You are on page 1of 45

Refleksi Kasus Mei 2018

“MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN YANG DILAKUKAN


SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI PREEKLAMPSIA”

Disusun Oleh:
Nurul Amelya Amsyar
N 111 17 008

Pembimbing Klinik:
dr. FERRY LUMINTANG, Sp.An, KIC

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi
pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.1
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan seksio sesarea jauh lebih aman dibandingkan
masa sebelumnya karena tersedianya antibiotik, transfusi darah, teknik operasi yang lebih baik,
serta teknik anastesi yang lebih sempurna. WHO memperkirakan bahwa terdapat peningkatan
persalinan dengan seksio sesarea menjadi 10-15% dari semua persalinan di negara berkembang
dan 20-25% di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Salah satu indikasi seksio
sesarea jika ditinjau dari faktor ibu adalah preeklampsia.1,2
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan edema yang
timbul karena kehamilan. Perkembangan kejadian preeklampsia dan eklampsia setiap tahun
mengalami peningkatan. Peningkatan kejadian preeklampsia dan eklampsia terbanyak di
Surabaya pada tahun 2013 sebanyak 1094 orang.3,5
Teknik anastesi yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anastesi regional.
Beberapa teknis anastesi regional yang biasa digunakan pada pasien obstetric yaitu blok
paraservikal, blok epidural, blok subarachnoid dan blok kaudal. Anastesi spinal aman untuk
janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa tekanan darah pasien menurun dan akan
menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin.4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang dilakukan
tindakan Seksio sesarea pada ibu yang mengalami preeklampsia ringan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Kehamilan


A. Sistem pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Meskipun vital
capacity paru tidak berubah tetapi total lung volume turun sekitar 5% sebagai akibat
terdorongnya diafragma ke atas. Alveolar ventilasi naik 40% karena terjadi kenaikan
pada volume tidal (TV).7
Functional residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan oksigen juga
berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat
sampai 100%. Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan
jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu
dilakukan induksi anestesi, meskipun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit
meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada
wanita hamil.8
B. Sistem kardiovaskular
Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30% terutama kenaikan volume
plasma akibatnya hematrokit akan turun yang bermanifestasi klinis berupa anemia
relatif. Selain itu, terjadi peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 15%,
peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma meningkat sampai 45%
sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya
dilutional anemia of pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas
sirkulasi, penekanan / kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid
sehingga akan mengurangi venous return dan cardiac output, akibatnya tekanan darah
turun (hipotensi) dapat menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika
tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus
sampai asfiksia janin. Vena caval compression ini menyebabkan dilatasi vena-vena
perivertebralis sehingga mempermudah terjadinya intravenous injection pada waktu
peridural blok, disamping itu akan mengurangi volume peridural space dan
subarachnoid sehingga dosis obat lokal anastesi perlu dikurangi.7
Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya autotransfusi dari
plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung meningkat, curah jantung

3
meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal
bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan
sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama
kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan
fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.8
C. Sistem gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan sudut
gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu terjadi juga peningkatan
sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan
pengosongan lambung. Dengan demikian pada pasien yang mendapatkan sedasi atau
tidak sadar akan meningkatkan resiko terjadinya pulmonary aspirasi dari cairan
lambung yang disebut Mendelson sindrom. Sindrom ini akan menjadi progresif
bilamana pH cairan lambung kurang dari 2,5 dan volume aspirasi >25 cc. Dengan dasar
ini untuk mengurang kejadian mendelson sindrom, perlu diberikan antasid (dianjurkan
soodium sitrat bila tidak ada dapat diberikan magnesium trisilikat) untuk menetralisir
keasamaan atau cemetidin yang mepunyai efek meningkatkan keasaman (pH) dan
sekaligus mengurangi produksi jumlah produksi cairan sebelum dilakukan operasi.7
D. Sistem saraf pusat
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi obat
inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan
menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau
intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi
juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan
menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.8
E. Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta
Hal ini juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya
merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap
bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin.8
2.2. Preeklampsia
A. Definisi
Preeklampsia adalah hipertensi yang muncul setelah kehamilan berusia 20 minggu
dengan proteinuria sedangkan eklampsia adalah preklampsia disertai kejang umum dan

