Professional Documents
Culture Documents
Hukum Agraria
Hukum Agraria
Drs. Zahirman
Oleh:
Derry Pelangi
Desti Handayani
Thesy Mersury
UNIVERSITAS RIAU
2016
MODUL 7
1. Menerangkan pengertian, maksud serta tujuan Land Reform dan Land Use .
2. Memperinci ruang lingkup program Land Reform dan Land Use .
3. Menguraikan dasar hukum pengaturan Land Reform dan Land Use .
4. Menjelaskan instansi penyelenggara Land Reform dan Land Use .
Oleh karena itu, anda diwajibkan untuk membaca bahan pustaka tersebut, agar
dapat menguasai lebih mendalam materi pokok bahasan itu dan dapat
berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar-mengajar.
Penjelasan UUPA (II.7) mengunakan istilah Land Reforn sebagai sinonim agraria
reform, dalam arti perubahan-perubahan dalam stuktur pertanahan. Perubahan stuktur
pertanahan termaksud, pada masa itu (tahun 1960-an) sedang di selenggarakan hampir di
seluruh dunia, dengan dilandasi asas bahwa pertanian harus diker-jakan atau di usahakan
secara aktif oleh pemiliknya sendiri.
a. Ketentuan mengenai batas minimum luas yang harus dimiliki oleh petani, yang
bertujuan agar ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri
sendiri dan keluarganya.
b. Kententuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dimiliki dengan hak
milik dengan maksud agar dicegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan
tertentu saja.
c. Ketentuan- ketentuan tersebut didukung pula oleh ke-bijakan dan pemberian
kredit,bibit dan kemudahan lai; kemudahan itu berupa bantuan lainnya dengan syarat
yang ringan, agar pemiliknya tidak harus terpaksa bekeja di lapangan lain dengan
menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang
berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula dengan
merombak stuktur pertanahan sama sekali secara revo-lusioner guna merealisir
kedailan sosial.
b. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
objek spekulasi dan objek (mak-sudnya alat) pemersan.
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara
indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang bersifat sosial.Suatu pengakuan dan
per-lindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat,
bersifat perseorangan dan turun-temurun tetapi yang berfungsi sosial.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan
tanah secara besar- besaran dengan tak terbatas, dengan menyelengarakan batas
maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa
seorang laki-laki maupun wanita. Dengan demikian, mengikis pula sistem
liberalisme dan kapitalisme atas tanah serta memberikan perlindungan terhadap
golongan yang ekonomi lemah.
e. Untuk mempertinggi produksi dan mendorong terseleng-garanya pertanian yang
intensif secara gontong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gontong-royong
lainnya, untuk mencapai kesejahteran yang merata dan adil dibare-ngi dengan
sistem perkreditan yang terkhusus di tunjukan kepada golongan tani.
Disebutkan pula oleh Menteri Agraria, Sadjarwo, bahwa land reform akan di
barengi dengan pembukaan tanah-tanah baru dan disinkronisasikan dengan perkembangan
industri serta transmigrasi. Lebih dari 20 tahun kemudian, Presiden Soeharto menge-
mukakan. Betapa pentingnya land reform :
“....Land Reform adalah kebutuhan dan keharusan yang kita tempuh demi rasa
keadilan sosial dan demi peman-faatan sebesar-besarnya dari tanah untuk kemakmuran
rakyat”(Amanat Presiden Soeharto, tanggal 1 maret 1982 dalam rapat
Gubernur/Bupati/Walikotamadya seluruh indonesia, Pengantar Bunga Rampai,hlm.IX)
GBHN tidak mengunakan istilah land reform. Rumusan GBHN 1982 sebagai
berikut:
Dalam pasal 10 ayat (1) UUPA ditentukan, bahwa setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asassnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Kata-kata “pada
asasnya” menunjuk pada ke- mungkinan diadakannya pengecualian, hanya saja penge-
cualiannya itu sendiri perlu diatur di dalam peraturan per-undangan (ayat(2) dan (3).
