You are on page 1of 22

HIPOTIROIDISME

Hipotiroidisme adalah kelainan yang umum terjadi dan disebabkan oleh


defisiensi hormon. Hipotiroidisme didefinisikan sebagai kegagalan kelenjar tiroid
untuk memproduksi jumlah hormon tiroid yang mencukupi kebutuhan metabolik
tubuh.1 Hipotiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa katergori berdasarkan aspek-
aspek tertentu untuk memudahkan diagnosis. Berdasarkan waktu awitannya,
hipotiroidisme dibagi menjadi hipotiroidisme kongenital dan dapatan. Berdasarkan
tingkat disfungsi endokrin pada penderita, hipotiroidisme dapat dibagi menjadi
hipotiroidisme primer dan sekunder. Sedangkan, berdasarkan derajat keparahannya,
hipotiroidisme dapat dibagi menjadi hipotiroidisme berat atau hipotiroidisme klinis,
dan hipotiroidisme ringan atau subklinis.2

Penggolongan hipotiroidisme berdasarkan aspek-aspek tersebut penting


sekali mengingat kenampakan klinis pada pasien sangat beragam, mulai dari
asimptomatik hingga koma miksedema dengan kegagalan organ multisistem. Hal
ini disebabkan karena hampir seluruh sel yang aktif secara metabolik membutuhkan
hormon tiroid, sehingga adanya defisiensi pada hormon tiroid akan menimbulkan
efek yang luas. Pada cakupan yang lebih sempit, gejala klasik dari hipotiroid seperti
intoleransi pada suhu dingin, bengkak, jumlah keringat yang berkurang dan kulit
yang kasar bisa jadi tak didapatkan pada pasien, terutama pada pasien yang berusia
muda.1

Diagnosa hipotiroidisme dapat dengan mudah ditegakkan dengan


menghitung kadar hormon tiroid dalam darah. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
adalah pengukuran yang paling sensitif untuk mendiagnosa hipertiroidisme primer.
Nilai rujukan yang disepakati saat ini adalah 0.40-4.2 mIU/L. Bila nilai TSH
melebihi nilai rujukan tersebut, maka yang selanjutnya dilakukan adalah mengukur
kadar tiroksin (T4) bebas serta kadar triiodotironin (T3) pada darah.

Patofisiologi
Tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) diproduksi dari kelenjar tiroid. T4
diproduksi hanya dari tiroid saja, sedangkan T3 dibuat dari tiroid dan dari T4 yang
mengalami deiodinasi pada jaringan ekstratiroidal. Sekresi kedua hormon ini diatur
oleh hypothalamic-pituitary-thyroid axis. Walaupun kelainan pada hipotalamus
atau pituitari dapat memengaruhi fungsi tiroid, kelainan yang terlokalisir pada
kelenjar tiroid juga mengakibatkan berkurangnya produksi hormon tiroid, bahkan
menjadi penyebab terbanyak dari hipotiroidisme.

Pada tahap awal defisiensi T3, mekanisme kompensatorik akan mencoba


menanggulangi dan mempertahankan kadar T3. Berkurangnya produksi T4
menyebabkan peningkatan sekresi TSH oleh kelenjar pituitari. Sekresi TSH ini
kemudian menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia dari kelenjar tiroid dan aktivitas
enzim 5’-deiodinase, dan kemudian dapat meningkatkan produksi T3. Namun, lama
kelamaan mekanisme kompensatorik tidak lagi mampu menanggulangi defisiensi
T3 yang terjadi.

Defisiensi hormon tiroid memiliki efek yang luas. Hal ini terjadi karena
hampir seluruh sel yang aktif secara metabolik membutuhkan hormon tiroid. Efek
sistemik yang terjadi disebabkan karena kelainan pada proses metabolisme dan efek
langsung dari infiltrasi miksedematosa. Pada jantung, perubahan-perubahan yang
terjadi pada hipotiroidisme dapat menyebabkan berkurangnya kontraktilitas
jantung, cardiac enlargement, efusi perikardial, denyut jantung berkurang dan
berkurangnya curah jantung. Pada saluran cerna dapat terjadi aklorhidria, waktu
singgah intestinal memanjang dan stasis lambung. Selain itu sering juga ditemui
pubertas yang terlambat, anovulasi, iregularitas menstrual dan infertilitas. Fungsi-
fungsi metabolik intraselular dasar seperti konsumsi oksigen mitokondria dan
kalorigenesis melambat pada hipotiroidisme. Pengurangan laju metabolisme energi
dan produksi panas pada tubuh ini bermanifestasi sebagai basal metabolic rate yang
rendah, nafsu makan yang berkurang, intoleransi suhu dingin dan suhu basal tubuh
yang rendah. Perubahan bersihan metabolik yang terjadi menyebabkan peningkatan
kadar total kolesterol dan low-density lipoprotein (LDL) dan kemungkinan juga
menyebabkan perubahan pada kadar high-density lipoprotein (HDL).
Etiologi

Di Amerika Serikat dan beberapa daerah dengan asupan iodium yang


adekuat, autoimmune thyroid disease (tiroiditis Hashimoto) adalah penyebab paling
sering dari hipotiroidisme. Prevalensi dari antibodi ini lebih tinggi pada wanita, dan
meningkat seiring bertambahnya usia.3

Hipotiroidisme Primer

Hipotiroidisme primer adalah berkurangnya Tipe-tipe dari hipotiroidisme


primer meliputi4 :

a. Tiroiditis limfositik kronik (autoimun)


b. Tiroiditis post-partum
c. Tiroiditis subakut granulomatosa
d. Hipotiroidisme terpicu obat (drug-induced)
e. Hipotiroidisme iatrogenik

Tiroiditis Limfositik Kronik

Penyebab tersering dari hipotiroidisme dapatan adalah tiroiditis limfositik


kronik yang dikenal pula dengan sebutan tiroiditis Hashimoto. Pada kelainan ini
tubuh menganggap antigen pada tiroid sebagai benda asing dan memicu reaksi imun
kronik, menyebabkan infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid dan destruksi progresif
dari jaringan tiroid yang fungsional. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
tiroiditis Hashimoto dipengaruhi baik oleh faktor genetik atau kerentanan genetik
individu serta faktor-faktor lingkungan.5

Sebagian besar penderita yang terkena akan memiliki antibodi yang


bersirkulasi pada jaringan tiroid. Antibodi anti-thyroid peroxidase (Anti-TPO)
adalah tanda khas dari tiroiditis Hashimoto.6 Perlu diingat pula bahwa kadar
antibodi dapat berubah-ubah, antibodi ini mungkin tidak ditemui pada tahap awal
penyakit dan bahkan mungkin pula menghilang seiring berjalannya waktu. Dengan
adanya perubahan-perubahan tersebut, maka harus dimengerti bahwa ketiadaan dari
antibodi anti-TPO tidak dapat mengeksklusi diagnosis tiroiditis limfositik kronik.