4
atau koma dan bukan merupakan gejala penyakit lain seperti epilepsi, perdarahan
subakhnoid, dan meningitis.5
B. Klasifikasi
1. Hipertensi dalam kehamilan (Gestational hipertensi)
2. Hipertensi Kronis
3. Preeklampsia atau Eklampsia
Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah usia kehamilan 20
minggu dengan sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan disertai proteinuria (≥
0,3 gram protein dalam spesimen urin 24 jam). Eklampsia dapat didefinisikan sebagai
kejang yang bukan merupakan dikarenakan penyebab apapun pada wanita dengan
preeklampsia.6
Proteinuria dengan onset yang cepat (>300 mg dalam urin 24 jam) dengan wanita
hamil dengan hipertensi tetapi tidak terjadi proteinuria sebelum usia kehamilan 20
minggu. Peningkatan tekanan darah atau proteinuria atau penurunan jumlah platelet
hingga dibawah 100.000 secara tiba-tiba pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria
sebelum usia kehamilan 20 minggu.5
Preeklampsia dibagi menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Preeklampsia ringan didefinisikan dengan terdapatnya hipertensi (tekanan darah ≥
140/90 mmHg) yang terjadi dua kali dalam rentang waktu paling sedikit 6 jam.
Proteinuria adalah terdapatnya protein 1+ atau lebih dipstick atau paling sedikit 300 mg
protein dalam urin 24 jam. Edema dan hiperrefleksia sekarang bukan merupakan
pertimbangan utama dalam kriteria diagnosis preeklampsia ringan.6
Kriteria diagnosa preeklampsia berat adalah apabila terdapat gejala dan tanda
sebagai berikut.5
- Sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg yang terjadi dua kali dalam waktu
paling sedikit 6 jam
- Proteinuria lebih dari 5 gram dalam urin 24 jam.
- Edema pulmonal - Oligouria (<400 ml dalam 24 jam).
- Sakit kepala yang menetap.
- Nyeri epigastrium dan atau kerusakan fungsi hati
- Trombositopenia
- Keterbatasan perkembangan intrauterus
- Peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus
- Skotoma dan gangguan visus lain
5
- Perdarahan retina
- Koma
C. Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari preeklamsi belum diketahui pasti. Teori yang dapat
diterima menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat prevalensinya pada
primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa. Selain itu teori
tersebut harus dapat menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi preeklampsia
dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan
penderita setelah janin mati dalam kandungan, penyebab jarang timbul kembali
preeklampsia pada kehamilan berikutnya dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti
hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.6
D. Patogenesis
Preeklampsia telah dijelaskan oleh Chelsey sebagai “disease of theories” karena
penyebabnya tidak diketahui. Banyak teori yang menjelaskan patogenesis dari
preeklampsia, diantaranya adalah (1) fenomena penyangkalan yaitu tidak adekuatnya
produksi dari blok antibodi, (2) perfusi plasenta yang tidak adekuat menyebabkan
keadaan bahaya bagi janin dan ibu, (3) perubahan reaktivitas vaskuler, (4)
ketidakseimbangan antara prostasiklin dan tromboksan, (5) penurunan laju filtrasi
glomerulus dengan retensi garam dan air, (6) penurunan volume intravaskular, (7)
peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat, (8) penyebaran koagulasi intravaskular
(Disseminated Intravascular Coagulation, DIC), (9) peregangan otot uterus (iskemia),
(10) faktor-faktor makanan dan (11) faktor genetik. Dari teori-teori yang telah
dijelaskan sebelumnya, belum ada satupun yang dapat membuktikan proses patogenesis
preeklampsia yang sebenarnya.5
E. Perubahan Fisiologi Patologik
Perubahan patologis pada preeklampsia berupa pendarahan yang tidak teratur,
terjadi nekrosis, thrombosis pada lobus hati, terdapat rasa nyeri di epigastrium karena
pendarahan subkapsuler. Pada retina terdapat spasme arteriol, edema sekitar dikus
optikus dan ablasio retina (lepasnya retina) yang menyebabkan penglihatan kabur.
Perubahan patologis lainnya terdapat pada otak ditandai oleh terjadinya spasme
pembuluh darah arteriol otak yang menyebabkan anemia jaringan otak, pendarahan dan
nekrosis.6
Pada organ lain seperti paru-paru mengalami perubahan patologis serupa dengan
terdapatnya berbagai tingkat edema, brokopneumonia sampai abses dan menimbulkan
6
sesak nafas sampai sianosis. Perubahan patologis juga terdapat pada jantung ditandai
dengan perubahan degenerasi lemak dan edema serta pendarahan sub endokardial
sehingga menimbulkan dekompensasi kordis sampai terhentinya fungsi jantung.5
Organ lain yang mengalami perubahan akibat preeklampsia adalah ginjal.
Perubahan ditandai oleh adanya spasme arteriol yang menyebabkan aliran darah ke
ginjal menurun sehingga filtrasi glomelurus berkurang. Permeabilitas glomerulus
terhadap protein makin tinggi sehingga terjadi vasasi protein ke jaringan. Proses vasasi
protein ke jaringan diawali dengan penarikan air dan garam oleh protein ekstra vaskuler
sehingga menimbulkan edema kemudian terjadi hemokonsentrasi darah yang
menyebakan gangguan fungsi metabolisme tubuh dan thrombosis.5
F. Komplikasi Preeklampsia
- Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang menderita
hipertensi akut. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5 % solusio plasenta
terjadi pada pasien preeklampsia.
- Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan
mekanisme ikterus tersebut
- Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal.
- Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini
merupakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri.
- Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia
diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati.
- Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet.
- Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
- Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin. 10. Komplikasi lain berupa
lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh akibat kejang, pneumonia aspirasi dan
DIC.6

7
2.3. Manajemen Anastesi pre operatif

A. Penilaian Pre-operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan

preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah

sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi.

Tujuannya adalah :

 Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

 Melihat kelainan yang berhubungan dengan anastesi seperti adanya riwayat

hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun

urtikaria)

 Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

 Tahapan resiko anastesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi

(pemeriksaan tambahan dan atau terapi diperlukan)

 Pemilihan jenis anastesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)

kepada pasien

 Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat

induksi.1

B. Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anastesi. Regurgitasi isi lambung dan

kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang

mengalami anastesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang

dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anastesi harus dipantangkan dari masukan

oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anastesi.2

8
Tabel 1. Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)
Usia Pasien Intake Oral Lama Puasa (jam)
< 6 bulan Clear fluid 2
Breast milk 3
Formula milk 4
6 bulan - 5 tahun Clear fluid 2
Formula milk 4
Solid 6
>5 tahun Clear fluid 2
Solid 6
Adult, op.pagi Clear fluid 2
Solid Puasa mulai jam 12 malam
Adult, op.siang Clear fluid 2
Solid Puasa mulai jam 8 pagi

