You are on page 1of 42

[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

case

page 1.

“the exlposion of LPG”

early ini the morning in thecrowded suburd in west jakarta, suddenly a big bang was
heard by the people. The source of the explosion recognized from “rumah makan
padang”. Two woman get hurt by the accident and the kitchen part of the house get
burn heavily. The neighborhood suddenly busy, trying to help the victim. The oldest
woman has more severe injury than the younger woman. The wound includes burn
wound in almost the anterior chest and anterior arm. While the younger woman only
has burn wound in her back.

The victim brought by the neighbor to the hospital for intensive care. The doctor said
that it will need more time for the oldest woman to recover since the grade of her
wound injury is higher than the younger woman. The oldest woman has grade IIIa,
while the younger woman in grade II. A team of doctor will implant graft tissue to help
the wound recover well.

Page 2.

Six months after the accident, both the oldest and the younger woman has already
recovered. But th oldest woman has some scars that still appear in her chest. But,
generally both of the woman has already able to have activities like they used to be.

1
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Terjemahan

Kasus

Halaman 1

“Ledakan LPG”

Saat dini hari di tempat padat pandat penduduk di Jakarta barat, tiba-tiba sebuah
ledakan besar terdengar. Sumber ledakan berasal dari “Rumah Makan Padang”.
Dua wanita terluka akibat kecelakaan ini dan bagian dapur dari rumah tersebut
terbakar. Para tetangga tiba-tiba sibuk, berusaha membantu korban. Wanita yang
lebih tua memiliki luka lebih parah dibandingkan wanita yang lebih muda. Luka bakar
berada pada sebagian besar bagian dada anterior dan lengan anterior. Sedangkan
wanita yang lebih muda hanya terbakar pada bagian punggung.

Korban dibawa oleh tetangganya ke rumah sakit untuk perawatan intensif. Dokter
mengatakan bahwa ini akan membutuhkan lebih banyak waktu bagi wanita yang
lebih tua untuk pulih karena grade cederanya lebih tinggi dari pada wanita yang lebih
muda. Wanita yang lebih tua telah berada pada grade IIIa, sedangkan wanita yang
lebih muda berada pada grade IIa. Tim dokter akan mengimplan jaringan untuk
membantu penyembuhan luka dengan baik.

Halaman 2

Enam bulan setelah kecelakaan,baik wanita yang lebih tua dan wanita yang lebih
muda sudah pulih. Tetapi wanita yang lebih tua memiliki bekas luka yang masih
berbekas di dadanya. Tetapi, pada umumnya kedua wanita tersebut sudah dapat
melakukan kegiatan seperti dulu lagi.

2
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Kerusakan, kematian dan adaptasi sel.

Jejas/cedera sel

Definisi

Ketidakmampuan sel untuk beradaptasi terhadap faktor endogen dan eksogen yang
mempengaruhinya.

Etiologi

Jejas disebabkan oleh 2 faktor, endogen dan eksogen

 Endogen
1. Defek genetik dapat menyebabkan perubahan patologis yang mencolok
maupun tidak terlihat.
2. Reaksi imun walaupun sistem imun berperan dalam proteksi tubuh
melawan benda asing, reaksi yang disengaja maupun tidak, dapat
menyebabkan jejas sel dan jaringan. Contohnya hilangnya toleransi dengan
respon terhadap antigen sendiri
3. Penuaan penuaan sel intrinsik menimbulkan perubahan kemampuan
perbaikan dan replikasi sel dan jaringan. Semua itu menyebabkan penurunan
kemampuan respon terhadap rangsang dan cedera eksogen
4. Hormonal ketidakseimbangan hormon yang diproduksi tubuh sangat
berkaitan dengan metabolisme tubuh. Contohnya jika terjadi defisiensi
insulin, sel tidak dapat mengolah glukosa akibatnya terjadi kelebihan glukosa
dalam darah. Hal ini dapat mengakibatkan jejas sel karena sel sebanarnya
membutuhkan glukosa tersebut tetapi sel itu sendiri tidak dapat
menggunakannya. Akibatnya sel kekurangan nutrisi
 Eksogen
1. Deprivasi Oksigen hipoksia merupakan penyebab cedera sel tersering
dan terpenting serta dapat mengakibatkan kematian. Hipoksia dapat
mengakibatkan metabolisme oksidatif terganggu. Hipoksia berbeda dengan
iskemia. Tetapi iskemia merupakan penyebab tersering hipoksia. Oksigenasi
darah juga salah satu penyebab hipoksia

3
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

2. Agen Kimia semua bahan kimia, yang tidak berbahaya sekalipun, dapat
menyebabkan jejas. Contohnya glukosa. Jika terkonsentrasi terlalu banyak
akan mengganggu keseimbangan osmotik sehingga mengakibatkan cedera
sel. Racun dapat menyebabkan kerusakan serius dengan mengubah
permeabilitas membran, homeostasis osmotik, atau keutuhan enzim dan
kofaktor dan dapat berakhir dengan kematian seluruh organ. Bahkan obat
terapeutik dapat menyebabkan jejas sel pada pasien yang rentan
3. Agen Infeksius berkisar dari virus hingga cacing pita dapat menyebabkan
cedera sel.
4. Agen Fisik trauma, temperatur yang ekstrem, radiasi, syok elektrik
memiliki efek dengan kisaran luas pada sel
5. Ketidakseimbangan Nutrisi defisiensi nutrisi merupakan penyebab utama
jejas sel. Ironisnya nutrisi yang berlebihan juga merupakan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas.

MEKANISME JEJAS SEL

4
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Jejas iskemik/ hipoksik

Iskemia dipastikan merupakan tipe jejas sel yang paling sering terjadi dalam
kedokteran klinis, secara khas terjadi karena berkurangnya aliran darah pada
pembukuh darah jaringan tertentu. Berlawanan dengan hipoksia, pembentukan
energi glikolitik dapat berlanjut, iskemia juga menggangu pengiriman substrat untuk
glikolisis. Akibatnya, pembentukan energi anaerob juga berhenti di jaringan yang
iskemik setelah substrat potensialnya mengalami kelelahan atau jika glikolisis
dihambat oleh akumulasi metabolit yang normalnya akan dibuang melalui aliran
darah. Konsekuensinya, iskemia mencederai jaringan lebih cepat dibandingkan
hipoksia.

Efek pertama hipoksia adalah pada respirasi aerobik sel, yaitu fosforilasi oksidatif
oleh mitokondria; sebagai akibat penurunan tegangan oksigen, pembentukan ATP
intrasel jelas berkurang. Hasil deplesi ATP mempunyai efek luas pada banyak sistem
dalam sel.

 Aktivitas “pompa natrium” yang diatur ATP membran plasma menurun,


selanjutnya terjadi akumulasi natrium intrasel dan difusi kalium keluar sel.
Perolehan bersih solut natrium disertai hasil isosmotik cairan, menyebabkan
pembengkakan seluler akut. Kondisi ini dieksaserbasi oleh peningkatan
beban osmotik dari akumulasi metabolit lain, seperti fosfat anorganik, asam
lakta, dan nukleosida purin.
 Glikolisis anaerob meningkat karena ATP berkurang dan disertai peningkatan
Adenosin Monofosfat (AMP) yang merangsang enzim fosfofruktokinase. Jalur
glikolisis ini dirancang evolusionar untuk mempertahankan energi sel dengan
membentuk ATP dari glikogen, dan aktivasinya menimbulkan deplesi cepat
cadangan glikogen, yang secara histologis jelas kelihatan dengan
berkurangnya pewarnaan untuk karbohidrat. Peningkatan glikolisis juga
menyebabkan akumulasi asam laktat dan fosfat anorganik akibat hidrolisis
ester fosfat, jadi menurunkan pH intrasel.
 Penurunan kadar pH dan ATP menyebabkan ribosom lepas dari RE kasar dan
polisom untuk berdisosiasi menjadi monosom, dengan akibatnya terjadi
penurunan sintesis protein.