Tiroditis Post-partum

Hampir 10% dari wanita yang baru saja melahirkan dapat mengalami
tiroiditis post-partum pada 2 hingga 12 bulan setelah persalinan.7 Risiko ini
meningkat hingga 25% pada wanita dengan diabetes mellitus tipe 1.8 Terlepas dari
kebutuhan terapi dengan menggunakan levothyroxine (LT4), keadaan ini bersifat
transien, dengan jangka waktu 2-4 bulan. Bagaimanapun, pasien dengan tiroiditis
post-partum memiliki risiko mengalami hipotiroidisme permanen atau rekurensi
dari tiroiditis post-partum pada kehamilan selanjutnya.

Tiroiditis Subakut Granulomatosa

Kelainan ini dikenal pula sebagai tiroiditis de Quervain. Kelainan ini adalah
penyakit yang relatif sering terjadi pada wanita paruh baya, dengan kelainan
meliputi low grade fever, nyeri tiroid, disfagia dan peningkatan erythrocyte
sedimentation rate (ESR).

Penyakit ini biasanya bersifat swasirna dan normalnya tidak menyebabkan


disfungsi tiroid jangka panjang. Kondisi inflamasi atau sindroma viral mungkin
berkaitan dengan hipertiroidisme transien yang diikuti oleh hipotiroidisme transien,
seperti pada tiroiditis de Quervain dan tiroiditis subakut).

Genetik

Penelitian yang mencakup genom yang memiliki keterkaitan yang luas


menunjukkan bahwa polimorfisme dari nukleotida tunggal yang terjadi dekat
dengan gen FOXE1 berhubungan dengan risiko kejadian penyakit tiroid dan sangat
berkaitan kuat dengan hipotiroidisme.9

Setidaknya 10% dari pasien dengan hipotiroidisme kongenital mengalami


kesalahan pada sintesis hormon tiroid.10 Mutasi pada gen TPO merupakan
kesalahan yang paling sering terjadi pada sintesis hormon, yang kemudian
menyebabkan kegagalan memproduksi jumlah TPO yang adekuat.11

Defisiensi Iodin dan Iodin Berlebih

Defisiensi iodin adalah penyebab hipotiroidisme yang paling umum


dijumpai. Iodin berlebih, seperti pada penggunaannya sebagai radiokontras,
penggunaan amiodaron, dan pada konsumsi rumput laut dapat menghambat
organifikasi iodida dan sintesis hormon tiroid sementara. Hal ini ini disebut sebagai
Wolff-Chiakoff effect. Pada individu yang sehat terdapat mekanisme untuk
menanggulangi efek tersebut, di mana simporter sodium-iodida akan tertutup
sementara dan membuat kadar iodin intraselular turun sehingga sintesis hormon
dapat berlanjut kembali.

Wolff-Chiakoff effect hanya bersifat sementara karena simporter sodium-


iodida mampu melakukan regulasi secara cepat. Bagaimanapun, pajanan terhadap
iodida berlebih dapat menimbulkan hipotiroidisme pada individu dengan kelenjar
tiroid abnormal.12

Hipotiroidisme Sentral

Hipotiroidisme sentral merupakan penurunan fungsi tiroid sebagai akibat


adanya kelainan atau kerusakan pada sumbu hipotalamus-pituitari-tiroid, yang
menyebabkan berkurangnya sekresi TSH yang selanjutnya menyebabkan
berkurangnya sekresi hormon tiroid.

Berbagai macam kelainan dapat menyebabkan hipotiroidisme sekunder.


Penyebab paling sering adalah adenoma pituitari. Penyebab lain yang mungkin
ditemui antara lain tumor yang mendesak hipotalamus, sindroma Sheehan, riwayat
irradiasi otak atau pituitari.

Gambaran Klinik

Pada penderita lanjut usia mungkin dapat ditemui gejala atau keluhan klasik
dari hipotiroidisme, namun sering sekali keluhan yang didapati pada penderita
lanjut usia tidak spesifik bila dibandingkan dengan penderita yang berusia muda
dan sangat mungkin tumpang tindih dengan penyakit yang menyertai.

Riwayat Medis

Hipotiroidisme pada umumnya bermanifestasi sebagai perlambatan pada


aktivitas fisik dan mental namun bisa juga tidak menimbulkan gejala apapun.
Gejala dan tanda dari hipotiroidisme sering sekali tidak kentara, tidak sensitif dan
tidak spesifik. Gejala dan tanda klasik (seperti intoleransi suhu dingin, bengkak,
berkurangnya jumlah keringat dan kulit yang kasar) mungkin tidak muncul.

Koma miksedema adalah bentuk berat dari hipotiroidisme yang


mengakibatkan berubahnya status mental pasien, hipotermia, bradikardia,
hiperkarbia dan hiponatremia. Kardiomegali, efusi perikardial, syok kardiogenik
dan ascites juga sering ditemui pada pasien. Koma miksedema sering terjadi pada
pasien dengan hipotiroidisme yang tidak terdiagnosa atau tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang diakibatkan oleh stressor eksternal, seperti temperatur rendah,
infeksi, infark myokard, stroke atau intervensi medis.

