You are on page 1of 16

Angina Stabil Kronis

E. Magnus Ohman, M.B.

Jurnal ini dimulai dengan sketsa kasus yang menyoroti masalah klinis umum. Bukti
yang mendukung berbagai strategi akan ditampilkan, disertai dengan tinjauan
pustaka formal yang ada. Artikel ini diakhiri dengan rekomendasi klinis dari penulis.

Seorang petani berusia 73 tahun dengan riwayat angina stabil selama 15 bulan
datang untuk berkonsultasi. Dia mengaku telah membatasi aktivitas bertani untuk
menghindari rasa tidak nyaman di dada, untuk itu dia mengkonsumsi nitrogliserin (0,4
mg sublingual) sekitar 3 kali dalam satu bulan. Denyut nadinya 59 kali per menit, dan
tekanan darahnya 132/72 mmHg. Dia memiliki riwayat angina tidak stabil 12 tahun
sebelumnya, dan drug-eluting stent telah ditanamkan di arteri desenden anterior kiri;
tidak ada penyakit obstruktif arteri koroner lainnya yang ditemukan pada saat itu. Obat-
obatan yang digunakan termasuk aspirin, lisinopril (20 mg perhari) untuk hipertensi,
dan atorvastatin (40 mg perhari). Bagaimana seharusnya evaluasi dan tatalaksana pada
kasus ini?

MASALAH KLINIS

Angina pectoris stabil kronis merupakan gejala utama dari penyakit arteri
koroner, juga menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia. Diperkirakan 15,5
juta orang dewasa amerika mengalami penyakit arteri koroner kronis, dan lebih dari 7
juta mengalami angina.1 Angina merupakan gejala awal yang dialami kurang lebih
setengah dari seluruh pasien yang datang dengan penyakit arteri koroner. Adanya
angina kronis menyebabkan peningkatan sekitar dua kali lipat risiko utama kejadian
kardiovaskular.2,3 Penelitian selama 1 sampai 9 tahun dari data follow up menunjukkan
bahwa pada pasien dengan angina, faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan
risiko infark miokard atau kematian adalah termasuk usia lanjut, bentuk angina yang
berat, adanya penyakit penyerta (termasuk penyakit ginjal kronis dan diabetes), fungsi
jantung yang abnormal, dan ketidakmampuan untuk melakukan tes stres.4-6 Pasien

1
dengan angina juga memiliki tingkat komplikasi yang tinggi,7 yang berkaitan dengan
peningkatan biaya pelayanan kesehatan.6

Angina dahulu didefinisikan sebagai rasa tidak nyaman di dada (nyeri atau
sesak) selama kurang dari 10 menit. Rasa tidak nyaman ini dipicu oleh aktivitas
berlebih atau tekanan emosional dan hilang dengan istirahat atau dengan pemberian
nitrogliserin. Dalam bentuk (khas) typical, angina mengarah pada penyakit arteri
koroner obstruktif,8,9 tetapi kondisi umum lainnya seperti anemia dan penyakit katup
jantung dapat menyerupai angina typical. Angina juga dapat terjadi (tidak khas)
atipikal, ditandai dengan gejala yang kurang khas seperti dyspnea atau nyeri rahang;
bentuk atipikal lebih sering terjadi pada wanita dan usia lanjut daripada pria dan usia
muda. Tingkat keparahan angina dapat diklasifikasikan dengan menggunakan skala
Canadian Cardiovascular Society (CCS) (Tabel S1 dalam Lampiran Tambahan,
tersedia dengan teks lengkap artikel ini di NEJM.org).8,9