5
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Jika hipoksia tidak dhilangkan, perburukan fungsi mitokondria da peningkatan


permeabilitas membran selanjutnya menyebabkan kerusakan morfologik. Apabila
sitoskeleton rusak, gambaran ultrastruktur seperti mikrovili hilang, dan permukaan
sel akan “menggelembung”. Mitokondria, RE, dan semua sel biasanya tampak
membengkak, karena pengaturan osmotik hilang. Jika oksigen diperbaiki, semua
gangguan yang telah disebut akan reversibel, jika iskemia tetap terjadi, jejas yang
irreversibel mengikuti.

Jejas sel yang Diinduksi Radikal Bebas

Jejas sel yang diinduksi radikal bebas, terutam yang diinduksi spesies oksigen
diaktivasi, merupakan mekanisme penting kerusakan sel. Kerusakan radikal bebas
juga mendasari cedera zat kimia dan radiasi, toksistas oksigen dan zat lain, penuaan
selular, pembunuhan mikroba oleh sel fagositosis, kerusakan sel radang, dekstruksi
tumor oleh makrofag, dan proses cedera sel lainnya.

Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron tak berpasangan di
orbital terluar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah bereaksi
dengan zat kimia organik atau anorganik; saat dibentuk dalam sel, radikal bebas
segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat serta berbagai molekul
membran. Selain itu, radikal bebas menginisiasi reaksi autokatalitik; sebaliknya,
molekul yang bereaksi dengan radikal bebas diubah menjadi radikal bebas, semakin
memperbanyak rantai kerusakan.

Radikal bebas dapat dibentuk dalam sel oleh:

 Reaksi redoks yang terjadi selama proses fisiologis normal. Selama respirasi
normal, misalnya, oksigen molekular secara bertahap direduksi dalam
mitokondria dengan penambahan 4 elektron untuk menghasilkan air. Pada
proses ini, sejumlah kecil spesies intermedia toksik dibentuk; termasuk radikal
superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan OH’. Selanjutnya beberapa
oksidase intrasel (seperti xantin oksidase) membentuk radikal superoksida
sebagai akibat langsung aktivitasnya. Logam transisi, seperti tembaga (Cu)
dan zat besi (Fe) jugam menerima atau mendonor elektro bebas selama
reaksi intrasel tertentu sehingga mengatalisi pembentukan radikal bebas,

6
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

seperti pada reaksi Fenton. Oleh karena sebagian besar zat besi bebas
intrasel dalam bentuk Ferri (Fe+++), pertama-tama zat besi harus direduksi
menjadi bentuk ferro (Fe++) untuk berpartisipasi dalam reaksi Fenton. Tahap
reduksi ini dikatalisis oleh ion superoksida sehingga zat besi dan superoksida
bersinergi untuk memperoleh cedera sel oksidatif maksimal.
 Nitrit oksida (NO) merupakan mediator kimiawi penting yang normalnya
disintesis oleh berbagai tipe sel, yang dapat berperan sebagai radikal bebas
atau dapat diubah menjadi spesies nitrit yang sangat reaktif.
 Penyerapan energi radian. Radiasi pengion dapat menghidrolisis air menjadi
gugus hidroksil (OH’) dan radikal bebas hidrogen (H’).
 Metabolisme enzimatik zat kimia eksogen (misalnya karbon tetraklorida).

Tiga reaksi yang paling relevan dengan jejas sel yang diperantarai radikal bebas:

 Peroksidasi lipid membran. Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran
mudah terkena serangan radikal bebas berasal dari oksigen. Interaksi radikal
lemak menghasilkan peroksida, yang tidak stabil dan reaktif, dan terjadi reaksi
rantai autokatalitik.
 Fragmentasi DNA. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondria
dan nuklear menimbulkan rusaknya untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut
telah memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan perubahan sel menjadi
ganas.
 Ikatan silang protein. Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein yang
diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau
hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas juga bisa secara langsung
menyebabkan fragmentasi polipeptida.

Selain merupakan akibat jejas kimiawi dan radiasi, pembentukan radikal bebas juga
merupakan bagian normal respirasi dan aktivitas selular rutin lainnya, termasuk
pertahanan mikroba. Untungnya, radikal bebas memang tidak stabil, dan umumnya
rusak secara spontan; misalnya superoksida, sangat cepat rusak dengan adanya air
yang masuk kedalam oksigen dan hidrogen peroksida. Naumn, sel juga membentuk
beberapa sistem untuk menonaktifkan radikal bebas.

 Kecepatan kerusakan spontan meningkat bermakna oleh kerja superoksida


dismutase (SOD) yang ditemukan pada benyak tipe sel.

7
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

 Glutation (GSH) peroksidase juga melindungi sel agar tidak mengalami jejas
dengan mengatalisis perusakan radikal bebas. Rasio intrasel glutation
teroksidase (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH) merupakam refleksi
status oksidasi sel dan aspek penting kemampuan sel untuk mengatabolisme
radikal bebas.
 Katalase terdapat dalam peroksisom, langsung mendegradasi hidrogen
peroksida.
 Antioksidan endogen atau eksogen juga dapat menghambat pembentukan
radikal bebas atau memulung radikal bebas ketika selesai dibentuk.
 Meskipun zat besi dan tembaga yang diionisasi bebas dapat mengatalisis
pembentukan spesies oksigen reaktif, unsur tersebut biasanya diasingkan
oleh cadangan dan/ atau protein transpor.

8
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Cedera Kimiawi

Zat kimia menginduksi jejas sel dengan salah satu dari dua mekanisme umum
berikut ini:

 Beberapa zat kimia bekerja secara langsung dengan cara bergabung dengan
komponen molekular kritis atau organel selular. Misalnya pada keracunan
merkuri klorida, merkuri berikatan dengan gugus sulfhidril berbagai protein
membran sel, menyebabkan inhibisi transpor yang bergantung ATPase dan
meningkatkan permeabilitas membran. Banyak agen kemoterapuetik
antineoplastik dan antibiotik juga menginduksi kerusakan sel dengan efek
sitotoksik yang serupa. Pada kondisi ini, kerusakan terbesar tertahan oleh sel

9
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

yang menggunakan, mengabsorpsi, mengeksresi, atau mengonsenterasikan


senyawa.
 Banyak zat kimia lain yang tidak aktif secara intrinsik biologis, tetapi pertama
kai harus dikonversi menjadi metabolit toksik reaktif, yang kemudian bekerja
pada sel target. Modifikasi ini biasanyan disempurnakan oleh oksidase fungsi
campuran P-450 dalam RE halus hati dan organ lain. Meskipun metabolit
dapat menyebabkan kerusakan membran dan jejas sel dengan pengikatan
kovalen langsung pada protein dan lipid, mekanisme jejas sel terpenting
melibatkan pembentukan radikal bebas reaktif. Karbon tetraklorida (CCl 4,
digunakan secara luas pada industri cuci kering) dan asetaminofen termasuk
dalam kategori ini. CCl4 misalnya, dikonversi menjadi radikal bebas toksik
CCl3, terutama di hati. Radikal bebas itu menyebabkan peroksidasi fosfolipid
membran autokatalitik, dengan kerusakan cepat RE. Dalam waktu kurang dari
30 menit, terdapat penurunan sintesis protein hati enzim dan protein plasma;
dalam waktu 2 jam, terjad pembengkakan RE halus dan disosiasi ribosom
dari RE kasar. Terdapat pengurangan ekspor lipid dari hepatosit, karena
ketidakmampuannya menyintesis apoprotein menjadi ikatan kompleks
dengan trigliserida sehingga mempermudah sekresi lipoprotein; akibatnya,
terjadi “perlemakan hati” pada keracunan CCl 4. Kondisi ini diikuti dengan
cedera pada mitokondria, dan berikutnya penurunan cadangan ATP
menyebabkan gangguan transpor ion dan pembengkakan sel yang progresif;
selanjutnya, membran plasma dirusak oleh aldehid perlemakan yang
disebabkan oleh peroksidasi lipid dalam RE halus. Hasil akhirnya bisa terjadi
influks kalsium dan akhirnya kematian sel.