Gejala yang ditemui pada hipotiroidisme antara lain1,2,4 :

a. Kelelahan, letargi
b. Berat badan bertambah
c. Nafsu makan berkurang
d. Intoleransi suhu dingin
e. Kulit kering
f. Rambut rontok
g. Rasa mengantuk
h. Nyeri otot, nyeri sendi, kelemahan pada ekstremitas
i. Depresi
j. Emosi yang labil, kelainan mental
k. Daya ingat menurun, ketidakmampuan konsentrasi
l. Konstipasi
m. Gangguan menstruasi, infertilitas
n. Perspirasi berkurang
o. Parestesia
p. Pandangan kabur
q. Gangguan pendengaran
r. Serak

Pemeriksaan Fisik

Tanda yang ditemukan pada hipotiroidisme biasanya tidak begitu jelas dan
membutuhkan pemeriksaan fisik yang teliti dan hati-hati. Terlebih lagi, tanda yang
ditemui biasanya dianggap sebagai bagian dari proses penuaan. Bagaimanapun,
klinisi harus mempertimbangkan tanda-tanda tersebut sebagai dasara untuk
mengambil keputusan diagnosis.

Tanda yang mungkin ditemui pada hipotiroidisme meliputi1,2,4 :

a. Berat badan bertambah


b. Gerakan dan bicara yang melambat
c. Kulit kering
d. Jaundice
e. Pucat
f. Rambut yang kasar
g. Hilangnya rambut pada kepala, ketiak dan pubis
h. Mimik wajah yang datar
i. Edema periorbital
j. Makroglosia
k. Goiter (simpleks maupun nodular)
l. Bradikardia
m. Serak
n. Peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
o. Efusi perikardial
p. Distensi abdominal, ascites
q. Hipotermia
r. Edema non pitting
s. Pitting edema tungkai bawah
t. Hiporefleksia, ataxia

Pemeriksaan Laboratorik

Pengukuran kadar TSH dan T4 adalah pemeriksaan penunjang yang sangat


diperlukan untuk menegakkan diagnosa hipotiroidisme dan diagnosa banding
hipotiroidisme primer (klinis dan subklinis) dan sekunder.

Ketika kadar TSH meningkat dan T4 berkurang atau normal maka


diagnosanya adalah hipotiroidisme primer. Dalam konteks ini, peningkatan
antibodi anti-TPO arau anti-Tg menunjukkan penyebab hipotiroidisme, yakni
tiroiditis autoimun. Hipotiroidisme primer dikatakan bersifat klinis bila TSH
meningkat dan kadar T4 berkurang, dan dikatakan bersifat subklinis jika kadar TSH
meningkat dan kadar T4 normal. Ketika kadar TSH normal atau berkurang dan
kadar T4 rendah maka yang terjadi adalah hipotiroidisme sekunder.

Untuk membedakan apakah pituitari atau hipotalamus yang menjadi


penyebab hipotiroidisme, maka perlu dilakukan sebuah uji yang menggunakan TSH
releasing factor (uji TRH). Bila penyebabnya pituitari maka respon yang diberikan
normal, sedangkan bila penyebabnya adalah hipotalamus, maka responnya tidak
normal (jumlah TSH tidak meningkat setelah uji dilakukan).2
Selain pemeriksaan dari TSH dan T4, dapat ditemui pula peningkatan kadar
kolesterol total dan low-density lipoprotein (LDL), kadar ion natrium turun dan
kadar hemoglobin menurun.

Pada hipotiroidisme sentral juga dilakukan penegakkan diagnosis dengan


bantuan modalitas pencitraan otak.

Biasanya nilai rujukan dari TSH adalah 0.4-4.9 mU/L. Ketika TSH berada
pada batas atas nilai rujukan, maka kemungkinan terjadi hipotiroidisme ringan,
yang apabila dibiarkan akan berkembang menjadi hipotiroidisme, terutama bila
jumlah antibodi meningkat.

Terapi

Tujuan pengobatan yang diberikan adalah mengganti kekurangan kadar


hormon tiroid. Pengobatan hipotiroidisme pada pasien lanjut usia yang dianjurkan
adalah dengan pemberian Na-Levotiroksin yang dimulai dengan dosis rendah 0.25-
0.5 mcg/kg/hari. Levotiroksin adalah obat yang paling sering dipakai, dengan dosis
rendah levotiroksin efektif untuk mengurangi gejala dan menormalkan kadar TSH.

Bila terdapat toleransi sistem kardiovaskular, maka dosis dapat ditingkatkan


menjadi 12.5-25 mcg tiap 4-6 minggu hingga kadar hormon tiroid terpenuhi, yang
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar TSH. Penatalaksanaan
hipotiroidisme ini bersifat jangka panjang dan tetap harus dilakukan walaupun
gejala-gejala sudah membaik, sehingga kepatuhan minum obat serta kadar hormon
tiroid harus selalu dipantau 6 bulan-1 tahun sekali. Sebaliknya, terlepas dari gejala-
gejala hipotiroidisme yang membaik, tanda-tanda peningkatan aktivitas tiroid
seperti penurunan berat badan yang cepat, gelisah, dan perspirasi berlebih harus
diwaspadai.

Selain hal-hal tersebut, penatalaksanaan pada pasien dengan usia tua dan
pasien dengan penyakit jantung iskemik haruslah diperhatikan. Pada pasien dengan
usia tua dan pasien dengan penyakit jantung, dosis awal yang diberikan dosis
levotiroksin 25 mcg atau 50 mcg setiap hari, dengan dosis yang boleh ditingkatkan
25 mcg tiap 3 hingga 4 minggu hingga tercapai estimated full replacement dose.13
Hormon tiroid dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas
jantung, sehingga terjadi peningkatan permintaan oksigen myokardial. Oleh sebab
itu, memulai terapi pada dosis yang tinggi dapat memicu sindroma koroner akut
atau aritmia.14

Koma Miksedema

Koma miksedema adalah manifestasi yang sangat jarang namun sangat


parah dari hipotiroidisme yang sangat umum terjadi pada wanita tua yang memiliki
riwayat hipotiroidisme primer. Tanda-tanda dari koma miksedema antara lain
perubahan status mental meliputi letargi, disfungsi kognitif, dan bahkan psikosis,
dan hipotermia.15 Hiponatremia, hipoventilasi dan bradikardia juga dapat terjadi
pada pasien dengan koma miksedema.