STRATEGI DAN BUKTI

Menegakkan diagnosis angina kronis dilakukan secara parallel dengan


tatalaksana terhadap gejala dan terapi pencegahan awal. Terapi pencegahan dilakukan
tanpa menunggu konfirmasi diagnosis dan harus fokus pada kontrol tekanan darah dan
manajemen kolesterol. Systolic Blood Pressure Intervention Trial (SPRINT)
menunjukkan bahwa risiko dari hasil komposit primer (infark miokard, sindrom
koroner akut lainnya, stroke, gagal jantung, atau kematian akibat kardiovaskular)
sebanyak 25% lebih rendah pada peserta yang ditempatkan untuk target tekanan darah
sistolik kurang dari 120 mm Hg daripada mereka yang ditempatkan untuk target
tekanan darah sistolik kurang dari 140 mm Hg.11
Selanjutnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa dengan mengatasi semua
faktor risiko (dengan menyarankan untuk berhenti merokok dan mengurangi kolesterol
lipoprotein non-high-density, trigliserida, tekanan darah, dan kadar gula darah) pada
pasien yang memiliki diabetes dan penyakit arteri koroner stabil berkaitan dengan

2
penurunan angka mortalitas.12 Penelitian ini menekankan pentingnya pengobatan
terhadap faktor-faktor risiko secara adekuat.

Evaluasi

Langkah pertama dalam evaluasi angina kronis adalah menilai kemungkinan


penyakit arteri koroner secara klinis berdasarkan faktor-faktor berikut: karakteristik
nyeri dada (tipikal, atipikal, atau nonanginal); usia, jenis kelamin, dan status merokok;
adanya diabetes atau hiperlipidemia; dan gelombang Q atau perubahan gelombang ST-
T pada elektrokardiografi (ECG).8,9 Angina berat, usia lanjut, jenis kelamin
perempuan, merokok, penyakit penyerta, dan fungsi jantung yang abnormal pada EKG
telah berkorelasi dengan adanya penyakit arteri koroner yang secara klinis cukup
signifikan, dinilai dengan menggunakan angiografi standar.13,14 Penelitian terbaru
menggunakan coronary computed tomographic angiography (CTA) menunjukkan
prediksi berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, namun, mungkin secara substansial
menetapkan taksiran yang tinggi mengenai prevalensi penyakit arteri koroner.15
Perbedaan tersebut tidak mengherankan, karena penelitian yang menetapkan kriteria
probabilitas pretest ini dilakukan pada masa dengan tingkat merokok yang tinggi dan
terbatasnya terapi pencegahan.
Beberapa tes yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit arteri koroner juga
dapat memberikan informasi prognostik (Tabel 1). Tes stress latihan EKG standar
merupakan tes yang paling tidak sensitif untuk penyakit arteri koroner dan tidak dapat
mendeteksi sejauh mana penyakit tersebut, namun lamanya tes latihan, dapat
menunjukkan perubahan segmen ST, dan terjadinya angina dapat memberikan
informasi prognostik.
Dibandingkan dengan tes latihan stress rutin EKG, tes stres yang melibatkan
pencitraan biasanya memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk mendeteksi penyakit
arteri koroner tanpa kehilangan spesifisitas yang ada.9 Fraksi ejeksi latihan merupakan
salah satu variabel prognostik yang paling penting pada pasien dengan penyakit arteri

