Professional Documents
Culture Documents
Proposal Terapi Aktivitas Kelompok Perilaku Kekerasan Di Bangsal Srikandi RSJ Ghrasia
Proposal Terapi Aktivitas Kelompok Perilaku Kekerasan Di Bangsal Srikandi RSJ Ghrasia
Disusun oleh :
Aan Permadi NIM. 15.0
Dwika Ayu Fitriani NIM. 15.0
Lely Praptyarati NIM. 15.0
Sujaryanti NIM. 15.0
Umi Ulfah NIM. 15.0
Disusun oleh:
Mengetahui,
I. Latar Belakang
Berdasarkan hasil observasi selama bertugas di Bangsal Srikandi Rumah Sakit
Jiwa Ghrasia, sebagian besar klien masuk RS Ghrasia karena pasien memiliki
riwayat melakukan perilaku kekerasan. Terdapat 14 orang pasien yang memiliki
kriteria perilaku kekerasan Oleh karena itu, perawat akan melakukan “Terapi
Aktivitas Kelompok Perilaku Kekerasan (TAK PK)” agar Klien tidak menciderai
diri sendiri maupun orang lain.
II. Landasan Teori
A. Perilaku kekerasan
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana
seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang
tidak terkontrol (Yosep, 2009).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan dimana hal tersebut untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart & Sundeen, 2005).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000)
2. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan yaitu :
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang
di ekspresikan dengan seksualitas dan kedua insting kematian yang di
ekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh
pengikut freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk
mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan
agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang
untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir
semua orang yang melakukan tindakan agrresif mempunyai riwayat
perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu
memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa
contoh dari pengalaman tersebut:
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak mampu
untuk menyelesaikan secara efektif.
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak,atau seduction parental, yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya dan harga diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child
abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor soosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh Bandura
(1977) dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa agresi tidak
berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon
terhadap kebangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon
yang dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agrsif
mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang ternyata menimbulkan
perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan terutama pada nukleus
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan
cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis dll. Jika kerusakan fungsi sistem
limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran
rasional) dan lobus temporal.
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:
serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1) Masa kanak-kanak yang mendukung
2) Sering mengalami kegagalan
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
3. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat
marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif : individu tidak dapat mengungkapkan
perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan
untuk menuntut tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya kontrol. Perilaku kekerasan merupakan suatu
rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses
penyampaian pesan dari individu. Orang yang
mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan
pesan bahwa ia ”tidak setuju, tersinggung, merasa tidak
dianggap, merasa tidak dituruti atau diremehkan.”
Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon
normal (asertif) sampai pada respon yang tidak normal
(maladaptif).
6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/ keinginan
tidak baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan bermusuhan
pada objek yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang dianggap
berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka
dapat menyebabkan seseorang harga diri rendah (HDR), sehingga sulit
untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan
orang lain tidak dapat diatasi maka akan muncul halusinasi berupa suara-
suara atau bayang-bayangan yang meminta klien untuk melakukan
kekerasan. Hal ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang
lain (resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal
ini yang menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
terapeutik inefektif).
3. Kriteria Pasien
Kriteria pasien sebagai anggota yang mengikuti terapi aktifitas kelompok
iniadalah:
a. Klien dengan riwayat perilakukekerasan.
b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif atau
mengamuk, dalam keadaan tenang.
c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative)
4. Pengorganisasian
a. Leader, bertugas:
1) Mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Memimpin jalannya terapi kelompok
3) Memimpin diskusi.
b. Co-Leader, bertugas :
1) Membantu leader mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Mengingatkan leader jika ada kegiatan yang menyimpang.
3) Membantu memimpin jalannya kegiatan.
4) Menggantikan leader jika terhalang tugas.
c. Fasilitator, bertugas:
1) Memotivasi peserta dalam aktivitas kelompok.
2) Memotivasi anggota dalam ekspresi perasaan setelah kegiatan.
3) Membimbing kelompok selama permainan diskusi.
4) Membantu leader dalam melaksanakan kegiatan.