Keparahan atau durasi jejas yang terbatas memungkinkan sel dan jaringan ke
kondisi normal semula. Yang sama pentingnya pada keseimbangan ketahanan hidup
adalah kemampuan sel yang mengalami jejas dapat berespons dan beradaptasi
terhadap jejas.

10
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Pola kerusakan sel akut :

Kerusakan reversible :

Perubahan ultrastruktur jejas sel reversible meliputi 1. perubahan membrane


plasma seperti bula (pembengkakan); penumpulan atau distorsi mikrovili; dan
longgarnya pelekatan intersel; 2. Perubahan mitokondrial, seperti pembengkakan
dan munculnya densitas amorf kaya fosfolipid, 3 dilatasi reticulum endoplasma
dengan kerusakan ribosom dan disosiasi polisom; dan 4. Perubahan nuclear dengan
disagregasi unsure granular dan fibrilar.

Dua pola perubahan morfologik yang berkaitan dengan jejas reversible dapat
dikenali dengan mikroskop cahaya; pembengkakan sel dan degenerasi lemak
(perlemakan)

- Jenis – jenis Nekrosis :


1. Nekrosis koagulasi :
- Disebabkan karena hipoksia
- Bisa terjadi pada semua sel/ jaringan kecuali otak
- Contoh : - Infark – myocard
- Infark – ginjal

11
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

2. Nekrosis liquefaktif (=kulikwativa)


- Terjadi karena autolisis atau heterolisis
- Contoh : - hipoksia otak
- infeksi bakteri

3. Nekrosis kaseosa
- Bentuk khas yang didapatkan pada infeksi kuman TBC
- Secara makroskopik : warna putih kuning dan menyerupai keju
(perkejuan)

12
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

4. Nekrosis enzimatik lemak


- Terjadi akibat trauma langsung pada jaringan lemak
- Sering ditemukan pada :
a. Payudara
b. Pankreatitis akut hemoragik  terjadi pelepasan enzim lipase
pankreas

5. Nekrosis gangrenosa
Latin : gangreana, yunani : gangraina = luka yang berakhir dengan
kematian saraf

- Kematian jaringan dalam jumlah besar yang disertai infeksi


bakteri dan pembusukan kuman saprofit
- Bersifat, sakarolitik dan proteolitik

* Apoptosis – kematian sel terprogram

- Yaitu kematian sel terprogram disertai pembentukan badan apoptotik


terjadi pada satu sel (folling – leaves)
- Dapat bersifat fisiologik atau patologik yang berupa proses :
1. kerusakan sel terprogram selama embriogenesis seperti pada
implantasi, organogenesis dan terjadinya inpolesi.
2. inpolesi fisiologik bergantung hormon seperti :
- inpolusi endometrium selama siklus menstruasi,

13
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

- payudara diwaktu laktasi sesudah penyapihan.

- atropi patologi pada prostat setelah kastrasi

3. delesi sel pada populasi yang berproliperasi seperti :


- epitel kripta usus

- kematian sel pada tumor

4. delesi set T autoreaktif di timus (95% timosit mati dalam timus selama
proses maturasi)
- kematian sel dari limfosit yang kekurangan sitoksin
- kematian sel yang di induksi oleh sel T sitotoksik.
5. berbagai rangsang jejas ringan.
(panas, radiasi, bahan sitotosik)  menyebabkan kerusakan DNA
yang tidak dapat diperbaiki.

14
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

- Morfologi :
 Dengan mikroskopik elektron nampak :
1. sel mengkerut : sel lebih kecil, sitoplasma padat.
2. kromatin menggumpal yang merupakan gambaran khas dari apoptosis
3. pembentukan tonjolan sitoplasma dan benda apoptotik oleh sel – sel
sehat disekelilingnya.
- Gambaran secara mikroskopik :
 Jaringan diwarnai dengan HE
 Apoptosis nampak mengenai satu sel atau segerombolan sel
 Sel apoptosis tampak sebagai masa bulat atau lonjong dengan sitoplasma
eosinofilik dengan kromatin nukleus yang padat
 Apoptosis tidak menimbulkan reaksi radang

Respon Subseluler terhadap Jejas

 Katabolisme Lisosomal
Lisosomal primer adalah organela intrasel yang dilapisi membran yang
mengandung beragam enzim hidrolitik , lisosom berfusi dengan
vakuola yang birisi material yang berfungsi sebagai pencerna
pembentuk lisosom sekunder , atau fagolisosom . lisosom terlibat
dalam pemecahan material yang dicerna melalui satu daru dua cara
yaitu , heterofagi atau autofagi.
 Heterofagi
Material dari lingkuangan eksterna diambil melalui suatu proses
yang secara umum disebut endositosis . pengambilan material
yang berukuran lebih besar disebut fagositosis sedangkan
pengambilan makromolekul yang dapat larut yang lebih kecil
dinamakan pinositosis . vakuola yang mengalami endosotosis
dan isinya , akhirnya berfusi dengan lisosom, menyebabkan
degradasi material yang dapat ditelan . heterofagi merupakan
15
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

hal yang paling mencolok dalam fagosit . bakteri diingesti


(dicerna ) dan didegradasi oleh neotrofil , dan makrofag
menelan dan mengatabolisme sel nekrotik .
 Autofagi
Pada proses ini , organela intraselular dan sebagian sitosol
terasing dari sitoplasma dalam vakuola autofagik yang terbentuk
dari regio bebas ribosom RER . kemudian , berfusi dengan
lisosom primer yang sebelumnya telah ada , membentuk
autofagolisosom . autofagi merupakan fenomena umum yang
terlibat dalam penyingkiran organela rusak atau mati , dan pada
perbaikan kembali ( remodeling ) sel yang disertai diferensiasi
sel . autofagi terutama terjadi pada sel yang mengalami atrofi ,
yang diinduksi oleh kekuranagan zat nutrisi atau hormon .
Enzim dalam lisosom dapat mengatabolisme lengkap sebagian
besar protein dan karbohidrat , walaupun beberapa lipid masih
tidak dapat di cerna . lisosom dengan debris yang tidak dicerna ,
bias menetap dalam sel sebagai badan-badan residual atau
bias dipaksa keluar . granul pigmen lipofuscin memnunjukan
material yang tidak dapat dicerna , yang dihasilkan dari
peroksidasi lipid intrasel , dan oigmen tertentu yang tidak dapat
dicerna .

Lisosom juga merupakan gudang penimbunan material sel terasing


yang tidak dapat dimetabolisme dengan sempurna. Gangguan
penyimpanan lisosom herediter , disebabkan oleh defisiensi anzim
yang mendegradasi berbagai makrimolekul , menyebabkan
penimbulan metabolit intermedia abnormal dalam lisosom sel di
seluruh tubuh . neuron paling rentan terhadap cedera letal akibat
akumulasi .

16
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

 Induksi (hipertrofi) Retikulum Endoplasma Halus


Pemakaian barbiturat yang terus-menerus , menimbukan peningkatan
toleransi sehingga dosis berulang menimbulkan pemendekan durasi
tidur secara progesif . adaptasi tersebut disebakan oleh induksi dengan
penambalan volume ( hipertrofi) SER hepatosit , yang memetabolisme
obat melalui system oksidase fungsi campuran p-450 yang terdapat di
sana . tujuan modifikasi enzim itu adalah meningkatkan daya larut
berbagai senyawa sehingga mempermudah ekskresinya .