3
koroner.17 Pencitraan pada tes stress memungkinkan evaluasi kerja ventrikel kiri dan
penilaian tingkat iskemik selama stres.
Guidelines dari US telah merekomendasikan penggunaan tes stress latihan
EKG sebagai tes lini pertama, meskipun dalam prakteknya jarang digunakan. Sebuah
ulasan artikel ulasan baru-baru ini merekomendasikan penggunaan tes stress latihan
EKG untuk mendeteksi penyakit arteri koroner pada pasien risiko rendah (pasien muda
dengan temuan EKG normal dan toleransi latihan yang baik). Ketidakmampuan untuk
melakukan tes latihan dikaitkan dengan prognosis jantung yang buruk.8,9 Uji stres
farmakologis dengan pencitraan berguna untuk menentukan diagnosis dan menilai
prognosis pada pasien yang tidak dapat melakukan latihan.
CTA juga dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai memiliki
penyakit arteri koroner, dan efektif menyingkirkan adanya penyakit arteri koroner
obstruktif, namun dapat juga melebihkan-lebihkan adanya penyakit tersebut.20,21
Dalam uji coba acak luas yang membandingkan CTA dengan uji fungsional (dengan
tipe spesifik dari tes stress yang dipilih oleh provider) pada pasien dengan gejala yang
menunjukkan penyakit arteri koroner,22 hasil komposit primer (kematian, infark
miokard, rawat inap untuk angina tidak stabil, atau komplikasi prosedural mayor)
terjadi sebanyak 3,3% pada pasien kelompok CTA dan 3,0% pada pasien kelompok tes
fungsional selama 25 bulan masa follow up (rasio hazard disesuaikan, 1,04;95%
interval kepercayaan, 0,83 hingga 1,29). Poin akhir sekunder dari gabungan poin akhir
primer ditambah dengan angiografi invasif menunjukkan bahwa tidak ditemukannya
penyakit arteri koroner obstruktif yang terjadi pada lebih sedikit pasien dalam
kelompok CTA dibandingkan pada kelompok tes fungsional. Namun, paparan radiasi
secara keseluruhan lebih tinggi pada kelompok CTA daripada kelompok tes fungsional
karena sepertiga dari pasien dalam kelompok terakhir tidak memiliki paparan radiasi.
Temuan ini mendukung bahwa tes stres dapat dijadikan strategi diagnostik pertama,
dan mempersiapkan pemeriksaan CTA untuk mengesampingkan penyakit arteri
koroner apabila dicurigai hasil tes tes positif palsu.

4
Tabel 1. Pemeriksaan untuk Diagnosis dan Penilaian Prognosis Penyakit Koroner secara klinis
Pemeriksaan Sensitifitas Spesifitas Memberikan Pertimbangan
Persen (%) Informasi
Prognostik
Tes Stress Latihan
 EKG 45-50 85-90 Ya Mudah digunakan, hanya dapat digunakan
pada temuan EKG Normal
 ECHO 80-85 80-88 Ya Tidak dapat digunakan pada pasien LBBB atau
RBBB; interpretasi terbatas pada pasien
overweight
 Tes Nuklear 73-92 63-87 Ya Paparan radiasi
Tes Stress
Farmakologi
 Dobutamine
ECHO 79-83 82-86 Ya Terbatas pada pasien yang tidapat mengikuti
latihan; dapat menginduksi aritmia
MRI 79-88 81-91 Ya Terbatas pada pasien overweight dan telah
memakai implant; dapat menginduksi aritmia
 Adenosine
ECHO 72-79 92-95 Ya Tidak dapat digunakan pada pasien LBBB atau
RBBB; interpretasi terbatas pada pasien
overweight; menyebabkan wheezing dan blok
jantung
Tes Nuklear 90-91 75-84 Ya Paparan radiasi; menyebabkan wheezing dan
blok jantung
MRI 67-94 61-85 Ya Terbatas pada pasien overweight dan telah
memakai implant; dapat menyebabkan
wheezing dan blok jantung
PET 81-97 74-91 Tidak Penggunaannya terbatas, dapat menyebabkan
wheezing dan blok jantung

5
Penatalaksanaan

Pada pasien yang dicurigai menderita angina stabil, terapi pencegahan,


termasuk aspirin, harus dimulai segera apabila pasien belum mengkonsumsinya.8,9 Uji
coba meta-analisis mengenai pencegahan primer menunjukkan bahwa tingkat kejadian
kardiovaskular adalah 18% lebih rendah pada mereka yang mengkonsumsi aspirin
dibandingkan kelompok kontrol (P <0,001), terutama pada tingkat kejadian infark
miokard 23% lebih rendah pada mereka yang mengkonsumsi aspirin. Namun, aspirin
tidak memiliki efek yang signifikan terhadap tingkat kematian akibat kardiovaskular.
Di antara pasien yang mengonsumsi aspirin, dibandingkan dengan kontrol, tingkat
perdarahan intrakranial (0,04% vs 0,03%) dan perdarahan gastrointestinal (0,10% vs
0,07%) sedikit lebih tinggi, meskipun kejadian tersebut jarang terjadi.23