Karena koma miksedema merupakan kegawatdaruratan medis dengan


tingkat mortalitas yang tinggi, bahkan dengan penatalaksanaan yang baik pun
pasien tetap harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) di mana bantuan ventilasi,
elektrolit dan hemodinamik dapat diberikan. Selain pemberian penatalaksanaan
yang sesuai, pencarian faktor-faktor yang memicu seperti infeksi, penyakit jantung,
gangguan metabolik atau penggunaan obat-obatan tertentu penting sekali
dilakukan.15

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengatasi koma miksedema adalah


pengawasan tanda-tanda vital, dukungan alat bantu napas, koreksi gangguan
elektrolit, pemberian antibiotik secara empirik bila ada kemungkinan infeksi, serta
tidak menggunakan obat-obat hipnotik sedatif.

Pada pasien koma miksedema terapi hormon tiroid yang diberikan dimulai
dengan dosis awal 200 mcg- 300 mcg tiroksin diberikan secara intravena,
dilanjutkan dengan pemberian tiroksin 50 mcg/hari. Bila dibutuhkan kerja yang
lebih cepat dari hormon tiroid pada kegawatdaruratan kardiovaskular, dapat
diberikan lio-tironin bersamaan dengan dosis awal 5-25 mcg, diteruskan dengan
dosis 2.5-5 mcg/8 jam hingga ada perbaikan. Bila didapatkan adanya kemungkinan
insufisiensi adrenal dapat diberikan glukokortikoid hidrokortison 50-100 mg/8 jam.

Hipotiroidisme Subklinis

Hipotiroidisme subklinis adalah sebuah diagnosis subklinis yang


didefinisikan sebagai kadar T4 yang berada pada rentang nilai normal disertai
peningkatan kadar TSH. Pasien mungkin memiliki gejala yang mengacu pada
hipotiroidisme, namun boleh jadi tidak ditemui gejala apapun pada pasien. Pada
pengujian berulang, kadar TSH mungkin normal pada banyak pasien.
Bagaimanapun, pada penelitian prospektif dengan 107 responden berusia lebih dari
55 tahun, kadar TSH awal lebih dari 10-15 mIU/L adalah variabel yang berkaitan
erat dengan progresi menuju hipotiroidisme.16 Peningkatan titer antibodi tiroid
peroksidase juga meningkatkan risiko progresi kegagalan kelenjar tiroid, bahkan
ketika kadar TSH kurang dari 10 mIU/L. Penatalaksanaan dengan levotiroksin
harus dipertimbangkan pada pasien dengan kadar TSH awal lebih dari 10 mIU/L,
pasien dengan titer antibodi tiroid peroksidase yang meningkat, pasien dengan
gejala hipotiroidisme dan kadar TSH antara 5-10 mIU/L, dan pasien yang hamil.

HIPERTIROIDISME

Hipertiroidisme adalah efek dari berlebihnya kadar hormon tiroid pada


sirkulasi darah, baik oleh akibat produksi kelenjar tiroid, atau efek dari pengobatan.
Tanda dan gejala hipertiroidisme berbeda antar individu. Sebanyak 10-15% pasien
tirotoksikosis merupakan pasien berusia di atas 60 tahun.17 Perbandingan antara
wanita dan pria yang menderita hipertiroidisme sebesar 4:1 hingga 10:1.18 Pasien
berusia tua memiliki tanda dan gejala hipertiroidisme yang berbeda pula.18 Pasien
terkadang dapat datang dengan gejala klasik seperti nervousness, kelemahan otot,
palpitasi, peningkatan berkeringat, insomnia, penurunan berat badan, miopati, dan
gejala-gejala pada mata. Namun, hipertiroidisme pada populasi geriatri sering
memiliki gejala minimal, ataupun berbeda dengan gejala pada pasien berusia muda,
seperti ketiadaan gejala pada mata maupun kelenjar tiroid yang tidak membesar.17
Hal ini disebabkan oleh atrofi kelenjar yang terjadi pada pasien berusia tua.19
Penyebab penyakit hipertiroidisme pada geriatri lebih banyak disebabkan oleh
goiter multinoduler toksik; berbeda dengan penyebab hipertiroidisme pada pasien
berusia muda yang lebih sering disebabkan oleh karena penyakit Graves’.18

Dalam beberapa kasus yang jarang, konsumsi makanan yang mengandung


iodium (seperti makanan sari laut / seafood), penggunaan amiodaron, maupun
kontras yang mengandung iodium (yang digunakan dalam pemeriksaan radiologis)
dapat pula menyebabkan hipertiroidisme. Hingga 40% pasien yang mendapatkan
pengobatan amiodaron akan memiliki kadar T4 di atas normal, oleh karena obat ini
dapat mempengaruhi metabolisme T4, walau hanya sekitar 5% pasien yang akan
memberikan gejala klinis tirotoksikosis yang berat.18 Amiodaron dapat
menyebabkan dua kondisi penyakit tiroid: membentuk goiter multinoduler maupun
menyebabkan tiroiditis destruktif. Penghentian amiodarone tidak secara langsung
memperbaiki kondisi, oleh karena waktu paruh amiodarone yang panjang.
Penghentian terapi amiodaron itu sendiri bahkan mungkin tidak memungkinkan
karena pasien mungkin memiliki penyakit jantung yang membutuhkan terapi
amiodaron, di antaranya adalah fibrilasi atrium. Tirotoksikosis terinduksi iodium
(iodine induced thyrotoxicosis) atau penyakit Iod-Basedow lebih sering terjadi pada
pasien berusia tua.19

Hipertiroidisme juga perlu dicurigai pada pasien berusia tua yang


mendapatkan terapi hormonal tiroid, khususnya jika dosis terapi >0,15mg L-
tiroksin per hari. Penderita berusia tua yang mendapatkan hormon tiroid dengan
dosis kecil dalam jangka panjang juga dapat mengalami hipertiroidisme oleh karena
penurunan kemampuan tubuh dalam mendegradasi T4.18

