You are on page 1of 23

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... I

DAFTAR ISI ................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

1. LATAR BELAKANG................................................................ 1
2. TUJUAN .................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................
1. PENGERTIAN .......................................................................... 2
2. MACAM-MACAM SEPSIS ...................................................... 2
3. TANDA-TANDA ATAU GEJALA-GEJALA SEPSIS ............ 2
4. MENDIAGNOSA SEPSIS ......................................................... 2
5. MERAWAT SEPSIS .................................................................. 2
6. PENCEGAHAN SEPSIS ........................................................... 2
7. ETIOLOGI .................................................................................. 2
8. MANIFESTASI KLINIS.......................................................... 2
9. POTENSIALKOMPLIKASI .................................................... 2
10. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN ................................. 2
11. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAL LABORATORIUM .
12. ASKEP PADA PASIEN ANAK DENGAN PENYAKIT
INFEKSIUS SEPSIS. ............................................................... 2

BAB III PENUTUP ........................................................................................


1. KESIMPULAN........................................................................... 3
2. PENUTUP .................................................................................. 3

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi: fenomena mikrobial ditandai oleh respon inflamasi thdp mikroorganisme
Bakteremia: terdapatnya bakteri di dalam darah
Sepsis(sederhana): respon sistem thdp infeksi ditandai oleh dua atau lebih kondisi berikut:
▫ Suhu > 380C
▫ Nadi > 90 x/menit
▫ Sesak nafas > 20 x/menit
▫ Lekosit > 12000/mm3 atau < 4000/mm3 atau netrofil immatur > 10%
Sepsis (berat): sepsis bergabung dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
Shock Septik: sepsis yang diinduksi hipotensi, perfusi abnormal
Sepsis diinduksi hipotensi: tekanan sistolik
< 90 mmHg, atau penurunan > 40 mmHg dari tekanan awal
• Disfungsi sel sampai kematian sel
• Kardiovaskuler: penurunan tahanan vaskuler, karena biasanya bersamaan dengan
hipovolemi terjadi dilatasi arteri dan vena  plasma masuk ke ruang interstisiel,
disfungsi miokardial, jika berlanjut terjadi hipotensi yang tidak berespon terhadap
terapi konvensional (cairan dan inotropik)  kerusakan organ irreversibel
• Janin: resiko tinggi: penurunan aliran uteroplasenta, peningkatankontraksi uterus 
hipoksia, asidosis dan persalinan preterm

B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian dari Sepsis?
b. Apa tanda dan gejala dari Sepsis ?
c. Prevalansi
d. Patofisiologi
e. Penatalaksanaan
f.Komplikasi
g. Pengkajian data Subjektif
\h.Pengkajian data objektif’
I.Diagnosa dan Diagnosa Potensial
j.Penanganan Awal
K.Rujukan dengan stabilisasi pasien dan pemnerian obat-obatan sesuai dengan wewenang
bidan

C. Tujuan Umum
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
2. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan Sepsis dan dapat
memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai.

D. TUJUAN KHUSUS
Agar para pembaca mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan Sepsis
dan bisa memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai.
BAB II
PEMBAHASAN
a.Pengertian

Sepsis adalah infeksi bakteri umum generalisata yang biasanya terjadi pada bulan
pertama kehidupan. Muscari, Mary E. 2005. hal 186).

Sepsi adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala
infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Doenges,
Marylyn E. 2000, hal 871).

Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah.
(Surasmi, Asrining. 2003, hal 92)

Sepsis adalah mikrooganisme patogen atau toksinnya didalam darah. (Dorland, 1998
hal 979).\

Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi bakteri
generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan dengan tanda
dan gejala sistemik.

Sepsis = SIRS plus adanya bakteremia atau infeksi. SIRS ( system inflammatory
response syndrome) adalah istilah kedokteran yang menggambarkan adanya sistemasi
infeksi didalam tubuh dan terjadi proses perlawanan tubuh yang hebat terhadap infeksi
Bakteremia adalah adannya sirkulasi bakteri di dalam aliran darah (yang dalam keadaan
normal tanpa di ikuti biakan kuman sehingga tidak menimbulkan simptoma ). Dengan sistem
imun yang normal masuknya bakteri dalam jumlah kecil ke dalam darah bisa dengan segera
di musnahkan oleh sel2 immun. Penyebab terjadinya bakteremia yang paling sering terjadi
sehari hari misalnya saat menggosok gigi (24%); selain itu penanggalan gigi (50%),
penganhkatan tonsil leher ( tonsilektomi), gastroskopi.

Minimal 2 Kriteria berikut untuk menyatakan penderita mengalami SIRS :

 Demam ( > 38°) atau hipotermi (< 36°)


 Tachypnea / frekuensi nafas lebih > 24/menit
 Tachykardi / frekuensi detakan jantung > 90/menit
 Leukositosis ( > 12.000 sel/ul) atau leukopeni ( < 4000 sel/ul) atau > 10 % leukosit
muda ; * ul = mikroliter

Macam macam Sepsis

nekrosis jari tangan karena terhambatnya sirkulasi darah selama sepsis

Sepsis berat : Sepsis di sertai dengan tanda2 gagalnya satu organ tertentu, misalnya gagal
ginjal dll.

Tanda2 itu berupa :

 Turunnya tekanan darah ( hipotoni, tekanan sistolis < 90 mmHg)


 Oliguria ( jumlah urin < 0,5 ml/ kg Berat Badan /jam
 hipoksiemi
 Trombositopeni (rendahnya sel trombosit, < 80.000 /ul) atau terjadi penurunan lebih
dari 50% selama 3 hari.
 metabolis acidosis.

