You are on page 1of 15

REFERAT

TUGAS JURNAL

Diajukan Kepada :

dr. Isnawan Widyayanto, Sp.S

Disusun oleh :

Nurmahida Mutia Sari

20174011155

BAGIAN SYARAF RSUD SETJONEGORO WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017
PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat.

Penulisan referat ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Isnawan Widyayanto, Sp.S selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis syaraf
RSUD Wonosobo.
2. Seluruh perawat bangsal Flamboyan, dan poli syaraf di RSUD Wonosobo.
3. Teman-teman coass atas dukungan, kerjasamanya, dan doanya.

Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari bahwa masih memiliki banyak
kekurangan baik dalam penulisan dan lainnya. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan
bagi penulis di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum, Wr. Wb

Wonosobo, Desember 2017

Nurmahida Mutia Sari


Aspirasi Pneumonia Pasca Stroke: Intervensi dan Pencegahan
John R. Armstrong, MD, FCCP1, and Benjamin D. Mosher, MD, FACS1

Abstrak

Lima belas juta kejadian stroke terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 5 juta
kejadian berkaitan dengan kematian dan 5 juta lainnya mengalami disabilitas permanen. Di
Amerika Serikat, sekitar 780.000 orang menderita stroke baru atau berulang setiap tahunnya.
Diperkirakan terdapat 5,8 juta penderita stroke pada tahun 2008. Kematian akibat stroke adalah
penyebab utama kematian ketiga di Amerika setelah penyakit jantung dan kanker. Infeksi
toraks dapat mempengaruhi hingga sepertiga dari seluruh penderita stroke. Hal ini
meningkatkan morbiditas dan mortalitas populasi pasien ini. Pneumonia merupakan penyebab
kematian tertinggi di antara semua komplikasi medis stroke. Pendekatan tim multidisiplin yang
komprehensif dibutuhkan di tingkat rumah sakit. Hal ini membutuhkan komitmen administratif
dan partisipasi secara aktif. Implementasi strategi manajemen berbasis bukti dapat
meningkatkan outcome dan mengurangi biaya. Kami berusaha meninjau ulang masalah
pneumonia pasca stroke dan mendiskusikan strategi pencegahan dan intervensi.

Pengenalan

Lima belas juta kejadian stroke terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dengan dua
pertiga dari seluruh kejadian melibatkan disabilitas permanen atau kematian. Amerika Serikat
menyumbang sekitar seperempat dari satu juta kejadian stroke baru atau berulang setiap
tahunnya. Hal ini terkait dengan biaya tahunan sebesar $ 65,5 miliar. Stroke merupakan
penyebab utama kematian nomor tiga di Amerika setelah penyakit jantung dan kanker.

Sepertiga dari seluruh penderita stroke menderita pneumonia. Hal tersebut


meningkatkan morbiditas dan mortalitas populasi pasien stroke. Pneumonia merupakan
penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi medis pasca stroke. Kegagalan
pernafasan dari stroke menyebabkan intubasi pada 6% pasien yang menderita stroke iskemik
dan 30% pasien dengan stroke hemoragik. Penggunaan ventilator memiliki risiko munculnya
pneumonia secara independen. Pneumonia menyebabkan sekitar sepertiga infeksi nosokomial
di unit perawatan kritis menurut sistem surveilans infeksi nosokomial nasional. Tingkat
kematian akibat ventilator-associated pneumonia (VAP, yang didefinisikan sebagai pneumonia
yang berkembang saat menggunakan ventilator) diperkirakan 20% sampai 30%.Total biaya per
kejadian adalah $ 50.000.

Kejadian berisiko tinggi dan berbiaya tinggi ini menghadirkan tantangan besar bagi
masyarakat, sistem kesehatan masyarakat, dan penyedia layanan kita. Tujuan artikel ini adalah
untuk meninjau kembali masalah pneumonia pasca stroke dan mendiskusikan strategi
manajemen berbasis bukti untuk pencegahan dan intervensi.