Kenaikan T3 yang terisolasi dengan TSH yang tersupresi disebut sebagai


“tirotoksikosis T3”, yang ditemukan pada hingga 10% dari pasien tirotoksikosis
berusia tua. Tirotoksikosis T3 terjadi oleh karena sekresi T3 yang berlebih oleh
nodul toksis soliter atau goiter multinoduler toksik, yang menimbulkan supresi TSH
dan T4. Diagnosis tirotoksikosis T3 pada pasien berusia tua didasarkan atas
gambaran klinis dan laboratoris yang menunjukkan peningkatan kadar T3 dan kadar
T4 yang normal atau rendah. Toksikosis ini hanya dapat ditemukan pada pasien
berusia tua. 18,19

Sebaliknya, “toksikosis T4” terjadi ketika didapatkan peningkatan T4 tanpa


peningkatan kadar T3. Peningkatan T4 tanpa peningkatan kadar T3 ini terjadi pada
pasien hipertiroid berusia tua yang juga memiliki penyakit nontiroid lain.18 Hal ini
terjadi oleh karena inhibisi 5’deiodinase oleh penyakit nontiroid yang dideritanya,
sehingga mengakibatkan kadar T3 yang rendah.19

Proses Penuaan pada Kelenjar Tiroid dan Hubungannya dengan


Hipertiroidisme

Penuaan dapat didefinisikan sebagai deteriorasi fungsional dari organisme


karena ada proses stokastik dari jejas molekular dan selular akumulatif yang
menyebabkan peningkatan probabilitas penyakit dan kematian. Penuaan ditandai
oleh adanya perubahan pada pensinyalan hormon, yang salah satu di antaranya
adalah penurunan kadar hormon tiroid, yang dicerminkan pada disrupsi irama
sirkadian terkait-usia yang menyebabkan deteriorasi pola sekretorik hormonal.

Sistem endokrin dan organ endokrin tertentu, termasuk kelenjar tiroid,


mengalami perubahan fungsional krusial seiring bertambahnya usia seseorang atau
ketika seseorang mengalami penuaan. Banyak sekali perubahan morfologis dan
fisiologis dari tiroid yang terjadi selama proses penuaan dan telah dipelajari.
Spesifisitas penyakit tiroid pada orang tua, berbeda secara esensial dari apa yang
dapat diamati pada pasien yang lebih muda.

Proses penuaan mempengaruhi baik prevalensi dan kenampakan klinis dari


hipotiroidisme dan hipertiroidisme. Gangguan subklinis dari fungsi tiroid lebih
sering terjadi dibandingkan gangguan klinis, begitu pula pada orang berusia tua.20
Hipertiroidisme subklinis ditandai dengan kadar TSH yang berada di bawah nilai
rujukan dan kadar T4 yang normal. Hipertiroidisme subklinis ditemui pada 8% dari
individu berusia 65 tahun ke atas.21 Hipertiroidisme berhubungan dengan manusia
yang lebih tua dengan densitas mineral tulang yang berkurang dan fraktur, atau
dengan kelainan kognitif.21,22

Pada proses penuaan terjadi perubahan pada mekanisme yang mengontrol


pelepasan TSH sehingga kadar TSH serum yang pada usia dewasa muda mengikuti
irama sirkadian menjadi kurang fluktuatif. Salah satu hal yang menyebabkan
perubahan pada mekanisme tersebut adalah usia dan jenis kelamin. Beberapa
penelitian menunjukkan terjadi gangguan respon TSH atas stimulasi TRH pada pria
di atas usia 60 tahun berupa penurunan kadar TSH sebesar 40% dibandingkan pada
pria dewasa muda. Pada wanita tidak terjadi hal demikian. Pada usia tua, terjadi
penurunan kadar T4 dan T3 yang disebabkan penurunan akumulasi yodium pada
kelenjar tiroid yang mengalami penuaan. Thyroid binding globulin (TBG)
sebaliknya, tidak mengalami perubahan kadar walau terjadi penuaan. Pada kondisi
normal kadar T4 dan kadar T3 akan cenderung tetap bahkan pada proses penuaan
sekalipun, sehingga adanya penurunan kadar tersebut cenderung dianggap sebagai
akibat dari proses penyakit dan bukan sebagai akibat dari proses penuaan itu sendiri.

Pada usia tua, hipertiroidisme menjadi salah satu kondisi klinis serius yang
berhubungan secara signifikan dengan morbiditas dan mortalitas. Terlebih lagi
hipertiroidisme sulit untuk didiagnosa karena efek yang tumpang tindih antara obat-
obatan yang dikonsumsi dan penyakit-penyakit akut dan kronik yang menyertai
pada saat interpretasi hasil uji fungsi tiroid.23 Beberapa penelitian telah melaporkan
prevalensi hipertiroidisme secara spesifik pada populasi orang berusia tua. Rerata
prevalensi menunjukkan sekitar 1-3% subjek di atas 60-65 tahun mengalami
hipertiroidisme.24

Gambaran Klinik

Dapatan klinik pada usia tua dengan hipertiroidisme sangat bervariasi.


Secara umum, tampilan klinik penderita hipertiroidisme berusia tua sangat berbeda
dengan tampilan penyakit pada usia dewasa muda. Gejala klinis hipertiroidisme
yang ditemukan lebih jarang secara bermakna pada populasi geriatri antara lain
adalah refleks hiperaktif, peningkatan keringat, intoleransi panas, tremor,
nervousness, polidipsi dan peningkatan nafsu makan.25 Tabel di bawah ini
menunjukkan perbedaan tersebut.