Septic schock : Sepsis plus hipotensi ( tensi sistolis < 90 mmHg atau 40 mmHg dibawah
tekanan sistolis normal pasien) selama minimal satu jam yang di sertai infus penambah
volume dan atau pemberian vasopresor.

Etiologi ( kuman penyebab)

Semua jenis mikroorganisme bisa menyebabkan sepsis walau tidak selamanya berada di
dalam darah. Bagian tertentu dari kuman bisa mempunyai efek lokal atau sistemis terhadap
perkembangan sepsis. Untuk kasus sepsis berat saja, hanya sekitar 20 – 40% penyebab bisa
di temukan, sedangkan untuk septic schock sekitar 30-70%.

Kuman penyebab itu yaitu :

 Bakteri gramm negatif ( 40% ) : Enterobakteri ( E.coli , Salmonela typhi, dll) ; dan
Pseudomonas aeroginosa.
 Bakteri gramm positif ( 30% ) : terutama Stafilokokus aureus
 Infeksi campuran ( 10%) : Gramm negatif + gramm positif
 Kuman “klasik” ( < 5%) : Pneumokokus, Meningokokus, Stafilokokus pyogenes.
 Jamur ( 5%) ; hanya untuk pasien dgn gangguan sistem immun/ daya tahan, misal
AIDS : Candida, Aspergillus.

Faktor presdiposisi : Faktor 2 yang mepermudah terjadi sepsis…

 Diabetes melitus
 Luka bakar
 Neutopeni
 Limfom
 Divertikulitis, perforasi usus
 Adanya benda asing dalam tubuh seperti kateter.

Adanya kecurigaan terjadinya Sepsis perlu segera di lakukan biakan darah. Pengambilan
darah dilalakukan sebelum di terapi dengan antibiotik dan selama terjadinya demam
sebanyak 2 kali dengan intervall yang berbeda minimal 10 ml.

Terapi pengobatan harus secepatnya dilakukan tanpa menunggu hasil biakan


darah.karena dalam hitungan jam kondisi pasien sangat cepat memburuk dan keterlambatan
bisa berakibat fatal sampai menyebabkan kematian.

Hal- hal yang perlu di perhatikan dalam pengobatan yaitu pencarian sumber/pusat
infeksi; antibiotik yang di berikan sebaiknya yang mempunya spektrum luas supaya bisa
mencakupi bayank jenis bakteri ( gramm positif dan negatif) yang belum terdeteksi. Untuk
infeksi enteral dan ginekologis sebaiknya ditambah antibiotik untuk bakteri anaerobik;
berikan infus antibiotik dengan dosis maksimal( pengurangan dosis untuk gangguan fungsi
ginjal), setelah hasil biakan kuman ada antibiotik bisa diganti untuk spesifikasi bakteri
tertentu.

Skema terapi untuk pasien dewasa tanpa gangguan ginjal dan sumber infeksi tidak di ketahui:

 Ceftriakson; atau
 Piperasilin + Tazobactam/Sulbaktam; atau
 Imipenem + cilastatin; atau
 Meropenem

Masing2 bisa di tambah dengan Gentamisin atau Tobramisin 5-7 mg/kg Berat Badan.
Sedangkan buat pasien dengan alergi penisilin, pengobatan bisa di berikan dengan
memberikan antibiotik ciproflasin atau clindamisin atau levofloxasin .

Ppencapaian terapi dan kesembuhan yang maksimal tidak terlepas dari pencarian
sumber/pusat terjadinya infeksi. Sering pemeriksaan klinis atas organ tertentu seperti paru,
ginjal, abdomen, kulit, dll sangat membantu dalam hal ini. Pemeriksaan radiologi ( rontgen,
CT-Scan) atau juga ultrasonografi(USG) memberikan informasi yang akurat.

Penggunaan kateter dan infus yang cukup lama;terutama bila kulit memerah; sangat
berpotensial menjadi sumber sepsis. Dalam hal ini kateter sebaiknya segera mungkin di ganti.

Prognosis. 20-30% pasien yang mengalami sepsis atau sekitar 40-60% pasien dengan
septic schock meninggal dalam waktu 6 bulan. Angka kematian yang tinggi berdasar atas
tidak sembuhnya infeksi, komplikasi yang muncul dan gagalnya organ tubuh tertentu serta
penyakit awal yang diidap pasien( diabetes, penyakit jantung,dll).

b.Tanda-Tanda atau Gejala-Gejala Sepsis (Keracunan Darah)

Pasien harus mempunyai sumber infeksi yang terbukti atau yang dicurigai (biasanya
bakteri) dan mempunyai paling sedikit dua dari persoalan-persoalan berikut: denyut jantung
yang meningkat (tachycardia), temperatur yang tinggi (demam) atau temperatur yang rendah
(hypothermia), pernapasan yang cepat (>20 napas per menit atau tingkat PaCO2 yang
berkurang), atau jumlah sel darah putih yang tinggi, rendah, atau terdiri dari >10% sel-sel
band. Pada kebanyakan kasus-kasus, adalah agak mudah untuk memastikan denyut jantung
(menghitung nadi per menit), demam atau hypothermia dengan thermometer, dan untuk
menghitung napa-napas per menit bahkan di rumah. Adalah mungkin lebih sulit untuk
membuktikan sumber infeksi, namun jika orangnya mempunyai gejala-gejala infeksi seperti
batuk yang produktif, atau dysuria, atau demam-demam, atau luka dengan nanah, adalah agak
mudah untuk mencurigai bahwa seseorang dengan infeksi mungkin mempunyai sepsis.
Bagaimanapun, penentuan dari jumlah sel darah putih dan PaCO2 biasanya dilakukan oleh
laboratorium. Pada kebanyakan kasus-kasus, diagnosis yang definitif dari sepsis dibuat oleh
dokter dalam hubungan dengan tes-tes laboratorium.