Siapakah yang Terkena Pneumonia Setelah Stroke dan Mengapa

Terdapat banyak penyebab pneumonia. Penyebab ini dapat dikelompokkan ke dalam


kategori yang luas: pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial, health-care associated
pneumonia, pneumonia terkait ventilator, pneumonia aspirasi, pneumonia yang disebabkan
oleh organisme oportunistik, dan lainnya. Sebagian besar data yang ada menunjukkan
pneumonia pasca stroke sering terjadi karena aspirasi. Pasien rawat inap di rumah sakit sering
mengalami aspirasi terutama pasien dengan gangguan mekanisme menelan karena cedera
neurologis. Meskipun penggunaan tabung endotrakeal dapat memberikan perlindungan
terhadap aspirasi volume besar, tetapi tabung endotrakeal dapat mengganggu mekanisme
pertahanan normal dan tidak dapat mencegah aspirasi dengan volume yang lebih kecil dari
konten faring ataupun gaster.

Proses menelan normal melibatkan beberapa interaksi kompleks dan terkoordinasi.


Interaksi ini melibatkan sistem saraf pusat dan perifer. Proses menelan normal melibatkan 4
fase: (1) oral, (2) propulsif oral, (3) faring, dan (4) esofagus. Mastikasi dan persiapan
membentuk fase oral. Fase propulsif oral dimulai saat palatum lunak terangkat untuk menutup
nasofaring dan mendorong bolus ke belakang. Selama fase faring, ada pergerakan ke atas dari
hyoid dan laring, penutupan plica vocalis, penutupan epiglotis di atas jalan napas, dan kontraksi
faring untuk mendorong bolus. Fase esofagus melibatkan penggerak bolus sepanjang esofagus
ke perut. Istilah penetrasi mengacu pada kebocoran material ke dalam laring hingga setinggi
plica vocalis (Gambar 1). Hal ini adalah indikator kuat risiko aspirasi. Aspirasi menunjukkan
adanya kontaminasi trakea.
Stellars dkk dalam sebuah penelitian prospektif mengidentifikasi beberapa faktor risiko
independen untuk mengembangkan pneumonia pasca stroke di rumah sakit. Sepuluh parameter
dinilai pada 412 pasien sebagai prediktor pneumonia setelah stroke. Kriteria standar digunakan
untuk menentukan adanya infeksi paru-paru di rumah sakit. Temuan penelitian ini
mengkonfirmasi sifat multifaktorial dari pneumonia pasca stroke. Temuan tersebut juga
mengidentifikasi banyak prediktor pasien stroke yang akan terkena pneumonia. Lima dari
sepuluh parameter yang diuji adalah prediktor yang berguna: usia> 65 tahun, disartria atau
tidak adanya ucapan akibat afasia, Rankin Scale modifikasi ≥4, skor tes mental singkat <8, dan
uji coba menelan air progresif yang gagal. Dua atau lebih dari faktor-faktor ini memprediksi
dengan benar pneumonia dengan sensitivitas 90,9% dan spesifisitas 75,6%. Menariknya,
kesehatan mulut bukanlah prediktor independen dalam penelitian ini. Penelitian lain
mengindikasikan adanya hubungan COPD, merokok, 14 tingkat ketergantungan, 15 status
kesehatan mulut, dan adanya bakteri patogen di dalam mulut dengan perkembangan pneumonia
pada pasien pasca stroke.
Sebanyak satu setengah pasien stroke memiliki proses menelan disfungsional dan
sekitar sepertiga aspirasi pada video menelan. Di antara pasien yang mengalami aspirasi,
sepertiganya menderita pneumonia. Setengahnya tidak diketahui secara pasti. Lokasi stroke
tidak cukup membantu dalam penilaian risiko aspirasi. McCullough dkk mencatat terdapat
serangkaian 160 pasien stroke subkortikal bilateral tampak mengalami peningkatan aspirasi
dibanding pasien dengan tipe stroke unilateral dan bilateral lainnya.

