You are on page 1of 34

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM
DI DESA JATIMULYO KECAMATAN
LOWOKWARU KOTA MALANG

Disusun oleh:
KELOMPOK R-1

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN
MANAJEMEN AGROEKOSISTEM
DESA JATIMULYO, KECAMATAN LOWOKWARU,
KOTA MALANG

1. Adithya Riefanto S. :155040200111049


2. Afrida Rachma Utami :155040200111053
3. Abdul Hafizh Ramdhani :155040200111062
4. Muhamad Yusuf :155040200111086
5. Wahyu Ari Baskara H :155040200111091
6. Tia Nissa Fitri :155040200111095
7. Diah Wahyuningtyas :155040200111157
8. Ikfina Luthfi Rahmatika :155040200111167
9. Ketriwani Panggabean :155040200111171
10. Moh. Atiqurrahman :155040200111172

Disetujui

Asisten Aspek Tanah Asisten Aspek BP Asisten Aspek HPT

Fadilatul Karima Siti Rofiatun Lailatul Qadariyah


NIM NIM NIM
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah
yang telah diberikan-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil
survei manajemen agroekosistem dengan baik dan lancar. Segala puji kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan hikmat dalam menjalani dan
menyikapi kehidupan di dunia ini.
Penulis membahas mengenai manajemen agroekosistem lahan basah di Desa
Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang . Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan laporan ini masih terdapat kekurangan, untuk itu penulis dengan besar
hati menerima kritik dan saran yang membangun guna memberikan hasil yang
terbaik untuk laporan ini. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa
pihak yang telah membantu sehingga penulisan laporan ini dapat selesai dengan
lancar.
Laporan ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas makalah praktikum
manajemen agroekosistem yang diberikan oleh asisten praktikum. Dalam proses
pendalaman materi manajemen agroekosistem. Semoga penulisan laporan ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulisan laporan
selanjutnya.

Malang, 07 Mei 2017

Penulis
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningkatnya pertumbuhan penduduk yang begitu pesat menuntut adanya


penyedia sumber daya untuk memenuhi konsumsi pangan. Untuk
mengimplementasikan perlu tindakan yang tepat agar tidak menimbulkan dampak
perubahan terhadap lingkungan. Munculnya masalah lingkungan seperti longsor,
erosi, kekeringan dan banjir merupakan tanda-tanda tercancamnya keseimbangan
ekosistem.
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimanfaatkan secara langsung atau
tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan atau
sandang. Terdapat karakteristik agroekosistem yaitu empat sifat utama yakni
produktivitas, kestabilan, keberlanjutan dan kemerataan. Untuk mencapai
tujuannya, kriteria yang digunakan untuk menentukan karakteristik agroekosistem
meliputi ekosistem, ekonomi, sosial, dan teknologi yang digunakan dalam
budidaya. Salah satu agroekosistem yang ada, terutama dimanfaatkan dalam
konservasi adalah sistem agroforestri.
Manajemen agroekosistem merupakan kegiatan mengelola ekosistem pada
lahan pertanian sedemikian rupa sehingga seperti keadaan yang alamiah dan
berkelanjutan, keadaan seperti ini diupayakan oleh manusia. Manajemen
agroekosistem meliputi tiga aspek, yaitu aspek Hama Penyakit Tanaman, aspek
Tanah dan aspek Budidaya Pertanian. Ketiga aspek tersebut sangat berhubungan
erat satu sama lain dan juga saling mempengaruhi.

1.2 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya survei pada praktikum Manajemen Agroeksistem di


Desa Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang yakni sebagai berikut :
1. Mengetahui tingkat keseimbangan agroekosistem pada lahan basah
2. Menganalisis manajemen agroekosistem yang berdasarkan aspek hama dan
penyakit, aspek tanah, dan aspek budidaya.
3. Mengetahui rekomendasi yang tepat dalam upaya membentuk keseimbangan
agroekosistem basah lahan.
1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan pada praktikum Manajemen Agroekosistem


ini yaitu sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui tingkat keseimbangan agroekosistem pada lahan basah
2. Dapat Menganalisis manajemen agroekosistem yang berdasarkan aspek hama
dan penyakit, aspek tanah, dan aspek budidaya.
3. Dapat memberikan rekomendasi yang tepat dalam upaya menciptakan
keseimbangan agroekosistem.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Agroekosistem

Agroekosistem adalah salah satu bentuk ekosistem yang dibangun oleh


manusia dan dikelola secara maksimal untuk memperoleh produksi pertanian
dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan manusia (Pedigo,
1996). Agroekosistem merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta
lingkungannya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan
makanan, serat, bahan akar dan produk lainnya untuk diolah dan dikonsumsi
manusia.(Hidayat,1992)
An agroecosystem is a complex of air, water, soil, plants, animals, micro-
organisms, and everything else in a bounded area that people have modified for the
purposes of agricultural production. An agroecosystem can be of any specified size.
It can be a single field, it can be a household farm, or it can be the agricultural
landscape of a village, region or nation. (Marten, 1984). “Agroekosistem adalah
kompleks udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, mikroorganisme dan segala hal
lainnya di daerah terbatas yang telah dimodifikasi manusia yang bertujuan untuk
produksi pertanian. Sebuah agroekosistem dapat memiliki ukuran tertentu. Bisa
berupa ladang tunggal, pertanian rumah tangga atau dapat berupa lanskap pertanian
dari desa, wilayah atau bangsa.”
An agroecosystem is a human manipulation and alteratation of ecosystem for
the purpose of establishing agricultural production. It is site or integrated region
of agricultural production which has concept provides a framework with which
analyze food production system as wholes, including their complex sets of inputs
and outputs and the interconnections of their component parts. (Gliessman, 2007).
“Suatu agroekosistem adalah manipulasi manusia pada ekosistem dengan tujuan
membangun produksi pertanian. Agroekosistem merupakan suatu kawasan terpadu
mengenai produksi pertanian yang memiliki konsep menyediakan kerangka kerja
yang menganalisis sistem produksi pangan secara keseluruhan, termasuk segala
rangkaian keluar masuknya komponen-komponen pertanian”
2.2 Pengertian Hama, Serangga Lain dan Musuh Alamo

