Professional Documents
Culture Documents
PTERIGIUM
Disusun Oleh:
Ragabi Reza Nektara
20164011111
Pembimbing:
dr. Awang Wimbo Yuwono, Sp.M
Disusun oleh:
Ragabi Reza Nektara
20164011111
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: 18 April 2018
Disahkan oleh :
Pembimbing,
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 61 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Susukan
Tanggal Periksa : 17 April 2018
B. Anamnesis
Keluhan Utama :
Penglihatan mata kanan dan kiri kabur
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Salatiga dengan keluhan
Pandangan mata kanan dan kiri yang kabur sudah sejak 2 tahun terakhir.
Mulanya pasien merasa ada sesuatu yang mengganjal pada mata, kadang
hingga merah karena terasa tidak nyaman, kemeng dan sering berair tetapi
penglihatan belum terganggu. Kemudian 1 tahun berjalan pasien menyadari
bahwa terdapat seperti selaput yang tumbuh di area putih mata. Ditambah
penglihatannya mulai kabur. Pasien pernah berobat ke dokter mata, dan
disarankan operasi tapi pasien menolak. Keluhan lain seperti mata merah,
gatal dan pusing disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sebelumnya mengenai gejala yang sama sebelum episode ini
disangkal. Riwayat trauma pada mata disangkal. Riwayat sakit hipertensi,
diabetes mellitus dan alergi disangkal.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Keluhan hal serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat penyakit
sistemik lain dalam keluarga disangkal
Riwayat Personal Sosial:
3
Sehari-hari pasien sudah tidak bekerja. Mulanya dahulu adalah seorang
petani.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Status Oftalmologikus
OD OS
Segmen Anterior
Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-). edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
4
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)
Tampak jaringan Tampak jaringan
fibrovaskular berbentuk fibrovaskular berbentuk
segitiga dengan puncak segitiga dengan puncak
di bagian sentral sudah di bagian sentral
melewati pupil. Arah melewati limbus kornea.
nasal ke sentral Arah nasal ke sentral.
Kornea Sedang, jernih Sedang,jernih
Bilik Mata Depan Dalam, jernih Dalam, jernih
Iris Kripta iris normal Kripta iris normal
Pupil Bulat, tertutup selaput Bulat, RC (+)
jaringan
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan slitlamp
Cilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Konjungtiva Injeksi (-) Injeksi (-)
Kornea Terdapat jaringan Terdapat jaringan fibrovaskular
fibrovaskular dari area plica dari area plica semilunar
semilunar conjunctiva hingga conjunctiva hingga area kornea
tepi pupil
COA Darah (-) pus (-) Darah (-) pus (-)
Iris Warna coklat, kripta iris Warna coklat, kripta iris normal
normal
Lensa Jernih Jernih
D. Diagnosis Kerja
Oculi Dextra Pterigium Nasal Grade IV
5
Oculi Sinistra Pterigium Nasal Grade III
E. Penatalaksanaan
- Tetes mata Ocuflam 0,1% (Fluorometholon) 3 x 1 gtt ODS
- Tetes mata Cendo Lyteers (NaCl + KCl) 3 x 1 gtt ODS
- Edukasi untuk operasi
F. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad kosmetika : bonam
OD
OS
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
7
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung
dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang
banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik)
nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superficial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola
mata.
8
2. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu :
a. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membran descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat
sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.
e. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
9
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf trigeminus. Saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma atau penyakit yang merusak
endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga
dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai
daya regenerasi.
B. DEFINISI PTERIGIUM
Pterigium adalah keadaan patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan
penebalan yang merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat
10
degeneratif dan invasif berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah
konjungtiva dan menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di
kornea. Sedangkan menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu
pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea Pterigium berasal dari
bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Kebanyakan
pterigium ditemukan di bagian nasal daripada temporal. Pterigium memiliki
tiga bagian:
1. Cap atau leading edge adalah zona datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.
2. Head adalah daerah vaskular yang terletak di belakang tutup dan melekat
kuat pada kornea.