C. Terapi Cairan

Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,

kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti perdarahan. Dengan tidak adanya

intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya

pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus-

menerus dari kulit dan paru. Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi

akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan

mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Kebutuhan

maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah :

Tabel 2. Kebutuhan Maintenance Normal


Berat Badan Jumlah
10 kg pertama 4ml/kg/jam
10 kg berikutnya 2ml/kg/jam
Tiap kg diatas 20 kg 1m/kg/jam

9
D. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

 Meredakan kecemasan dan ketakutan

 Memperlancar induksi anesthesia

 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

 Meminimalkan jumlah obat anestetik

 Mengurangi mual muntah pasca bedah

 Menciptakan amnesia

 Mengurangi isi cairan lambung

 Mengurangi reflek yang membahayakan1

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara suntikan intramuskuler diberikan

30-45 menit sebelum induksi, suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi.

Komposisi obat dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta

cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.2

Tabel 3. Obat-obat yang dapat digunakan untuk premediksai

No. Jenis obat Dosis (Dewasa)

1 Sedatif :

Diazepam 5-10mg

Difenhidramin 1 mg/kgbb

Promethazin 1 mg/kgbb

Midazolam 0,1-0,2 mg/kgbb

2 Analgetik Opiat :

Petidin 1-2 mg/kgbb

Morfin 0,1-0,2 mg/kgbb

10
Fentanil 1-2 µg/kgbb

Analgetik non opiat Disesuaikan

3 Antikholonergik :

Sulfas atropine 0,1 mg/kgbb

4 Antiemetik :

Ondancentron 4-8 mg (iv) dewasa

Metoklorpamid 10 mg (iv) dewasa

5 Profilaksis aspirasi : Dosis disesuaikan

Cimetidine

Ranitidin

Antasida

2.4. Teknik Anestesi


A. Prinsip teknik anestesi harus memenuhi kriteria;
 Sifat anelgesi yang cukup kuat
 Tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu
 Toksisitas rendah aman terhadap ibu dan bayi
 Tidak mendepresi janin
 Relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi rahim1

B. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah sebagai berikut;
 Adanya gangguan pengosongan lambung
 Terkadang sulit dilakukan intubasi
 Kebutuhan oksigen meningkat
 Pada sebagian ibu hamil, posisi terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi
(“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.2

11
C. Anastesi Spinal
Definisi
Anestesi spinal adalah pemberian obat ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai analgesi/blok
spinal intradural atau blok intratekal.1,3
Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat
dicegah/dikurangi.
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional
sudah siap.
Kerugian :
 Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
 Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
 Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
 Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.
Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah
papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-
3 jam. 1,3
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum perineum
d. Bedah obstetrik-ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan

12
Kontra indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
a. Kontra indikasi absolut : 1,3
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
b. Kontra indikasi relatif : 1,5
 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah diperlukan
pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa dipilih
lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada pasien
sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit, bisa
ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung akibat
efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya hipovolemia
bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan

13
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman1.3

E. Struktur Anatomi Vertebra

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal,
5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih
tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama
lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.1,3
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat
kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan
keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh 1,3
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca. 1,3
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati hanya
memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas kolumna
vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di dalamnya.
Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing
vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot. 1,2
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid adalah
lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla spinalis berjalan mulai
dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen akhir
medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting diperhatikan bahwa
lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.4

14
Gambar 1. Kolumna Vertebralis 3
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang lazim
digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya adalah :
a. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat
di daerah leher.
b. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
c. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
d. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
e. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-51,3,4

Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis


15
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.3,5
a. Kutis
b. Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina
ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum
dan masuk keruang epidural.
f. Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g. Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.

Gambar 3. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal3


F. Persiapan anestesi spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana dibanding
melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan karena terkadang
jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka
sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.1
16
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah:3,5
 Informed consent :Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi
tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 Pemeriksaan fisik :Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu gemuk
sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin(PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-obatan.
Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
a. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
b. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
c. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare), dipersiapkan
dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
d. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
e. Kapas/ kasa steril dan plester.
f. Obat-obatan anestetik lokal.
g. Spuit 3 ml dan 5 ml.
h. Infus set.
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock), jarum spinal
dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)1,3

Gambar 6. Jenis Jarum Spinal3


17
G. Teknik pelaksanaan Anestesi Spinal3,4,5
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat lengkap dengan
alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat. 3,4,5
 Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika visite pre-
operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan
dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk. 3,4,5
 Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-
L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap
medula spinalis. 3,4,5
 Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 6. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus3

 Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung
digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak

18
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.
Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi
yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal secara kontinyu dapat dimasukan kateter.
 Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

Gambar 7. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

H. Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal


Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid menghasilkan
respon fisiologis yang penting dan luas. Respon fisiologis yang terjadi kadang
dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia spinal. Pemahaman terhadap
etiologi dari efek fisiologis yang terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien selama
anestesia spinal dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.3,5
 Efek Pada Kardiovaskular.
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada anestesia spinal adalah
pada sistem kardiovaskular. Efek yang terjadi sama dengan pada penggunaan