Beberapa pengarang-pengarang mempertimbangkan garis-garis merah atau alur-alur


merah pada kulit sebagai tanda-tanda dari sepsis. Bagaimanapun, alur-alur ini disebabkan
oleh perubahan-perubahan peradangan lokal pada pembuluh-pembuluh darah lokal atau
pembuluh-pembuluh limfa (lymphangitis). Alur-alur atau garis-garis merah adalah
mengkhawatirkan karena mereka biasanya mengindikasikan penyebaran infeksi yang dapat
berakibat pada sepsis.

C.PREVALENSI

Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi. Pada sepsis gejala klinis yang
terdapat pada SIRS diikuti oleh adanya bukti infeksi.

Terminologi sepsis masih membingungkan karena penggunaan yang tidak tepat dan
berbagai macam definisi yang meyebabkan kebingungan pada literatur medis. Akhir-akhir ini
dibuat standardisasi terminologi infeksi, bakteriemia, sepsis, dan septik syok sebagai usaha
untuk meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa, mengobati, dan membuat formulasi
untuk prognosa dari infeksi ini. Dalam terminologi yang baru, sepsis mewakili subgrup dalam
“Systemic inflamatory response syndrome” (SIRS).(Gordon MC 1997, Wheeler AP 2004)

SIRS adalah respon sistemik yang menyebabkan aktivasi dari sistim inflamasi host
yang menyebabkan banyak hal yang merugikan dan terlihat dengan terjadinya berbagai
macam kondisi klinis. Selain infeksi, penyebab lain dari SIRS termasuk pankreatitis, iskemia,
hemorargia, syok, kerusakan organ immune-mediated, dan luka bakar(Norwitz,2010)
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai macam
organisme yang infeksius; bakteri gram negatif, bakteri gram positif, fungi, parasit, dan virus.
Tidak semua individu yang mengalami infeksi menjadi sepsis, dan terdapat suatu rangkaian
dari beratnya infeksi dari proses yang terlokalisisir menjadi bakteriemia sampai ke sepsis dan
menjadi septik syok(Norwitz,2010)
Definisi berikut ini dibuat pada konsensus konfrensi dari Members of the American
College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Confrence
Committee. American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine
Consensus Confrence untuk berbagai macam manifestasi infeksi.
1. Infeksi : Fenomena mikroba dengan karakteristik adanya respon inflamasi karena
adanya mikroorganisme atau invasi dari jaringan host yang steril oleh organisme ini.
2. Bakteriemia : Terdapatnya bakteri yang viabel pada darah.
3. Sepsis (simpel) : Respon sistemik terhadap infeksi dengan manifestasi dua atau lebih
dari keadaan berikut ini:
 Septik syok temperatur lebih dari 38C atau kurang dari 36C
 Peningkatan denyut jantung lebih dari 90 kali per menit;
 Takipnu, pernafasan lebih dari 20 kali per menit atau PaCo2 kurang dari 32
mmHg.
 Perubahan hitung lekosit, yaitu lekosit lebih dari 12.000/mm3 atau kurang dari
4000/mm3 , atau terdapatnya lebih dari 10% netrofil imatur.
4. Sepsis (berat) : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi. Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi dapat termasuk, tetapi tidak terbatas
pada laktat asidosis, oliguria, atau perubahan status mental akut.
5. Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) keadaan dimana ditemukan disfungsi
dari beberapa organ.

Pada 1990, Centers for Disease Control and Prevention melaporkan sekitar 450.000
kasus septikemia per tahun di Amerika Serikat dengan lebih dari 100.000 kematina. Angus et
al memperkirakan terjadi 750.000 kasus sepsis berat per tahun, dengan angka kematian
28,6%. (Aird WC 2003)

Prevalensi bakteriemia pada populasi pasien obstetri dan ginekologi dilaporkan 0,2%
sampai 0,7% dari selurun wanita yang dirawat di bagian obstetri dan ginekologi. Bakteriemia
terdapat pada sekitar 5% sampai 10% pada wanita dengan korioamnionitis akut, pielonefritis,
atau postpartum endometriosis. Dari wanita yang mengalami bakteriemia ini, 4% sampai 5%
berkembang menjadi sepsis atau septik syok dan sebanyak 3% nya meninggal.(Gordon WC,1997)
Mortalitas dari septik syok pada populasi yang tidak hamil jauh lebih tinggi.
Mortalitas septik syok pada populasi ini 20% sampai 50% dan tergantung dari penyebab
medis yang mendasarinya. Prognosa yang lebih baik pada wanita hamil adalah multifaktorial
termasuk:

1. Usia muda
2. Lamanya bakteriemia pada infeksi obstetrik
3. Organisme yang kurang toksik
4. Letak primer dari infeksi lebih mudah untuk diobati
5. Pasien yang sebelumnya sehat tanpa ada penyakit
kronik lain.