Tabel. Frekuensi gejala dan tanda klinis hipertiroidisme pada dewasa muda dan
usia tua. Diambil dari sumber 25

Persen terjadi Persen terjadi


pada pasien pada pasien
Gejala dan Tanda Klinis berusia tua berusia muda Nilai P
Takikardi 71 96 .01
Kelelahan 56 84 .01
Penurunan berat badan 50 51 .87
Tremor 44 84 <.001
Dispneu 41 56 .20
Apati 41 25 .20
Anoreksia 32 4 <.001
Nervousness 31 84 <.001
Refleks hiperaktif 28 96 <.001
Kelemahan 27 61 .01
Depresi 24 22 87
Berkeringat 24 95 <.001
Polidipsi 21 67 <.001
Diare 18 43 .02
Konfusio 16 0 .01
Atrofi otot 16 10 .52
Intoleransi panas 15 92 <.001
Konstipasi 15 0 .01
Peningkatan nafsu makan 0 57 <.001
*Nilai P <0,002 dianggap bermakna

Hipertiroidisme lebih sukar didiagnosis pada geriatri oleh karena gejalanya


yang tidak biasa. Tanda dan gejala klasik hipertiroidisme pada usia muda, seperti
tremor, penurunan berat badan, diare, dan intoleransi terhadap panas mungkin bisa
tidak ditemukan pada pasien geriatri.19 Tampilan yang terlihat mungkin lebih
banyak berupa penurunan kapasitas fungsional. Sering terdapat rasa mudah lelah,
perubahan kognitif, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, aritmia
jantung dan penyakit jantung kongestif. Tanda mata (eye-signs) yang sering
terdapat pada hipertiroidisme jarang terlihat pada penderita usia tua. Peningkatan
gerakan usus yang sering menyebabkan diare pada usia tua lebih sering terlihat
justru sebagai suatu normalisasi frekuensi BAB pada penderita yang sebelumnya
mengalami konstipasi. Anemia dan hiponatremia sering terdapat pada penderita
hipertiroidisme dan dianggap sebagai akibat dari penyakit penyerta (comorbid
illness). 18

Gejala apatis, takikardi dan penurunan berat badan merupakan gejala klinis
tirotoksikosis yang umum ditemukan pada pasien hipertiroid berusia tua.
Nervousness, refleks hiperaktif, peningkatan keringat, polidipsi dan atrofi otot lebih
sering ditemukan pada pasien hipertiroid berusia tua.25 Peningkatan nafsu makan
merupakan salah satu ciri hipertiroidisme pada pasien berusia muda, sebaliknya,
penurunan nafsu makan dapat ditemukan pada hingga 25% pasien hipertiroidisme
berusia tua.17

Istilah “Apathetic thyrotoxicosis” digunakan untuk mendefinisikan gejala


hipertiroidisme pada populasi geriatri yang datang dengan depresi, letargi, dan
penurunan berat badan.19 Penderita dengan apathetic thyrotoxicosis tidak
menunjukkan gejala hiperaktif, iritabel, ataupun tidak mau diam seperti yang
ditemukan pada penderita dewasa muda. Seringkali penderita seperti ini salah
didiagnosis sebagai penderita penyakit keganasan ataupun depresi berat.18

Gejala yang lebih sering terlihat pada hipertiroidisme yang terjadi pada
populasi geriatri adalah penurunan berat badan yang nyata, penurunan nafsu makan,
gejala angina yang memburuk, agitasi, konfusio dan edema.18 Sebagian besar
pasien tirotoksik mengalami penurunan nafsu makan, sehingga mendasari
terjadinya penurunan berat badan tersebut. Penurunan berat badan tersebut
mungkin disalahartikan sebagai adanya suatu proses keganasan. Beberapa pasien
hipertiroidisme berusia tua datang dengan gejala “thyrotoxic encephalopathy”
dengan ciri agitasi dan konfusio.19
Pasien hipertiroidisme berusia tua juga memiliki beberapa manifestasi
jantung yang penting untuk diketahui. Aritmia atrium, penyakit jantung kongestif,
dan blokade jantung lebih sering terjadi pada pasien hipertiroidisme berusia tua.17
Peningkatan denyut jantung disertai peningkatan kebutuhan oksigen, isi sekuncup,
curah jantung dan pemendekan waktu ejeksi ventrikel kiri terjadi oleh karena
adanya palpitasi.18 Fibrilasi atrium dengan ventricular rate yang rendah terjadi pada
20% pasien hipertiroid. Hal ini terjadi oleh karena sistem kardiovaskuler masih
sensitif terhadap efek hormon tiroid, bahkan pada pasien geriatri.19 Pada pasien
geriatri dengan atrial fibrilasi onset dini, perlu dipertimbangkan adanya
hipertiroidisme yang tidak didiagnosis sebelumnya.17 Pasien geriatri dengan
hipertiroidisme juga dapat mengalami gejala angina pektoris atau gagal jantung.
Problem gastrointestinal yang umum terjadi pada pasien hipertiroidisme berusia tua
antara lain adalah nyeri perut, nausea, dan tumpah.18

Secara umum, pasien hipertiroid berusia tua memiliki tanda dan gejala yang
berbeda dengan pasien berusia muda, oleh karena pasien hipertiroid berusia tua
memiliki tanda dan gejala klinis yang lebih sedikit, frekuensi gejala yang lebih
rendah, peningkatan frekuensi anoreksia dan fibrilasi atrial, serta ketiadaan goiter
(pada sekitar 50% pasien hipertiroid berusia tua).25

Diagnosis

Diagnosis hipertiroidisme pada pasien berusia tua didapatkan dari


pemeriksaan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) yang dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan laboratorium yang sesuai.17 Pemeriksaan fisik tiroid tidak
terlalu baik dilakukan oleh karena terdapat perubahan anatomis pada tiroid terkait
dengan usia pasien. Jika terdapat pembesaran kelenjar tiroid difus, kemungkinan
pasien menderita penyakit Graves’; namun jika terdapat pembesaran kelenjar tiroid
noduler, kemungkinan pasien menderita goiter multinoduler toksik.19

Pemeriksaan hormonal dapat dilakukan dengan memeriksa kadar T3 dan T4.