19
kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi dan tekanan darah
menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini karena blok
simpatis yang terjadi pada anestesia spinal. Level blok simpatis mempengaruhi
respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana semakin tinggi blok saraf yang
terjadi semakin besar pengaruhnya terhadap parameter kardiovaskular. 3,5
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output (CO) dan
systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan vasodilatasi baik
pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah pada vena lebih besar (kurang
lebih 75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya lebih tipis
dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang terjadi lebih dominan. Akibat
dari venodilatasi terjadi redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas inferior yang
menyebabkan venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung berkurang
sehingga CO menurun. Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya menurun 15-18%,
walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok tinggi
disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat dari T1 sampai
T4. Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap penurunan tekanan pada atrium
kanan akibat pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan peregangan
3,5
pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.
 Efek Pada Respirasi.
Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama anestesia spinal
mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak berubah selama
anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang sedikit dari 4,05 menjadi
3,73 liter. Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh penurunan expiratory
reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot abdomen yang penting pada
ekspirasi paksa diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf frenikus atau
diafragma. Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak berhubungan dengan
disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh hipoperfusi pada
pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung pernyataan tersebut
adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan resusitasi yang
cukup baik secara farmakologi ataupun dengan pemberian cairan untuk
meningkatkan cardiac output dan tekanan darah.
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya paralisis
otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi
20
paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus
menjadi terganggu. 3,5
 Efek Pada Gastrointestinal.
Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah traktus
gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang mendapatkan
anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya hiperperistaltik
gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus) dan relaksasi dari spinkter
yang terdapat pada traktus gastrointestinal.7 Atropin efektif mengurangi mual dan
muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak,
kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal
memberi keuntungan karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus
untuk operasi. 3,5
 Efek Pada Fungsi Ginjal.
Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral dipelihara oleh
mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi arteri. Jika
tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin tidak
berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan terjadinya
penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan terjadi penurunan
aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap. Walaupun begitu, jika tekanan
darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali normal. 3,5
 Efek pada Termoregulator.
Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal memiliki pendekatan
yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum. Tiga mekanisme dasar yang
menyebabkan terjadinya hipotermia selama anestesia spinal antara lain redistribusi
dari pusat panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh blok simpatis, hilangnya
termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan ambang vasokontriksi dan
menggigil dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya panas dari
vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok. 3,5

I. Farmakologi
Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan
mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial maupun ke
kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum mempunyai selubung
myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung bahan (material) yang mempunyai

21
efek iritasi pada radiks dan medula spinalis. Obat yang dipakai untuk anestesia spinal
adalah obat yang khusus1,2,4
Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia spinal
harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari obat dalam cairan
serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-elemen saraf pada ruang
subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi obat dari ruangan subarakhnoid
(duration of action).6 Terdapat beberapa macam obat anestesia lokal yang sering dipakai
pada anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine), tetrakain (Pantocaine),
bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain (Cinchorcaine). Prokain dan
lidokain bersifat short-intermediate acting, sedangkan tetrakain, bupivakain dan dibukain
mempunyai sifat intermediate-long duration. 1,2,4
 Prokain.
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit
dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika Serikat, prokain untuk anestesia
spinal terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%. Jika dilarutkan
dengan cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama menghasilkan larutan
prokain 5% yang mempunyai berat hampir sama dengan cairan serebrospinal
dan jika dicampur dengan glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan
menghasilkan larutan yang lebih berat dari cairan serebrospinal. Larutan
prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan sebagai diagnostik
dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang disarankan
berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas
inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.2,3
 Lidokain.
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain yang dipakai
untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang biasa
digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block
anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,3
 Tetrakain.
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan durasi
yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).
Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul
sebesar 2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan glukosa
22
10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa) digunakan
secara luas untuk anestesia spinal dimana mempunyai berat yang lebih besar
daripada cairan serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk
operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi
abdomen bagian atas. 2,3
 Bupivakain.
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8 menit.
Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan
kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah
digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar
antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20 mg
2,
untuk operasi abdomen bagian atas. Dosis obat anestesi regional yang lazim
digunakan untuk melakukan anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal3


Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%
Tabel 2. Anestetik lokal yang paling sering digunakan4
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan menjadi tiga
golongan yaitu:

23
 Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari pada
berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka
baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5%. Contoh:
Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml), Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%:
berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml) 2,3
 Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari berat
jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah
1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit
hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh:
tetrakain,dibukain.
 Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama dengan
densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas
cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika
densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-
1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% Spinal anestesi blok mempunyai beberapa
keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat
dihambat, komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli
berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang pasien masih
dalam keadaan sadar. Contoh: Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006,
sifat isobarik, dosis 20-100 mg (2-5 ml), Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat
jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml). 2,3

2.5. Durante Operasi dan Monitoring

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi

keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low moleculer weight (garam)

dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat high

24
moleculer weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga

tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskuler, sedangkan

cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang

cairan ekstraseluler.1

Karena kebanyakan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement

yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer

Laktat. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan sebanyak

3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.2

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimate blood

volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila

kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi

ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan

darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:

 Estimate Blood Volume

 Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70cc/kgBB. Tetapi ada sumber

yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgbb dan wanita

65cc/kgbb

 Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi

 Perkiraan RBCV pada hematokrit 30%, menunjukan volume darah normal telah

dicapai

 Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤30% dengan cara

RBCVlost = RBCVpreop-RBCV30%

 Kehilangan darah yang terjadi = RBClost x 3

Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah

ringan, sedang atau berat. Jika ringan maka kebutuhan cairan tambahan 0-2 ml/kgbb,