Walaupun pasien hamil dengan syok septik mempunyai luaran yang lebih baik
dibandingkan dengan populasi secara umum, penelitian pada hewan memperlihatkan hewan
yang hamil lebih kurang toleran terhadap syok septik dibandingkan dengan hewan yan tidak
hamil. Hewan yang hamil mati lebih cepat karena sepsis gram-negatif (3,5 jam vs 14 jam)
dengan metabolik asidosis yang berat. Sehingga walaupun prognosa pada pasien hamil lebih
baik dibandingkan dengan populasi secara umum, kehamilan menyebabkan seorang wanita
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk perkembangan menjadi septik syok dan lebih
kurang toleransinya terhadap akibat yang timbul dibandingkan dengan wanita yang tidak
hamil.(Gordon MC 1997)

d.Patofisiologi sepsis

Perubahan sistemik yang dapat dialami pasien terjadi pada saat lipopolisakarida
binding protein mulai terikat pada struktur yang berasal dari patogen dan dipresentasikan
pada tempat pengikatan monosit atau makrofag. Dari kedua jenis sel ini dapat dilepaskan
sitokin dan yang primer adalah tumor nekrosis faktor  (TNF-), interlekuin 1 (IL 1), IL 6,
dan IL 8. Mediator primer ini selanjutnya merangsang pelepasan mediator sekunder seperti
prostaglandin E2 (PGE2), Tromboksan A2 (TXA2), platelet activating factor (PAF), peptida
vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida serta histamin dan
serotonin disamping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari komplemen.( Aird WC 2003,
Riedemann NC 2003,Wheeler AP 2004, Hotchkiss RS 2004)
Sumber : http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp

Sitokin berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka dan penetralan patogen.


Respon sitokin harusnya berangsur-angsur dideregulasi untuk akhirnya dapat menghentikan
efek yang telah digulirkan. Kesulitan kadang-kadang dapat dialami tubuh untuk
mengembalikan homeostasis ini dan bila semua pengendalian hilang suatu reaksi sistemik
yang dahsyat akan dialami tubuh sendiri.( Aird WC 2003, Hotchkiss RS 2004)

Lipopolisakarida (LPS) langsung dapat mempengaruhi faktor XII dan memicu


pengaktifan sistem koagulasi. Kaskade koagulasi yang berujung pada DIC dan fibrinolisis
bersama tissue faktor teraktivasi menyebabkan multiple organ failure mengingat pula bahwa
aktivasi neutrofil baik secara langsung oleh LPS maupun sistem kompolemen dapat
menyebabkan kerusakan endotel saat terjadi degranulasi, agregasi dan adhesi.(Aird WC 2003)

Pelepasan bradikinin yang berujung pada vasodilatasi dan bersama nitric oksida (NO)
yang meningkat akibat hipoksemia jaringan berujung pada hipotensi dapat juga diinduksi
faktor XII.(Aird WC 2003)

Pengaruh yang membahayakan lainnya dari LPS dan produk sejenis adalah terjadinya
pangaktifan sistem komplemen yang dapat menyebabkan kebocoran kapiler, edema organ
vital dan migrasi/akumulasi serta aktivasi neutrofil.
Peran trombosit pada kaskade sepsis belum diketahui pasti, namun diduga pada
endotel rusak dapat menginduksi vasokontrikasi dan juga stimulasi netrofil. Pada endotel
utuh, zat yang menghasilkan trombosit (ADP, ATP) dan serotonin (5-HT) akan menyebabkan
pelepasan Endoteliun Derived Relaxing Factor (EDRF) dan prostasiklin (PGI2). Hal serupa
akan tejadi setiap kali terbentuk trombin. EDRF yang dilepas merelaksasi otot polos vaskular
dan melebarkan pembuluh sehingga membilas mikroagregat. .( Aird WC 2003)

Dalam lumen, EDRF menghalangi agregasi trombosit. Monoamin oksidase (MAO)


memecah serotonin dan mengurangi monoamin yang berdifusi menuju otot polos. Dengan
kata lain, endotel berfungsi sebagai inhibitor serotonin dan TXA2 untuk mencapai otot polos.
Berbagai fungsi yang berbeda ini memainkan peran yang dalam mencegah koagulasi dan
episode vasospasme yang tidak dikehendaki. .( Aird WC 2003)

Jika sel endotel rusak, peran proteksi endotel akan hilang secara lokal, trombosit beradesi
dan beragregasi, diikuti konstriksi seperti terjadi pada hemostasis fase vaskuler. Di
jaringan dapat terjadi pelepasan zat yang mendepresi kerja miokard menyebabkan
ventrikel berdilatasi dan berkurangnya ejeksi ventrikel kiri. .( Aird WC 2003)

Endotoksin dan berbagai sitokin, khusunya IL-1, IFN- dan TNF- menyebabkan
pengaktifan reseptor endothelial yang menginduksi influks kalsium kedalam sitoplasma sel
endotel, kemudian setelah berinteraksi dengan kalmodulin, akan mengaktifkan Nitric Oxide
Synthase (NOS) yang berperan dalam pembentukan Nitirc Oxide (NO) dan menimbulkan
pelepasan EDHF (Endithelium Derived Hyperpolarizing Factor). Peningkatan NO
menyebabkan relaksasi otot polos dengan mengaktifkan sintesis cyclic-3’5’ Guanosine
Monophospate cGNP dan Guanosine Triphospate (GTP) . EDHF menyebabkan
hiperpolarisasi dan relaksasi otot polos dengan cara membuka saluran kalium (K+). Hal ini
menyebabkan vasodilatasi yang diduga dapat mengakibatkan hipotensi. .( Aird WC 2003)