3. Body adalah bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area
vaskular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan
ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan
C. EPIDEMIOLOGI
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi
juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
11
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari
2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang
28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang
terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat
disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka
kejadian di lintang bawah.
12
2. Faktor genetik, hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
menunjukkan kemungkinan diturunkan autosom dominan pada riwayat
keluarga dengan pterigium.
3. Faktor lain seperti iritasi kronik atau inflamasi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari
bahan partikel tertentu (pasir, debu, angin, asap rokok, bahan iritan), dry eye
dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
E. PATOFISIOLOGI
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.
13
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenarasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor
supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-
beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses kolagenase
sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya, terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan
subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik dan proliferasi jaringan
vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada
kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau
tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.
14
α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II secara berlebihan berbeda dengan
jaringan konjungtiva normal. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung
terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.
F. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya, berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera
dan lokasi. Berikut klasifikasinya:
1. Berdasarkan tipe pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear
film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
15
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm
dan mengganggu aksis visual.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus, namun tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Pada fase awal pterigium tanpa
gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai
daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada
tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya
pergerakan mata. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
1. Mata sering berair dan tampak merah (apabila terjadi iritasi)
2. Merasa seperti ada benda asing atau fotofobia
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
tersebut, biasanya astigmatisme “with the rule” ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan
4. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan juga menurun.
5. Diplopia karena membesarnya ukuran lesi. Efek diplopia akan lebih sering
pada lesi-lesi rekuren dengan pembentukan jaringan parut.
H. DIAGNOSIS BANDING
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium. Pinguekula merupakan benjolan (nodul) kuning pada
konjungtiva bulbi akibat degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva,
jarang bertumbuh besar. Sedangkan pseudopterygium merupakan perlekatan
konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterygium ini terjadi pada
proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.
Pseudopterygium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit
peradangan pada kornea. Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun
pada kornea dan biasanya berbentuk obliq. Sedangkan pterygium ditemukan
17
secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. Berikut tabel perbedaan antara
pterigium, pinguekula dan pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
Rasio ♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
18
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium
I. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.
Selain itu perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma pada mata sebelumnya
untuk menyingkirkan penyebab lain.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi
visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi
ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada
tahap regresif.
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.
19
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
J. PENATALAKSANAAN PTERIGIUM
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau
suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis, adanya gangguan pergerakan
bola mata dan alasan kosmetik. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai
keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Lebih dari
setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat
rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft. Dimana pterigium yang
dibuang digantikan dengan konjungtiva normal. Konjungtiva normal ini
biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.
20
Gambar 8. Prosedur conjungtival autograft
21
K. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada
rektus medial dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi post eksisi pterigium,
yaitu:
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment
2. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
3. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft.
22
L. DIAGNOSA BANDING
1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim
sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.
2. Pseudopterigium
23
Gambar Mata dengan pseudopterigium
24
BAB III
PEMBAHASAN
25
Selain itu pada pasien tidak didapatkan riwayat trauma sebelumnya yang mana hal
tersebut merupakan faktor risiko terbentuknya pseudopterigium.
Pada pasien diberikan terapi ocuflam eyedrop, berisikan fluorometholon,
berisikan steroid bertujuan untuk mengurangi peradangan dan mengurangi keluhan
mata merah pada pasien. Pemberian steroid harus diperhatikan, tidak dapat
diberikan pada penderita dengan TIO yang tinggi. Pemberian tetes mata Cendo
Lyteers yang berisikan NaCl dan KCl sebagai pengganti air mata, pemberi rasa
nyaman pada pasien, dan mengurangi keluhan untuk sementara. Namun tetap
disarankan untuk menjalani operasi sebagai terapi definitif pada pterigium yang
diderita pasien.
26
DAFTAR PUSTAKA
27