya belum mempunyai sertifikat ?

TES FORMATIF

1. Tanah milik pertanian harus dikerjakan sendiri oleh pemiliknya sendiri, ini
merupakan asas :
a. Land Use
b. Agrarian Reform
c. Land Reform
d. Fungsi Sosial
2. Perubahan-perubahan pada struktur tanah adalah :
a. Land Reform
b. Land Use
c. Land Reformation
d. Agrarian Reform
3. Azaz Land Use adalah bertujuan mencapai :
a. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
b. Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
c. Keadilan bagi para petani, perorangan atau kelompok
d. Meningkatkan usaha tani
4. Hukum pertanahan menetapkan, bahwa batas maksimum yang harus dimiliki
petani adalah:
a. 6 hektar tanah kering, 2 hektar tanah basah
b. 15 hektar tanah kering, 6 hektar tanah basah
c. 15 hektar tanah kering, 10 hektar tanah basah
d. 20 hektar tanah kering, 15 hektar tanah basah
5. Bagi daerah yang padat penduduknya, batas maksimum tidak boleh lebih melebihi
:
a. 10 hektar tanah kering, 5 hektar tanah basah
b. 15 hektar tanah kering, 10 hektar tanah basah
c. 6 hektar tanah kering, 5 hektar tanah basah
d. 6 hektar tanah kering, 15 hektar tanah basah
6. Guna mencapai kemakmuran masyarakat petani, batas maksimum tanah
permainan tidak boleh kurang dari :
a. 2 hektar
b. 1,5 hektar
c. 5 hektar
d. 6 hektar
7. Penetapan luas tanah pertanian diatur oleh :
a. Undang-undang No. 5 tahun 1960
b. Undang-undang No. 20 tahun 1961
c. Undang-undang No. 5 tahun 1961
d. Undang-undang No. 56 tahun 1960
8. Tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal diluar kecamatan tersebut di
sebut :
a. Tanah bengkok
b. Tanah ulayat
c. Tanah gantung
d. Tanah guntai
9. Hukum agraria Indonesia melarang orang yang mempunyai :
a. Tanah bengkok
b. Tanah ulayat
c. Tanah gantung
d. Tanah guntai
10. Penatagunaan tanah disebut :
a. Agraria Use Planning
b. Land Use Planning
c. Water Use Planning
d. Regional Planning

Rumus

Tingkat pengaawasan = jumlah jaawaban yang benar X 100%

10

Arti pengaawasan yang anda capai

90 – 100% = Baik sekali

80 – 89% = Baik

70 – 79% = Cukup

>70% = Kurang

Bila anda telah mencapai pengawasan 80% lebih anda dapat merumuskan pada modul
berikutnya. Tetapi jika belum mencapai 80% anda harus mengulang lagi bagian-bagian yang
belum anda kuasai

DAFTAR ISTILAH PENTING


- Fisikal Kadaster - Kaaaster
- Pendaftaran hak-hak atas tanah - Pendaftaran tanah
- Recht Kadaster - Sertifikat
- Sertifikat sementara

You might also like