You are on page 1of 10

1

Manajemen Perpajakan
Studi Kasus Kewajiban Pajak Pada Google

Dosen Pengampu : Dr. Eko Suwardi, M.Sc., Ak., CA, M. Nurkholis, Ak., CA., BKP, Ramzil
Huda, SE., M.Int.Tax., Ak., CA, Sugeng, M.Si., Ak., CA

Disusun Oleh Kelompok 11:

Denata Rahma Yunari 17/421430/EE/07254

Mishel Dicky 17/421448/EE/07272

Pandu Kurniawan 17/414065/EE/07230

Thresia Delima Kondoy 17/421466/EE/07290

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2018
1

1
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan dan manfaat dari perencanaan pajak adalah untuk mengefesiensikan pendapatan
perusahaan dalam mencapai laba maksimal dan pajak terutang dalam posisi seminimal
mungkin serta menerapkan peraturan perpajakan dengan benar tanpa adanya penggelapan
pajak atau penghindaran pajak (Kurniawan, 2017). Wajib pajak melakukan perencanaan
pajak dengan cara tax avoidance maupun tax evasion, guna menghindari sanksi dalam
melakukan perencanaan pajak wajib pajak melakukannya dengan cara yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Dalam hal ini tax avoidance dilakukan dengan cara tidak melanggar
ketentuan yang berlaku yaitu dengan cara memanfaatkan kelemahan yang terdapat dalam
ketentuan yang berlaku. Tax evasion dilakukan dengan usaha aktif wajib pajak dalam hal
mengurangi, menghapus, memanipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri
untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-
undangan cara yang bersifat melanggar ketentuan yang berlaku dan dapat dikenakan sanksi
pidana. Menurut Arnold (2008), secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk memerangi praktik penghindaran pajak, pertama dengan pendekatan tanpa
menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance
doctrine (judicial doctrine) yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan, yang
kedua melalui statutory general anti avoidance rule (GAAR) yaitu ketentuan khusus dalam
peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat
dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai penghindaran pajak.

Sistem perpajakan di Indonesia saat ini menganut sistem self assessment, dimana wajib
pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan diberikan wewenang sepenuhnya untuk
melakukan perhitungan, pembayaran, dan pelaporan jumlah pajak terutang sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku.
Menurut pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (2016), persoalan Google
terkait pajak dan sejumlah perusahaan berbasis teknologi di suatu negara dipicu oleh praktik
perencanaan pajak secara agresif atau aggressive tax planning dengan mencari kelemahan
peraturan pajak, baik dalam tingkat nasional maupun tingkat internasional. Meskipun
perencanaan pajak diartikan sebagai usaha wajib pajak meminimalkan pajak terutangnya,
akan tetapi dalam hal perencanaan pajak secara agresif tidak dapat ditoleransi. Sementara di

2
3

Indonesia, pengenaan pajak bisa dilakukan bila suatu badan usaha merupakan BUT, hingga
saat ini Google menolak disebut BUT, tetapi menurut DJP, Google Indonesia sudah berbentuk
badan hukum dengan statusnya sebagai Penanam Modal Asing (PMA) terhitung sejak 15
September 2011 dan menginduk kepada Google Asia Pasific Pte Ltd. Google mendapat
perintah dari DJP untuk membuka laporan keuangannya, jika ini tidak dilakukan, maka
terhitung bulan Februari 2017 akan dikenakan denda sebesar 400% dari tunggakan pajak
terutangnya. Menurut Kurniawan (2017), permasalahan yang terjadi pada Google merupakan
salah satu fenomena yang bisa saja ditiru oleh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang
Pribadi lain, dimana selama ini Google memanfaatkan kelemahan dari peraturan pajak yang
bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diklasifikasikan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah Google dapat disalahkan terkait perencanaan pajak yang diterapkannya ?
2. Apakah diperlukan Undang-Undang atau peraturan baru guna Google dapat dikenakan
pajak di Indonesia ?

BAB II

3
4

PEMBAHASAN

Menurut Ngantung (2016), Google menggunakan strategi yang dikenal dengan istilah
“Double Irish With a Dutch Sandwich” (lampiran 1), Double Irish with a Dutch
Sandwich merupakan istilah dalam teknik penghindaran pajak yang dilakukan oleh
perusahaan multinasional yang melibatkan penggunaan kombinasi anak perusahaan dari
Irlandia dan Belanda untuk mengalihkan keuntungan yang didapatkan perusahaan ke
yurisdiksi yang rendah agar tidak dikenakan pajak. Menurut Yusuf (2016), Google selama ini
memanfaatkan celah sistem perpajakan di negara lain. Google memilih berada di negara yang
memberikan tarif pajak rendah atau memberikan berbagai fasilitas pajak yang
menguntungkan. Google memilih mentransfer dana pemasukan global ke Irlandia untuk
wilayah operasional Eropa, Timur Tengah, dan Afrika dikarenakan peraturan pajak di negara
tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk menghindari pajak, jika pendapatan
Google ditransfer ke Amerika Serikat maka dapat dikenakan pajak pemasukan perusahaan
sebesar 35 persen.