2.2.1 Hama
Hama merupakan organisme pengganggu tanaman yang mengakibatkan
kerusakan secara fisik pada tanaman dan kerugian secara ekonomis, golongan hama
terbesar berasal dari kelas serangga (insecta). Namun ada beberapa jenis serangga
yang berperan sebagai musuh alami bagi serangga lain yang bersifat hama. Hama
tanaman yang menempati peringkat paling atas berasal dari klas serangga (insecta),
dalam klas insect ini terdapat beberapa ordo yang membagi jenis-jenis serangga
hama pengganggu tanaman (Rahmawatif, 2012).
Pests is a cause of plant damage that can be viewed using the five senses (Hama
adalah suatu penyebab kerusakan tanaman yang dapat dilihat dengan menggunakan
panca indera) (Mudjiono et all, 1991)
2.2.2 Musuh alami
Menurut Untung (1993) Musuh alami adalah organisme di alam yang dapat
membunuh serangga, melemahkan serangga, sehingga dapat mengakibatkan
kematian pada serangga, dan mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh
alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi
yang tidak merugikan.
Natural Enemies are beneficial organisms that provide biological control, or
natural pest control. Many natural enemies are insects. This guide illustrates
common natural enemies found in agricultural crops and home gardens. (Musuh
Alami adalah organisme menguntungkan yang menyediakan pengendalian
biologis, atau pengendalian hama alami. Banyak musuh alami adalah serangga).
(Mary,2010)
2.2.3 Serangga Lain
Serangga memegang peranan penting dalam kehidupan m anusia. Serangga
selalu diidentikkan dengan hama di bidang pertanian , disebabkan banyak serangga
yang bersifat merugikan, seperti walang sangit, wer eng, ulat grayak, dan lainnya
selain itu serangga juga dapat menjadi sumber vektor penyakit pada manusia.
Namun, tidak semua serangga bersifat sebagai hama atau vektor penyakit. Jenis
serangga dari kelompok lain seperti lebah, ulat sutera, kumbang macan, semut dapat
menguntungkan manusia (Metcalfe and William, 1975). Serangga lain merupakan
serangga yang keberadaanya tidak menimbulkan kerugian dalam tanaman
budidaya.

2.3 Macam – Macam Musuh Alami

2.3.1 Predator
Predator merupakan binatang (serangga yang memakan binatang atau serangga
lain). istilah predator adalah suatu bentuk simbiosis atau hubungan dari individu,
dimana salah satu individu menyerang atau memakan individu lain (bisa satu atau
beberapa spesies) yang digunakan untuk kepentingan hidupnya dan bisanya
dilakukan berulang-ulang. Individu yang diserang atau dimakan dinamakan
mangsa. Contoh: kumbang kubah spot m (Menochillus sexmaculatus), belalang
sembah (stagmomanthis Carolina), capung (Anax junius) dan Laba-laba (Licosa
sp) (Surya, E. dan Rubiah, 2016).
Maisyaroh (2005) dalam Surya, E. dan Rubiah (2016) mengemukakan bahwa
predator memiliki cirri-ciri antara lain: ukuran tubuhnya lebih besar dari mangsa
predator membunuh, memakan, atau menghisap mangsanya dengan cepat, dan
biasanya predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya.
Adapun karakteristik umum serangga predator yaitu:
 Mengkonsumsi banyak individu mangsa selama hidupnya
 Umumnya berukuran sebesar atau relative lebih besar daripada mangsanya
 Menjadi pemangsa ketika sebagai larva/nimfa, dewasa (jantan dan betina),
atau keduanya
 Pemangsa menyerang mangsa dari semua tahap perkembangan
 Biasanya hidup bebas dan selalu bergerak
 Mangsa biasanya dimangsa langsung
 Biasanya bersifat generalis
 Seringkali memiliki cara khusus untuk menangkap dan menaklukkan
mangsanya.
2.3.2 Parasitoid
Parasitoid Adalah serangga yang hidup sebagai parasit di dalam atau pada
tubuh serangga lain ( serangga inang ), dan membunuhnya secara pelan-pelan.
Parasitoid berguna karena membunuh serangga hama. Ada beberapa jenis tawon
(tabuhan) kecil sebagai parasitoid serangga hama . Parasitoid yang aktif adalah
stadia larva sedangkan imago hidup bebas bukan sebagai parasit dan hidupnya dari
nectar, embun madu, air dll (Tauruslina et al, 2015).
2.3.3 Patogen
Patogen adalah Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi dan
menimbulkan penyakit terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat
menimbulkan penyakit pada serangga disebut entomopathogen, patogen berguna
karena mematikan banyak jenis serangga hama tanaman, seperti jamur, bakteri dan
virus. Patogen yang bisa mengendalikan hama dan penyakit disebut sebagai
Pestisida Mikroba (Tauruslina et al, 2015).
2.4 Hama dan Penyakit Penting pada Agroekosistem

i. Hama Penting pada Agroekosistem

Komoditas tanaman pada agroekosistem yang diamati adalah berupa lahan


padi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hama dan penyakit pada tanaman
padi. Menurut Kartasapoetra (1993), hama penting tanaman padi terdiri dari:

1. Hama Sundep (Scirpophagainnotata)

Hama ini berkembang dari dari pantai hingga daerah pedalaman dengan
ketinggian 200 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan (kurang dari
200 mm) terjadi bulan October-November. Tanda-tanda hama ini dimulai
dengan melakukan invasi (terbangnya ribuan kupu-kupu kecil berwarna putih
pada sore dan malam hari) setelah 35 hari masa hujan. Kupu-kupu ini melakukan
terbang sekitar dua minggu, menuju daerah-daerah persemaian tanamaan padi.
Selanjutnya telur-telur (170-240 telur) diletakkan dibawah daun padi yang masih
muda dan akan menetes menjadi ulat perusak tanaman padi setelah seminggu.
Penyerangan ini dikenal dengan nama “Hama Sundep” dan “Hama Beluk”,
Perbedaan keduanya dilihat pada (Tabel 1)
Tabel 1. Perbedaan Hama Sundep dan Hama Beluk.
Hama Sundep Hama Beluk
Menyerang daun padi muda, menguning Menyerang titik tumbuh
dan mati. Walaupun batang padi bagian tanaman padi yang sedang
bawah masih hidup atau membentuk anak bunting sehingga buliarn padi
tanaman baru tapi pertumbuhan daun baru keluar, berguguran, gabah-
tidak terjadi. gabah kosong dan berwarna
Sumber: Kartasapoetra (1993). keabu-abuan.
Untuk membasmi hama-hama ini ditempuh cara-cara sebagai berikut:
a. Petani menyebarkan bibit-bibit tanaman padi di persemaian setelah
tahu jadwal invasi serangan ulat-ulat ini diperkirakan telahselesai.
b. Penanaman padi yang memiliki daya regenerasi yangtinggi.
c. Menghancurkan telur-telur S. innotata yang teradapt dilingkungan
persemaian dan membunuh larva-larva yang abrumenetas.
d. Melakukan tindakan preventif dengan penyemprotan persemaian
menggunakan insektisida yangresistensi.
e. Bibit-bibit tanaman padi yang akan disemai dicelupkan dalmherbisida.
f. Setelah invasi S. innotata dilakukan penyemprotan insektisida yang
mematikan telur danlarva.
g. Crop rotation (pergiliran tanaman), setelah penanaman padi batang atau
jeraminya harus dibenamkan kedalamtanah/lumpur.
h. Menarik perhatian S. innotata menggunakan perangkap jebak berwarna
atau lampupetromaks.
2. Ulat Penggerek (Scahunobiusbipunctifer)
Gangguan dan kerusakan pada tanaman padi gandu, terutama daerah
pegunungan, daya pengrusakannya tertuju pada bagian-bagian pucuk tanamaan
sehingga mematikan tanaman padi. Daur hidup mirip dengan S. innotata,
biasanya 30 hari tetapi tidak memiliki diapause sehingga meningkatkan kupu-
kupu betina (warna kuning muda) dan jantan (warna sawo matang) dengan
jumlah telur (150 butir) yang diletakkan di bagian bawah daun padi muda yang
ditutupi oleh lapisan bulu. Ulat akan menggerek batang padi yang muda menuju
titik tumbuh yang masih lunak. Pemberantasan dilakukan menggunakan
insektisida yang tidak tahan lama atau crop rotation (berselang-seling dengan
menanampalawija).

3. Hama Putih (Nymphuladepunctalis)


Menyerang dan bergelantungan pada daun padi sehingga berwarna keputih-
putihan, bersifat semi aquatil (menggantungkan hidup pada air untuk bernafas
dan udara). Kerusakan yang ditimbulkannya dapat mematikan tanaman padi
disebabkan:

a. Gerakan invasi melibatkan banyak hama yang menyerang tanaman padi


sebagai sumbermakanannya.

b. Tanaman padi yang diserang kebanyakan berasal dari bibit-bibitlemah.

Hama putih akan menjadi kepompong, sarung/kantong yang selalu


dibawanya akan ditanggalkan dan dilekatkan pada abtang padi, kemudian
dimasukinya lagi dan tidak keluar sampai menjadi kepompong (sekitar 2
minggu). Pembasmian hama ini dapat dilakukan dengan mempelajari siklus
hidup, mengeringkan petakan-petakan sawah, membiarkan petak sawah berair
dan diberi minyak lampu atau penggunaan insektisida ramahlingkungan.

4.Hama Wereng Coklat (Nilapervatalugens)


Hama ini selalu menghisap cairan dan air dari batang padi muda atau bulir-
bulir buah muda yang lunak, dapat meloncat tinggi dan tidak terarah, berwarna
coklat, berukuran 3-5 mm, habitat ditempat lembab, gelap dan teduh. Telur
banyak yang ditempatkan dibawah daun padi yang melengkung dengan masa
ovulasi 9 hari menetas, 13 hari membentuk sayap dan 2 minggu akan bertelur
kembali. Hama ini meluas serangannya dilihat dari bentuk lingkaran pada
tanaman dalam petakan padi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
memberantas hama ini dengan cara preventif, represif dan kuratif.
5. Wereng Hijau (Nephotettixapicalis)
Merusak kelopak-kelopak dan urat-urat daun padi dengan alat penghisap
pada moncong yang kuat. Bertelur (sebanyak 25 butir) yang ditempatkan
dibawah daun padi selama tiga kali sampai dia mati. Cara pemberantasan hama
dilakukan dengan insektisida, pembunuhan hama, rotasi tanaman, perangkap
lampu jebak dan lainnya.
6. Walang Sangit (Leptocorixaacuta)
Binatang ini berbau, hidup bersembunyi direrumputan, tuton, paspalum,
alang-alang sehingga berinvasi pada tanaman padi muda ketika bunting,
berbunga atau berbuah. Walang sangit menempatkan telurnya (14-16 telur
hingga 360 butir telur sepanjang hidupnya) secara berjajaran pada daun.
Pembasmian dilakukan pada malam harimenggunakan lampu petromaks;
memakai umpan bangkai bangkai ular, katak, ketam; dan memanfaatkan
insektisida (Tjoe Tjien Mo,1953).

7. Lembing Hijau (Nezaraviridula)


Berkembang pada iklim tropis, hidupnya berkoloni, betina berukuran kecil
(16 mm) dengan 1100 telur selama hidupnya, lama penetasan 6-8 minggu, jantan
berumur 6 bulan. Serangannya tidak sampai menghampakan padi, tetapi
menghasilakn padi berkualitas jelek (goresan-goresan membujur pada kulit
gabah dan pecah pabila dilakukan penggilingan/penumbukkan). Pembasmian
hama dilakukan menggunakan insektisida sesuai aturan (Tjoe Tjien Mo,1953).

8. Ganjur (Pachydiplosisoryzae)
Berkembang di daerah persawahan RRC, India dan Asia Tenggara.
Menyerang tanaman padi yang penanamannya terlambat, sekitar bulan Februari
dan April. Menempatkan telur-telurnya pada kelopak daun padi, larva-larva
bergerak menuju dan memasuki batang-batang padi, daun-daun membentuk
kelongsong sehingga padi mati. Pembasmiannya dilakukan mengurangi
pengairan di sawah (padi jangan sampai terendam), menggunaakn lampu
petromaks, pembinasaan dan penyemprotan insektisida dengan dosis tepat
secara teratur (Tjoe TjienMo,1953).

2.4.2 Penyakit Penting pada Agroekosistem

Berikut ini adalah beberapa penyakit penting tanaman padi menurut


beberapa ahli.

1. Penyakit Blas (Blast Disease)

Sampai saat ini penyakit blas(blastdisease), disebabkan oleh


cendawan Pyricularia oryzaeCav. merupakan salah satu penyakit penting
pada tanaman padi (Semangun, 2004). Serangan cendawan P. oryzae Cav.
pada fase vegetatif menyebabkan gejala blas daun (leaf blast) sedangkan
pada fase generatif menyebabkan busuk leher malai (neckblast) sehingga
bulir padi menjadi hampa (Prayudi, 2008). Daerah endemis penyakit blas
tersebar dibeberapa provinsi diantaranya adalah Lampung, Sumatera
Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Bali, Banyuwangi, Sukabumi, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Tenggara (Tandiabang dan Pakki,2007).