25
jika sedang maka kebutuhan cairan tambahan 2-4 ml/kgbb, dan jika berat maka

kebutuhan cairan tambahan 4-8ml/kgbb.6

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anastesi adalah :

 Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

 Heart rate, nadi dan kualitasnya

 Warna membran mukosa, capillary refill time

 Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra)

 Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

 Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

26
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. U
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 34 Tahun
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Alamat : Desa Banubi Duripoko Mamuju
7. Tanggal Operasi : 7 Mei 2018
8. Ruangan : Nifas Bawah Rumah Sakit Anutapura Palu
9. Diagnosa Pra Bedah : G7P4A2 gravid aterm + PEB
10. Jenis Pembedahan : Seksio sesarea
11. Jenis Anestesi : Regional anesthesia

B. ANAMNESIS
- Keluhan utama : nyeri perut tembus belakang
- Riwayat penyakit sekarang :
Pasien perempuan usia 34 tahun, datang ke Rumah Sakit Anutapura rujukan dari
RS Budi Agung dengan diagnosis G7P4A2 gravid aterm + PEB, dengan keluhan
nyeri perut tembus belakang (+) sejak pagi tadi, pelepasan air (-), lendir (-), darah
(-), disertai nyeri ulu hati (+), pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur (-), mual
(-), muntah (-), edema (+) pada kedua kaki, BAB dan BAK biasa.
- Riwayat penyakit sebelumnya :
Riwayat alergi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Pasien pernah mengalami keguguran 2 kali
- Riwayat operasi sebelumnya :
Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya
- Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit paru :-
Riwayat penyakit hipertensi :-

27
Riwayat penyakit jantung :-

3. PEMERIKSAAN FISIK
- Status generalisata
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 60 kg
Pernafasan : 20x/menit
Nadi : 84/menit
Suhu : 37 0C
Tekanan darah : 140/100 mmHg
- Pemeriksaan preoperative

➢ Kulit
Pucat (-), turgor kulit kembali cepat (<2 detik).

➢ Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Edema palpebral (-/-), Conjungtiva: anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Telinga : Otorrhea (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1
Pharynx : Hiperemis (-)
Kelenjar : Pembesaran kelenjar getah bening (-); kelenjar tiroid (-)

➢ Thorax
Bentuk simetris, retraksi otot dinding dada (-)

➢ Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi intercostal (-)
- Palpasi : Vokal fremitus (+/+) normal, massa(-), nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Bronchovesiculer (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

➢ Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
28
- Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V
linea parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V linea
axilla anterior
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-) , gallop (-)

➢ Abdomen
- Inspeksi : Permukaan kesan cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Tympani (+).
- Palpasi : Nyeri tekan (-), gerakan janin (+), his (+), DJJ
142x/menit

➢ Genitalia : Tidak ada kelainan (-)

➢ Anggota gerak

- Atas : Akral hangat(+/+), edema (-/-)

- Bawah : Akral hangat(+/+), edema(+/+),Look :

▪ Feel : sensai dalam bata normal, terdapat nyeri tekan, tidak

ada krepitasi dan kehangatan dalam batas normal.

▪ Move : pergerakan terbatas.

➢ Punggung : Tidak ada deformitas

➢ Otot-otot : Eutrofi, tonus otot baik

➢ Refleks : Fisiologis (+/+), Patologis (-/-)

B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 4 cm, jarak hyothyoid 4 cm, leher pendek (-), gerak
leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan 19 kali/menit,

29
suara pernapasan: bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),
wheezing (-/-), Mallampati score 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
B2 (Blood)
Akral hangat, ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah 140/100 mmHg, denyut nadi 84 kali/menit, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
B3 (Brain)
Kesadaran composmentis, pupil isokor 2mm/2mm, refleks cahaya (+/+),
anemis (-/-), ikterik (-/-).
B4 (Bladder)
BAK (+) kateter
B5 (Bowel)
- Abdomen tampak cembung, peristaltik (+), timpani (+)gerakan janin (+), his
(+), DJJ 140x/menit
B6 Back & Bone
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), Edema (+), akral dingin (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab

Parameter Hasil Satuan Range Normal

RBC 3,59 106/mm3 3,80-5,20


Hemoglobin (Hb) 11,0 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 32,7 % 37,0-47,0
PLT 235 103/mm3 150-500
WBC 7,7 103/mm3 4,0-10,0
CT 2' 30" Menit 4-10
BT 8' Menit 1-5
GDS 382 mg/dl <200

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

Creatinin 0,88 mg/dl 0,70-1,30

Urea 7,5 mg/dl 18,0-55,0

Protein ++

30
4. Diagnosis Kerja
G7P4A2 gravid aterm + PEB

5. Tindakan
Sectio Sessarea

6. Kesan Anastesi
Pasien perempuan usia 34tahun dengan diagnosis G7P4A2 gravid aterm + peb
pro SC dan PS ASA II

7. Penatalaksanaan
 Saat masuk IGD
IVFD RL 26 tpm
drips MGSO4 40%, didalam Nacl 100 ml, 28 tpm

➢ Pre-Operatif di Ruangan
- KIE (+),
- Surat persetujuan operasi (+),
- surat persetujuan tindakan anestesi (+)
- Puasa: (+) 8 jam preop
- Persiapan Whoole blood (+) 1 bag Gol. A+
- IVFD 1 line tangan kiri dengan cairan RL 20 tpm

➢ Di kamar operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
- Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
- Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
- Alat-alat resusitasi (STATICS)
- Obat-obat anestesia yang diperlukan.
- Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
- Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
- Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