Dalam penjelasan umum angka II dirumuskan, bahwa dengan mengigat keadaan
susunan masyarakat sekarang ini, kiranya nanti masih. Perlu membuka kemungkinan di-
adakannya dispensasi. Contoh, seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari tuanya
mempunyai tanah 1-2 hektar tanah pertanian. Berhubungan dengan pekerjaannya tidak
mungkin ia dapat mengusahakannya sendiri. Kiranya harus dimungkinkan baginya untuk
terus memiliki tanah tersebut dan selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain
untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi hasil, dan sebagainya. Tetapi setelah ia tidak
bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktif.
Menurut pasal 24 UUPA, penggunaan tanah dengan hak milik oleh bukan pemiliknya
masih dimungkinkan, misal-nya. Tetapi dalam pengunaan tanah atas dasar sewa, per-janjian
bagi hasil, gadai dan sebagainya itu, tidak boleh diserahkan hanya pada persetujuan pihak-
pihak yang ber-kepentigan sendiri atas dasar free fight. Penguasa akan memberi ketentuan
tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah
cara-cara pemerasan (contoh :UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil).
Pada waktu diterbitkan PP No. 224 tahun 1969 jo PP No.41 tahun 1964 mengenai
tanah guntai ini ditentukan, bahwa pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar
kecamatan tempat letak tanahnya kepada orang lain di kecamatan letak tanah itu (Pasal 3 ayat
(1)). Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang ber-tempat tinggal di kecamatan
yang berbatasan dengan keca-matan letak tanah, jika jarak diantarannya masih me-
mungkinkan untuk mengerjakan tanah itu secara efisien, menurut pertimbangan panitia Land
Reform Daerah Tingkat II (Pasal 3 ayat (2)). Juga ketentuan tersebut tidak berlaku bagi
mereka yang sedang menjalankan tugas negara, me-nunaikan kewajiban agama atau
mempunyai alasan khusus lainnya dapat diterima oleh menteri agraria. Per-kecualian bagi
pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, terbatas pada
pemilik-an tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk
daerah yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (4) PP dimaksud dan penjelasan umum PP No. 4
tahun 1997).
Ketentuan mengenai tanah guntai ini ditambah dengal pasal 3a, 3b, 3c, dan 3d oleh PP
No.41 tahun 1964. Sedangkan dengan PP No. 4 tahun 1977, diatur lebih lanjut mengenai
pengecualian pemilikan tanah petanian secara guntai (absentee) bagi para pensiunan pegawai
negeri (Pasal 2 dan penjelasan angka 4 PP No. 4 tahun 1977).
a.2 Pengaruh Kembali Perjanjian Bagi Hasil
Ketentuan pemilikan pasal 53 UUPA menyebutkan, bah-wa hak usaha bagi hasil
tersebut salah satu hak atas tanah yang sifatnya sementara yang akan diatur kembali untuk
membatasi sifat-sifatnya sementara yang akan diatur kembali untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan UUPA, dan diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.
Di dalam UU No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (LN tahun 1960:2) jo
Inpres No. 13 tahun 1980 tentang pedoman pelaksanaan UU No.2 tahun 1960 ditentukan
pengaturan sebagai berikut: Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 huruf c UU termaksud, adalah perjanjian dengan nama apa pun juga
yang diadakan antara pemilik dan seseorang atau badan hukum (penggarap) untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik dengan pembagian hasil.
Mengenai bentuk perjanjian ditentukan dalam pasal 3UU itu, bahwa semua perjanjian
bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadap-an kepala
desa dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.
Sedangkan besarnya bagi hasil tanah ditentukan dalam pasal 4 Inpres No. 13 tahun
1980, sebagai berikut:
a. Satu bagian untuk penggarap dan satu bagian untuk pemilik tanaman padi yang
ditanam di sawah.
b. Dua pertiga bagian untuk penggarap serta satu pertiga bagian untuk pemilik bag
tanaman palawija di sawah yang di tanami di ladang kering.