Smith-Hammond dan Goldstein baru-baru ini melaporkan bahwa pengukuran obyektif


terhadap batuk volunter dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi pasien dengan
risiko stroke. Mereka memeriksa 96 pasien stroke dengan evaluasi menelan fluoroskopik video
(VSE) atau evaluasi endoskopi serat optik dari menelan (FEES), yang pada umumnya dianggap
sebagai standar emas untuk penilaian aspirasi. Tiga puluh tiga pasien ditemukan berisiko
mengalami aspirasi dengan menggunakan skor skala aspirasi penetrasi (PASS) ≥5. Pengukuran
batuk obyektif juga dievaluasi pada 96 pasien ini. Tiga pengukuran obyektif batuk obyektif
ini−waktu kenaikan fase ekspulsif (EPRT)> 55 m / s, percepatan volume (VA) <50 L / s / s,
dan arus puncak fase ekspulsif (EPPF) <2,9 L / s−memiliki sensitivitas yang lebih tinggi (82%,
88%, 91%, masing-masing) untuk memprediksi risiko aspirasi dibandingkan tanda klinis
seperti tidak merokok, kesulitan penanganan sekresi, atau batuk refleksif setelah bolus air. Arus
puncak fase ekspulsif dan VA mengukur kecepatan kenaikan batuk arus tinggi dan volume
tinggi dan keduanya ditunjukkan secara independen terkait dengan aspirasi yang diukur dengan
VSE atau FEES. Batuk refleksif setelah mengongsumsi keripik, es, atau air menunjukkan
sensitivitas 39% dan spesifisitas 82%. Hal ini menunjukkan bahwa menelan air sederhana
mungkin melewatkan sejumlah besar pasien yang aspirasi. Penulis juga mencatat bahwa 75%
pasien yang memiliki aspirasi mengalami defisit kognitif dan hampir 90% mengalami kesulitan
berbicara atau bahasa. Pengetatan lebih lanjut potongan batuk pada EPRT> 67 m / s atau VA
<33 mL / s / s berhasil memperkirakan aspirator> 90% dari waktu dan> 90% pasien yang tidak
memerlukan intervensi untuk mengurangi risiko terjadinya aspirasi. Ukuran EPRT dan VA
tampak sebagai alat yang menjanjikan untuk memprediksi risiko aspirasi. Kedua alat ukut
tersebut mungkin lebih unggul dari tes menelan sederhana atau parameter klinis lainnya

Pedoman praktik klinis American College of Chest Physicians (ACCP) 2006 untuk
diagnosis dan penanganan batuk mengandung bagian batuk serta aspirasi makanan dan cairan
karena disfagia oral-faring. Di dalam pedoman tersebut terdapat 15 rekomendasi secara
keseluruhan. Sebagian besar rekomendasi moderat (kelas B) dengan tingkat bukti rendah
namun memiliki keuntungan bersih yang substansial. Panel pedoman merekomendasikan
pasien dengan batuk dan risiko aspirasi yang tinggi dilihat berdasarkan riwayat dan skrining
harus dirujuk ke ahli patologi bahasa (SLP) untuk evaluasi telan oral pharyngeal. Pasien yang
berisiko tinggi mengalami aspirasi dengan diagnosis adalah pasien dengan penyakit Alzheimer,
penyakit serebrovaskular, dan yang diintubasi atau berventilasi selama> 48 jam. Pasien
berisiko tinggi memiliki tanda klinis sebagai berikut: malnutrisi, disfonia, batuk lemah, batuk
refleksif, meneteskan air liur, memerlukan pengisapan faring oral, atau riwayat batuk atau
tersedak makanan atau minuman. Perlu dilakukan penilaian kebutuhan gizi yang cermat pada
pasien-pasien tersebut. Pemberian makan secara oral harus dilakukan pada pasien dengan
tingkat kesadaran yang rendah, dan tes menelan air dilakukan pada pasien yang waspada.
Evaluasi menelan fluoroskopik video atau FEES harus digunakan untuk mengevaluasi menelan
supaya dapat mengidentifikasi pasien dengan disfagia sehingga perawatan yang tepat dapat
dimulai (Gambar 2). Pengobatan harus mencakup penggunaan tim multidisipliner terorganisir
yang mencakup dokter, ahli gizi, terapis bicara, perawat, dan ahli terapi fisik dan okupasional.
Hal ini memungkinkan dokter untuk mempertimbangkan manuver kompensasi, modifikasi
diet, dan intervensi bedah yang tepat.Terdapat data yang menyatakan bahwa program
multidisipliner komprehensif yang digunakan untuk menilai disfagia pada penderita stroke
dapat mengurangi risiko pneumonia. Meskipun Komisi Gabungan menghapus persyaratan
bahwa skrining menelan untuk mencari tahu disfagia dilakukan pada semua pasien stroke
iskemik dan hemoragik sebelum diberi makanan, air, atau obat secara oral dari ukuran kinerja
mereka pada bulan Januari 2010, skrining tetap merupakan bagian dari program kualitas stroke
lainnya.