Gejala Penyakit
Serangan cendawan P. oryzae Cav. Pada fase vegetatif
menyebabkan blas daun (leaf blast). Ciri-ciri gejala penyakit blas pada
daun adalah timbulnya bercak berbentuk belah ketupat dengan ujung yang
meruncing. Bercak yang sudah berkembang, bagian tepinya akan
berwarna coklat dan bagian tengahnya berwarna putih keabu-abuan.
Bercak tersebut akan terus meluas pada varietas tanaman padi yang rentan.
Bercak tersebut dikelilingi oleh warna kuning pucat (halo area), terutama
pada lingkungan yang kondusif seperti keadaan yang lembab (Prayudi,
2008).
Serangan cendawan P. oryzae Cav. pada fase generatif menyebabkan
gejala berupa busuk leher malai (neckblast). Ciri-ciri gejala serangan
penyakit blas pada leher malai adalah adanya bercak coklat pada cabang
malai dan bercak coklat pada kulit gabah.
Gambar2. Gejala penyakit blas leher (neckblast)
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009).

Infeksi cendawan P. oryzae Cav. pada malai akan menyebabkan leher


malai membusuk dan bulir padi menjadi hampa. Blas leher lebih merugikan
daripada blas daun karena mengakibatkan gabah menjadi hampa sehingga hasil
produksi gabah akan menurun (Semangun, 2004).
Daur Penyakit
Satu daur penyakit blas dimulai ketika spora cendawan P. oryzae Cav.
menginfeksi dan menghasilkan suatu bercak pada tanaman padi dan daur tersebut
akan berakhir ketika cendawan bersporulasi dan menyebarkan spora baru melalui
udara. Apabila kondisi lingkungan menguntungkan untuk perkembangan
penyakit blas, maka satu daur penyakit dapat terjadi dalam kurun waktu sekitar 7
hari. Selanjutnya dari satu bercak dapat menghasilkan ratusan sampai ribuan
spora dalam satu malam dan dapat terus rnenghasilkan spora selama lebih dari 20
hari (Semangun, 2004).
Inang utama cendawan P. oryzaeCav. adalah tanaman padi sedangkan
inang alternatifnya adalah rumput-rumputan seperti Digitaria cilaris dan
Echinochloa colona. Cendawan P. oryzae Cav. juga dapat menginfeksi tanaman
jagung untuk mempertahankan hidupnya. Miselia cendawan P. oryzaeCav.
tersebut dapat bertahan selama satu tahun pada jerami sisa panen tanaman padi
(Prayudi, 2008)
2. Penyakit Hawar Pelepah Daun Padi (Sheat blight)
Penyakit hawar pelepah daun disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia
solanikhun. Miselium cendawan ini mempunyai lebar 6-10 μm dan mempunyai
percabangan yang membentuk sudut runcing. Hifanya bersel pendek dan
mempunyai percabangan. Cendawan R. Solanikhun. berkembang baik pada
kelembaban optimum 96% dan suhu optimum 30-32oC. Cendawan ini dapat
membentuk sklerotium yang bentuknya tidak teratur, sedangkan badan intinya
berwarna coklat atau coklat kehitaman (Semangun, 2004).
Gejala Penyakit
Gejala penyakit ini berupa timbulnya bercak berbentuk lonjong dengan
bagian tepi yang tidak teratur yang terdapat pada upih daun dan juga seludang
daun. Bercak tersebut berwarna coklat kemerahan seperti jerami, oker muda atau
kuning kehijauan. Seringkali bercak terdapat didekat lidah daun. Pada batang padi
bercak mempunyai ukuran yang lebih kecil. Pada keadaan yang lembab dari bercak
dapat muncul benang-benang miselia cendawan yang tebal dan pendek berwarna
putih atau coklat muda (Semangun, 2004)

Gambar3. Gejala penyakit hawar pelepah daun padi


Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)
Daur Penyakit
Miselium dan sklerotium dapat bertahan pada jerami dan rumput-ruputan.
Cendawan R. solanikum. juga dapat menyerang semua spesies Azolla yang
sering terdapat pada areal persawahan. Infeksi pada tanaaman padi dapat terjadi
pada saat tanaman padi berada pada persemaian dan tanaman-tanaman dewasa
jika keadaan mendukung perkembangan penyakit. R. solaniKhun. adalah
cendawan yang umum terdapat dalam tanah dan jika keadaan mendukung,
cendawan ini dapat menyerang bernacam-macam tanaman muda
(Semangun,2004).
3. Penyakit Bercak Daun Cercospora (Cercospora leafspot)
Penyakit bercak daun cercospora atau yang sering disebut bercak coklat
sempit disebabkan oleh cendawan Cercospora oryzae Miyake. Penyakit bercak
daun cercospora merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan terutama
pada lahan sawah yang kahat kalium. Penyakit bercak daun cercospora dapat
mengakibatkan daun padi menjadi kering sebelum waktunya sehingga berdampak
buruk terhadap turunnya hasil panen tanaman padi dan juga dapat menyebabkan
kerebahan tanaman padi (Semangun, 2004).
Gejala Penyakit
Gejala penyakit bercak daun cercospora biasanya muncul pada saat tanaman
padi menjelang panen yaitu sekitar 11-12 minggu setelah tanam. Gejala awal
berupa timbulnya bercak berbentuk sempit dan memanjang dengan posisi sejajar
dengan tulang daun. Bercak tersebut berukuran panjang kurang lebih 5 mm dan
lebar 1-1,5 mm. Bercak tersebut berwarna coklat kemerahan.
Gambar 4. Gejalapenyakitbercak dauncercospora
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)

Cendawan C. oryzae Miyake mampu bertahan dalam jerami atau daun


tanaman yang sakit. Perkembangan penyakit bercak daun cercospora sangat
dipengaruhi oleh faktor ketahanan varietas, cuaca dan pemupukan (Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi, 2009).
Daur Penyakit Bercak Daun Cercospora
Konidium cendawan C. oryzae Miyake dapat disebarkan oleh angin dan
infeksi melalui mulut kulit daun. Gejala baru akan tampak pada 30 hari setelah
infeksi terjadi. Hal ini menyebabkan lambatnya gejala di lapang, meskipun
penyakit ini dapat menginfeksi daun muda maupun daun tua. Cendawan C. oryzae
Miyake dapat mempertahankan diri dari musim ke musim pada biji-biji dan jerami.
Diduga cendawan ini dapat bertahan hidup pada rumput-rumput liar; antara lain
cendawan C. oryzae Miyake dapat menginfeksi lempuyangan (Penicium respens)
di India (Semangun, 2004)