Bahwa hasil yang dibagi ialah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudahnya dikurangi
biaya-biaya yang harus di pikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak, biaya
mena-nam, biaya panen zakat (pasal 4 ayat (2)).
Yang dimaksud dengan gadai tanah pertanian dalam UU No. 56 Prp tahun 1960, adalah
hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang
padanya, dan selamama utang tersebut di bayar lunas, tanah itu tetap berada dalam
penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selain itu, hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai yang demikian merupakan bunga dari utang
tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang mengadaikan.
Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh tahun, bahkan ada pula yang
dilanjutkan oleh para ahli waris penggadai dan pemegang gadai, kare-na penggadai tidak
mampu untuk menebus tanahnya kem-bali (penjelasan umum angka 9 UU tersebut).
Pasal 7 UU No. 56 Prp tahun 1960, menentukan bahwa barang siapa menguasai tanah
pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembali-kan tanah itu kepada pemiliknya dalam
waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan. Pengaturan berikutnya adalah ketentuan mengenai
perhitungan pem-bayaran kemballi uang gadainya. Menurut Keputusan Menteri Pertanian
dan Agraria No. SK 10/K/1963, bahwa ke-tentuan tadi berlaku juga bagi tanaman-tanaman
keras yang digadaikan berikut atau tanpa tanahnya. Lebih lanjut peng-aturan dalam
penyelesaian masalah gadai ini ditentukan dalam Peraturan Menteri dan Agraria No. 20
TAHUN 1963.
Pasal 7 UUPA Menentukan, bahwa untuk tidak merugikan kepentigan umum, maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan.
Asas yang terkandung dalam ketentuan ini adalah di-larangnya groot-groundbazit (tuan
tanah). Perlu diper-hatikan, bahwa telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 7 UUPA tersebut,
bahwa atas asas ini tidak dikehendakinya ada-nya pengecualian. Atas pembatasan ini diatur
lebih lanjut dalam pasal 17 UUPA dengan cara menentukan luas maksi-mum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai de-ngan sesuatu hak (tersebut dalam pasal 16) oleh
suatu keluarga atau badan hukum. Bahwa penetapan batas maksimum dan batas minimum
dilakukan dengan peraturan perundangan (UU No.56 Prp tahun 1960). Ditentukan lebih
lanjut dalam pasal 17 ayat (3) itu, bahwa tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas
maksimum tidak akan disita, tetapi akan diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian
kepada bekas pemilik tanah. Tanah-tanah kelebihan itu akan dibagi-bagikan ke-pada rakyat
yang membutuhkannya.
Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri
Agraria tanggal 5 januari 1961 No. Sekra 9/1/12, memberikan penjelasan mengenai beberapa
istilah yang dipergunakan dalam pegaturan ini.
Jika jumlahnya melebihi 7 orang luas maksimum untuk setiap anggota keluarga yang
selebihnya ditambah 70% ,tapi jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%,
sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh dari 20 hektar, baik
swah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering.
2. Bahwa yang dimaksud dengan “tanah pertanian” itu meli-puti juga semua tanah
perkebunan,tambak untuk per-ikanan, tanah untuk penggrmbalaan ternak, tanah
belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pen-caharian adalah
semua tanah yang menjadi hak orang, lainnya untuk perumahan dan perusahaan.
Adapun kriteria yang dipergunakan dalam menentukan batas maksimum pemilikan seperti
yang ditetapkan dalam pasal 1 ayat (2) UU No.56 Prp tahun 1960 dark angka 7 dari
penjelasan umumnya, ialah jumlah penduduk (kepadatan penduduk), luas daerah dan faktor-
faktor lain, seperti jenis kesuburan tanahnya (tersedianya tanah yang dapat dibagi), sawah
atau tanah kering.
Sanksi pidana atas pelanggaran wajib lapor ini tercamtum Pasal 10 ayat (1) huruf b,
diancam hukuman selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.