 Perubahan mitokondrial
Disfungsi mitokondrial berperan penting pada jejas sel akut dan
kematian sel . namun , pada beberapa kondisi patologik nonletal terjadi
berbagai perubahan jumlah , ukuran , bentuk , dan barangkali juga bias
terjadi perubahan fungsi mitokondria .
 Abnormalitas sitoskeletal
Sitoskeletal mengandung filamen aktin dan myosin , mikrotubulus , dan
berbagai kelas filamen intermedia . beberapa bentuk nonfilamentosa
dan nonpolimerisasi pada protein kontraktil juga berperan pada
perancah selular .sitoskeleton penting untuk
 Transport intraselular organel dan molekul
 Mempertahankan arsitektur sel dasar
 Membawa sinyal sel-sel dan sel-matrik ektrasel menuju
nucleus
 Kekuatan mekanis untuk keutuhan jaringan
 Mobilias sel
 Fagositosis
Intinya, hipertrofi dan autrofi selular mengharuskan terjadi
penambahan atau pengurangan unsure sitoskeletal.

17
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

 Protein Syok Panas


Salah satu respon biologik adaptif yang dijaga dalam hirarki filogenetik
adalah induksi protein stress setelah rangsangan yang berpotensi
berbahaya . pada mulanya disebut protein syok panas (HSP) karena
protein ini terurai dalam larva lalat buah setelah terjadi peningkatan
ringan temperatur namun , protein yang sama diuraikan dalam sel
normal dan sebagai respon s erhadap beragam rangsangan fisik dan
kimiawi pada semua spesies yang selama ini diamati. Jadi , protein
syok panas masih digunakan dalam jangka lama .

Akumulasi intrasel

Pada beberapa kondisi , sel dapat mengakumulasikan sejumlah zar


abnormal. akumulasi tersebut dapat membahayakan atau menyebabkan berbagai
tngkat cedera . lokasi substansi tersebut mungkin di dalam sitoplasma , organel
( khususnya lisosom 0 , atau dala nucleus . zat dapat disintesis oleh sel yang
terkena atau dapat diproduksi ditempat lain .

Terdapat tiga jalaur umum yang selnya dapat menambah akumulasi intrasel
abnormal.

 Zat normal diproduksi dengan kecepatan normal atau kecepatan


yang meningkat , tetapi kecepatan metabolic tidak adekuat untu
menyingkirkannya . contohnya adalah perlemakan hati .
 Zat endogen normal atau abnormal menumpuk karena defek
geneteik atau didapat pada metabolisme , pengemasan , transpor
, atau sekresinya .
 Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk karena sel tidak
memiliki mesin enzimatik untuk mendegradasi zat , dan juga tidak

18
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

mampu mengankutnya ke temat lain . akumulasi partikel karbon


atau silica merupakan contoh jenis perubahan tersebut .

 Perlemakan (steatosis)
Perlemakan menunjukan setiap akumulasi abnormal trigliserida
dalam sel parenkim . walaupun perlemakan merupakan indicator jejas yang
reversible , kadang-kadang perlemakan ditemukan dalam sel yang
berdekatan dengan sel yang mengalami nekrosis . perlemakan sering terlihat
di hati karena merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme
lemak, tetapi juga dapat terjadi di jantung , otot rangka , ginjal , dan organ lain
.

 Kolestrol dan ester kolesteril


Metabolisme kolesterol selular diatur ketat untuk memastikan sintesis
membran sel normal tanpa akumulasi intrasel yang berarti . Namun ,
sel fagositik bias menjadi sangat terbebani dengan lipid pada beberapa
proses patologik yang berbeda
Makrofag scanvenger berkontak dengan debris lipid sel nekrotik
atau berbentuk abnormal lipid plasma menebabakan terisis penuh lipid
karena aktivitas fagositiknya . makrofag ini terisi dengan vakuola lipid
kecil yang terikat membran , memberikan gambaran busa pada
sitoplasma .

19
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

 Protein
Secara morfologis , akumulasi protein yang terlihat lebih jarang terjadi
dibandingksn skumulsdi lipid . akumulasi protein dapat terjadi karena
kelebihan protein disajikan pada sel atau karena sel menyintesis
protein dalam jumlah yang berlebihan .

 Glikogen
Deposit glikogen intrasel yang berlebih disebabkan oleh abnormalitas
metabolisme glukosa atau glikogen .

 Pigmen
Pigmen merupakan substansi berwarna yang bersifat eksogen ,
berasal dari luar tubuh , atau endogen , disintesis dalam tubuh sendiri .
terdapat dua jenis pigmen yaitu pigmen eksogen dan pigmen endogen

Kalsifikasi Patologi

Kalsifikasi patologi merupakan proses pengendapan abnormal garam-garam


kalsium, disertai sedikit besi, magnesium dan garam-garam mineral lainnya. Bila
pengendapan terjadi pada jaringan mati atau sedang mati, hal tersebut dikenal
dengan kalsifikasi distrofik. Sebaliknya, pengendapan garam, kalsium dalam
jaringan normal dikenal sebagai kalsifikasi metastatik.

 Kalsifikasi Distrofik
Perubahan ini dijumpai di daerah-daerah nekrosis koagulatif. Apapun tempat
pengendapan garam, kalsium tampak makroskopik sebagai endapan halus,
bergranula atau endapan putih, sering traba kasar. Secara histologis,
kalsifikasi dapat sebagai endapan basofilia intraseluler atau ekstraseluler,
atau keduanya. Sewaktu-waktu dapat dibentuk tulang heterotopik pada fokus
kalsifikasi.

20
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Pathogenesis kalsifikasi distrofik adalah permulaan dan kelanjutan yang


akhirnya menyebabkan pembentukan Kristal kalsium fosfat. Permulaan di
tempat-tempat ekstraseluler terjadi gelembung-gelembung terikat selaput
berdiameter sekitar 200 nm; pada tulang rawan dan tulang dikenal sebagai
gelembung matriks. Permulaan kalsifikasi intraseluler terjadi pada mitokondria
sel mati atau sedang mati, yang menimbun kalsium. Kelanjutan pembentukan
keristal kemudian terjadi, tergantung kadar Ca ++ dan PO4 dalam ruang
ekstraseluler, adanya penghambat mineral, dan kolagen.
 Kalsifikasi Metastatik
Perubahan ini dapat terjadi pada jaringan normal bila terjadi hiperkalsemia.
Hiperkalsemia juga mempermudah kalsifikasi distrofik. Penyebab
hiperkalsemia adalh hiperparatiroidisme; keracunan vitamin D; sarkoidosis
sistemik; sindrom susu-alkali; hipertiroidisme; hiperkalsemia idiopatik pada
bayi; penyakit Addison; peningkatan katabolisme tulang dan penurunan
pembentukan tulang.
Kalsifikasi metastatik dapat terjadi luas ke seluruh tubuh, tatapi pada
dasarnya mengenai jaringan interstisium pembuluh-pembuluh darah, ginjal,
jantung, mukosa lambung. Di semua tempat ini, garam kasium secara
morfologi mirip dengan yang terdapat pada kalsifikasi distrofik. Kalsifikasi
metastatik mulai tampak juaga dalm mitokondria, kacuali dalam tubuli ginjal
yang timbul pada membrane basal.