2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami dan Serangga Lain terhadap


Agroekosistem
Lingkungan hidup merupakan kesatuan utuh menyeluruh yang terdiri atas
komponen biotik dan abiotik. Komponen abiotik meliputi unsur iklim, tanah dan
air. Sedangkan komponen biotik terdiri atas unsur tanaman maupun binatang.
Menurut Untung (2006) dalam Henuhili (2013), agroekosistem merupakan bentuk
ekosistem binaan manusia yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian
dengan kualitas dan kuantitas tertentu. Dalam suatu agroekosistem, terdapat
hama,musuh alami, serta serangga lain. Setiap jenis hama secara alami
dikendalikan oleh kompleks musuh alami yang meliputi predator, parasitoid, dan
pathogen hama. Dibandingkan dengan penggunaan pestisida, penggunaan musuh
alami bersifat alami, efektif, murah, dan tidak menimbulkan dampak negative
terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
Menurut Untung (2006) upaya konservasi perlu dilakukan agar musuh alami
dapat berperan secara optimal dalam pengendalian hayati hama. Konservasi musuh
alami sangat berkaitan dengan cara pengelolaan lahan pertanian (agroekosistem)
atau modifikasi faktor lingkungan. Apabila musuh alami mampu berperan sebagai
pemangsa secara optimal sejak awal, maka populasi hama dapat berada pada
tingkatan equilibrium position atau fluktuasi hama dan musuh alami menjadi
seimbang sehingga tidak akan terjadi ledakan hama. Musuh alami merupakan
komponen penyusun keanekaragaman hayati di lahan pertanian yang merupakan
bagian dari agroekosistem yang berinteraksi dengan komponen lain penyusun
agroekosistem.
Tidak semua serangga yang ada dalam suatu agroekosistem berperan sebagai
hama atau musuh alami, adapula yang berperan sebagai serangga lain. Dalam
agroekosistem, serangga lain tidak merugikan tanaman budidaya. Menurut
pendapat Meilin (2016) serangga lain dalam suatu ekosistem dapat berperan
sebagai pollinator, contohnya adalah kupu-kupu dan lebah. Kupu-kupu dan lebah
membantu penyerbukan bunga. Selain berperan sebagai pollinator, serangga lain
juga berperan sebagai decomposer, serangga tersebut akan memakan tanaman yang
sudah tua sehingga mengembalikan unsure hara dalam tanah dan membuat tanah
menajdi subur, contohnya adalah rayap.
2.6 Agroekosistem Lahan Basah

Lahan basah adalah wilayah-wilayah dimana tanahnya jenuh dengan air, baik
bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah tersebut sebagian
atau seluruhnya terkadang digenangi oleh lapisan air yang dangkal. Rawa, payau
dan gambut digolongkan dalam lahan basah. Akan tetapi dalam pertanian dibatasi
agroekologinya sehingga lahan basah dapat didefinisikan sebagai lahan sawah.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus
menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Segala
macam jenis tanah dapat dijadikan sawah asalkan air cukup tersedia, selain itu padi
sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain (Hardjowigeno dkk, 2000).
Nilai lahan merupakan gabungan tiga parameter, yaitu fungsi yang dapat
dikerjakan, hasilan (product) yang dapat dibangkitkan, dan tanda pengenal
(attribute) berharga pada skala ekosistem yang dapat disajikan. Tiap lahan basah
tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air,
spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antar komponen
dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-
fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal
khas pada skala ekosistem (Dugan, 1990).

2.7 Agroekosistem Lahan Kering

2.8 Manjemen Lahan Basah

Pemberdayaan lahan marginal seperti lahan basah untuk pertanian merupakan


bagian dari pembangunan nasional. Pengertian lahan basah berdasarkan konvensi
Ramsar adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan tetap atau
sementara dengan air tergenang atau mengalir baik tawar, payau, atau asin termasuk
wilayah perairan laut dengan kedalaman tidak lebih dari 6 m pada waktu surut
(Triana 2012). Lahan basah memiliki karakter khusus yang identik dengan air. Oleh
karena itu, sistem penataan lahan dan penentuan jenis komoditas di lahan basah
sangat bergantung pada tipe lahan dan kondisi airnya (Najiyati et al., 2005). Luas
lahan basah di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha atau sekitar 10,8 dari luas
daratan Indonesia (Rahmawaty et al., 2014). Pada umumnya lahan basah dikelola
menjadi areal pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan basah
dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa
sawit, karet, disusul tanaman pangan meliputi padi, jagung, selanjutnya tanaman
hortikultura buah.
Luasnya lahan basah yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan
pemukiman menjadikan lahan ini dapat mengalami kerusakan jika tidak dikelola
dengan tepat dan terpadu. Penggunaan lahan basah harus direncanakan dan
dirancang secara cermat dengan asas tata guna lahan berperspektif jangka panjang
(Rahmi, 2015). Pemanfaatan lahan basah harus direncanakan dan dirancang secara
cermat dengan asas tata guna lahan yang berperspektif jangka panjang. Bentang-
lahan (landscape) dari lahan basah jauh dari serba sama (homogeneous) hidrologi,
tanah dan vegetasi. Hidrologi dan tanah sangat rentan perubahan oleh usikan
(disturbance), baik karena peristiwa alam, maupun karena ulah manusia.
Pemanfaatannya harus memperhatikan tiga aspek lahan basah yang menentukan
nilainya, yaitu: fungsi, hasil dan cirl khas (Hardjoamidjoj, 2001). Memaksimalkan
hasil produksi pertanian lahan basah harus didukung dengan mempertahankan
kelestarian ekosistem lahan itu sendiri. Upaya pelestarian dilakukan dengan
menerapkan sistem usahatani berkelanjutan dengan menggunakan bahan-bahan
organik. Penggunaan pupuk dan pestisida organik diharapkan akan mengurangi
jumlah penggunaan pupuk dan pestisida berbahan kimia (Rahmi, 2015).
2.9 Manajemen Lahan Kering