Tekanan darah harus diturunkan hingga di bawah 120/85 mmHg jika


memungkinkan,11 dan statin dengan intensitas sedang sampai tinggi (menurunkan
kolesterol LDL hingga > 30% dari jumlah sebelum dilakukan pengobatan) harus
digunakan. Secara acak, percobaan control placebo menunjukkan bahwa penggunaan
terapi statin intensitas tinggi (menurunkan kadar kolesterol LDL hingga > 50%) dapat
mengurangi episode angina24 dan meningkatkan toleransi latihan25 pada pasien dengan
angina kronis yang sudah mendapat terapi antiangina. Selanjutnya, uji coba secara acak
membandingkan terapi statin intensitas tinggi dengan percutaneous coronary
intervention (PCI) pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil, menunjukkan
bahwa kejadian iskemik jantung lebih rendah pada pasien yang menerima terapi
atorvastatin dibandingkan mereka yang menjalani PCI, meskipun tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan antar kelompok mengenai kriteria yang telah ditentukan
secara statistic.26
Perubahan perilaku gaya hidup juga harus disarankan. Perubahan tersebut
termasuk penurunan berat badan pada pasien overweight atau obesitas, perubahan pola
makan untuk mengurangi asupan lemak dan gula, dan berhenti merokok.8,9

6
Gambar 1. Pendekatan mengenai Penggunaan Terapi Antiangina, Berdasarkan Temuan
Fisiologis Awal.

Agen antianginal standar yang memiliki efek fisiologis termasuk beta-blocker, calcium-
channel blocker, dan nitrat kerja panjang. Agen antianginal emergensi yang memiliki efek
fisiologis termasuk ivabradine, yang hanya digunakan pada pasien dengan gagal jantung. Agen
emergensi yang memiliki efek metabolisme miokard termasuk ranolazine dan juga allopurinol.
Di luar Amerika Serikat, agen emergensi yang memiliki efek fisiologis termasuk nicorandil
dan molsidomine; agen emergensi yang memiliki efek metabolisme miokard adalah
trimetazidine dan perhexiline maleate. Diadaptasi dari Husted dan Ohman.27

Terapi antiangina harus dimulai segera setelah dicurigai adanya diagnosis


penyakit tersebut. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala angina dan aktivitas
yang menginduksi iskemia.27 Nitrat sublingual harus diresepkan untuk semua pasien
yang dicurigai angina, dan pasien harus diberikan instruksi mengenai penggunaannya
dan diberitahu untuk segera mencari pertolongan medis bila gejala tidak hilang setelah
mengkonsumsi 3 tablet saat itu. Terapi antianginal jangka panjang juga harus dimulai,
dengan memperhatikan denyut jantung dan tekanan darah pasien saat istirahat.27

7
Pendekatan yang disarankan untuk penggunaan berbagai jenis terapi antiangina
ditunjukkan pada Gambar 1.27
Terapi Antiangina Standar

Pada pasien dengan angina stabil, beta-blocker, calcium-channel blockers, dan


nitrat kerja panjang dapat mengurangi angina dengan cara yang sama dan memiliki
profil keamanan yang sama (kecuali pada calcium-channel blockers kerja pendek).27-
29
Semua agen tersebut disetujui sebelum evaluasi lebih formal dari efikasi untuk
angina dilakukan melalui Food and Drug Administration.30

Pilihan terapi awal antiangina standar harus dilakukan secara individual,


dengan mempertimbangkan efek fisiologis dan kondisi penyerta serta efek samping
pada pasien.27 Beta-blocker telah ditetapkan sebagai terapi pertama untuk angina
karena berdasarkan data menunjukkan penurunan mortalitas pada infark miokard
setelah penggunaannya.8 Namun, dua penelitian observasi menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara penggunaan beta-blocker dan mortalitas pada pasien
dengan penyakit arteri koroner kronis, meskipun kemungkinan penurunan risiko infark
miokard berulang dapat dilihat pada penggunggan beta-blocker.31,32