Google memiliki dua anak perusahaan yang berada di Irlandia, salah satunya bertugas
untuk mengumpulkan pendapatan dari berbagai wilayah di dunia dan yang lainnya
memegang hak atas paten serta properti intelektual google. Anak perusahaan pertama yang
bertugas untuk mengumpulkan pendapatan akan menyalurkan dana tersebut sebagai
“pembayaran royalti” ke anak perusahaan kedua yang memegang paten di irlandia karena
irlandia memajaki royalty lebih rendah dibandingkan pemasukan jenis lain, akan tetapi dana
tersebut tidak langsung di transfer melainkan di alihkan ke anak perusahaan yang berada di
Belanda guna menghindari pajak penghasilan di Irlandia. Regulasi yang berlaku di Irlandia
tidak mengenakan pajak untuk pembayaran royalti tertentu ke perusahaan yang berbasis di
negara sesama anggota Uni Eropa (Belanda). Sebagian besar dana kembali ditransfer ke anak
perusahaan kedua yang berada di Irlandia sebagai pemegang royalti, walaupun anak
perusahaan kedua Google terdaftar di Irlandia namun anak perusahaan ini tidak berkantor di
Irlandia melainkan di Bermuda yang di kenal sebagai negara tax haven karena tidak
mengenakan pajak pemasukan korporasi sama sekali. Dengan demikian Google menghindari
pembayaran pajak pemasukan perusahaan di Irlandia sebesar 12,5 persen yang sudah lebih
kecil dibandingkan Amerika Serikat sebesar 35 persen atau di Inggris sebesar 28 persen
dengan memanfaatkan skema “Double Irish with a Dutch Sandwich” (Zubir, 2016).

4
5

Di Indonesia, Google memiliki tunggakan pajak yang diperkirakan mencapai sekitar


Rp 5 triliun dalam kurun waktu 5 tahun. Google memiliki anak usaha di Singapura sebagai
induk Google Asia Pasific Pte. Ltd yang mengatur bisnis di sekitar Asia, sedangkan di
Indonesia Google hanya membangun kantor marketing representative yang berperan sebagai
penunjang dan pelengkap. Pihak Google beranggapan bahwa kantor yang berada di Indonesia
hanya bersifat sebagai perwakilan, bukan kantor tetap. Oleh karena itu, Google beranggapan
bahwa transaksi bisnis yang dilakukan di Indonesia tidak berkontribusi pada pendapatan
negara. Menurut pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (2016), Google
mendirikan induk usaha di Singapura untuk menangani bisnisnya di kawasan Asia termasuk
Indonesia. Singapura seperti diketahui tersohor sebagai negara surga pajak dengan tarif pajak
rendah. Dengan strategi tersebut, Darussalam menuturkan bahwa Google merasa tidak pernah
mengaku ada BUT di Indonesia karena faktanya seluruh kontrak dijalankan tanpa melalui
kantor perwakilan di Indonesia.

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan


pajak dalam operasionalnya di Indonesia. Persoalan ini menjadi kompleks ketika Google
mengirimkan surat penolakan atas pemeriksaan oleh Ditjen Pajak. Hal ini mengakibatkan
pemerintah bersikeras untuk mendalami kasus ini, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani
mengungkapkan akan memperkarakan isu ini pada forum internasional jika belum juga
terselesaikan (Azzura, 2017).

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik
yang terletak di Singapura. Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak
perlu membayar pajak seperti yang diduga pemerintah Indonesia. Pada dasarnya,
permasalahan yang dihadapi Google sama halnya dengan perusahaan sejenisnya yaitu
Facebook, Twitter dan Yahoo dimana terdapat kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan
kepada pemerintah, sebab perusahaan telah menarik keuntungan dari aktivitas bisnis di
Indonesia. Untuk itu, Ditjen Pajak perlu berkomunikasi langsung dengan perusahaan akan
tetapi Google menolak melakukan komunikasi dengan mengirimkan surat pada bulan
September 2016 yang disampaikan langsung oleh Direktur Financial Planning and Analyst
Asia Pasifik, Marco Borla, kepada kantor pajak khusus Badan Orang Asing (Badora), Jakarta.
Google juga menolak ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) (Jefriando, 2017).
Sementara itu, Google harus menjadi BUT karena selama ini telah menerima penghasilan dari
dalam negeri, terutama dari iklan perusahaan lain. Dengan Google tidak menjadi BUT, maka
Google tidak melakukan pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pembayaran Pajak

5
6

Penghasilan (PPh) badan. Ditjen Pajak kemudian menerbitkan Bukti Permulaan yang
menandakan bahwa proses penyidikan telah dimulai. Kantor Google di Indonesia dan di
Singapura sempat didatangi oleh petugas pajak. Ditjen Pajak juga berulang kali memanggil
jajaran Google untuk menghadap ke Indonesia (Jefriando, 2017).