21
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Adaptasi Sel

Sel sel beradaptasi dengan perubahan lingkungan mikronya. Fungsi dan morfologi
sel normal tidak berada dalam keadaan kaku, tetapi mengikuti perubahan struktur
dan fungsi cairan yang merupakan perubahan tantangan hidup. Berikut adalah
bentuk-bentuk adaptasi sel terhadap stimuli yang terkenanya:

1. Atrofi
atrofi adalah pengisutan ukuran sel akibat kehilangan bahan sel. Keadaan ini
merupakan bentuk dari adaptasi. Penyebab atrofi yang jelas adalah
berkurangnya beban kerja, hilangnya persarafan, berkurangnya pembekalan
darah, nutrisi yang tidak memadai dan hilangnya rangsangan hormone. Sel
yang mengalami atrofi mengandung sedikit mitokondria dan mikrofilamen
serta pengurangan retikulum endoplasma.
2. Hipertrofi
Hipertrofi menyatakan peningkatan ukuran sel dan perubahan ini,
meningkatkan ukuran alat tubuh. Hipertrofi dapat disebabkan oleh kenaikan
tantangan fungsi atau rangsangan hormone khas dan dapat terjadi dalam
keadaan fisiologi dan patologi. Misalnya pada pertumbuhan fisiologi uterus
semasa kehamilan melibatkan hipertrofi dan hyperplasia. Hipertrofi sel
dirangsang oleh hormone ekstrogen melalui reseptor-reseptor otot polos,
yang member interaksi hormone dengan DNA inti, akhirnya mengakibatkan
kenaikan sintesis protein otot polos dan penambahan ukuran sel. Hipertrofi
fisiologi ini kemudian dipengaruhi oleh rangsangan hormon. Hipertrofi sebagai
reaksi penyesuaian dinyatakan oleh pembesaran sel. . pada jantung,
rangsangannya ialah tekanan darah tinggi; pada tulang rangka, kerja berat.
Terdapat sintesis enzim dan filamen yang meningkat, mencapai
keseimbangan antara tantangan dan kemampuan fungsi sel. Jumlah
miofilamen yang bertambah menyebabkan beban kerja meningkat dengan
kadar aktivitas metabolik per unt volume sel tidak berbeda dari yang berasal
sel normal.

22
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

3. Hiperplasia
Hiperplasia ditandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam suatu jaringan
atau alat tubuh. Hiperplasia hanya dapat terjadi pada jajringan atau alat tubuh
yang tersussun oleh sel yang memiliki kemampuan membelah secara mitosis
dalam masa pasca embrionik. Jaringan dan alat tubuh yang mengalami
hiperplasia memiliki sel lebih banyak daalm ukuran yang normal, jadi
penambahan vulome yang disebabkan oleh hiperplasi tidak dapat dibedakan
secara makroskopik dengan penambahan volume yang disebabkan hipertrofi.
Hipertrofi dan hiperplasi dapat terjadi secara bersamaan sebagai respon
terhadap stimulus yang sama, pada jaringan yang terdiri dari sel yang
memiliki kemampuuan membelah.
Hiperplasi dapat terjadi dalam keadaan fisiologi maupun patologi. Hiperplasi
fisiologi dapat dibedakan jenis hormonal dan jenis kompensasi. Hiperplasi
hormonal tampak jelas pada proliferasi kelenjar payudara wanita semasa
pubertas dan selama kehamilan laktasi; juga pada sel otot polos uterus hamil
yang mengalami hiperplasi dan juga hipertrofi sebagai jawaban atas
peningkatan kadar steroid ovarium yang beredar dalam darah selama masa
kehamilan. Hiperplasi terkompensasi tampak pada ginjal yang tersisa bila
ginjal sebelah diangkat atau rusak karena penyakit. Pembesaran ginjal adalah
akibat bertambah ukuran tiap-tiap nefron yang terutama disebabkan oleh
hiperplasi sel epitel tubulus dan pembesaran glomelurus.
Contoh hiperplasi patologik ialah hiperplasi endometrium, hiperplasi tiroid dan
hipperplasi epidermis. Hiperplasi endometrium biasanya merupakan akibat
stimulus estrogen yang berlebihan, yang dapat disebabkan oleh disfungsi
ovarium dengan ketidakseimbangan antara sintesis estrogen dan
progesteron, neoplasma ovarium yang memproduksi estrogen atau
pemakaian obat-obat estrogenik dalam jangka waktu lama. Hiperplasi tiroid
dijumpai pada hipertiroidisme primer yang juga dikenal sebagai penyakit
Graves. Hiperplasi epidermis terlihat pada iritasi kronik atau lecet kulit dan
pada kulit yang meliputi suatu kalus. Semua bentuk hiperplasi patologik ini
juga merupakan proliferasi yang masih terkendali, yang akan berhenti bila
stimulus pencetusnya menghilang, jadi sebagai tanggapan terhadap kendali
pertumbuhan normal.
4. Metaplasia

23
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Metaplasi ialah bentuk lain pertumbuhan abnormal sel yang terkendali.


Metaplasi pada hakekatnya, ditandai oleh adanya subtitusi yang bersifat
adaptif suatu macam sel dewasa atau sel yang telah mengalami diferensiasi
penuh menjadi suatu sel dewasa jenis yang lain. Sebagai contoh, karena
iritasi atau radang kronik, epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada bronkus
dan bronkiolus yang bersifat halus dan lembut akan diganti dengan epitel
berlapis skuamosa yang lebih kasar.
Metaplasia dapat terjadi baik pada sel epitel maupun pada sel-sel
jaringanikat. Metaplasi jaringan ikat dapat dijumpai setelah terjadi jejas pada
jaringan lunak. Parut yang timbul kadang-kadang diikuti oleh metaplasi
fibroblast menjadi osteoblas dan dapat terbentuk tulang pada daerah jejas.
Metaplasi epitel hamper selali reversible, tetapi meteplasi jaringan ikat yang
membentuk tulang biasanya ireversibel dan meninggalkan bekas menetap
pada tempat jejas yang terdahulu. Perubahan metaplasi ini selalu bersifat
teratur dan selalu menghasilkan susunan epitel yang benar-benar menyerupai
epitel skuamosa normal, tetapi kadang-kadang terutama bila iritasi atau
radang kronik yang menetap agaktidak teratur. Perubahan yang demikian
disebut metaplasi atipik yang merupakan peralihan antara metaplasi dengan
pola teratur dengan displasi dengan pola yang tidak teratur.
5. Displasi
Dalam spectrum proliferasi non-neoplastik (yang terkendali), displasi
merupakan yang paling tidak teratur. Sering merupakan pendahulu kanker.
Displasi adalah hilangnya keseragaman sel secara individual dan juga
hilangnya orientasi susunnan sel-sel tersebut. Sel displatik menunjukan
pleomorfisme yang nyata (variasi dan ukuran dan bentuk sel) dan sering
membpnyai inti sel yang berwarna gelap (hiperkromasi) yang ukurannya lebih
besar dan abnormal untuk ukuran sel yyang bersangkutan.
Displasi berhubungan erat dengan iritasi atau radang kronik yang
berkepanjangan, secara klasik displasi dapat dijumpai pada serviks, saluran
pernapasan, rongga mulut dan kantung empedu. Displasi memiliki potensi
reversible dan oleh karena itu tetap dianggap sebagai perubahan terkendali.
Bila stimulus pencetusnya dihilangkan, maka perubahan displatik akan
menuju ke keadaan normal

24
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Radang akut dan radang kronik

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh


cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002).

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas.
Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau
diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu
(panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat
kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini
menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera
jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan,
pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai
oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis,
dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh


darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar
ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah
berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan
pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini
adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk

25
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai
substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang
tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).

Tanda-tanda radang (makroskopis)

Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang


lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup
pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang
utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang
mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit),
dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad
terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973;
Mitchell & Cotran, 2003).

Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di


daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi
pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat
terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.


Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih
banyak daripada ke daerah normal (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang


ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat
merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat
pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar


ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-

26
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah
peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,
2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi
belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang
meradang (Abrams, 1995).

Mekanisme radang

1. Radang akut

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan
berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan
nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu
perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran,
2003).

Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului
oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran
darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya
anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca
kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian,
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali
pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada
tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan
intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah

27
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi


waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul
dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak
setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan


sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan
gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari
saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-
cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis
yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak


cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini
berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan
osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal
kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan
dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran
limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai
berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah
putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan
permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul
besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai
akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit
leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada


lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih
mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-
sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu
pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih

28
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan


kerusakan jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan


sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih
besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah
merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah
putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan
menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang
tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi
permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar
dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-
sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi
leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel
endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah


utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh
pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir
semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam
derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap
rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor
kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya
bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor
kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya
produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.


Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului
oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat
ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam
serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat

29
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel,
berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada
vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom.
Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap,
granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan
isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar
mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh
fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa
organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).

 Mediator kimia dalam proses radang

 Akibat inflamasi akut

Pada umumnya inflamasi akut memiliki 3 akibat:


1. Resolusi. Jika cedera bersifat terbatas atau berlangsung
singkat, tidak terdapat kerusakan jaringan ataupun terdapat
kerusakan kecil, dan jika jaringan mampu mengganti setiap sel
yang cedera secara irreversibel, biasa terjadi perbaikan
terhadap normalitas histologik dan fungsional. Proses ini
meliputi netralisasi atau pembuangan berbagai mediator

30
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

kimiawi, normalisasi permeabilitas vascular, dan penghentian


emigrasi leukosit diikuti kematian (lewat apoptosis) neutrofil
yang mengalami ekstravasasi. Akhirnya usaha gabungan antara
drainase limfatik dan penelanan makrofagpada debris nekrotik
menyebabkan pembersihan cairan edema, sel radang, dan sisa
sel yang rusak dari jaringan luka.
2. Pembentukan jaringan parut (scarring) atau fibrosis. Terjadi
setelah destruksi jaringan yang substansial atau ketika terjadi
inflamasi pada jaringan yang tidak bisa beregenerasi. Selain itu,
eksudat fibrinosa meluas (akibat peningkatan permeabilitas
vaskular) tidak bisa diabsorpsi sempurna dan terjadi
pertumbuhan ke dalam jaringan ikat yang menimbulkan fibrosis.
Pembentukan abses dapat terjadi pada keadaan meluasnya
infiltrat neutrofil atau pada infeksi jamur atau bakteri tertentu
(membentuk pus). Oleh karena itu akibat pembentukan abses
adalah pembentukan jaringan parut.
3. Kemajuan kearah inflamasi kronik bisa terjadi setelah inflamasi
akut, walaupun tanda inflamasi kronik dapat muncul di awal
jejas. Inflamasi kronik dapat diikuti oleh regenerasi pada struktur
dan fungsi normal atau bisa menimbulkan jaringan parut,
bergantung pada luasnya jejas jaringan awal dan jejas yang
terus berlangsung, serta kemampuan jaringan yang terinfeksi
untuk tumbuh kembali.

Inflamasi Kronik

Inflamasi kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang (bermingggu-minggu


hingga berbulan-bulan, bahakan bertahun-tahun), dan terjadi inflamasi aktif, jejas
jaringan, dan penyembuhan secara serentak.

Berlawananan dengan inflamasi akut, yang dibedakan dengan perubahan vascular,


edema, dan infiltrate neutrofilik yang sangat banyak, inflamasi kronik ditandai
dengan hal-hal berikut:

 Infiltrasi sel mononuclear (“radang kronik”), yang mencakup makrofag, limfosit


dan sitoplasma
 Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang
31
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

 Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah baru


(angiogenesis)dan fibrosis.

Inflamasi kronik dapat berkembang menjadi inflamasi akut. Perubahan ini ketika
respons akut tidak teratasi Karena agen cedera yang menetap atau karena
gangguan proses penyembuhan normal. Kemungkinan lain, beberapa bentuk jejas
(misal infeksi virus) menimbulkan respons, yaitu inflamasi kronik yang pada
dasarnya terjadi sejak awal. Walaupun agen berbahaya yang memerantarai
inflamasi bisa kurang berbahaya disbanding agen yang menyebabkan inflamasi
akut, seluruh kegagalan untuk memperbaiki proses itu dapat menyebabkan cedera
yang pada dasarnya berlangsung kebih lama.

Inflamasi kronik terjadi pada keadaan sebagai berikut:

 Infeksi virus. Infeksi intrasel apapun secara khusus memerlukan limfosit (dan
makrofag) untuk mengidentifikasi dan mengeradikasi sel yang terinfeksi.
 Infeksi mikroba persisten, sebagian besar ditandai dengan adanya serangkaian
mikroorganisme terpilih, termasuk mikobabkterium (basilus tuberkel),
treponema pallidum (organism penyebab sifilis), dan fungus tertentu.
Organisme ini memiliki patogenitas langsung yang lemah, tetapi secara khusus
dapat menimbulkan respon imun yang disebut hipersensitivitas lambat, yang
bisa berpuncak pada suatu reaksi granulomaltosa
 Pajanan yang lama terhadap agen yang berpotensi toksik. Contohnya adalah
material eksogen yang tidak dapat didegradasi seperti partikel silica
terinhaslasi, yang dapat menginduksi respons radang kronik pada paru, dan
agen endogen seperti komponen lipid plasma yang meningkat secara kronik,
yang berperan dalam aterosklerosis.
 Penyakit autoimun, seorang mengalami respons imun terhadap antigen dan
jaringan tubuhnya sendiri. Karena antigen yang bertanggung jawab sebagian
besar diperbaharui secara konstan, terjadi reaksi imun terhadap dirinya sendiri
yang berlangsung terus menerus (misalnya, arthritis rheumatoid atau sklerosis
multiple.

Sel Dan Mediator Inflamasi Kronik

32
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Makrofag

Makrofag merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit


dalam sirkulasi setelah beremigrasi dari aliran darah. Di hati
(disebut sel kupffer), limpa dan kelenjar getah bening (disebut
sel hisiosit sinus), system saraf pusat (sel microglia), dan paru
(makrofag alveolus), makrofag bertindak sebagai penyaring
terhadap bahan berukuran partikel, mikroba, dan sel-sel yang
mengalami proses kematian/ senescenet (disebut system
fagosit mononuclear), dan bekerja sebagai sentinel untuk memperingatkan
komponen spesifik system imun (limfosit T dan B) terhadap rangsang yang
berbahaya.

Pada saat mencapai jaringan ekstravaskular, monosit berubah menjadai makrofag


yang lebih besar dan mampu melakukan fagositosis besar. Makrofag juga bisa
menjadi teraktivasi, suatu proses yang menyebabkan ukuran sel bertambah besar,
meningkatnya kandungan enzim lisosom, memiliki metabolism yang lebih aktif, dan
memeiliki kemampuan lebih besar untuk membunuh organism yang dimangsa.