Pneumonia Pasca Stroke : Karakteristik


Pneumonia pada stroke seringkali berasal dari aspirasi dan oleh karena itu biasanya
akan mempengaruhi bagian-bagian dari paru-paru. Segmen superior dari lobus bawah
sebenarnya juga merupakan bagian posterior, sehingga bahan atau sekresi yang teraspirasi
akan mengalir bagian tersebut terlebih dahulu pada pasien keadaan telentang. Hal ini lebih
sering terjadi pada sisi kanan daripada sisi kiri karena batang utama bronchus lebih lurus searah
dengan trakea. Namun, pasien secara rutin diputar dan direposisikan sedemikian rupa sehingga
lokasi apapun dimungkinkan.
Pneumonia terkait stroke kemungkinan merupakan kejadian terkait perawatan
kesehatan atau nosokomial, karena pasien yang berusia lebih tua, sering sakit atau disabilitas,
dan merupakan bagian dari sistem perawatan kesehatan. Sebagian besar pasien rawat inap
terkolonisasi dengan flora rumah sakit dalam waktu 48 jam. Pneumonia terkait perawatan
kesehatan (HCAP), nosokomial (HAP), dan pneumonia terkait ventilator (VAP) memiliki
hubungan satu dengan lain , namun agak berbeda (Tabel 1). Pneumonia nosokomial adalah
pneumonia yang terjadi di rumah sakit lebih dari 48 jam setelah masuk yang sebelumnya tidak
diinkubasi. Pneumonia terkait ventilator adalah istilah yang digunakan untuk pneumonia yang
terjadi lebih dari 48 sampai 72 jam setelah intubasi. Pneumonia terkait perawatan kesehatan
adalah pneumonia pada pasien yang berkaitan erat dengan sistem perawatan kesehatan dan
terpapar flora (misalnya, hemodialisis, perawatan luka dalam 30 hari terakhir, pemakaian
antibiotik IV, kemoterapi, panti jompo, atau rawat inap selama 2 hari terakhir dalam 3 bulan
terakhir). Pneumonia terkait rumah sakit dan VAP dikategorikan sebagai onset dini atau
lambat. Perbedaan ini penting karena onset lambat HAP atau VAP (terjadi pada hari ke-5 rawat
inap) lebih sering dikaitkan dengan patogen resisten multidrug (MDR) dibanding onset dini
(hari ke-4) HCAP. Perbedaan penting ini memandu perawatan empiris di awal perjalanan klinis
pasien (sebelum hasil kultur). Meskipun begitu, jika seorang pasien mengalami HAP awal
namun memiliki faktor risiko terkait perawatan kesehatan sebelumnya, maka harus
dipertimbangkan dan diobati sebagai HAP onset lambat karena adanya paparan lingkungan
sebelumnya.
Bakteri dan anaerob kurang virulen yang biasanya tinggal di saluran napas atas dan
perut bisa menyebabkan pneumonia aspirasi. Meskipun pneumococcus atau bakteri aerobik
lainnya mungkin terlibat, aspirasi komunitas seringkali melibatkan bakteri anaerob yang lebih
indolen, atau mungkin malah melibatkan flora campuran. Bakteri anaerob sulit untuk dikultur
dan seringkali pengobatan dalam setting ini bersifat empiris. Jika ada kecurigaan terjadi flora
campuran dengan organisme aerobik, atau jika pasien memiliki aspirasi / pneumonia terkait
perawatan kesehatan, cakupan yang lebih luas akan dibutuhkan.