2.10 Pengertian Kualitas dan Kesehatan Tanah

Kesehatan tanah ialah integrasi dan optimasi sifat tanah (fisik, kimia, dan
biologi) yang bertujuan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas tanah,
tanaman, dan lingkungan (Idowu, et al. 2008a,b, Gugino et al., 2007). Kelas
kesehatan tanah digolongkan atas dasar persentase skor total indikator tanah. Kelas
kesehatan tanah sebagai berikut: tanah Sangat Sehat (>85%), tanah Sehat (70-85%),
tanah Cukup Sehat (55-70%), tanah Kurang Sehat (40-55%), dan tanah Tidak Sehat
(<40%) (OSU, 2009). Penilaian kesehatan tanah dapat dilakukan pertama,
menggunakan sensor rasa, dan penciuman; ke dua, penilaian yang sistimatis; dan
ke tiga, penilaian yang kolaboratif.
Kualitas tanah merupakan kapasitas dari suatu tanah dalam suatu lahan untuk
menyediakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan manusia atau ekosistem alami dalam
waktu yang lama. Fungsi tersebut merupakan kemampuannya untuk
mempertahankan pertumbuhan dan produktivitas tumbuhan serta hewan,
mempertahankan kualitas udara dan air atau mempertahankan kualitas lingkungan.
Tanah berkualitas akan menumbuhkan tanaman yang baik dan sehat (Plaster, 2003).
2.11 Indikator Kualitas dan Kesehatan Tanah

Indikator kelas kesehatan tanah merupakan tingkat dimana tanah dapat dinilai
berdasarkan sifat kualitatif maupun kuantitatifnya. Tujuan dari pengelompokan
kelas kesehatan tanah adalah sebagai penentuan strategi dalam pengelolaan lahan.
Menurut FAO (2000), terdapat 3 kriteria dan indikator kesehatan tanah di tingkat
plot, yaitu berhubungan dengan kegemburan tanah, ketersediaan hara dan keutuhan
matriks tanah (Tabel 1.)
No Kriteria Indikator Kualitatif Indikator Kuantitatif
1 Kegemburan tanah 1. Kepadatan tanah Bobot isi tanah,
porositas tanah,
infiltrasi tanah
2. Sebaran akar Kedalaman akar
efektif
3. Warna tanah terang Bahan organik tanah
dan kering rendah
4. Ketebalan seresah Berat masa seresah
5. Banyak kascing Populasi dan
biomasa cacing
2. Keseimbangan hara 6. Export P tahunan Perubahan stock hara
sebegai fraksi dari P
stock P yang ada
7. Kenampakan fisik Konsentrasi hara
tanaman, gejala
defisiensi/keracunan
3. Keutuhan matrix tanah 8. Erosi Kehilangan tanah,
penutupan
permukaan
9. Longsor tebing Kehilangan tanah
Tabel 1. Kriteria dan Indikator Kualitatif dan Kuantitatif
Pada lahan pertanian intensif, tingkat permukaan tanah cenderung lebih
terbuka dan lapisan seresah yang menipis. Hal ini yang menyebabkan tanah mudah
terkena erosi. Tanah menjadi padat, berwarna pucat karena kandungan bahan
organik tanah menurun diikuti penurunan populasi biota. Selain pemadatan tanah,
petani sering menggunakan indikator cacing tanah sebagai suatu ciri tanah yang
sehat. Petani menduga bahwa lahan dengan cacing tanah yang melimpah, akan
membuat tanah menjadi gembur sehingga tanah mudah diolah dan tanaman dapat
tumbuh dengan baik. Hal ini diperkuat dengan Jongmans (2003) kualitas pori
makro dan mikro tanah, tingkat kepadatan tanah dan dinamika bahan organik
ditentukan oleh aktivitas cacing tanah. Cacing tanah meninggalkan kotoran berupa
kascing dimana biasanya ditemukan di permukaan tanah.
Selain indikator pemadatan tanah dan keberadaan cacing dalam tanah, bahan
organik memegang peran penting dalam kesehatan tanah. Peran bahan organik
tanah adalah menyimpan serta melepaskan unsur hara bagi tanaman. Menurut
Handayanto (1999) dekomposisi bahan organik memiliki pengaruh langsung dan
tidak langsung terhadap kesuburan tanah. Pada pengaruh langsung yaitu melalui
mineralisasi yang melepaskan unsur hara. Sedangkan pengaruh tidak langsung
berupa penyangga unsur hara sehingga menjaga ketersediaan unsur hara di dalam
tanah.
Pada kualitas tanah, dapat diukur menggunakan indikator kualitas tanah
dimana pengukuran tersebut akan menghasilkan indeks kualitas tanah. Partoyo
(2005) menyatakan indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat yang
menunjukkan kapasitas dari fungsi tanah tersebut. Berdasarkan indikator kualitas
tanah, maka terdapat kriteria dari sifat-sifat tanah yang menunjukkan kualitas tanah
yang baik. Indikator tersebut adalah:
a. Berat Volume
Tanah yang mempunyai berat volume dengan nilai yang tinggi mencerminkan
tanah padat dan berat, serta terdapat banyak pori mikro. Menurut Mahyaranti
(2007) berat volume tanah berkisar antara 1,1-1,6 gram/cm3.
b. Berat Jenis Partikel
Bahan organik termasuk ringan jika dibandingkan dengan padatan mineral.
Adanya bahan organik dalam tanah akan mempengaruhi berat jenis tanah. Oleh
sebab itu, lapisan olah tanah memiliki berat jenis yang lebih rendah. Hanafiah
(2013) menyatakan bahwa berat jenis partikel untuk tanah mineral berkisar antara
2,6-2,7 gr/cm3.
c. Porositas
Porositas tanah dipengaruhi oleh 3 unsur, yaitu kandungan bahan organik,
struktur tanah dan tekstur tanah. Menurut Hanafiah (2013), tanah dengan struktur
granuler dan remah memiliki porositas yang lebih tinggi dibandingkan tanah
dengan struktur massive atau pejal. Semakin besar nilai porositas total tanah, maka
semakin porus tanah tersebut. Keadaan ini akan mengakibatkan kemudahan akar
dalam menembus tanah serta memudahkan air dan udara untuk bersirkulasi.
Namun, kondisi ini juga berpengaruh terhadap kelolosan air sebab memiliki pori
makro yang dominan sehiingga sukar menahan air.
d. Stabilitas Agregat
Perbaikan stabilitas agregat tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan
organik yang dapat mengikat partikel-partikel tanah. Berdasarkan Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) bahan organik yang mengikat partikel
tanah akan membentuk agregat yang lebih stabil.
III. METODOLOGI
a. Waktu, Tempat dan Deskripsi Lokasi Pengamatan Secara Umum