33
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Sinyal aktivasi mencakup sitokin yang dieksresi oleh


limfosit T yang tersentisisasi endotoksi n bakteri,
berbagai mediator yang dihasilkan selama inflamasi
akut, dan protein matriks ekstraselular seperti
fibronektin. Setelah aktivasi, makrofag menyekresi
produk yang aktif secara biologis dalam jumlah yang
beragam, yang apabila tidak diawasi, dapat menyebabkan jejas jaringan dan
menimbulkan tanda fibrosis inflamasi kronik. Produk tersebut mencakup:

 Protease asam dan protease netral. Juga terlibat sebagai mediator kerusakan
jaringan pada inflamasi akut. Enzim lain, seperti activator plasminogen, sangat
memperkuat pembentukan zat proinflamasi.
 Komponen-komponen dan factor koagulasi. Walaupun hepatosit merupakan
sumber utama protein ini di dalam plasma, makrofag teraktivasi dapat
melepaskan protein ini dalam jumlah ynag bermakna secara local ke dalam
matriks ekstraselular. Komponen ini, meliputi protein komplemen C1 sampai
C5; properdin; factor koagulasi V dan VIII; dan factor jaringan.
 Spesies oksigen reaktif dan NO
 Metabolit AA(eikosananoid)
 Sitokin, seperti IL-1 dan TNF, serta berbagai factor
pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel
otot polos dan fibroblast, serta produksi matriks
ekstraselular.

Di tempat inflamasi akut—tempat iritan dibersihkan dan


proses inflamasi tersebut diperbaiki— makrofag akhirnya mati atau masuk ke dalam
pembuluh limfe. Namun demikian, di tempat peradangan kronik, akumulasi makrofag
menetap, dan makrofag dapat berproliferasi. Pelepasan terus-menerus factor yang
berasal dari limfosit merupakan mekanisme penting yang merekrut atau
mengimobilisasi makrofag di tempat radang. IL-4 atau IFN-γ juga dapat menginduksi
fusi makrofag menjadi sel besar berinti banyak, dinamakan sel raksasa (giant cell).

34
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Limfosit

Limfosit T dan B, keduanya bermigrasi ke tempat radang


dengan menggunakan beberapa pasangan molekul adhesi
dan kemokin serupa yang merekrut monosit. Limfosit
dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik
(yaitu infeksi) dan pada inflamasi yang diperantarai nonimun
(yaitu karena infark atau trauma jaringan). Limfosit T memiliki
hubungan timbal balik terhadap makrofag pada inflamasi kronik;

limfosit T pada mulanya teraktivasi oleh


interaksi dengan makrofag yang menyajikan
fragmen antigen “terproses” pada permukaan
selnya.

Limfosit teraktivasi kemudian


menghasilkan berbagai mediator, termasuk
IFN-γ, suatu sitokin perangsang utama
untuk mengaktivasi monosit dan makrofag.
Makrofag teraktivasi monosit dan makrofag. Makrofag teraktivasi selanjutnya
melepaskan sitokin, yaitu IL-1 dan TNF, yang lebih jauh mengaktivasi limfosit dan
jenis sel lainnya (seperti yang telah kita saksikan).

Hasil akhirnya adalah adanya suatu focus radang, yaitu tempat makrofag dan sel T
secara persisten dapat saling merangsang satu sam alian sampai antigen pemicu
hilang, atau terjadi beberapa proses pengaturan.

35
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Sel Plasma

Sel Plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang


mengalami diferensiasi akhir; sel plasma dapat menghasilkan
antibody yang diarahkan untuk melawan antigen di tempat
radang atau melawan komponen jaringan yang berubah.

Eosinofil

Secara khusus ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya


infeksi parasit atau sebagai bagian reaksi imun yang
diperantarai oleh IgE, yang berkaitan khusus dengan alergi.
Emigrasi eosinofil dikendalikan oleh molekul adhesi yang
serupa dengan molekul adhesi yang digunakan oleh neutrofil,
dan oleh kemokin spesifik (yaitu eotaksin) yang berasal dari
sel leukosit atau sel epitel. Granula spesifik-eosinofil mengandung protein dasar
utama (MBP, major basic protein), yaitu suatu protein kationik bermuatan besar,
yang toksik terhadap parasit, tetapi juga menyebabkan lisis sel epitel.

36
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Sel Mast

Merupakan sel sentinel yang tersebar luas dalam jaringan


ikat di seluruh tubuh dan dapat berperan serta dalam
respons radang akut maupun kronik. Sel mast
“dipersenjatai” dengan IgE terhadap antigen tertentu. Bila
kemudian antigen ini ditemukan, sel mast sebelum
dipersenjatai dipicu untuk melepaskan histamine dan
metabolit AA yang menyebabkan perubahan vascular dini pada suatu inflamasi akut.
Sel mast yang dipersenjatai IgE merupakan pemain utama pada syok anafilaktik,
tetapi sel mast juga memainkan peranan yang menguntungkan dalam berbagai
infeksi, terutama infeksi parasit. Sel mast juga dapat mengolaborasi sitokin, seperti
TNF, sehingga berperan pada proses kronik yang lebih
besar.

Penting: walaupun neutrofil merupakan tanda klasik pada


inflamasi akut, tetapi banyak bentuk radang kronik dapat
terus memperlihatkan infiltrate neutrofil yang luas, akibat
mikroba yang menetap atau karena mediator yang
dielaborasikan oleh makrofag atau sel nekrotik. Hal ini kadang kala disebut inflamasi
kronik akut.

Inflamasi Granulomatosa

Inflamasi granulomatosa merupakan suatu pola inflamasi kronik khusus, yang


ditandai dengan agregasi mekrofag teraktivasi yang gambarannya menyerupai sel
skuamosa (epiteloid). Granuloma ditemukan relative sedikit pad akeadaan patologis;
akibatnya pola pengenalan granulomatosa menjadi penting karena terbatasnya
kondisi (beberapa kondisi mengancam nyawa) yang menyebabkannya. Granuloma
dapat terbentuk pada keadaan respons sel T yang persisten terhadap mikroba
tertentu (Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum yang menyebabkan
gumma sifilitika, atau jamur), yang sitokinnya berasal dari sel T, bertanggung jawab
atas aktivasi makrofag persisten.

37
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Tuberkulosis merupakan penyakit berpola dasar granulomatosa karena infeksi dan


seharusnya selalu disingkirkan sebagai penyebab pada saat granuloma
teridentifikasi. Granuloma juga dapat berespons terhadap benda asing yang relative
inert (misalnya benang, serpihan, implan payudara), membentuk sesuatu yang
disebut juga granuloma benda asing. Secara khusus, pembentukan granuloma tidak
selalu menimbulkan eradikasi agen penyebab, yang sering kali resisten terhadap
pembunuhan dan degradasi. Namun demikian, pembentukan granuoma merupakan
“benteng” yang efektif terhadap agen penyerang sehingga granuloma merupkan
mekanisme pertahanan yang bermanfaat.

Gambaran morfologi inflamasi akut dan kronik

Tingkat keparahan respons inflamasi, penyebab spesifiknya, dan jaringan khusus


yang terlibat, semuanya dapat mengubah gambaran morfologi dasar inflamasi akut
dan kronik. Gambaran semacam itu sering kali memiliki kemaknaan klinik dan
diuraikan secara terinci.

MORFOLOGI

INFLAMASI SEROSA. Radang ini ditandai dengan keluarnya cairan yang berair
relatif sedikit protein (efusi) yang-bergantung pada tempat jejas-dibentuk dari serum
ataupun dari sekresi sel mesotelium yang melapisi ronggaperitoneum, rongga
pleura, dan rongga perikard. Lepuh pada kulit yang berasal dari infeksi karena luka
bakar atau virus merupakan contoh yang baik dari efulsi serosa, yang terakumulasi
didalam ataupun serta-merta dibawah epidermis kulit.

INFLAMASI FIBRINOSA. Radang ini terjadi akibat jejas yang lebih berat, yang
dengan permeabilitas vaskularnya yang lebih besar memungkinkan molekul yang
lebih besar (khususnya fibrinogen) dapat melewati barier endotel. Secara histologis,
akumulasi anyaman filamen eosinofilik, atau terkadang merupakan koagulum amorf.
Eksudat fibrinosa dapat didegenerasi melalui fibrinolisis, dan debris yang
terakumulasi dan dapat disingkirkan oleh makrofag sehingga menyebabkan
perbaikan pada struktur jaringan normal(resolusi). Namun, kegagalan menyingkirkan

38
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

fibrin dengan sempurna menyebabkan fibroblas dan pembuluh darah tumbuh


kedalam, yang menimbulkan terutama pembentukan jaringan parut (organisasi).