Pada awal Desember 2016, salah satu Direksi Google datang ke Ditjen Pajak yang
kemudian membuka catatan tunggakan pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Google. Pihak
Google melakukan penolakan, dikarenakan penghasilan yang berasal dari Indonesia tidak
sebesar yang disampaikan. Akan tetapi, Google masih mencoba mengelak dengan alasan
butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan dokumen pembukuan keuangan, hal tersebut
terasa janggal bagi Ditjen Pajak, sebab perusahaan sekelas Google tidak mungkin mengalami
persoalan tersebut (Jefriando, 2017).

Ditjen Pajak kembali memanggil Google untuk berdiskuai mengenaik pajak


terutangnya, hingga pada akhirnya Google bersedia datang menemui Dirjen Pajak Ken
Dwijugiasteadi pada Januari 2017 untuk memenuhi panggilan pemerintah guna mencocokkan
data perhitungan pajak dari kedua belah pihak. Namun, baik Ditjen Pajak maupun pihak
Google enggan untuk memberikan komentar terkait pertemuan tersebut. Pada tanggal 30
November 2017 di hari terakhir Ken Dwijugiasteadi menjabat sebagai Dirjen Pajak, Google
telah melakukan pembayaran pajak terutangnya di Indoneisa dengan skema pembayaran dari
kantor pusat yang berada di Amerika Serikat ke Indonesia melalui kantor perwakilan yang
berada di Singapura. Pajak yang dibayarkan oleh Google berupa Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Skema yang digunakan oleh Google sama seperti wajib
pajak lainnya, yakni sistem self assesment sehingga Google yang menghitung, membayar,
dan menyetor sendiri pajaknya (Setyowati, 2017).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

6
7

Indonesia sebagai negara yang berdaulat mempunyai suatu kekuasaan yang dilakukan
untuk mengatur negara dengan melalui lembaga negara dan sebagai alat perlengkapan negara
apabila sering dibutuhkan. Direktorat Jendral Pajak sebagai lembaga negara yang berwenang
terkait dengan pajak berhak memungut pajak yang berasal dari wajib pajak pribadi maupun
wajib pajak badan yang beroperasi serta berpenghasilan di Indonesia. Sesuai dengan pasal 2
ayat (4b) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menjelaskan terkait subjek pajak luar
negeri, yaitu:
“orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.”

Permasalahan antara DJP dengan Google dikarenakan kurang tegasnya peraturan


terkait perushaan asing yang beroperasi di Indonesia menyebabkan permasalahan Google ini
muncul. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Google yang tidak mengakui sebagai BUT sejak
2011, menurut DJP seharusnya Google sejak 2011 telah berbentuk BUT dan berkewajiban
membayar pajak terutangnya.
Semakin cepatnya perkembangan zaman, sistem pajak internasional maupun dalam
negeri yang tidak secara cepat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang berdampak
pada struktur yang digunakan Google yaitu Double Irish with a Dutch Sandwich adalah legal
karena di detiap negara terdapatnya peraturan-peraturan yang berbeda. Hal ini dikarenakan
adanya ketidaksempurnaan dalam sistem pajak internasional. Jika dilihat dari sudut pandang
pelaksana hukum, yaitu contohnya hakim maupun otoritas pajak, seharusnya hukum,
walaupun mempunyai imperfections tersebut, tetap harus menjadi panduan utama.
imperfections dalam sistem hukum seharusnya tidak dapat menghentikan masyarakat untuk
mencari remedi politik yang lainnya. Hal inilah yang sekarang terjadi di mana berbagai media
nasional menyoroti bahwa Google seharusnya dikenakan pajak juga di Indonesia, dan bahwa
Google seharusnya membentuk BUT di Indonesia.

Indonesia membutuhkan peraturan baru guna menunjang penerimaan pajak secara


maksimal serta mengatur peraturan yang belum terdapat dalam peraturan yang berlaku
maupun peraturan yang sudah ada di perjelas tujuan dan maksudnya terutama pada transaksi
online maupun sejenisnya yang belum terdapat pada peraturan di Indonesia guna mencegah
agar tidak terjadi hal serupa di kemudian hari seperti kasus Google.

7
8

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Double Irish with a Dutch Sandwich

8
9

You might also like