Pada umumnya, pemeriksaan hormon tiroid pada kasus hipertiroidisme pada
populasi berusia tua didapatkan hasil peningkatan kadar T4.17 Peningkatan kadar
T4 bebas (free T4) dan kadar TSH yang rendah menunjukkan hipertiroidisme
primer. Jika terdapat kadar T4 yang normal dengan TSH yang tersupresi,
dibutuhkan pemeriksaan kadar T3 untuk menyingkirkan diagnosis toksikosis T3.19
Keadaan tirotoksikosis T3 dapat ditemukan pada pasien dengan adenoma soliter
atau goiter multinoduler toksik.17 Kadar TSH yang rendah ditemukan pada pasien
yang menerima terapi glukokortikoid dan pasien dengan penyakit nontiroid.
Pemeriksaan TRH pada pasien geriatri jarang dibutuhkan.

Pemeriksaan radionuklir dengan radioiodium atau technetium tidak terlalu


berguna pada pasien berusia tua. Uptake radionuklir didapatkan normal pada sekitar
30% pasien berusia tua dengan penyakit Graves, dan hingga 70% pada pasien
dengan goiter multinoduler toksik, sehingga tidak dapat menyingkirkan diagnosis
hipertiroidisme. Penurunan uptake dapat mengisyaratkan adanya tiroiditis atau
penggunaan amiodaron sebelumnya. Pemeriksaan RAIU (Radioactive Iodine
Uptake Test) berguna jika didapatkan angka yang sangat tinggi yang menunjukkan
adanya penyakit Graves’, atau sangat rendah (<1%) yang menunjukkan adanya
hipertiroidisme yang membaik secara spontan.17 Uptake I-131 yang sangat rendah
pada penderita dengan peningkatan kadar hormon tiroid di sirkulasi mengarah pada
kemungkinan asupan hormon tiroid eksogen, fase hipertiroidisme dari tiroiditis
subakut, atau tiroiditis tanpa gejala atau hipertiroidisme yang diinduksi oleh
iodium.18 Meskipun demikian, pemeriksaan nuklir dapat digunakan jika dokter
akan merencanakan terapi radioiodium untuk kasus hipertiroidisme.19

Diagnosis banding penyakit hipertiroidisme pada pasien berusia tua perlu


dipertimbangkan oleh karena pasien berusia tua pada umumnya juga memiliki
penyakit komorbid. Tatacara diagnosis dan asesmen geriatrik harus selalu
dilaksanakan, dan tidak hanya berfokus pada gejala hipertiroidisme maupun akibat
hipertiroidisme pada pasien saja. Penyakit lain yang dapat menjadi diagnosis
banding antara lain adalah depresi dan/atau kecemasan, penyakit keganasan,
diabetes mellitus, menopause dan feokromositoma.18
Penatalaksanaan Hipertiroidisme pada Pasien Berusia tua

Penatalaksanaan hipertiroidisme pada pasien berusia tua berkaitan erat


dengan penyebab terjadinya hipertiroidisme. Pilihan terapi hipertiroidisme antara
lain adalah terapi medikamentosa, atau terapi ablasi tiroid dalam bentuk operasi
maupun terapi radioiodin.19 Terapi ablasi tiroid secara radioiodin lebih dipilih
dibandingkan operasi pada pasien hipertiroidisme berusia tua oleh karena
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi pada operasi.17,26 Salah satu
kekhawatiran terapi radioiodin adalah timbulnya krisis tiroid selama ablasi. Hal ini
dapat dicegah dengan pengobatan anti-tiroid sebelum dilakukan terapi radioiodin.
Meski penggunaan pengobatan antitiroid berkaitan dengan kegagalan radioiodin,
kontrol tirotoksikosis dengan obat-obatan antitiroid, penghentian obat-obatan
antitiroid 3-5 hari sebelum ablasi radioiodin, dan kembali melanjutkan terapi 3-5
hari setelah radioablasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Setelah
radioablasi, obat-obatan antitiroid kembali diberikan setelah 3-5 hari, dan fungsi
tiroid dipantau setiap bulannya. Pembedahan diindikasikan pada goiter toksik
multinoduler berukuran besar yang memiliki gejala berkaitan dengan tekanan yang
ditimbulkan oleh besarnya kelenjar tiroid.19

Pengobatan penyakit Graves pada pasien berusia tua dilakukan dengan


memberikan obat-obatan antitiroid selama 2-3 bulan hingga dicapai kondisi eutiroid.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah hormon tiroid yang telah dibentuk dan
ditampung dalam kelenjar tiroid, untuk mengurangi risiko pelepasan hormon tiroid
dari penyimpanan glanduler setelah radiasi, yang dapat mengakibatkan kondisi
hipertiroid kembali terulang.17 Dosis iodin radioaktif tidak berbeda antara pasien
berusia tua dan muda.

Obat-obatan anti-tiroid yang umum digunakan antara lain adalah metimazol,


karbimazol dan propiltiourasil. Apabila diagnosis penyakit Graves atau goiter
multinoduler toksik telah ditegakkan, propiltiourasil atau metimasol segera dapat
diberikan. Efek penurunan kadar T4 akan terlihat dalam waktu 2-4 minggu seteah
dimulainya terapi. Obat-obatan antitiroid dapat menyebabkan demam, ruam, dan
nyeri sendi pada 1-5% pasien. Agranulositosis adalah efek samping yang sering
terjadi pada pasien berusia tua, dan lebih sering ditemui dengan penggunaan
propiltiourasil atau metimasol >30 mg/hari, di mana efek samping ini terlihat
setelah 3 bulan terapi.19,18

Obat-obatan penghambat beta-adrenergik, seperti propranolol long-acting,


atenolol, nadolol, metoprolol dapat mengatasi gejala terkait jantung dan
neuromuskuler secara cepat pada pasien dengan hipertiroidisme.19,18 Obat-obatan
penghambat beta adrenergik dapat digunakan sebagai adjuvan, khususnya pada
awal terapi antitiroid, dan sebagai pengobatan simptomatis ketika pasien merasa
terganggu dengan takikardi yang terjadi.17 Pemberian obat-obatan penghambat
beta-adrenergik harus diwaspadai pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis, penyakit jantung kongestif dan diabetes melitus yang mendapatkan terapi
insulin.18 Pasien hipertiroid sensitif terhadap derivat coumarin, sehingga efek
antikoagulasi dapat diperoleh dengan dosis yang lebih kecil.19