Pneumonia Pasca Stroke: Mikrobiologi


Pneumonia akut pasca stroke sering kali melibatkan pasien yang baru saja dirawat di
rumah sakit dan mikrobiologinya menyerupai mikrobiologi HAP, HCAP, atau VAP.
Mikrobiologi tersebut diantaranya termasuk bakteri aerob gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter, Escherichia coli, dan Acinetobacter.
Staphylococcus aureus resisten methicillin (MRSA) menjadi lebih umum tetapi spesies
Staphylococcus lainnya masih lazim terlibat. Pneumonia nosocomial onset dini cenderung
memiliki keterlibatan bakteri MDR seperti Pseudomonas, Acinetobacter, atau MRSA dan lebih
cenderung memiliki organisme yang kurang resisten seperti Enterobacter, Haemophilus
influenzae, MSSA, atau Streptococcus. Patogen spesifik sering diidentifikasi hanya pada 25%
pasien, bahkan pada bronchoalveolar lavage (BAL)atau kultur trakea. Spesies Candida
biasanya merupakan menandakan kolonisasi atau keterlibatan trakea daripada pneumonia,
karena inang yang imunokompeten jarang terkena pneumonia virus atau jamur. Penting untuk
memantau patogen rumah sakit dan komunitas lokal, terutama patogen MDR; informasi ini
dapat dimasukkan ke dalam keputusan tentang terapi empiris awal. Data surveilans lokal secara
rutin sangatlah penting. Faktor resiko untuk infeksi MDR di HAP, VAP, atau HCAP
didefinisikan dalam pedoman ATS IDSA tahun 2005 (Tabel 2).
Diagnosis HAP pada setiap pasien sulit dilakukan, apalagi pada pasien yang mengalami
gangguan neurologis dengan stroke yang menderita batuk berat dan atelektasis. Terapi yang
diterapkan seringkali bersifat empiris. Kultur saluran pernapasan bawah mungkin sulit didapat
pada pasien yang tidak diintubasi. Kultur darah atau pleura adalah panduan definitif jika positif,
meskipun sensitivitas kultur darah mungkin kurang dari 25%. Kolonisasi saluran pernapasan
dapat mendahului perkembangan pneumonia dan telah ditunjukkan bahwa trakeobronkitis
terkait ventilator (PPAT) mungkin merupakan suatu faktor risiko penting untuk VAP
berikutnya. Pengobatan preemptive dengan terapi yang ditargetkan dalam setting ini dapat
membantu mencegah VAP. Sampel saluran respirasi bawah harus diperoleh pada semua
pasien, terutama pasien yang berventilasi. Spesimen tersebut termasuk diantaranya spesimen
aspirasi endotrakeal, bronchoalveolar lavage, atau sikat yang terlindungi. Jika kultur saluran
pernafasan rendah steril dan belum ada pemakaian antibiotik baru dalam waktu 24 jam,
pneumonia bakteri sangat jarang terjadi, walaupun Legionella atau penyakit virus masih
menjadi pertimbangan.

Pneumonia Pasca Stroke: Tatalaksana


Sebagian besar pasien dengan stroke dan pneumonia kemungkinan besar akan dirawat
di rumah sakit atau dilakukan perawatan kesehatan lainnya yang memadai. Pemilihan
antibiotika awal seringkali empiris karena bahan kultur tidak banyak tersedia. Oleh karena itu,
pilihan pengobatan harus ditentukan berdasarkan risiko pasien terhadap bakteri MDR. Panduan
konsensus pedoman ATS 2005 membagi HAP, VAP, atau HCAP menjadi onset awal (<5 hari)
dan onset akhir (≥5 hari). Penyakit onset dini pada pasien tanpa organisme MDR atau risiko
HCAP lainnya mungkin merupakan kandidat untuk terapi antibiotik spektrum sempit,
tergantung pada patogen lokal di masyarakat. Penyakit onset dini tanpa risiko sebelumnya dari
bakteri MDR (yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, MSSA, dan gram
negatif sensitif antibiotik) kemungkinan akan teratasi dengan ceftriaxone atau levofloxacin ,
moksifloksasin, siprofloksasin, atau ampisilin / sulbaktam atau ertapenem. Rekomendasi
antibiotik untuk pasien yang dengan aspirasi akibat stroke cukup diberikan setidaknya satu obat
dengan cakupan anaerobik.