Guidelines telah merekomendasikan bahwa terapi medis yang paling tepat


untuk angina adalah kombinasi dari dua terapi antianginal dari kelas obat yang berbeda
(beta-blocker, calcium-channel blockers, atau nitrat kerja panjang); terapi kombinasi
ini telah direkomendasikan karena efek fisiologisnya yang sinergis (Tabel 2).8,9
Namun, percobaan secara acak belum menunjukkan bahwa terapi kombinasi seperti ini
lebih efektif dalam mengurangi iskemia atau gejala angina dibandingkan monoterapi
beta-blocker.27,33

Dosis terapi antiangina harus ditingkatkan, sesuai kebutuhan, untuk mencapai


kontrol gejala dan perubahan pada tingkat denyut jantung dan tekanan darah. Jika
gejala tidak hilang dalam 2 minggu setelah dimulainya terapi, kateterisasi jantung dapat
diindikasikan.

8
Terapi antiangina emergensi

Meskipun semua terapi antianginal standar memiliki efek fisiologis (yaitu,


pengaruh terhadap denyut nadi atau tekanan darah), tiga terapi emergensi (yaitu, terapi
yang lebih banyak digunakan) memiliki efek fisiologis dan empat memiliki efek
langsung terhadap metabolisme miokard juga tersedia di seluruh dunia.7 Tiga dari
terapi tersebut tersedia di Amerika Serikat dan akan dijelaskan di bawah ini (Tabel 2).27

Ranolazine merupakan agen antianginal metabolik yang telah disetujui sebagai


terapi untuk pengobatan angina kronis. Dapat mengurangi iskemia miokard dengan
menurunkan kelebihan kalsium yang disebabkan oleh terlambatnya penghambatan arus
natrium.34 tidak memiliki efek terhadap denyut jantung atau tekanan darah35 dan
dengan demikian dapat dianggap sebagai agen lini pertama untuk pasien dengan denyut
jantung lambat atau tekanan darah rendah. Pada pasien dengan angina stabil yang dapat
melakukan tes stress latihan EKG, durasi latihan yang lebih lama dan episode angina
ditemukan lebih sedikit pada pasien yang menerima terapi ranolazine dibandingkan
mereka yang menerima plasebo, tanpa menggunakan terapi dasar36 atau terapi
antiangina standar. Hal tersebut telah dievaluasi dalam dua penelitian mengenai
prognosis pada pasien dengan angina, dengan hasil yang beragam. Dalam penelitian
yang melibatkan pasien yang menderita diabetes dan angina, frekuensi angina dalam
hitungan minggu adalah 12% lebih rendah dengan terapi ranolazine dibandingkan
dengan plasebo (P = 0,008), dan pada penggunaan nitrat adalah 19% lebih rendah
dengan ranolazine dibandingkan dengan plasebo (P = 0,003) selama periode 8
minggu.38 Dalam percobaan terbaru yang melibatkan pasien dengan angina kronis yang
memiliki revaskularisasi incomplete setelah PCI, ranolazine tidak menunjukkan hasil
yang signifikan mengenai kebutuhan yang lebih rendah untuk dilakukan
revaskularisasi ulang atau rawat inap akibat iskemia39 atau gejala angina yang lebih
sedikit dalam 1 tahun.40 Pasien yang menerima ranolazine lebih mungkin untuk
menghentikan terapi dibandingkan pasien yang menerima plasebo, dan tingkat

9
ketidakpatuhan ( 27% pada 1 tahun) juga berkontribusi terhadap kurangnya efikasi
obat.

Efek samping ranolazine adalah tergantung pada dosis yang digunakan,


beberapa diantaranya termasuk pusing (5%) mual (2%), dan konstipasi (2%).34
Ranolazine dapat memperpanjang interval QT dalam dosis yang beragam34; Namun,
setelah dilakukan pengamatan selama penggunaannya tidak ditemukan adanya
peningkatan aritmia yang signifikan dalam beberapa penelitian. Dalam percobaan yang
melibatkan pasien dengan sindrom coroner akut non-ST-elevation,41 kejadian aritmia
secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang menerima ranolazine dibandingkan
pada kelompok plasebo; temuan ini menunjukkan bahwa perpanjangan interval QT
(QTc) yang dikoreksi bukanlah focus keamanan pengobatan. Namun, disarankan untuk
tetap berhati-hati dalam memberikan resep pengobatan lain yang dapat menyebabkan
perpanjangan interval QT, serta mengenai interaksi obat-obatan lainnya (Tabel 2).

