You are on page 1of 12

TRAUMA KAPITIS

Anatomi

Definition

Trauma kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-
organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang
disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial
serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.2

Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45
tahun dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah
3,4 : 1. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di
mana pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera.

Insiden trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40%
meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan.

GCS digunakan untuk menenntukan derajat keparahan dari trauma kepala selama 48 jam
setelah cedera kepala.

Tabel 1. GCS 2
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan GCS (Glassglow coma scale)3

1. Ringan

 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari1 jam
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
 CT Scan normal.

2. Sedang

 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 1 jam tetapi kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
 CT Scan abnormal.

3. Berat

 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 7 hari.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Patofisiologi 1

Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer
ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak
maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.

Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur
impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan
bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak. Fraktur tanpa kelainan
neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada
arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan
rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga


menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan
kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak
akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan
piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di
daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral
yang akut.

Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis;
karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis
spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga
mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak.

Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang
otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada
saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun
countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam
waktu 3 bulan.

Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada
saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja
(terutama pada anak-anak) , dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen
optikum.

Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya
di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau
sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada
cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga
terlewatkan pada pemeriksaan.

Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian.
Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema.
Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga.
Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran
maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan
penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf
tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini
kemudian berkembang menjadi aneurisma. Ini sering terjadi pada arteri karotis interna pada
tempat masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah
dan timbul fistula karotiko kavernosa.

Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya
menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran
antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra
serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging
veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.
Klasifikasi 1
Cedera Primer dan Sekunder
1. Primer
Di induksi oleh kekuatan mekanik dan terjadi pada saat cedera; 2 mekanisme utama
yang menyebabkan cedera primer adalah kontak (misalnya, benda yang menyerang kepala atau
otak yang menabrak bagian dalam tengkorak) dan percepatan-pelambatan (acceleration-
deceleration).
2. Sekunder
Tidak diinduksi oleh proses mekanik dari trauma namun merupakan efek lambat yang
tertunda dari cedera mekanis sebelumnya.
Focal dan Diffuse
1. Focal
Termasuk cedera kulit kepala, fraktur tengkorak, dan kontraksi permukaan; umumnya
disebabkan oleh kontak.
2. Diffuse
Termasuk cedera aksonal difus (DAI), kerusakan hipoksia-iskemik, meningitis, dan
cedera vaskular; Biasanya disebabkan oleh akselerasi-deselerasi kekuatan.
Perdarahan4
1. Epidural
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura
mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri
meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan
ekstradural.

Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal (70-
80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat dengan
skema bagian dalam kranium.

Epidural hematom merupakan akumulasi darah (hematoma) di antara duramater dan


tulang tengkorak/cranium. Cedera yang terjadi biasanya berupa laserasi dari arteri meningeal
media yang memiliki tekanan tinggi. Perdarahan dapat berkembang mencapai puncaknya dalam
6-8 jam pasca trauma mencapai 25-75 cc. Hematoma ini dapat memisahkan dura dari bagian
dalam tulang, sehingga menimbulkan sakit kepala yang hebat. Tekanan intrakranial yang
meninggi mengakibatkan otak mengalami pergeseran posisi, kehilangan suplai darah atau
terdesak menuju tulang. Penekanan pada batang otak menyebabkan pasien mengalami
kehilangan kesadaran, postur abnormal dan respons pupil yang abnormal. Pemeriksaan dengan
CT Scan/MRI memperlihatkan ekspansi hematom berbentuk konveks. Sebanyak 20% pasien
dengan gangguan kesadaran diketahui mengalami epidural hematom dengan bantuan CT Scan.
Gejala (trias klasik) :
 Interval lusid

Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan epidural. Pada
awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan
kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa
perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat
kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada luasnya
cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa perdarahan epidural.

Tanda khas dari epidural hematom adalah adanya periode lucid interval, yaitu periode
“perbaikan sesaat” setelah trauma yang diikuti oleh hilangnya kesadaran secara cepat. Periode ini
dapat berlangsung selama beberapa menit hingga jam. Kehilangan kesadaran disebabkan oleh
akumulasi darah yang meningkatkan tekanan intrakranial dan merusak jaringan otak.