Perkembangan paling mutakhir dalam masalah sepsis meliputi pengenalan sinyal


terhadap mikroba dari sistem imun yang dapat memberi respon melalui apa yang disebut
dengan toll-like receptor (TLRs). Mutasi pada reseptor ini pada hewan percobaan dapat
mengakibatkan kematian pada sepsis yang berhubungan dengan mutasi pada gen 4 TLR. Gen
ini juga ditemukan pada manusia sehingga kemungkinan kerentanan terhadap infeksi dan
sepsis akan dapat dialami pasien yang memiliki ciri genetik ini.(Hotchkis RS 2003,Aird WC 2003)
Teori yang menyebutkan bahwa kematian yang disebabkan sepsis adalah peran dari
overstimulasi sistem imun berdasarkan penelitian pada hewan yang tidak menggambarkan
gambaran klinik pada manusia. Penelitain-penelitian ini menggunakan dosis endotoksin dan
bakteri yang besar; sebagai konsekuensinya kadar sitokin yang bersirkulasi seperti tumor
necrosis faktor α (TNF-α) lebih tinggi pada hewan dibandingkan pada pasien dengan sepsis.
Pada penelitian ini hewan mati karena “badai sitokin,” dan gabungan dan makromolekul yang
menghambat mediator ini peningkatkan survival..(Hotchkis RS 2003)

Pada bentuk yang pasti dari sepsis -contohnya, meningococcemia- TNFα yang
bersirkulasi tinggi dan berhubungan dengan mortalitas. Dari 55 anak-anak dengan infeksi
purpura yang berat (32 diantaranya dengan infeksi Neisseria meningitidis), 91 persen
didapatkan kadar TNF-α sirkulasi yang meningkat. Debet et al melaporkan bahwa hanya 11
dari 43 pasien dengan sepsis terdeteksi TNF di sirkulasinya (batas kadar terdeteksi 5 – 10 pg
per milliliter). Pada penelitian yang lain pasien dengan sepsis, kurang dari 10 persen terukur
TNF-α atau interlekuin-1.(Hotchkis RS 2003)

Walaupun sitokin dianggap jahat, tetapi juga mempunyai manfaat pada sepsis.
Penelitian pada hewan dengan peritonitis memperlihatkan bahwa penghambatan TNF-α
memperburuk survival. Imunoterapi kombinasi melawan TNF-α dan reseptor interlekuin-1
fatal pada model sepsis neutropeni. Pada percobaan klinis antagonis TNF meningkatkan
angka kematian. Peran dari TNF-α dalam memerangi infeksi telah digarisbawahi dengan
penemuan bahwa sepsis dan komplikasi infeksi lain berkembang pada pasien dengan
rematoid artritis yang diobati dengan antagonis TNF.(Hotchkis RS 2003)

Meningkatnya pengetahuan tentang sinyal sel pathway sebagai mediasi respon


terhadap mikroba memperlihatkan bahwa konsep untuk menghambat endotoksin sebagai
usaha untuk mencegah komplikasi infeksi septik mungkin terlalu sederhana. Sel-sel dari
sistem imun mengenali mikroorganisme dan menginisiasi respon melalui pola pengenalan
reseptor yang disebut toll-like receptor (TLRs). Melihat peranan TLRs dalam memerangi
infeksi telah dibuktikan dalam penelitian pada tikus. yang resisten terhadap endotoksin
karena mutasi dari pada gen reseptor toll-like 4 (TLR4).Walaupun resistensinya terhadap
endotoksin, mortalitas tikus ini meningkat dengan sepsis yang otentik. Mutasi TLR4 telah
diidentifikasi pada manusia dan menyebabkan seseorang lebih mudah terkena infeksi. Jadi
walaupun endotoksin mempunyai efek yang buruk, penghambatan total terhadap endotoksin
dapat mengganggu. (Hotchkis RS 2003, Aird WC 2003)
Kegagalan Sistem Imun

Pasien dengan sepsis mengalami imunosupresi, termasuk kehilangan atau


terhambatnya hipersensitifitas, kemampuan menbersihkan infeksi, dan sebagai predisposisi
terhadap infeksi nosokomial. Satu alasan kegagalan dari strategi anti inflamasi pada pasien
dengan sepsis adalah perubahan sindroma dari waktu ke waktu. Awalnya sepsis mempunyai
karakteristik dengan menigkatnya mediator inflamasi, tetapi bila sepsis menetap, terjadi
pergeseran pada keadaan antiinflamasi imunosepresif. Terdapat bukti bahwa imunosupresi
pada sepsis pada penelitian memperlihatkan bahwa darah yang distimulasi oleh
lipopolisakarida pada pasien sepsis melepaskan sejumlah kecil sitokin inflamasi TNF-α dan
interlekuin-1 dibandingkan pada pasien kontrol. Sekuele dari sepsis yang diinduksi
imunosupresi dikembalikan dengan pemberian interferon- pada pasien sepsis. Imun stimulan
memperbaiki produksi makrofag TNF-α dan memperbaiki survival. .(Hotchkis RS 2003)