Orang atau orang-orang sekeluarga yang wajib lapor tadi, dilarang memindahkan hak
miliknya seluruh atau sebagian tanahnya tersebut,kecuali izin Kepala Kantor Agraria Daerah
Kabupaten/Kota-madia yang bersangkutan (pasal 4). Ketentuan ini bermaksud untuk
mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri akibat penetapan luas maksi-mum.sanksi
pidana atas pelanggarannya sama dengan untuk wajib lapor (Pasal 10 ayat (1) huruf a).
c. Redistribusi tanah
Setelah ditentukan batas luas maksimum yang boleh dikuasai oleh suatu keluarga sesuai
dengan keadaan daerahnya masing-masing dalam pasal 2 UU No. 56 1960, maka keluarga
yang menguasai tanah pertanian yang jumlahnya/luasnya melebihi batas maksimum wajib
melaporkan tanah kelebihannya kepada pejabat yang berwenang (pasal3 ).
Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu akan diambil oleh
pemerintah dengan kerugian yang selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang
membutuhkannya (penjelasan pasal 17 UUPA).
Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah kelebihan merupakan perwujudan asas
hukum agraria nasional, yang mengakui adanya hak milik perseorangan atas tanah dan
merupakan ciri pokok dari pasa land reform di indonesia.
Yang dijadikan dasar perhitungan besarnya ganti rugi menurut passal 6 PP No. 224 tahun
1961 adalah perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap
hektarnya menurut golongan kelas tanahnya dengan mempergunakan degresivitas, yaitu:
a. Untuk 5 hektar yang pertama tiap hertarnya 10 kali hasil bersih setahun
b. Unruk 5 hektar yang kedua, ketiga, dan ke empat tiap hektarnya 9 kali hasil bersih setahun
c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun.
Adapun yang dimaksut “hasil bersih” adalah seperdua hasil kotor bagi tanaman padi atau
sepertiga hasil kotor bagi palawijaya.
Apabila harga tanah menurut perhitungan padi lebih tinggi daripada harga umum , maka
harga umumlah yang dipakai untuk penetapan besarnya ganti rugi itu. Penggunaan ganti
kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada bekas pemilik tidak dibiarkan secara bebas,
malaikan diarahkan pada usaha-usaha pembangunan. Disamping itu keperluan pribadi tidak
diabikan. Karenanya pemberian ganti kerugian diatur 10% dalam bentuk uang simpanan yang
dapat diambilsewaktu-waktu sesuai denagn kebutuhan pribadi bekas pemilik, sejak 1 tahun
setelah itu dibagikan kepada rakyat sedangkan 90% harus di gunakan untuk usaha-usaha
pembangunan industri berupa surat utang land reform (pasal 7) , mengenai surat utang land
reform (SHL) ini lebih lanjut diatur dalam UU No. 6 tahun 1964.
Dengan Keputusan Presiden No. 26 tahun 1988 urusan land reform berada dibawah
Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah pada Deputy Bidang Pengaturan Penguasaan dan
Penatagunaan Tanah Badan Pertahanan Nasional. Sedang mengenai organisasi dan tata
penyelenggara land reform telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Presiden No. 55 tahun
1980 jo Keputusan Mendagri No. 37 tahun 1981 yang mencabut Keputusan Presiden No. 131
taun 1961 jo No. 263 tahun 1964. Kegiatan pelaksanaan tugas land and reform menurut
pengaturan lama itu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan para
Gubernur/Bupati/Walikota/Camat/Kepala Desa selaku kepala wilayah yang didampingi
Panitia Pertimbangan Land Reform Tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kotamdya.
Untuk memperlancar pembiayaan land reform dan mempermudah pemberian fasilitas-
fasilitas kredit, pasal 16 PP No. 224 tahun 1961 mewajibkan dibentuknya suatu yayasan yang
berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom dengan nama Yayasan Dana Land Reform
(YDL). Yayasan ini kemudian dibentuk dengan Akta Notari R. Kardiman, Jakarta No. 110.