31
- Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
- Kartu catatan medic anestesia
- Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai


dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa


hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan
sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak
digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

➢ Intra-operatif
Prosedur Anestesi Regional Subarachnoid Blok
a. Persiapan:
- posisi supine

32
- O2 via nasal canul 2.5 L/menit
- Monitor (TD, EKG, stetoskop prekordial, SpO2)
b. Loading cairan RL 500 cc, infuse terpasang di tangan kiri
Premedikasi:
- Ondansetron 4 mg/IV
c. Spinal Anestesi:
- Posisi LLD
- Identifikasi interspace vertebra L3-L4
- Desinfeksi menggunakan betadine 70%
d. Insersi spinocan no. 26G di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut
10-30% terhadap bidang horizontal kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, sehingga
cairan serebrospinal akan keluar, darah (-), barbotage (+).
e. Injeksi Obat anastetik Bupivacaine 0.5% 10 mg ke dalam ruang subarachnoid.
f. Tempat penyuntikkan ditutup.
g. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan lakukan tes sensorik,
motorik, dan simpatis serta tanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri kepala,
dan sesak.
h. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
i. Operasi dimulai
j. Maintenance: O2 1-2 lpm, diberikan efedrin saat TD <25% dari TD basal tetapi
pada pasien ini tidak diberikan.
k. Operasi selesai periksa hemodinamik stabil, nafas spontan dan adekuat, pasien di
pindahkan ke RR.
Laporan Anestesi Durante Operatif

❖ Jenis anestesi : Regional Anestesi, SAB L3-L4, LCS (+)

❖ Lama anestesi : 11.30 - 12.30 (1 jam )

❖ Lama operasi : 11.30 – 12. 25 (55 menit)

❖ Anestesiologi : dr. Ajutor Donny., Sp. An

❖ Ahli Bedah : dr. Abd Faris., Sp.OG

❖ Posisi : Supine

33
❖ Infus : 1 line di tangan kiri

Laporan Monitoring Anestesi

Frekuensi Saturasi
Tekanan Darah
Jam Denyut Nadi Oksigen Keterangan
(mmHg)
(x/menit) (%)

Bupivacaine HCL
11.30 130/70 90 100
10 mg

11.35 130/70 90 100 Ranitidin 50 mg

Ondansentron 4
11.40 150/80 100 100
mg

11.45 100/80 80 100 Oxytosin

11.50 130/70 80 99

11.55 140/80 90 99

12.00 120/80 100 99

12.05 140/80 90 98

12.10 140/80 90 98 Ketorolac 30 mg

12.15 140/80 86 98

12.20 148/90 90 99

12.25 140/80 80 99

34
Tabel 7. Laporan Monitoring Anestesi
150

1 2 3 4 5
140

130

120
NADI

110
100 100
100
90 90 90 90 90 90
90
80 80 80 80
OUT
80 IN
11,30
11.35
11,40
11.45
11,50
11.55
12,00
12,05
12,10
12.15
12,20
12.25

WAKTU

Keterangan:
Obat-Obatan
1. Bupivacaine 10 mg ■ :Mulai Operasi
2. Ranitidine 50 mg ■ :Selesai Operasi
3. ondancentron 50 mg ○ :Mulai Anestesi
4. oxytocin 10 IU Out : Keluar OK
5. Ketorolac 30 mg IN : Masuk OK

16. Terapi Cairan.


Berat Badan : 60 kg
Jumlah perdarahan : ± 200 ml
 EBV = BB (Kg) x 65 ml/kgBB
= 60 x 65 ml/kgBB = 3.900cc
 % Perdarahan = Jumlah Perdarahan : EBV x 100%
= 200 : 3900 x 100%
= 0.051 x 100%
= 5.1%

35
𝑯𝒄𝒕 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏−𝑯𝒄𝒕 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓
 𝑨𝑩𝑳 = 𝑬𝑩𝑽 × (𝑯𝒄𝒕 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏+𝑯𝒄𝒕 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓 )/ 𝟐

3.900 ×(32.7−40)
= (32.7+40)/2
3.900 𝑥 7.4
= 36

= 28.860 : 36
= 801,66 ml

▪ Cairan masuk
- Pre operatif : Kristaloid RL 500 ml
- Durante operatif : Kristaloid RL 500 ml
- Total input cairan : Kristaloid RL 1000 ml

▪ Cairan keluar durante operatif


- Perdarahan : ± 200 cc
- Urin : ± 50 cc
- Total output cairan : ± 250 cc

Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1) Cairan Maintanance (M)
M = (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 40)
= 40 + 20 + 40
= 100cc/jam
55menit = 100cc x 55 Menit/60 menit
= 92 cc (dalam 55 menit operasi)
2) Cairan defisit selama puasa (P)
P = Lama puasa x Maintenance
= 8 x 92cc
= 736 ml
3) Cairan yang masuk saat puasa
Cairan masuk puasa = Jumlah infus (TPM) x Lama Puasa (Menit)/20
= 20 x 480/20
= 9600/20
= 480 ml

36
Cairan defisit puasa – Cairan masuk puasa = 736ml – 480ml
= -256 ml
4) Stress Operasi sedang = 6cc/kgBB/jam x BB
= 6cc x 60kg
= 360cc/jam
5) Cairan defisit darah selama operasi : 200 ml x 3 = 600ml

6) Total kebutuhan cairan selama 55 menit operasi


Kebutuhan cairan operasi
= M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin + deficit darah
selama operasi
= 92 + 256 + 360 + 50 +600
= 1350 ml
b. Cairan masuk