b. Alat dan Bahan

3.2.1 HPT
 Alat
1. Kapas : Menyerap alcohol pada pembiusan serangga
2. Plastik : Tempat meletakkan serangga
3. Karet : Mengikat plastik
4. Sweepnet : Menangkap serangga yang terbang.
5. Pantrap : Tempat menjebak serangga
6. Yellow trap : Menangkap serangga yang terbang
7. Pitfall : Menjebak serangga di bawah tanah
 Bahan
1. Alkohol : Membius serangga
2. Air : Membuat cairan sabun
3. Detergen : Melumpuhkan serangga
3.2.2 BP
 Alat
1. Alat Perekam : Merekam wawancara dengan petani
2. Alat Tulis : Mencatat hasil wawancara
3. Kuisioner : Lembar wawancara
3.2.3 Tanah
 Alat
1 Plastik : Tempat meletakkan sampel pengamatan
2 Ring sampel : Mengambil sampel tanah
3 Balok kayu : Untuk memukul ring sampel
4 Timbangan : Untuk menimbang sampel tanah
5 Botol semprot : Untuk tempat air
6 Labu ukur : Untuk menghomogenkan air dengan tanah
7 Ph meter : Untuk mengukur ph tanah
8 Fial film : Menghomogenkan tanah pada pengukuran ph
9 Handpenetrometer :
 Bahan
1. Tanah : Bahan pengamatan
2. Aquades : Untuk menghomogenkan tanah

c. Cara Kerja

i. HPT
3.3.1.1 Pitfall

Menyiapkan alat dan bahan

Membuat larutan campuran air dan deterjen

Memasukkan larutan kedalam gelas plastik

Meletakkan gelas plastik ke dalam tanah

Mengamati setelah 1 hari gelas plastik dibiarkan

Mengidentifikasi serangga yang didapat


3.3.1.2 Yellow Sticky trap

Menyiapkan alat dan bahan

Memasang kayu dan menancapkan ke tanah

Memasukkan botol plastik ke dalam kayu

Menempelkan yellow sticky trap pada botol

Mengamati setelah 24 jam trap dipasang


3.3.1.3 Sweep net
Menyiapkan alat dan bahan

Menggunakan sweepnet dengan 3 kali ayunan


3.3.1.4 Indeks Penyakit

Menentukan
Menuangkan titik pengamatan
alkohol 70% di kapas

Mengambil sampel
Memasukkan kapas 20
ke rumpun padi
dalam plastik

Memberikan skoring
Memasukkan intensitas
serangga kedalampenyakit
plastik

Menghitung nilai
Mengidentifikasi intensitas
serangga penyakit
yang didapat
ii. BP

Menyiapkan alat dan bahan

Melakukan wawancara menggunakan kuisoner

Mencatat hasil wawancara

Analisis hasil wawancara

iii. Tanah
3.3.3.1 Fisika Tanah

Menyiapkan alat dan bahan

Meletakkan ring sampel di permukaan tanah

Memasukkan ring sampel kedalam tanah

Mengambil ring sampel menggunakan cetok

Meratakan permukaan ring dan dimasukkan ke dalam plastik

Analisis Laboratorium
Berat Isi

Mengambil sampel tanah utuh

Menimbang berat basah sampel tanah + ring

Mengukur diameter dan tinggi ring, timbang berat ring


Berat Jenis

Menimbang
Menimbang berat kaleng, berat 50gr
memasukkan labu tanah kedalam kaleng

Mengambil 20 gram
Menimbang berat sampel yangtanah
kaleng dan di oven

Memasukkan
Memasukkan kesampel tanahsuhu
dalam oven ke labu
110dan ditimbang
o selama 24 jam

Menambahkan
Mengeluarkan dari oven, ditimbangair
berat kering + kaleng

Mengocok labu hingga


Menghitung kadar tidak ada
air dan udara
berat isi dalam
tanah labu

Menambahkan air sampai 100 ml

Menimbang berat labu + tanah + air

Menghitung berat jenis dan porositasnya

Handpenetrometer
3.3.3.2 Biologi Tanah

Membuat plot pengamatan dengan frame searah ukuran 50x50 cm

Menghitung ketebalan seresah

Menghitung jumlah tumbuhan dan organisme dalam plot

Mengambil seresah dan kascing diletakkan dalam plastik

Pengujian laboratorium
Seresah

Menimbang berat basah seresah

Memasukkan kedalam amplop

Memasukkan kedalam oven selama 2 hari

Understorey
Menimbang berat kering seresah dan mencatat hasil
Menimbang understorey

Memasukkan kedalam amplop

Memasukkan kedalam oven selama 2 hari

Menimbang berat kering understorey dan catat hasil

Kascing

Menimbang kascing

Memasukkan kedalam kertas

Memasukkan kedalam oven selama 2 hari

Menimbang berat kering kascing

3.3.3.3 Kimia Tanah


pH

Mengering anginkan sampel tanah

Menimbang 10 gr sampel tanah

Memasukka kedalam fial film

Menambahkan 10 ml aquades

Mengocok selama 30 menit dan didiamkan selama 15 menit


Defisiensi unsur hara

Menentukan plot lahan

Mengamati gejala defisiensi tanaman per plot

Mencatat jumlah tanaman yang terkena defisiensi

Identifikasi defisiensi unsur hara

3.4 Analisa Perlakuan

3.4.1 HPT
Pengamatan aspek HPT meliputi pengamatan serangga yang diidentifikasi dan
dikelompokkan menjadi serangga hama, musuh alami dan serangga lain. Data
tersebut kemudian digunakan untuk menghitung kestabilan dengan segitiga
fiktorial. Sedangkan untuk pengamatan penyakit diamati dengan metode scoring
berdasarkan daun-daun yang menunjukkan gejala-gejala tertentu.
3.4.2 BP
Pengamatan aspek BP dilakukan dengan metode wawancara sesuai dengan
kriteria yang ada pada kuisioner. Informasi tersebut diinterpretasikan kemudian
digunakan sebagai analisa & pembahasan yang diarahkan pada aspek stabilitas atau
keberlanjutan. Selain itu, informasi tersebut juga digunakan sebagai arah
rekomendasi yang akan diberikan.
3.4.3 Tanah
Pengamatan aspek tanah untuk mengetahui kesuburan tanah secara garis besar
dikelompokkan menjadi 3 macam sifat tanah yaitu, fisika, biologi dan kimia tanah.
Pada aspek fisika tanah dilakukan pengambilan sampel tanah ring utuh untuk
mengetahui berat isi dan berat jenis tanah yang kemudian juga diperoleh nilai
porositas, dan juga pengambilan sampel agregat untuk analisa laboratorium.
Pengamatan aspek biologi berdasarkan 3 indikator meliputi, seresah, understorey,
dan kascing kemudian dibandingkan berdasarkan literatur yang relevan.
Pengamatan ini dilakukan pada 5 titik (4 sudut dan 1 di tengah) di satu petak lahan
menggunakan frame berukuran 50x50cm2 pada masing-masing titik. Sedangkan
pengamatan kimia tanah berdasarkan indikator ph, EC dan EH, yang dianalisa di
laboratorium menggunakan sampel komposit.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Lahan