Dalam Pembukaan Sidang 1 Panitia Pertimbangan Land Reform Pusat, Mei 1982,
Menteri Dalam Negeri menjelaskan, bahwa sejak 15 tahun kurang terdengar kegiatan panitia
land reform dan karenannya timbul kesan, seolah-olah land reform di Indonesia tidak
diperlukan lagi. Suatu nanggapan yang tidak benar.Diakuinya, bahwa sejak pemberontakan
G30 S/PKI memang terasa adannya perasaan takut dan lain-lain dari masyarakat dan aparat
pemerintah untuk mengucapkan kata land reformapalagi melaksanakannya, karena kata land
reform itu diidentikkan komunis. Padahal land reform adalah kebajikan pertahanan yang
dilaksanakan dihampir semua negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pengantar
Bunga Rumpai, him. X)
Dalam penataan ini diusahakan dan direncanakan penggunaan tanah yang sesuai
dengan kata kemmapuan fisik tanah dana keadaan serta perkembangan sosial ekonomis
masyarakat, sehingga dapat dihindari salah tempat dan salah urus dalam oenggunaan tanah,
dan perubahan penggunaan tanah dapat lebih dikendalikan. Dirumuskan sebagai kebijakan
pembangunan (dalam repelita V ) bahwa tata guna tanah dimaksudkan untuk meningkatkan
pelestarian produktivitas dan mutu tanah serta untuk pencegahan kerusakan dan kemerosotan
keuburannya. Juga dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan pengarahan dalam
meningkatkan efisiensi penggunaan tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan
pembangunan.
Dalam penatagunaan tanah ini perlu ditingkatkan usaha penetapan hutan lindung,
suaka alam, dan wilayah perlindungan khusus lainnyauntuk menghindari bencana ekologis
dikemudian hari.Penatagunaan tanah juga diperlukan untuk memberikan perlindungan
masyarakat tradisional dan suku terasing.
Usaha-usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah lama dilakukan, hanya yang
telah berhasil diungkapkan dalam bentuk perundang-undangan belum menyeluruh hanya
bersifat sektoral. UU No. 38 Prptahun 1960 baru menata mengenai luas minimum tanaman
tebu yang harus ditetapkan oleh menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan
kesinambungan produktivitas pabrik gula yang harus pula di imbangi dengan penetapan
maksimum luas tanah didaerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang
boleh ditanami tanaman perdagangan lain (misalnya tembakau Virginia) yang sedang
mempunyai harga pasar yang lebih baik. Ketentuan tadi di perbaiki dengan UU No. 20/1964,
yang menyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan
kaum tani atas tanah-tanah yang di haruskan ditanam yang diwajibkan (dalam hal ini “ tebu”
).
Atas masalah penghunian liar telah lama dilakukan penertiban. Sejak tahun 1948 ada
Ordonnansi Onreehtmatige Oooupatie van gronden dan kemudian UU Darurat No. 8/1954
dan No. 1/1956. Karena berbagai pertimbangan, peraturan-peraturan itu tidak berlaku lagi.
Kemudian dengan UU No. 51 Prp tahun 1960 ditetapkan peraturan tentang larangan
pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atas kuasanya. Kepada penguasa daerah
diberikan wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaikan atas tanah yang
bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang be..:..ak atau kuasanya yang sah yang ada di
daerahnya (Antara lain dengan perintah pengosonagan), dengan memperhatikan rencana
peruntukan dan pengunaan tanah yang bersangkutan (pasal 3,4).
a. Agar tanah yang dimaksud benar-benar digunakan sesuai dengan rencana proyek
yang sudah disetujui dalam jangka waktu dan sekaligus.
b. Mencegah digunakannya tanah-tanah tersebut sebagai objek spekulasi atas
investasi semata-mata.