Terapi goiter multinoduler toksik berbeda oleh karena dibutuhkan iodin


radioaktif dengan dosis yang lebih besar, oleh karena uptake iodin yang lebih
rendah dan distribusi isotop dalam kelenjar tiroid setelah terapi yang tidak merata.
Dosis yang digunakan pada umumnya berkisar antara 25-29 mCi. Pasien dengan
goiter multinoduler toksik terkadang membutuhkan dosis kedua atau ketiga setelah
5 bulan, jika konsentrasi hormon tiroid pasien tidak mencapai normal. Meskipun
pasien memiliki kadar hormon tiroid yang normal, pembesaran kelenjar tiroid
seringkali tidak mengecil.17
Daftar Pustaka

1. Eisenhower DD, Medical A, Gordon F. Hypothyroidism: An Update. 2012;


2. Kostoglou-Athanassiou I, Ntalles K. Hypothyroidism - new aspects of an
old disease. Hippokratia. 2010. p. 82–7.
3. Vanderman M, Braverman LE, Utiger RD. Werner and Ingbar’s The
Thyroid : A Fundamental and Clinical Text. 9th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005. 398-496 p.
4. Orlander PR, Varghese JM, Freeman LM. Hypothyroidism. Medscape.
2018.
5. Bossowski A, Moniuszko M, Dabrowska M. Analysis of T Regulatory
Cells in the Peripheral Blood in Children with Grave’s Disease and
Hashimoto’s Thyroiditis. Endokrynol Pediatyczna. 2011;34(1):37–48.
6. Hutfless S, Matos P, Talor M V, Caturegli P, Rose NR. Significance of
Prediagnostic Thyroid Antibodies in Women with Autoimmune Thyroid
Disease. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96(9):E1466–71.
7. Barca MF, Knobel M, Tomimori E, Cardia MS, Medeiros-Neto G.
Prevalence and Characteristics of Post-partum Thyroid Dysfunction in Sao
Paulo, Brazil. Oxford Clin Endocrinol. 2000;53:21–31.
8. Alvarez-Marfany M, Roman SH, Drexler AJ, Robertson C, Stagnaro-Green
AS. Long-term prospective study of postpartum thyroid dysfunction in
women with insuling dependent diabetes mellitus. J Clin Endocrinol
Metab. 1994;79:10–6.
9. Denny JC, Crawford DC, Ritchie MD, Bielinski SJ, Basford MA, Bradford
Y, et al. Variants Near FOXE1 Are Associated with Hypothyroidism and
Other Thyroid Conditions : Using Electronic Medical Records for Genome-
and Phenome-wide Studies. Am J Hum Genet. The American Society of
Human Genetics; 2011;89(4):529–42.
10. Vono-Toniolo J, Rivolta CM, Targovnik HM, Medeiros-Neto G, Kopp P.
Naturally occuring mutations in the thyroglobulin gene. Thyroid.
2005;15(9):1021–33.
11. Park SM, Chatterjee VK. Genetics of congenital hypothyroidism. J Med
Genet. 2005;42(5):379–89.
12. Woeber KA. Iodine and thyroid disease. Med Clin North Am.
1991;75(1):169–78.
13. Singer PA, Cooper DS, Levy EG. Treatment guidelines for patients with
hyperthyroidism and hypothyroidism. Standards of Care Committee,
American Thyroid Association. J Am Med Assoc. 1995;273(10):808–12.
14. Cooper DS, Ladenson PW. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology.
9th ed. New York: McGraw Hill; 2011. 302-311 p.
15. Wartofsky L. Myxedema Coma. Endocrinol Metab Clin North Am.
2006;35(4):687–98.
16. Diez JJ, Iglesias P. Spontaneous subclinical hypothyroidism in patients
older than 55 years : an analysis of natural course and risk factors for the
development of overt thyroid failure. J Clin Endocrinol Metab.
2004;89(10):4890–7.
17. Levy EG. Thyroid disease in the elderly. Med Clin North Am [Internet].
Elsevier; 1991;75(1):151–67. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0025-7125(16)30476-X
18. Martono H, Pranarka K. Penyakit Kelenjar Tiroid pada Usia Lanjut.
19. Ajish T, Jayakumar R. Geriatric thyroidology: An update. Indian J
Endocrinol Metab [Internet]. 2012;16(4):542. Available from:
http://www.ijem.in/text.asp?2012/16/4/542/98006
20. Cooper DS. Thyroid disease in the oldest old : the exception to the rule. J
Am Med Assoc. 2004;292:2651–4.
21. Ceresini G, Lauretani F, Maggio M, Ceda GP, Morganti S, Usberti E, et al.
Thyroid Function Abnormalities and Cognitive Impairment in the Elderly.
Results of the InCHIANTI Study. Journal of the American Geriatrics
Society. 2009. p. 89–93.
22. Turner MR, Camacho X, Fischer HD, Austin PC, Anderson GM, Rochon
PA, et al. Levothyroxine dose and risk of fractures in older adults: nested
case-control study. The BMJ. 2011.
23. Samuels MH, Franklyn JA. Hyperthyroidism in Aging. De Groot LJ,
Chrousos G, Dungan K, editors. South Darmouth: Endotext; 2015. 2000-
2012 p.
24. Hollowell JG, Staehling NW, Flanders WD, Hannon WH, Gunter EW,
Spencer CA, et al. Serum TSH, T4 and thyroid antibodies in the United
States Population (1988 to 1994) : National health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III). J Clin Endocrinol Metab.
2002;87:489–99.
25. Trivalle C, Doucet J, Chassagne P, Landrin I, Kadri N, Menard JF, et al.
Differences in the signs and symptoms of hyperthyroidism in older and
younger patients. J Am Geriatr Soc. 1996;44(1):50–3.
26. Solomon B, Glinoer D, Lagasse R, Wartofsky L. Current trends in the
management of Graves’ disease. JClinEndocrinolMetab. 1990;70(6):1518–
24.

You might also like