Ivabradine merupakan agen selektif dalam menurunkan denyut jantung


(fisiologis) yang bekerja dengan menghambat arus If dalam sel pacu jantung di nodus
sino-atrium.27 Hal tersebut telah disetujui sebagai pengobatan gagal jantung dengan
tujuan untuk mencegah rawat inap pada pasien yang mengalami peningkatan denyut
jantung meskipun telah menerima terapi beta-blocker yang adekuat. Hal tersebut juga
telah dilaporkan efektif dalam meningkatkan durasi latihan pada pasien dengan angina
kronis yang tidak menerima terapi awal. Namun, hasil uji coba acak secara luas yang
melibatkan pasien yang memiliki penyakit arteri koroner stabil tanpa gagal jantung
dengan rerata denyut jantung istirahat 70 kali per menit atau lebih telah menimbulkan
kekhawatiran tentang penggunaan ivabradine untuk angina kronis.42 Dalam
subkelompok yang ditentukan sekitar 12.000 pasien dengan angina kronis (kelas> II
pada skala CCS, dengan rentang I sampai IV, dengan kelas yang lebih tinggi memiliki
keterbatasan yang lebih besar pada aktivitas fisik akibat angina), tingkat kematian dan
infark miokard nonfatal lebih tinggi pada pasien yang menerima ivabradine
dibandingkan mereka yang menerima plasebo (7,6% vs 6,5%, P = 0,02). Meskipun

10
tidak ada penjelasan mengenai temuan tersebut, ivabradine tidak boleh digunakan
untuk pengobatan angina tanpa gagal jantung.

Tabel 2. Agen Antiangina

Allopurinol, merupakan xanthine oxidase inhibitor yang digunakan untuk


mencegah terjadinya gout, juga telah diusulkan sebagai agen metabolik antiangina.
Mekanisme potensial termasuk menurunkan demand (permintaan) oksigen dari
miokard dan mengubah fungsi endotelium vaskuler.27 Dalam sebuah penelitian yang
melibatkan 65 pasien dengan angina kronis, waktu terjadinya iskemia pada tes stress

11
latihan EKG ditemukan lebih lama pasien yang menerima allopurinol dosis tinggi
dibandingkan mereka yang menerima placebo.43 Akibat keterbatasan data klinis yang
mendukung, guidelines dari AS tidak merekomendasikan allopurinol untuk
pengobatan angina,8 namun dianjurkan dalam guidelines dari Eropa.

Strategi pengobatan invasive

Meskipun angiografi invasif telah menjadi prosedur diagnostik yang paling


aman, terutama melalui akses radial, komplikasi serius kadang-kadang masih dapat
terjadi. Interpretasi visual mengenai tingkat keparahan lesi koroner yang diidentifikasi
sangat bervariasi,45 dan penentuan tingkat keparahan melalui interpretasi visual dapat
menyebabkan overdiagnosis dan overtreatment. Keputusan untuk dilakukanyanya
angiografi harus dipisahkan dari keputusan untuk dilakukannya revaskularisasi.46

Pengukuran cadangan aliran fraksional, penilaian hemodinamik dari keparahan


lesi yang dilakukan melalui pengukuran perbedaan tekanan lesi pada pasien dengan
hiperemia akibat obat-obatan, secara signifikan berguna untuk menentukan lesi
borderline. Dalam percobaan acak yang melibatkan penggunaan tes tersebut, adanya
lesi dengan cadangan aliran fraksional 0,80 atau kurang ditemukan hasil klinis yang
lebih baik dengan tatalaksana menggunakan PCI dibandingkan dengan pengobatan
berdasarkan penilaian visual.46,47 Metaanalisis pasien dari beberapa percobaan acak
menunjukkan bahwa penggunaan cadangan aliran fraksional secara rutin selama
proses diagnostic angiografi diketahui dapat mengurangi kebutuhan revaskularisasi
(terutama PCI) sebesar 50%, dengan penurunan relatif 20% dalam tingkat kematian,
infark miokard, dan prosedur revaskularisasi berikutnya.