INFLAMASI SUPURATIVA(PURULEN). Radang ini terlihat dengan adanya


sejumlah besar eksudat purulen (pus) yang terdiri dari neutrofi, sel nekrotik, dan
cairan edem. Organisme tertentu (mis: stafilokokus) lebih mungkin untuk
menginduksi supurasi terlokalisasi ini sehingga disebut sebagai plogenik. Abses
merupakan sekumpulan pus fokal yang dapat disebabkan oleh penyemalan
organisme piogenik yang dalam ke dalam jaringan atau oleh infeksi sekunder fokus
nekrotik. Abses secara khusus memiliki daeran nekrotik sentral yang luas yang luas
dikelilingi oleh selapis neutrofi yng terlindungi, disertai suatu zona yang dikelilingi
pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan poliferasi fibroblastik, yang
menunjukan perbaikan dini. Abses pada waktunya dapat hilang sempurna dan
akhirnya digantikan oleh jaringan ikat.

ULSERASI. Ulserasi menunjukan tempat inflamasi yang permukaan epitelnya (kulit,


epitel gaster, mukosa kolon, epitel vesika urinaria) telah menjadi nekrotik dan
terkikis, sering kali akibat inflamasi akut dan inflamasi kronik subepitel. Ulserasi
dapat terjadi akibat cedera toksik atau cidera traomatik pada permukaan epitel (yaitu
ulkus peptikuma atau mungkin akibat gangguan vaskular).ulkus peptik pada
lambung dan duodenum memperlihatkan temuan khas. Biasanya terdapat infiltrasi
neutrofilik padat dini disertai dilatasi vaskular. pada lesi kronik yang terdapat
kerusakan berulang, arena yang mengelilingi ulkus mengalami proliferasi
fibroblastik, pembentukan jaringan parut, dan akumulasi sel radang kronik.

Efek Sistemik Radang

 Pireksia
Sel netrofil dan sel makrofag menghasilkan zat pirogen yang mengakibatkan
suhu meningkat pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Pengeluaran zat
pirogen tersebut dipacu oleh adanya fagositosis, endotoksin, dan kompleks
imun.
 Keadaan Umum
Terjadi malaise, anoreksia, dan mual.
 Berat Badan Menurun
Penurunan berat badan terjadi karena keseimbangan nitrogen negatif.

39
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

 Hiperplasia Reaktif Sistem Retikuloendotel


Terjadi pembesaran kelenjar getah bening local atau sistemik serta
pembesaran limpa pada radang tertentu.

Terjadi Perubahan Hematologik :

 Laju endap darah meningkat.


 Lekositosis.
 Anemia terjadi akibat cairan/eksudat hemoragika, hemolisis karena toksin
bakteri dan akibat depresi toksis sumsum tulang.
 Amiloidosis terjadi karena radang kronik yang lama.

Pemulihan oleh jaringan ikat

Jejas jaringan berat menetap yang diseratai kerusakan pada sel parenkim dan
kerangka stroma menimbulkan suatu keadaan pemulihan yang tidak dapat
dilaksanakan melalui regenerasi parenkim saja.

Dalam kondisi seperti ini, pemulihan terjadi melalui sel parenkim non regeneratif
jaringan ikat. Terdapat 4 komponen:

1. Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis)


2. Migrasi dan poliferasi fibroblas
3. Deposisi ECM (matriks ekstraselluler
4. Maturasi dan regenerasi jaringan fibrosa.

Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui emigrasi


fibroblas dan induksi poliferasi fibroblast dan selendotel. Dalam 3-5 hari
muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan
disebut jaringan granulasi.
Jaringan granulasi bearasal darim gambaran mikroskopiknya yang berwarna
merah muda, lembut dan bergranula. Jaringan granulasi kemudian akan
mengumpulkan matriks jaringan ikat yang progresif yang hasilnya membentuk
pembentukan jaringan parut.

Angiogenesis
Pembuluh darah dibangun menjadi 2 proses;
Vaskulogenesis: jaringan pembuluh darah yang primitifnya dibentuk dari
angioblas(prekursor sel endotel)

40
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Angiogenesis: proses saat pembuluh darah yang sebelumnya ada


mengeluarkan tunas kapiler untuk menghasilkan pembulu darah baru, dan
proses penting pada lokasi jejas.

Ada 4 tahap umum yang terjadi dalam perkembangan pembuluh darah.


1. Degredasi poteolitik pada pembuluh darah induk BM, memungkinkan
pembentukan tunas kapiler
2. Migrasi sel endotel dari kapiler asal menuju suatu rangasang agiogenik
3. Proliferasi sel endotel dibelakang ujung terdepan yang mengalami migrasi
4. Maturasi sel endotel dengan penghambatan pertumbuhan dan penataan
menjadi pembuluh kapiler, tahap ini menyangkut rekrutmen dan proliferasi
perisit(untuk kapiler) dan sel otot polos (untuk pembuluh darah yang lebih
besar) untuyk menyokong pembuluh endotel dan memberikan fungsi
tambahan.

Faktor-faktor yang menginduksi angiogenesis


1. faktor pertumbuhan dasar fibroblas(BVGV)
2. faktor pertumbuhan endotel(VEGF)

Pembentukan jaringan ikat

Fibrosis atau pembentukan jaringan parut menambaqh kerangka jaringan garanulasi


pada pembuluh darah bam dan ecm longgar yang berkembang biak dini pada
tempat pemulihan.

Proses fibrosis berlangsung dalam 2 langkah:

1. Emigrasi dan proliferasi fibrobklas kedalam tempat jejas.


2. Deposisi sel ini pada ecm

Ketika proses penyembuha mengalami kemajuan, jumlah fibroblas yang


berpoliferasi dan pembulu darah akan berkurang. Namun secara progresif
fibroblas akan lebih mengalami fenotipe sintesis sehingga peningkatan
deposisi ecm secara khusus sintesis kolagen sanagta penting untuk
pengembangan kekuatan pada tempat penyembuhan luka. Dan berlanjut
bberapa minggu tergantung pada ukuran luka.
Pada akhirnya bangunan dasar granulasi berkembang menjadi suatu jaringan
parut yang sebagian besar jadi fibroblas yang inaktif bebrbentuk kumparan,
kolagen padat, fragmen jaringan elastis, dan komponen ecm lainnya.

41
[KERUSAKAN, KEMATIAN DAN ADAPTASI SEL] 2011

Saat jaringan parut menjadi matang akhirnya regenerasi pembuluh darah


akan mengubah jaringan granulasi yang sangat banyak pembuluh darahnya
akan mengubah jaringan granulasi yang sangat banyak menjadi jaringan oarit
yang sangat pucat dan avaskular.

Romodelling jaringan parut


Perubahan dari jaringan granulasi menjadi jaringan parut melibatkan
perubahan dalam komposisi ECM bahkan setelah sintesis dan deposisisinya.
ECM jaringan parut akan terus diubah dan dilakukan remodelling. Hasil akhir
dari setiap tahapan adalah keseimbangan antara sintesis dengan degradasi
ECM.
Degradasi kolagen dan komponen ECM lainnya dilakukan oleh suatu
kelompok metaloproteinase
Enzim ini dihasilkan oleh berbagai macam jenis sel(fibroblas, makrofag,
neutrofil).
Karena berpotensi menimbulakan kerusakan berat pada jaringan maka
aktivitasnya dikontrol secara ketat .

42

You might also like