4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem

4.2.1 HPT
a. Data hasil pengamatan arthropoda

Jumlah Individu Persentase (%)


Minggu
Serangga Musuh Total Serangga Musuh
ke- Hama Hama
Lain Alami Lain Alami
1 0 3 0 3 0 100 0
2 2 10 1 13 15,4 76,9 7,7
3 1 31 2 34 2,9 91,2 5,9
4 2 16 2 20 10 80 10

Jumlah Individu
35
30
25
20 Hama
15 Musuh Alami
10 Serangga Lain
5
0
1 2 3 4 5

Interpretasi???
b. Segitiga Fiktorial Hasil Pengamatan Arthropoda
 Crop
SERANGGA
LAIN

HAMA MUSUH ALAMI

Interpretasi???

 Plant
Serangga
lain

Musuh
Hama
Alami

Interpretasi???
c. Data Hasil Perhitungan Intensitas Penyakit

Minggu Sampel ke- (%)


ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0 1,2 0 0 0 1,25 1,14 11,11 1,31 0
2 0,67 2,4 0 0 0 2,5 2,27 18,05 3,95 1,25
3 0,67 3,6 0 0 0 3,75 5,68 23,61 6,58 2,5
4 1,35 5,95 0 0 1,56 10 9,09 33,33 10,53 5
5 3,38 13,1 1,85 2,14 7,81 12,5 11,36 36,11 18,42 10
Berdasarkan hasil perhitungan mengenai intensitas penyakit, diperoleh data
yang beragam. Pada minggu ke-1, tidak ditemukan adanya penyakit pada sampel 1,
3, 4, 5 dan 10. Sampel 2 diperoleh intensitas penyakit sebesar 1,2%, sampel 6
sebesar 1,25%, sampel 7 sebesar 1,14%, sampel 8 sebesar 11,11%, dan sampel 9
sebesar 1,31%. Lalu di minggu ke-2 pada sampel ke 3,4, dan 5 tidak ditemukan
adanya penyakit. Sedangkan sampel 1 diperoleh hasil presentase intensitas penyakit
sebesar 0,67%, sampel 2 sebesar 2,4%, sampel 6 sebesar 2,5%, sampel 7 sebesar
2,27, sampel 8 sebesar 18,05%, sampel 9 sebesar 3,95%, dan sampel 10 sebesar
1,25%. Kemudian di minggu ke-3 pada sampel 3, 4, dan 5 tidak dtemukan adanya
penyakit sehingga nilai presentase intensitas penyakitnya 0. Pada sampel 1,
diperoleh hasil intensitas penyakit sebesar 0,67%. Lalu sampel 2 sebesar 3,6%,
sampel 6 sebesar 3,75%, sampel 7 sebesar 5,68%, sampel 8 sebesar 23,61%, sampel
9 sebesar 6,58% dan sampel 10 sebesar 2,5%.
Pada minggu ke-4 pengamatan, sampel 3 dan 4 tidak ditemukan adanya
serangan penyakit sehingga intensitas penyakitnya 0. Sedangkan pada sampel 1,
intensitas penyakitnya sebesar 1,35%, sampel 2 sebesar 5,95%, sampel 5 sebesar
1,56%, sampel 6 sebesar 10%, sampel 7 sebesar 9,09%, sampel 8 sebesar 33,33%,
sampel 9 sebesar 10,53% dan sampel 10 sebesar 5%. Terakhir pada minggu ke-5
pengamatan sampel 1 hingga 10 ditemukan serangan penyakit, dimana sampel 1
sevesar 3,38%, sampel 2 sebesar 13,1%, sampel 3 sebesar 1,85%, sampel 4 sebesar
2,14%, sampel 5 sebesar 7,81, sampel 6 sebesar 12,5%, sampel 7 sebesar 11,36%,
sampel 8 sebesar 36,11%, sampel 9 sebesar 18,42%, dan sampel 10 sebesar 10%.
Data intensitas penyakit yang diperoleh pada minggu ke-1 hingga minggu ke-
5, didapatkan nilai intensitas penyakit yang paling tinggi pada minggu ke-5 sampel
ke 8. Hal ini dapat disebabkan karena tingkat kelembaban tanah yang cukup tinggi
mengakibatkan penyakit layu fusarium semakin tinggi. Diperkuat dengan Soesanto
(2007) bahwa drainase yang buruk dan kelembaban tanah yang sangat tinggi dapat
membantu berkembangnya penyakit moler atau yang biasa dikenal dengan layu
fusarium tersebut. Sedangkan pada minggu ke-1 sampel ke 1, 3, 4 dan 5 tidak
ditemukan adanya penyakit pada tanaman bawang merah.
4.2.2 BP
a. Hasil
No Uraian Jatimulyo Ngijo
1 Sistem tanam Monokultur Monokultur
2 Varietas - Ciherang
- Bersertifikat, dari
3 Asal benih
pemerintah

4 Jarak Tanam 22 x 22 cm / 24 x 24 cm

5 Jumlah benih / ha 35 – 40 kg / ha
Jenis pupuk yang
digunakan
A. Pupuk organik - 1 kwintal
6
B. Pupuk P Za TSP 1,5 kwintal Za 1
C. Pupuk N Urea kwintal, Urea 3 kwintal
Phonska Phonska 1 kwintal
D. Pupuk K
7 Umur panen 140 140 hst
8 Cara Panen Digiling Digiling
9 Hasil panen per ha 7 ton

10 Harga jual Rp 4000 – Rp 4500 / kg

11 Harga pasaran rata-rata Rp 10.500 / kg

12 Pengeluaran (modal) Rp 11.500.000


13 Pemasukan Rp 28.000.000
14 Keuntungan petani Rp 16.500.000
Intrepetasi
b. Pembahasan
4.2.3 Tanah
4.3 Pembahasan Umum

4.4 Rekomendasi
V. PENUTUP

You might also like