Rekomendasi antibiotik untuk patogen MDR mencerminkan resistensi, virulensi, dan


bahaya organisme biasa. Terapi kombinasi diindikasikan dengan antibiotik yang
direkomendasikan dalam pedoman ATS IDSA (Tabel 3). Dibutuhkan dua obat untuk
Pseudomonas dan bakteri gram negatif resisten lain (+ Legionella) serta agen tambahan untuk
MRSA (vankomisin, linezolid). Karena tekanan antibiotik pada flora rumah sakit sangatlah
tinggi, penting untuk mengurangi terapi dan mempersempit spektrum jika memungkinkan.
Evaluasi lama pengobatan telah dipelajari dan terapi antibiotik selama 8 vs 15 hari untuk VAP
telah terbukti setara. Keterlambatan dalam pengobatan VAP dan HAP dapat meningkatkan
angka kematian dan pemberian antibiotik dalam waktu yang tepat dapat memperbaiki hasil.
Bila ada ketidakpastian mengenai apakah harus diobati, sistem penilaian Skor CPIS (Clinical
Pulmonary Infection Score) adalah alat yang berguna, menggunakan parameter klinis untuk
menilai keparahan dan kemungkinan pneumonia.
Linezolid telah terbukti lebih unggul dari vankomisin dalam analisis retrospektif
terhadap 1.019 pasien yang berasal dari dua uji coba double-blind sebelumnya. Meskipun
mungkin lebih dianjurkan, berdasarkan analisis gabungan, ada kritik terhadap metode tersebut.
Linezolid mungkin lebih dianjurkan jika ada insufisiensi ginjal atau ada perhatian tentang
tingkat vankomisin yang memadai, terutama di komunitas dimana MIC menjadi vankomisin>
2. Linezolid dilaporkan memiliki penetrasi paru-paru yang lebih tinggi dan cenderung lebih
manjur jika kadar vankomisin tidak optimal atau MIC lokal lebih tinggi.
Pneumonia pasca stroke: Pencegahan

Sebelumnya telah dibahas manfaat pengenalan dini pasien berisiko tinggi dengan
berbagai metode skrining dan pengembangan tim multidisiplin yang berfokus pada masalah
ini. Intervensi untuk mengurangi risiko pneumonia kemudian dapat dilakukan oleh tim disfagia
pada pasien yang bernafas dengan sendirinya. Karena 6% stroke iskemik dan 30% stroke
perdarahan diintubasi, sebagian risiko pneumonia pasca stroke mewakili risiko VAP.

Tabel 4. Elemen Bundel Ventilator

Elemen Bundel Ventilator


Peninggian Bed Bagian Kepala >30 Derajat
“Interupsi Sedatif” Dan Asesmen Kesiapan Untuk
Extubasi Dilakukan Setiap Hari
Profilaksis PUD
Profilaksis DVT
Perawatan Mulut Harian Dengan Chlorhexidine
-Singkatan: Pud, Peptic Ulcer Disease; Dvt, Deep Vein
Thrombosis

Pencegahan VAP adalah bagian dari kampanye 100 k lives (Institute for Health Care
Improvement - IHI.org). Guideline dari Canadian Critical Care Society (2004) dan ATS IDSA
(2005) mendeskripsikan pondasi untuk sebagian besar praktik berbasis bukti terbaik saat ini
untuk pencegahan VAP. Intervensi yang diusulkan oleh IHI adalah penggunaan 'bundel'
ventilator untuk memperbaiki proses perawatan dengan ventilator. Tujuan keseluruhan adalah
untuk mengurangi VAP dan morbiditas dan mortalitas VAP. Yang ditekankan baru-baru ini
pada bundel ventilator yaitu didorongnya oleh kebutuhan untuk memperbaiki proses reliabilitas
dan keberhasilan penerapannya memerlukan kerja tim dan budaya keselamatan.

“Bundel Ventilator” dari IHI mencakup empat elemen. Komisi gabungan mengukur
kepatuhan terhadap lima elemen bundel ventilator (Tabel 4). Sisa bagian ini akan membahas
bukti di balik berbagai metode seperti mencuci tangan, memperpendek lama penggunaan
ventilator, posisi pasien, dan intervensi lain yang digunakan untuk mengurangi VAP.