Mekanisme Supresi Imun Pada Sepsis Sebuah pergeseran ke sitokin antiinflamasi

Sel-sel T CD4 yang diaktifasi diprogram untuk mensekresi sitokin dengan salah satu
dari dua profil yang berbeda dan antagonis.T sel mensekresi sitokin dengan sifat inflamasi
(Sel T helper tipe 1[Th1]), termasuk TNF-α, interferon-, dan intrlekuin-2, atau sitokin
dengan sifat antiinflamasi (Sel T helper tipe-2 [Th2]), contohnya interlekuin-4 dan interlekuin
10. Faktor-faktor yang menentukan apakah Sel T CD4 mempunyai respon Th1 atau Th2 tidak
diketahui tetapi mungkin dipengaruhi tipe dari patogen, ukuran dari inokulum bakteri dan,
tempat infeksi. Sel-sel mononuklear dari pasien luka bakar atau trauma mengurangi kadar
sitokin Th1, tetapi meningkatkan kadar sitokin Th2 interlekuin-4 dan interlekuin-10, dan
penigkatan dari respon imun Th2 meningkatkan survival pada pasien sepsis. Penelitain lain
memperlihatkan bahwa kadar interlekuin-10 meningkat pada pasien dengan sepsis dan kadar
tersebut memprediksikan mortalitas.(Hotchkis RS 2003)

Anergi

Anergi adalah keadaan dari tidak responsif terhadap antigen. Sel T adalah anergi pada
saat gagal untuk berproliferasi atau mensekresi sitokin sebagai respon terhadap antigen
spesifiknya. Heidecke et al memeriksa fungsi sel T pada pasien dengan peritonitis dan
menemukan bahwa terjadi penurunan fungsi Th1 tanpa peningkatan produksi sitokin Th2,
dimana konsisten dengan anergi. Ploriferasi dan sekresi sitokin sel T yang tidak sempurna
berhubungan dengan mortalitas. Pasien dengan trauma atau luka bakar berkurang kadar sel T
bersirkulasi, dan sel T yang tersisa adalah anergi.( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)

Kematian sel apoptosis dapat mencetuskan sepsis yang diinduksi anergi. Walaupun
secara konvensional dipercaya bahwa sel mati karena nekrosis, penelitian terakhir
memperlihatkan bahwa sel dapat mati dengan apoptosis-program kematian sel secara genetik.
Pada apoptosis sel-sel melakukan bunuh diri dengan aktivasi protease yang menghancurkan
sel. Meknisme potensial dari apoptosis limfosit mungkin diinduksi dengan pelepasan
glukokrtikoid endogen. Tipe dari sel mati menentukan respon imunilogi dari sel imun.
Apoptosis sel menginduksi anergi atau sitokin antiinflamasi yang mengganggu respon
terhadap patogen, dimana sel nekrosis menyebabkan stimulasi imun dan meningkatkan
pertahanan antimikroba. ( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)

Kematian sel-sel imun

Pada otopsi pasien yang meninggal karena sepsis diungkapkan adanya kehilangan sel-
sel yang menginduksi apoptosis yang progresif dari sistem imun yang beradapatasi.
Walaupun tidak terdapat kehilangan sel-sel T CD8, natural killer sel, atau makrogfag, sepsis
secara nyata mengurangi kadar dari sel B, T sel CD4 dan sel-sel dendritic folicular.
Kehilangan limfosit dan sel-sel dendrit sangat penting, karena hal ini terjadi pada infeksi
yang mengancam jiwa. ( Hotckiss RS 2003)

Besarnya induksi apotosis pada limfosit selama sepsis terlihat pada pemeriksaan
hitung limfosit dalam sirkulasi. Pada suatu penelitian, 15 dari 19 pasien dengan sepsis
mempunyai jumlah limfosit lebih rendah dari batas bawah. Kehilangan sel-sel B, Sel-sel T
CD4, dan sel-sel dendrit mengurangi produksi antibodi, aktivasi makrofag, dan presentasi
( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)
antigen. Defek imun yang diidentifikasi pada pasien sepsis,
termasuk disfungsi monosit terdapat pada tabel 1

Tabel 1 mekanisme Supresi imun pada Pasien dengan Sepsis


Mekanisme Supresi Imun Pada Pasien dengan Sepsis
Pergeseran dari respon inflamasi (Th1) ke respon antiinflamasi (Th2)

Anergi
Induksi apoptosis dari sel-sel T CD4, sel-sel B, dan sel-sel dendritik.

Kehilangan ekspresi makrofag dari MHC kelas II dan molekul-molekul


kostimulator

Efek imunosupresif dari sel-sel apoptosis

Protein C Teraktivasi

Respon inflamasi dan prokoagulan host terhadap infeksi sangat berhubungan. Sitokin
inflamasi, yaitu TNF, interlekuin 1 , dan interlekuin-6, sanggup mengaktivasi koagulan
dan menghambat fibrinolisis, dimana trombin peokoagulan dapat menstimulasi pathway
inflamasi multipel.. Hasil akhirnya adalah cedera endovaskuler yang difus, disfungsi
multiorgan, dan kematian. Protein C teraktivasi, sebuah protein yang memfasilitasi
fibrinolisis dan menghambat trombosis dan inflamasi, adalah modulator yang penting dari
koagulasi dan inflamasi yang berhubungan dengan sepsis berat. Protein C teraktivasi
dikonversi dari prekursor inaktif, protein C, dengan penggabungan trombin dan
trombomodulin dengan sitokin inflamasi. Pengurangan kadar protein C ditemukan pada
mayoritas pasien dengan sepsis dan meningkatkan resiko kematian. (Bernard GR 2001)

e. Penatalksanaan Sepsis

Studi prospektif terbaru menunjukkan strategi penanganan sepsis berat atau triage syok septik
(menggunakan 4 clinical goals) secara signfikan mengurangi mortalitas dibandingkan pasien
yang tidak mencapai ke-4 clinical goals tersebut.
Jason D'Amore (MD, North Shore University Hospital and Long Island Jewish Medical
Center in Manhasset, New York) dan timnya menjelaskan bahwa strategi yang
dikembangkan mereka lebih mudah dibandingkan mentargetkan goal fisiologis spesifik pada
pasien dengan sepsis.

Adapun 4 target klinis ini mencakup:


• Kultur darah sebelum antibiotik
• Lactate sebelum 90 menit
• Antibiotik IV sebelum 180 menit
• 30 cc/kg cairan IV sebelum 180 menit

Studi Early Sepsis Prophylaxis Study ini merupakan studi prospektif yang dipresentasikan di
American College of Emergency Physicians (ACEP) 2013 Scientific Assembly, di mana Dr.
D’Amore dan timnya mengevaluasi kematian di Rumah Sakit karena semua penyebab
menggunakan data registrasi dari sistem kesehatan yang mencakup 11 fasilitas perawatan
akut, 3 pusat tersier, dan 700.000 kunjungan Unit Gawat Darurat setiap tahun.

Peneliti menilai dampak dari kepatuhan terhadap goal pada 5787 pasien dewasa yang datang
ke UGD dengan sepsis berat atau syok septik atau mengalami kondisi ini ketika dirawat di
Rumah Sakit. Mortalitas karena semua penyebab di RS secara signifikan lebih rendah ketika
goals digunakan dibandingkan jika tidak digunakan (22,6% vs 26,5%; P=0,0005). Strategi ini
sepenuhnya diterapkan pada Januari 2012. Rerata mortalitas di RS pada populasi pasien ini
menurun dari 30% di kuarter pertama 2012 menjadi 23% di kuarter keempat tahun 2012.
Adapun tabel penerapan strategi penanganan sepsis adalah sebagai berikut:

Parameter Kuarter 1 Kuarter 4


Pasien yang sepenuhnya mengikuti goal (%) 32,4 57,1
Rerata waktu
Sampai Pemberian Antibiotik (menit) 140 102
Sampai pemberian bolus cairan (menit) 96 71
Dari pemesanan lactate sampai hasil (menit) 45 54
Dalam analisis regresi multivariat, kepatuhan sepenuhnya terhadap goals terkait dengan
survival odds ratio sebesar 1,194 (1,04-1,37; p=0,013), bahkan setelah penyesuaian faktor-
faktor seperti umur, pendaftaran ke intensive care unit, inisiasi vasopresor, pemasukan kateter
vena sentral, dan pengawasan tekanan vena sentral, dan saturasi oksigen vena sentral.
Pengurangan risiko absolut secara keseluruhan untuk mortalitas di RS adalah 3,9% (1,7%-
6%).

Berdasarkan hasil ini, tim menghitung berapa jumlah pasien yang diperlukan untuk dirawat
untuk melihat 1 survival. Setiap 26 kali diterapkan strategi ini, terdapat 1 nyawa yang
diselamatkan, dan ini bermakna. Dr. D’Amore mengatakan bahwa mereka tidak meminta
tenaga medis untuk melakukan hal lain selain mengamati pasien dengan seksama, memberi
antibiotik tepat waktu, cairan tepat waktu, dan tetap wsapada terhadap kejadian penurunan
fungsi.

Strategi penanganan sepsis yang terdiri dari 4 clinical goals (kultur darah, lactate, antibiotik,
dan cairan IV pada kurun waktu tertentu) mengurangi mortalitas pada pasien sepsis.(AGN)

f. Asuhan Kebidanan Pasien Anak dengan Penyakit Infeksius Sepsis


1. Pengkajian
a. Pengakjian dilakukan melalui anamnesis untuk mendapatkan data yang perlu dikaji adalah
:
- Sosial ekonomi
- Riwayat perawatan antenatal
- Ada/tidaknya ketuban pecah dini
- Partus lama atau sangat cepat (partus presipitatus)
- Riwayat persalinan di kamar bersalin, ruang operasi atau tempat lain
- Riwayat penyakit menular seksual (sifilis, herpes klamidia, gonorea, dll)
- Apakah selama kehamilan dan saat persalinan pernah menderita penyakit infeksi (mis,
taksoplasmosis, rubeola, toksemia gravidarum dan amnionitis)

b. Pada pengkajian fisik ada yang akan ditemukan meliputi :


- Letargi (khususnya setelah 24 jam pertama)
- Tidak mau minum/reflek menghisap lemah
- Regurgitasi
- Peka rangsang
- Pucat
- Hipotoni
- Hiporefleksi
- Gerakan putar mata
- BB berkurang melebihi penurunan berat badan secara fisiologis
- Sianosis
- Gejala traktus gastro intestinal (muntah, distensi abdomen atau diare)
- Hipotermi
- Pernapasan mendengkur bardipnea atau apenau
- Kulit lembab dan dingin
- Pucat
- Pengisian kembali kapiler lambar
- Hipotensi
- Dehidrasi
- Pada kulit terdapat ruam, ptekie, pustula dengan lesi atau herpes.

c. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah :


- Bilirubin
- Kadar gular darah serum
- Protein aktif C
- Imunogloblin IgM
- Hasil kultur cairan serebrospinal, darah asupan hidung, umbilikus, telinga, pus dari lesi,
feces dan urine.
- Juga dilakukan analisis cairan serebrospinal dan pemeriksaan darah tepi dan jumlah
leukosit.

g.Mendiagnosa Sepsis

Secara klinis, pasien perlu memenuhi paling sedikit dua dari kriteria SIRS yang
didaftar diatas dan mempunyai infeksi yang dicurigai atau terbukti. Diagnosis yang definitif
tergantng pada pembiakan darah yang positif untuk agen infeksius dan paling sedikit dua dari
kriteria SIRS. Bagaimanapun, dua subset dari empat kriteria tergantung pada analisa
laboratorium; pemeriksaan-pemeriksaan sel darah putih dan PaCO2. Kriteriakriteria subset
ini, seperti pembiakan-pembiakan darah, dilakukan di laboratorium-laboratorium klinik.