Keputusan mengenai apakah dan bagaimana revaskularisasi (dengan PCI atau


coronary-artery bypass grafting [CABG]) atau apakah akan melanjutkan terapi medis
idealnya adalah dengan melibatkan pendekatan dari team ahli jantung8,9
menggabungkan masukan dari intervensi ahli jantung dan ahli bedah kardiotoraks.
Keputusan harus mempertimbangkan faktor risiko klinis, karakteristik lesi, dan faktor

12
hemodinamik, hal-hal tersebut dapat diperoleh melalui penggunaan skor risiko yang
valid untuk menentukan pemilihan pasien menggunakan PCI atau CABG.46 Pasien
yang telah dipilih untuk revaskularisasi, jika memungkinkan dilakukan revaskularisasi
secara lengkap; pasien dengan penyakit koroner luas memperoleh lebih banyak
manfaat dengan CABG.46 Gambar 2 menunjukkan algoritma yang berkaitan dengan
rekomendasi oleh American College of Cardiology dan American Heart Association,
dan oleh European Society of Cardiology.8,9,46
Percobaan acak yang melibatkan pasien yang memenuhi syarat untuk terapi
medis atau revaskularisasi menunjukkan bahwa PCI efektif dalam mengurangi
serangan angina pada pasien dengan angina kronis,46,48 tetapi tidak menurunkan risiko
kematian atau kejadian infark miokard dibandingkan dengan terapi medis.49 Observasi
tersebut menunjukkan bahwa terapi medis saja dapat digunakan sebagai terapi awal
dengan profil efek samping yang masih dapat diterima. Revaskularisasi sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami angina berkelanjutan meskipun telah
diberikan terapi medis yang adekuat; kelompok ini termasuk sebanyak 50% pasien
dengan angina kronis.46 Untuk pasien yang mengalami angina dan telah dilakukan
pengobatan secara medis tanpa revaskularisasi, sebaiknya dipertimbangkan untuk di
rujuk mengikuti program rehabilitasi jantung terstruktur.8
BAGIAN TIDAK PASTI

Data mengenai hasil uji coba acak secara luas yang melibatkan pasien dengan
angina kronis cukup terbatas. International Study of Comparative Health Effectiveness
with Medical and Invasive Approaches (ISCHEMIA; ClinicalTrials.gov number,
NCT01471522) saat ini membandingkan tatalaksana konservatif (terapi medis tanpa
angiografi) dengan manajemen invasif (angiografi dan revaskularisasi) pada pasien
dengan angina kronis dengan iskemik berat pada tes stress.50 Dilakukan beberapa
percobaan acak secara luas mengenai terapi medis yang aman dan efektif untuk angina
kronik27; peran allopurinol dan terapi antianginal lainnya masih belum jelas.

13
Gambar 2. Algoritma untuk Pemilihan Strategi Revascularization.

Pemilihan strategi revaskularisasi didasarkan pada temuan penyakit arteri koroner (CAD)
cabang utama kiri (Panel A), CAD satu-pembuluh darah (Panel B), CAD dua-pembuluh
darah (Panel C), atau CAD tiga-pembuluh darah (Panel D) ). Pada pasien dengan dua
pembuluh darah atau CAD tiga pembuluh darah, kondisi penyerta yang muncul juga harus
dipertimbangkan. Rekomendasi kelas untuk revaskularisasi berdasarkan pedoman dari
European Society of Cardiology9 (biru) dan American College of Cardiology dan American
Heart Association8 (merah). Rekomendasi kelas Eropa yang ditampilkan adalah kelas IA;
kelas IB; IC kelas; dan kelas IIa, level evidence B. Rekomendasi kelas A.S. yang ditampilkan
adalah kelas IA; kelas IB; kelas IIa, level evidence B; kelas IIb, level evidence B; dan kelas
IIIB. Pedoman AS8 mengadopsi dua tingkatan untuk rekomendasi (gejala yang muncul dan
manfaat kelangsungan hidup); rekomendasi dalam gambar ini disederhanakan untuk
mencerminkan manfaat kelangsungan hidup. Skor Synergy between PCI with Taxus and
Cardiac Surgery (SYNTAX) merupakan skor angiografi yang telah divalidasi untuk
menentukan keputusan mengenai tindakan revaskularisasi terhadap pasien dengan penyakit
koroner multivessel, menurut hasil yang diperkirakan. Skor berkisar antara 0 sampai 83,