▪ Kristaloid : 500 ml + 500 ml = 1000 ml

▪ Koloid :-

▪ Whole Blood :-

▪ Total cairan masuk : 1000 ml

c. Keseimbangan kebutuhan :

▪ Cairan masuk – cairan yang dibutuhkan = 1000 ml – 1350 ml = -350 ml

➢ Post-operatif dalam ruangan RR


- Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
- Beri O22L/menit nasal canul.
- Bila Skor Bromage ≤ 2 boleh pindah ruangan.
- Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum sedikit –
sedikit.
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesia.
Bernilai 0 : jika terdapat gerakan penuh tungkai

Bernilai 1 : jika mampu ekstensi tungkai

37
Bernilai 2 : jika mampu fleksi pergelangan kaki

Bernilai 3 : jika tidak mampu fleksi pergelangan kaki

Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2, pasien boleh pindah ke
ruangan. Pada pasien score bromage 0 dimana dapat menggerakkan secara penuh
tungkai.

Skor Pemulihan Pasca Anesthesia bromage score

Tabel 8.Bromage Score


Kriteria Nilai Skor

Dapat memfleksikan kaki dan lutut 0 0


(None)
Hany adapat menekuk lutut kanan tetapi 1
tidak dapat mengangkat kaki (Partial)
Hanya dapat menggerakkan kaki 2
(Almost Complete)
Tida kdapat mengangkat kaki sama 3
sekali (Complete)
TOTAL

Keterangan : Pasien dapat dipindahkan ke bangsal atau ruang perawatan jika skor
kurang dari atau sama dengan 2.

38
Perintah di ruangan:
a. Awasi tanda vital (TD, Nadi, Pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan, beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri Injeksi Ondansetron 4 mg IV
d. Program cairan, infus RL 20 tetes/menit

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny.U berusia 34 tahun dengan diagnosis G7P4A2 gravid aterm dengan PEB,
rencana akan dilakukan operasi pembedahan sectio caesar pada tanggal 8 Mei 2018. Setelah
dilakukan anamnesis, didapatkan pasien mengeluhkan keluhan nyeri perut tembus belakang
(+) sejak tadi pagi, pelepasan air (-), lendir (-), darah (-),nyeri ulu hati (+), penglihatan kabur
(-), mual (-), muntah (-), edema (+) kedua tungkai bawah BAB dan BAK biasa.
Di UGD Pasien menerima terapi MGSO4 dengan tujuan Magnesium mempunyai peran
besar dalam eklamsia untuk mencegah terjadinya kejang. Cara pengobatan preeklampsia
diawali dengan pemberian intravena magnesium sulfat 4g dalam 20 menit kemudian disusul
dengan infus intravena dengan kecepatan 1 gram tiap jam. Magnesium bekerja sebagai
vasodilator serebral dan stabilisator membrane, mengurangi iskemia dan kerusakan neuro yang
mungkin terjadi. Obat ini juga bekerja sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor
N-methyl-D-aspartat. Magnesium mempunyai jangkauan terapi luas dan monitoring klinis
cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 dan reflek perifer.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekananan darah 140/100 mmHg, pernapasan
20 kali per menit, nadi 84 kali per menit, dan suhu badan 37 0C. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium hematologi pada saat pasien masuk IGD tanggal 06 Mei 2018, RBC = 3,59 x
106/uL, Hb = 11,0 g/dl, Hct = 32,7%, GDS = 382 mg/dl, Creatinin = 0,88 mg/dl,urea = 7,5
mg/dl, protein = ++ dan HbsAg non reaktif., riwayat alergi (-), riwayat operasi sebelumnya (-
). Kemudian pasien dikonsulkan kebagian anestesi pada tanggal 7 Mei 2018 untuk
dilakukannya tindakan operasi section sessaria, dan hasil konsul dokter anestesi persiapan yang
dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien,
tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan dilakukannya tindakan tersebut, resiko
dilakukannya tindakan, komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien dan keluarga
terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya untuk mendapatkan
persetujuan dan ijin dan pasien atau keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi
dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat
dipertimbangkan dengan baik.

40
b. Puasa
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dan obat- obat
anestesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada
bayi 3-4 jam . Pada kasus ini pasien dapat dipuasakan selama minimal 8 jam.
c. Laboratorium
Pada saat awal pasien datang ke UGD dilakukan pemeriksaan meliputi: pemeriksaan
darah lengkap, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia darah. Pemeriksaan darah
lengkap dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika
terdapat gangguan. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi dengan hasil: RBC = 4,71
x 106/uL, Hb = 12,2 g/dl, Hct = 36,5%, GDS = 98 mg/dl, Creatinin = 0,88 mg/dl,urea = 7,5
mg/dl, protein = ++ dan HbsAg non reaktif.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan untuk memfasilitasi distribusi oksigenasi
ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida. Oksigenasi atau perfusi yang baik
diperlukan jaringan guna mencegah terjadinya syok. Jumlah trombosit, masa pembekuan
dan defisiensi faktor pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat meningkatkan
koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak kurang dari 50% nilai normal
akan menyebabkan perdarahan.

Dan pada hari yang direncanakan untuk operasi pagi hari sesuai instruksi dari dokter
anestesi pasien diperiksa kembali gula darah puasanya, dan didapatkan hasil 164 mg/dl,
dan operasi dilakukan sesuai dengan yang direncanakan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien digolongkan pasa PS
ASA II . adapun pembagian kategori ASA adalah :
I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental
II :Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi

41
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Dengan keadaan tersebut, pasien termaksud dalam kategori ASA II yaitu pasien
memiki penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional. Sebelum
dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik untuk menentukan status fisik (ASA).