Infeksi nosokomial dari semua jenis dapat dikurangi dengan mencuci tangan dan telah
menjadi bagian dari pedoman CDC untuk pencegahan pneumonia nosokomial setidaknya sejak
tahun 1985. Pentingnya mencuci tangan tidak dapat dibesar-besarkan (“wash in, wash out”).
Metode optimal untuk mengurangi VAP adalah menghindari dan mempersingkat
penggunaan ventilator sedapat mungkin. Ventilasi tekanan positif noninvasif (NPPV) dapat
bermanfaat pada pasien dengan penyakit jantung atau paru, tapi mungkin kurang pada penyakit
neurologis sentral. Studi ventilasi tekanan positif noninvasif biasanya menyingkirkan pasien
dengan kesadaran berkurang karena perhatian mengenai perlindungan dan aspirasi saluran
napas. Beberapa penulis menganggap GCS <10 sebagai kontraindikasi. Banyak pekerjaan telah
dilakukan berkaitan dengan mengurangi lama penggunaan ventilator, terutama berfokus pada
interupsi sedatif terjadwal dan penggunaan percobaan penyapihan yang dilakukan setiap hari
kecuali jika dikontraindikasikan secara khusus. Keseimbangan yang benar antara analgesia dan
sedasi yang memadai namun tidak berlebihan sulit dilakukan pada pasien yang secara
neurologis normal - lebih lagi pada pasien dengan gangguan neurologis. Agen kerja pendek
seperti midazolam atau propofol untuk sedasi dan fentanil untuk analgesia cenderung lebih
mudah untuk dilakukan penilaian status neurologis lebih sering. Dexmedetomidine, alfa 2
antagonis sentral tidak mempengaruhi pusat pernafasan namun menghasilkan anxiolysis dan
sedasi. Riker et al baru-baru ini mempublikasikan RCT prospektif terhadap 375 pasien yang
membandingkan midazolam dan dexmedetomidine, ditemukan efikasi yang sebanding, namun
mengurangi lama penggunaan ventilator dan delirium. Dexmedetomidine belum dipelajari di
unit neurologis dan saat ini hanya disetujui FDA untuk penggunaan <24 jam.

Penggunaan sedasi pada pasien ventilator yang mengalami gangguan neurologis


menimbulkan tantangan yang unik. Kompensasi sedasi yang cepat dan dapat diprediksi untuk
penilaian neurologis intermiten secara klinis menguntungkan secara umum, terutama pada
individu yang mengalami gangguan neurologis. Program sedasi tradisional telah menggunakan
rejimen berbasis hipnotis utamanya (propofol atau midazolam), dengan penambahan agen
analgesik (fentanil atau morfin) secara sekunder. Karabinis et al melaporkan keberhasilan
dengan program berbasis analgesik menggunakan remifentanil sebagai obat penenang utama.
Remifentanil, agen analgesik yang kerjanya sangat pendek dengan metabolisme organ-
independen, dititrasi sebelum penambahan propofol atau midazolam. Kelompok penelitian ini
menunjukkan peningkatan yang signifikan tentang prediksi dan cepat sadarnya pada pasien
dengan cedera otak akut atau setelah bedah saraf daripada kontrol. Pendekatan ini terbukti
berguna pada populasi perawatan kritis umum juga.

Girard et al secara prospektif meneliti tentang sedasi dan protokol penyapihan


ventilator ('Wake and Breathe'). Dalam penelitian ini, kelompok intervensi memiliki 3,1 hari
lebih lama bernafas tanpa bantuan dibandingkan kelompok kontrol. Strategi ini
menghubungkan interupsi sedasi dengan proses penyapihan secara terstruktur.

Banyak faktor risiko VAP yang berpotensi dapat dimodifikasi telah diidentifikasi dan
dipelajari. Pasien ventilator supine berisiko lebih besar daripada pasien semi-recumbent untuk
VAP dan oleh karena itu tujuan semi-recumbent telah direkomendasikan. Pada pasien stroke
iskemik akut dengan ventilator, beberapa kompromi seperti posisi head up mungkin sesuai
untuk mempromosikan perfusi serebral yang optimal. Dapat juga dianjurkan menunda tube
feeding sampai posisi semirecumbent dianggap secara klinis dapat diterima secara neurologis,
sambil menyeimbangkan risiko aspirasi dan refluks terhadap keuntungan pemberian enteral.

Intervensi lain untuk mengurangi VAP seperti yang dibahas dalam pedoman ATS
IDSA mencakup penggunaan intubasi oral untuk mengurangi sinusitis dan VAP, pengisapan
subglotis secara kontinu, mempertahankan banyaknya personil yang memadai di ICU, dan
mengurangi kolonisasi orofaring dengan program perawatan mulut klorheksidin yang
dijadwalkan.

Pneumonia pasca stroke: Inisiatif kualitas/Bayaran Berdasarkan Kinerja

Bayaran berdasarkan kinerja telah menjadi isu penting saat perawatan kritis. Layanan
perawatan kritis menghabiskan 20% dari semua biaya rumah sakit dan > 1% dari PDB Amerika
Serikat. Insentif telah menjadi lebih umum dalam upaya memperbaiki hasil dan mengurangi
biaya. Banyak dari insentif ini akan mempengaruhi pasien stroke baik di dalam maupun di luar
ICU, termasuk pasien dengan pneumonia. Medicare tidak akan lagi membayar klaim untuk
beberapa kondisi yang didapat selama masa inap, termasuk infeksi saluran kencing terkait
kateter, ulkus dekubitus, jatuh dari tempat tidur dan infeksi terkait kateter pembuluh darah.
Banyak pasien neurologis beresiko terhadap kondisi ini.

Blue Cross Blue Shield of Michigan telah menginisiasi sebuah program dimana
kepatuhan dokumentasi pada masing-masing lima elemen bundel ventilator yang dijelaskan
sebelumnya (Tabel 4) adalah persyaratan prakualifikasi untuk semua inisiatif bayaran
berdasarkan kinerja rumah sakit. Selain itu, Michigan Hospital Association mendirikan proyek
ICU Keystone, sebuah kemitraan regional kolaboratif dari hampir 120 ICU di 76 rumah sakit
yang berfokus pada perbaikan tingkat keselamatan dan pengurangan risiko. Program khusus
untuk mengurangi infeksi aliran darah terkait kateter (CRBSI) dan VAP telah
diimplementasikan di seluruh negara bagian dengan keberhasilan yang cukup tinggi.
Kesimpulan

Stroke terjadi pada sejumlah besar pasien setiap tahunnya. Ada morbiditas dan
mortalitas yang tinggi pada pasien yang menderita pneumonia setelah stroke. Identifikasi
pasien dengan risiko tertinggi terkena pneumonia pasca stroke diharapkan membantu
pengobatan dan pencegahannya. Risiko tertinggi adalah sebagai berikut: usia> 65, disartria
atau tidak bisa berbicara karena afasia, kognisi menurun, dan disfungsi menelan. Identifikasi
pasien ini membutuhkan tim multidisiplin yang komprehensif. Strategi pencegahan yang
paling efektif adalah diterapkannya pencegahan pneumonia nosokomial secara umum seperti
mencuci tangan dan penggunaan bundel ventilator. Pilihan obat sedatif pada pasien berventilasi
dapat mengurangi lamanya penggunaan ventilator dan dengan ini diharapkan juga mengurangi
kejadian VAP. Mayoritas pneumonia pasca stroke adalah HCAP, HAP, atau VAP karena
beberapa bagian dari diagnosis awal, perawatan, rehabilitasi, atau tempat tinggal permanen
akan melibatkan sistem perawatan kesehatan. Mikrobiologi pneumonia ini berkisar dalam
spektrum dari organisme yang kurang virulen dengan resistensi yang rendah sampai patogen
MDR yang akhir-akhir ini mewabahi banyak rumah sakit dan beberapa ICU. Penggunaan
antibiotik spektrum luas secara empiris dan agresif terhadap patogen non-MDR dan MDR
diperlukan untuk menurunkan angka kematian pada pneumonia pasca stroke. Penghentian
cepat terapi ketika kultur sudah negatif dan final sama pentingnya dalam strategi ini. Penelitian
selanjutnya harus berfokus pada pengembangan cara yang lebih baik untuk mengidentifikasi
pasien stroke yang berisiko tinggi terhadap aspirasi dan pneumonia dan strategi untuk
mencegah komplikasi ini.

You might also like