14
dengan skor tertinggi menunjukkan penyakit yang lebih kompleks.46 Diadaptasi dari Piccolo
dan rekan-rekan.46 CAD merupakan penyakit arteri koroner, CABG coronary-artery bypass
grafting, LAD left anterior descending, and PCI percutaneous intervention.

PEDOMAN
Guidelines Amerika dan Eropa telah diterbitkan untuk menuntun diagnosis dan
penatalaksanaan angina kronis.8,9 Meskipun guidelines tersebut membagikan beberapa
pendekatan umum, masih ditemukan beberapa perbedaan. Guidelines Eropa9 kurang
dalam menentukan jenis uji stres yang harus dilakukan, sedangkan guidelines AS8
merekomendasikan tes stres latihan EKG sebagai tes stres lini pertama. Guidelines AS
membuat rekomendasi khusus mengenai manfaat CABG dibandingkan PCI untuk
penyakit koroner yang luas, sedangkan guidelines Eropa merekomendasikan PCI lebih
luas dibandingkan guidelines AS untuk angina kronis.8,9,46

KESIMPULAN DAN SARAN

Pasien yang digambarkan dalam sketsa diketahui mengalami angina stabil dan
memiliki penyakit arteri koroner. Karena jarak waktu yang telah cukup lama sejak PCI
sebelumnya dan gejala saat ini telah stabil, saya akan mulai dengan meresepkan terapi
antiangina. Saya tidak akan meresepkan beta-blocker, mengingat denyut jantung
istirahatnya yang lambat. Nitrat kerja panjang akan menjadi terapi lini pertama yang
akan dipilih. Mempertahankan kontrol tekanan darah dengan lisinopril dosis tinggi dan
melanjutkan terapi statin cukup diperlukan. Tes stress juga diperlukan, karena luas dan
distribusi iskemia akan menuntun pengambilan keputusan lebih lanjut. Jika ditemukan
iskemia pada arteri koroner desendens anterior kiri pada bagian proksimal atau
penurunan fungsi jantung, saya akan mendukung untuk dilakukan kateterisasi jantung
dengan pertimbangan revaskularisasi, tergantung kondisi anatomi. Hasil tes stres yang
menunjukkan risiko rendah berkaitan dengan prognosis yang baik dan akan
memberikan dukungan untuk melanjutkan terapi medis.

Apabila pasien terus mengalami angina dengan aktivitas berat (dalam tes stres
yang menunjukkan risiko rendah) meskipun telah mendapat terapi medis standar, saya

15
akan mendiskusikan dengan pasien untuk dilakukan terapi antiangina tambahan
(misalnya, calcium-channel blocker atau agen metabolik [ranolazine]) (Gambar 2) atau
melakukan kateterisasi, dengan potensi revaskularisasi. Keputusan diambil harus
sesuai keadaan dan pilihan pasien. Jika dilakukan kateterisasi, secara fisiologis
karakteristik dari lesi harus dievaluasi terlebih dahulu (dengan menilai rata-rata
cadangan aliran fraksional) untuk memastikan bahwa hanya lesi yang signifikan secara
klinis yang dilakukan PCI; pendekatan ini terbukti dapat mengurangi risiko komplikasi
periprocedural dan meningkatkan hasil klinis.

16

You might also like