Teknik Anestesi
Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan regional anestesi, yaitu
dengan subarachnoid anestesi. Pemilihan anestesi ini berdasarkan dan pertimbangan keadaan
pasien sendiri dan tindakan pembedahan yang akan dilakukan pada pasien, anestesi spinal
cukup aman untuk dan pembedahan yang akan dilakukan adalah pembedahan dibagian
ekstremitas. Dimana pada pasien daerah dilakukannya operasi yaitu daerah ekstremitas bawah.
Hal ini sesuai dengan indikasi dari anestesi spinal.

Durante Operasi
Operasi section caesarea dilakukan pada tanggal 8 Mei 2018. Pada pasien ini dilakukan
pembiusan menggunakan teknik anestesi spinal dengan bupivacaine spinal (Bupivakain HCl)
sebanyak 10 mg. Kemajuan anastesi berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan
hantaran dan serat saraf yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1)
otonomik (2) nyeri (3) suhu (4) raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot skeletal. Mual muntah
merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal dan kejadiannya kurang lebih
hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan
tekanan darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan aktivitas
parasimpatis dimana blok spinal akan mempenganuhi kontrol simpatetik gastrointestinal.
Dalam hal ini diberikan antiemetik ondansetron 4 mg. Dosis dewasa intravena yang
direkomendasikan untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4
mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi. Mual muntah post
operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai
kebutuhan setiap 4—8 jam.
Pada pukul 11.30 pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi regional pada spinal.
Dimasukkan obat anestesi spinal yaitu bupivacain spinal 10 mg dan pantauan monitor TD
130/70 mmHg; Nadi 90 x/menit; Sp02 100%. Pasien merasa kedua kaki mulai terasa keram
dan beberapa menit kemudian kedua kaki tidak dapat digerakkan. Ini merupakan tanda bahwa
obat anestesi sudah mulai menunjukkan efeknya.
42
Pada pukul 11.35 mulai dilakukan tindakan sectio sessaria Pada pantauan monitor
didapat kan TD 130/70 mmHg; Nadi 90x/menit; Sp02 100%. Selama dilakukan operasi
pantauan tekanan darah, nadi dan Sp02 tampak stabil.

Pada pukul 12.20, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 140/80
mmHg; Nadi 90x/menit, dan Sp02 98%. Pembedahan dilakukan selama 55 menit dengan
perdarahan ± 200 cc. Keadaan umum pasien, sadar baik.

Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer laktat 1000 ml untuk mengganti defisit
cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan cairan selama pembedahan. Kebutuhan
cairan maintenace pada pasien ini adalah 92 cc, Pemberian maintenance cairan sesuai dengan
berat badan pasien yaitu (40 x 10 kg pertama) + (20 x 10 kg kedua) + (10 x kg sisanya),
ditambah defisit puasa 256 cc. Penggantian puasa dihitung dalam terapi cairan ini yaitu lama
puasa dikali maintenance. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dan
obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia, ditambah stress operasi 360 cc/jam, ditambah perdarahan 200 cc dan deficit urin 50
cc sehingga total cairan deficit selama operasi adalah 1350 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc
cairan kristaloid) oleh karena itu total cairan pengganti yang dibutuhkan adalah 1350 cc.
Post operatif

Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang


pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pemafasan spontan dan adekuat serta kesadaran
composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil dengan sebelum
operasi yaitu 140/80 minHg.

43
BAB V

KESIMPULAN

Pasien Ny.U umur 34 tahun dengan diagnosis G7P4A2 gravid aterm dengan peb
menjalani tindakan operasi section sessaria dengan status fisik ASA 2 dan skor mallampati 1,
dengan tekanan darah 140/100 dalam kondisi ini pasien harus distabilkan tekanan darahnya.

Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal dengan tehnik Subarachnoid block.
Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara menyuntikkan ke dalam
ruang subarakhnoid. Teknik anestesi spinal dapat dilakukan dengan obat bupivacain spinal
(Bupivakain HCl) sebanyak 10 mg. Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran
neuron dengan menginhibisi perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai
dan menghantarkan impuls.

Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi
berlangsung dengan baik.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Purmono A., 2015. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta.


2. Liou, S., 2013. Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses dari: http://www.nlm.nih.
gov/medlineplus/ency/article/007413.htm
3. Hemant L., et all. 2015. Labor and Delivery, Analgesia, Regional and local. Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/article/149337-overview#showall
4. Mansjoer, A., et all. 2010. Anestesi Spinal pada Seksio sesarea. Catatan Anastesi. Media
Aesculapius. Makassar.
5. Setiawan, R. 2016. Hubungan Paritas dan Kontrasepsi dengan Preeklampsia Ringan di
Puskesmas Jagir. Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol 4 No 1.Departemen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga Surabaya. Jawa timur ( Diakses
dari https://e-journal.unair.ac.id/JBE/article/viewFile/2139/2095 )
6. Huda, H. 2013. Faktor Resiko yang berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu
Bersalin di RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013. Poltekkes Kemenkes Jurusan
Kebidanan. Padang
7. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta
8. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. 2005. Obstetri Williams. Jakarta: EGC
9. Setiati S, dkk. 2014 Ilmu penyakit dalam jilid II edisi VI. Interna publishing. Jakarta
10. Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.

45

You might also like