Pengaturan mengenai tata guna tanah belum berhasil dituangkan dalam bentuk undang-
undang. Telah lama di informasikan bahwa RUU tata guna tanah sudah siap penyusunannya,
yang dalam pembahasannya selalu berkaitan dengan RW tata ruang. Penatagunaan atau
perencanaan tata guna tanah itu disusun dengan memperhatikan berbagai keperluan
(kepentingan), baik keperluan-keperluan Negara, peribadatan, pusat-pusat kehidupan maupun
bagi perkembangan produksi pertanian, industry, transmigrasi dan pertambangan. Seminar
tata guna sumber-sumber alam kesatu tahun 1967 berhasil merumuskan, bahwa perencanaan
tata agrarian harus didasarkan pada tiga atau asas, yaitu :
Berdasarkan rencana umum yang bersifat nasional tadi, pemerintah daerah (regional)
sesuai dengan keadaan daerah masing-masing (pasal 14 ayat 2 UUPA). Dalam praktek,
rupanya perencanaan penggunaan tanah itu dibedakan Antara perencanaan tanah pertanian di
daerah pedesaan (rural land use planning) dan perencanaan tanah perkotaan (urban land use
planning). Asas-asas penggunaan tanah yang dikemukakan dalam perencanaan di daerah
pedesaan adalah asas lestari, optimal, serasi dan seimbang (bisa di singkat LOSS), sedangkan
untuk perencanaan daerah perkotaan adalah asas-asas aman, tertib, lancer, dan sehat
(disingkat ATLAS).
Dalam ilmu perencanaan tanah itu, biasanya dikembangkan model-model tertentu (zoning
misalnya) dan pula dilaksanakan dengan teknik tertentu dibagi atas zone penggunaan, atas
dasar keperluan pusat-pusat kegiatan.
Adapun teknik konsolidasi tanah (land consolidation) adalah teknik penataan kembali
lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelusuran jalan, sungai, saluran
pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk
segi empat (panjang) dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap dan saluran
air.
Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara dengan
baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan didaerah bersangkutan sesuai dengan
pertunjukan-pertunjukan jawata-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburannya
serta di cegah kerusakannya. Kewajiban memeliharan tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, menjadi beban pula setiap orang,
badan hukum atau instasi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.
Adapun pertimbangan dari segi tata guna tanah itu, Antara lain menjawab pertanyaan :
a. Apakah pemberian hak atas tanh kepada pemohon itu sesuai dengan rencana tata guna
tanah yang sudah ada ?
b. Apakah penggunaan tanahnya sebagai yang dimakudkan pemohon sesuai dengan
daya kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?
c. Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan kesuburan
dan pengawetan tanah yang bersangkutan ?
Tetapi kemudian dengan PMDN No. 6 tahun 1986, dalam rangka dalam penyerdehanaan
dan pengendalian perizinan di bidang usaha (Inpres No. 5 tahun 1984) peraturan khusus
mengenai tata cara pelayanan pemberian fatwa ini dicabut.
Pemberian fatwa ini cukup diintegrasikan kedalam keseluruh rangkaian proses pelayanan
agraria dengan cara menuangkannya dalam risalah pemeriksaan tanah yang dibuat oleh
panitia pemeriksaan tanah (panitia “A” dan/atau panitia “B”).
a. Pasal 2 ayat (2), (3), pasal 14, dan pasal 15 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA).
b. UU No. 4 tahun 1982 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
c. UU No. 38 Prp tahun 1960 jo UU No. 20 tahun 1964 tentang penggunaan dan
penetapan luas tanah intuk tanaman-tanaman tertentu.
d. Mengenai penertiban/pemanfaatan :
1. UU No. 51 Prp tahun 1960 tentang pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya.
2. Instruksi Mendagri No. 2 tahun 1982 tertanggal 30 januri 1982.
3. Keputusan Mentri Dalam Negeri No. 268 tahun 1982 bertanggal 17 september
1982.
e. Mengenai fatwa tata guna tanah Peraturan Menti Dalam Negeri No. 3 tahun 1972 jo
No. 6 tahun 1986.
Kegiantan land use (penatagunaan tanah) yang sebelumnya merupakan fungsi dan
tugas direktorat land use, berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26
tahun 1988 sekarang menjadi tugas Direktorat penataan Tanah pada Deputy pengaturan
penguasaan dan penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional.
RANGKUMAN
Maksud dan tujuan land reform di Indonesia, Boedi Harsono (1975:279) mengutip pidato
Menteri Agraria, Sadjarwo 12 september 1960 waktu mengantar RUU di muka sidang Pleno
DPR-GR, yaitu :
a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang
berupa tanah.
b. Melakukan prinsip yaitu “tanah untuk tani”
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara
Indonesia.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasa tanah.
e. Untuk mempertinggi produksi dan terselenggaranya pertanian intensif.
Menurut asas land reform merupakan pemiliknya sendiri lah yang harus mengerjakan
tanah milik pertaniannya. Ini adalah untuk mencapai suatu tujuan agar bisa tercapai dan
sukses besarnya kemakmuran rakyat. Hukum pertanahan telah menetapkan bahwa batas
maksimum yang harus dimiliki oleh petani adalah 20 hektar tanah kering, 15 hektar tanah
basah, pada daerah yang penduduknya tidak padat. Daerah yang kuran padat batas
maksimumnya adalah 12 hektar tanah kering, sedangkan tanah basah 10 hektar. Lalu daerah
yang cukup padat tanah keringnya hanya 6 hektar, tanah sawah 5 hektar saja.
Dalam UU No. 56 Prp tahun 1960 (pasal 17 ayat 3) bahwa tanah-tanah yang kelebihan
dari batas maksimum tidak akan disita, namun akan diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian kepada bekas pemilik tanah. Batas maksimum tanah yang dimiliki petani adalah 2
hektar. Guntai adalah tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan
tersebut.
SOAL-SOAL LATIHAN
TES FORMATIF
1. Tanah milik pertanian harus dikerjakan sendiri oleh pemiliknya sendiri, ini
merupakan asas :
a. Land Use
b. Agrarian Reform
c. Land Reform
d. Fungsi Sosial
2. Perubahan-perubahan pada struktur tanah adalah :
a. Land Reform
b. Land Use
c. Land Reformation
d. Agrarian Reform
3. Azaz Land Use adalah bertujuan mencapai :
a. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
b. Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
c. Keadilan bagi para petani, perorangan atau kelompok
d. Meningkatkan usaha tani
4. Hukum pertanahan menetapkan, bahwa batas maksimum yang harus dimiliki
petani adalah:
a. 6 hektar tanah kering, 2 hektar tanah basah
b. 15 hektar tanah kering, 6 hektar tanah basah
c. 15 hektar tanah kering, 10 hektar tanah basah
d. 20 hektar tanah kering, 15 hektar tanah basah
5. Bagi daerah yang padat penduduknya, batas maksimum tidak boleh lebih melebihi
:
a. 10 hektar tanah kering, 5 hektar tanah basah
b. 15 hektar tanah kering, 10 hektar tanah basah
c. 6 hektar tanah kering, 5 hektar tanah basah
d. 6 hektar tanah kering, 15 hektar tanah basah
6. Guna mencapai kemakmuran masyarakat petani, batas maksimum tanah
permainan tidak boleh kurang dari :
a. 2 hektar
b. 1,5 hektar
c. 5 hektar
d. 6 hektar
7. Penetapan luas tanah pertanian diatur oleh :
a. Undang-undang No. 5 tahun 1960
b. Undang-undang No. 20 tahun 1961
c. Undang-undang No. 5 tahun 1961
d. Undang-undang No. 56 tahun 1960
8. Tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal diluar kecamatan tersebut di
sebut :
a. Tanah bengkok
b. Tanah ulayat
c. Tanah gantung
d. Tanah guntai
9. Hukum agraria Indonesia melarang orang yang mempunyai :
a. Tanah bengkok
b. Tanah ulayat
c. Tanah gantung
d. Tanah guntai
10. Penatagunaan tanah disebut :
a. Agraria Use Planning
b. Land Use Planning
c. Water Use Planning
d. Regional Planning
Rumus
10
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup
>70% = Kurang
Bila anda telah mencapai pengawasan 80% lebih anda dapat merumuskan pada modul
berikutnya. Tetapi jika belum mencapai 80% anda harus mengulang lagi bagian-bagian yang
belum anda kuasai