Ada diagnosa-diagnosa lain yang mengindikasikan keparahan dari sepsis pasien.


Sepsis yang parah didiagnosa ketika pasien septic mempunyai disfungsi organ (contohnya,
aliran urin yang rendah atau tidak ada, keadaan mental yang berubah). Sepsis yang parah
dapat juga termasuk hipotensi yang diinduksi oleh sepsis (juga diistilahkan septic shock)
ketika tekanan darah pasien jatuh (biasanya <90 mmHg pada kaum dewasa) dan berakibat
pada aliran darah yang rendah atau tidak ada ke berbagai organ-organ.

Diagnosa potensial :

Temuan Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium


a. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
b. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi
organisme.
c. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan neutrofil
immatur yang menyatakan adanya infeksi.
d. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya
infalamasi.

h. Merawat Sepsis (Keracunan Darah)

Pada hampir setiap kasus sepsis, pasien-pasien perlu dirawat di rumah sakit, dirawat
dengan antibiotik-antibiotik intravena yang tepat, dan diberikan terapi untuk mendukung
segala disfungsi organ. Sepsis dapat dengan cepat menyebabkan kerusakan organ den
kematian; terapi harus tidak ditunda karena statistik-statstik menyarankan setinggi 7%
kematian meningkat per jam jika antibiotik-antibiotik ditunda pada sepsis yang parah.
Kebanyakan kasus-kasus dari sepsis dirawat di unit gawat darurat atau intensive care unit
(ICU) rumah sakit.

Antibiotik-antibiotik yang tepat untuk merawat sepsis adalah kombinasi-kombinasi


dari dua atau tiga antibiotik-antibiotik yang diberikan pada saat yang sama; kebanyakan
kombinasi-kombinasi biasanya termasuk vancomycin untuk merawat banyak infeksi-infeksi
MRSA. Bagaimanapun, sekali organisme yang menginfeksi diisolir, laboratorium-
laboratorium dapat menentukan antibiotik-antibiotik mana paling efeketif melawan
organisme-organisme, dan antibiotik-antibiotik itu harus digunakan untuk merawat pasien.
Sebagai tambahan pada antibiotik-antibiotik, dua intervensi-intervensi therapeutik utama lain,
dukungan sistim organ dan operasi, mungkin diperlukan. Pertama, jika sistim organ
memerlukan dukungan, ICU (intensive care unit) dapat seringkali menyediakannya
(contohnya, intubation untuk mendukung fungsi paru atau dialysis untuk mendukung fungsi
ginjal). Kedua, operasi mungkin diperlukan untuk mengalirkan atau mengeluarkan sumber
infeksi. Amputasi anggota-anggota tubuh (tangan dan kaki) telah dilakukan untuk
menyelamatkan nyawa-nyawa pasien.

I . Pencegahan dan Pengobatan

a. Pada masa antenatal. Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara
berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang
memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan
janin, rujukan segera ke tempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.

b. Pada saat persalinan perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik dalam arti
persalinan diperlukan sebagai tindakan operasi. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi
seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan
janin yang baik selama proses persalinan melakukan rujukkan secepatnya bila diperlukan dan
menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.

c. Sesudah persalinan. Perawatan sesudah lahir mleiputi menerapkan rawat gabung bila
bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan perlatan tetap
bersih, setiap bayi menggunakan peralatan sendiri. Perawatan luka umbilikus secara steril.
Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aspetik.
Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan
larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan keadaan bayi
secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik semua personel yang
menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular harus
diisolasi. Pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan
mikrobiologi dan tesresistensi.

Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorium adalah mempertahankan metabolisme


tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk
kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E. Monintja pembreian antibiotik
hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah dan
mudah diperoleh, tidak toksis, dapat menembus sawar darah otak dan dapat diberi secara
parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan
kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi.

j.Dosis antibiotik untuk sepsus neonatorum.

- Ampisilin 200 mg/kg BB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian.


- Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian.
- Sefalosporin 100 mg/kg BB/hari, dibagai dalam 2 kali pemberian.
- Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian.
- Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis.
- Berikan lingkungan dengan temperatur netral.
- Pertahankan kepatenen jalan napas
- Observasi tanda-tanda syok septik
- Antisipasi masalah potensial seperti dehidrasi/hipoksia
DAFTAR PUSTAKA

http://keperawatandankesehatan.blogspot.com/2010/08/sepsis.html

Obsetri William

http://dokterkorniakarkata.blogspot.co.id/2012/01/kontrol-sumber-infeksi-pada-
sepsis.html
https://agathariyadi.wordpress.com/2012/09/21/sepsis-dan-syok-septik-2/

patologi kehamilan dan persalinan

You might also like