 /Hemiparesis/plegia
 Pupil anisokor

2. Subdural

Hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan duramater dan di atas
lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan
darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai
frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan
vena yang menimbulkan permukaan otak di bawah tekanan lebih besar.
Subdural hematom terjadi karena robekan bridging vein yang menghubungkan antara
korteks serebri (dilapisi arachnoid mater) dan dura mater. Biasanya dihubungkan dengan trauma
korteks serebri dan prognosis tidak lebih baik dari epidural hematom. Subdural hematom dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Subdural hematom akut umumnya terjadi akibat cedera
kecepatan tinggi dan dihubungkan dengan kontusio serebri.

Perdarahan ini memiliki prognosis lebih buruk dibanding epidural hematom, yaitu angka
kematian sekitar 60-80%. Sedangkan subdural hematom kroni terjadi akibat trauma minor kepala
yang sering tidak terindetifikasi. Perdarahan terjadi dalam waktu lambat (hitungan hari) dan
dapat tidak ditemukan hingga berbulan-bulan sampai terlihat gejala klinis. Perdarahan pada
subdural hematom kronis umumnya lebih lambat dibanding akut, dan dapat berhenti dengan
sendirinya. Sering terjadi pada orang tua.

Penekanan akibat akumulasi perdarahan menyebabkan kompresi jaringan otak. Pada


beberapa kasus dapat terjadi robekan arachnoid mater dan kebocoran cairan serebrospinal
sehingga lebih meningkatkan tekanan intrakranial. Iskemia menyebabkan terjadinya kematian sel
otak.

Onset gejala subdural hematom lebih lambat dibanding perdarahan epidural, karena
aliran vena memiliki tekanan yang lebih rendah dibanding arteri. Gejala yang tumbul antara lain:
penurunan kesadaran, iritabel, kejang, sakit kepala, disorientasi, amnesia, lethargi, mual/muntah,
gangguan kepribadian, ataxia, pandangan kabur, dll.

/Selain akibat cedera yang disebabkan oleh perubahan kecepatan (akselerasi/deselerasi),


juga dapat terjadi akibat rotasi, pada shaken baby syndrome, dan peminum alkohol (pada
alkoholik terjadi atrofi serebral sehingga meningkatkan panjang vena emisaria, yang
meningkatkan risiko terjadinya subdural hematom), dan pengguna antikoagulan (aspirin,
warfarin).
 Subdural hematoma akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum,
yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom dan derajat kerusa
kan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis yang ser
ing muncul adalah:

 Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran


 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema
 Subdural hematoma subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik
yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batang otak.
 Subdural hematoma kronis
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan
MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
3. Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara


membrana arachnoid dan pia mater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara
spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala
yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (“thunderclap headache”), penurunan
kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset
perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi
otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi
neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta
tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan
perdarahan berasal dari a.communicating posterior.

Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan


darah dan aritmia.

Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral;


kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat
menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio
intraserebral.

Penegakan Diagnosis

1 . Anamnesis

 Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid


 Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
 Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
 Mekanisme Trauma

2 . Pemeriksaan neurologis:

 Kesadaran berdasarkan GCS


 Tanda-tanda vital
 Otorrhea/rhinorrhea
 Ecchymosis periorbital bilateral / eyes (raccoon eyes/bukan)
 Gangguan fokal neurologis
 Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
 Refleks patologis
 Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye phenomen
 Monitor pola pernafasan
 Gangguan fungsi otonom
 Funduskopi

3 . Pemeriksaan penunjang:

 Foto polos kepalaAP/lateral


 CT scan kepala untuk mendeteksi perdarahan intrakranial
 Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal

/
Bagan 1. Algoritma CT Scan 5

Management 1
/

/ /
//
/

Daftar Pustaka
1. Dowudu TS. Traumatic brain injury Definition, epidemiology, pathophysiology.
Medscape. 2017.
2. American College of Surgeon. Best Practices in the management of traumatic barain
injury. Committee on trauma : 2015.
3. Prins M, Greco T, Alexander D, et al. The pathophysiology of traumatic brain injury at a
glance. NCBI : 2013.
4. Kolias GA. Guilfoyle MR. HelmyA. Allason J, HJ Peter. Traumatic Brain Injury in
Adults. Neurol Pract (13): 228-235, University of Cambridge : 2013.
5. National Institute for Health and Care Excellence. Head injury : assessment and early
management clinical guideline. 22 January 2014.

You might also like