5) Bertanggung jawab terhadap program antisispasi masalah.
d. Observer, bertugas :
1) Mengobservasi persiapan dan pelaksanaan TAK dari awal sampai akhir.
2) Mencatat semua aktivitas dalam terapi aktivitas kelompok.
3) Mengobservasi perilaku pasien
5. Setting tempat
Keterangan :
: Leader
: Co-leader + Observer
: Fasilitator
: Klien
6. Peserta
4) Ny. Siti Nurjanah
Data fokus:
Pasien suka marah-marah dan sudah dering masuk RSJ.
5) Ny. Dwi Astuti
Data fokus :
Pasien dibawa ke Rumah Sakit karena melempar batu kepada ibunya,
berkelahi dengan ibunya.
c. Ny. Dwi Susilowati
Data fokus :
Pasien suka melempar barang-barang ke orang yang mengganggunya
saat dia merasa terganggu.
d. Ny. Semiyati
Data fokus :
Pasien di bawa ke RSG karena memukul ibunya dan mengamuk di
masjid.
e. Ny. …..
Data fokus :
Pasien suka ngedumel sendiri dan berbicara kasar.
f. Nn. ….
Data fokus :
Pasien mengamuk.
Terapi Stimulasi Persepsi sesi 3 :
A. Tujuan
1. Klien dapat mengungkapkan keinginan dan permintaan tanpa memaksa.
2. Klien dapat mengungkapkan penolakan dan rasa sakit hati tanpa kemarahan.
B. Setting
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.
C. Alat
1. Papan tulis / flipchart/whiteboard dan alat tulis
2. Buku catatan dan pulpen
3. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader
2. Co-leader
3. Observer
4. Fasilitator
E. Metode
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran / simulasi
F. Langkah kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut Sesi 2.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien.
2) Klien dan terapis pakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini.
2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah serta
perilaku kekerasan.
3) Tanyakan apakah kegiatan fisik untuk mencegah perilaku kekerasan sudah
dilakukan.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan.
2) Menjelaskan aturan main berikut.
a) Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta izin
kepada terapis.
b) Lama kegiatan 45 menit.
c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan dengan klien cara bicara jika ingin meminta sesuatu dari
orang lain.
b. Menuliskan cara-cara yang disampaikan klien.
c. Terapis mendemonstrasikan cara meninta sesuatu tanpa paksaan, yaitu
“Saya perlu / ingin/ minta ..., yang akan saya gunakan untuk...”.
d. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang cara
pada poin c.
e. Ulangi d. sampai semua klien mencoba.
f. Memberikan pujian pada peran serta klien.
g. Terapis mendemonstrasikan cara menolak dan menyampaikan rasa sakit
hati pada orang lain, yaitu “Saya tidak dapat melakukan ...” atau “Saya
tidak menerima dikatakan ...” atau “Saya kesal dikatakan seperti ...”.\
h. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang cara
pada poin d.
i. Ulangi h sampai semua klien mencoba.
j. Memberikan pujian pada peran serta klien.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2. Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah
dipelajari.
3. Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b. Tindak lanjut
1. Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik dan interaksi sosil yang
asertif , jika stimulus penyebab perilaku kekerasan terjadi.
2. Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik dn interaksi sosial yang asertif
secara teratur.
3. Memasukkan interaksi sosial yang asertif pada jadwal kegiatan harian klien.
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu kegiatan ibadah.
2. Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian akan kemampuan mempraktikan pencegahan
perilaku kekerasan secara social : meminta tanpa paksa, menolak dengan baik ,
mengungkapkan kekesalan dengan baik. Beri tanda centang jika klien mampu dan
tanda silang jika klien tidak mampu.
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti sesi 3, TAK stimulasi persepsi perilaku
kekerasan. Klien mampu memperagakan cara meminta tanpa paksa, menolak dengan
baik dan mengungkapkan kekerasan. Anjurkan klien mempraktikan di ruang rawat (
buat jadwal).
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2013. Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok.
Jakarta: EGC
Farida Kusumawati,dkk. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC