Professional Documents
Culture Documents
Kasus Google
Kasus Google
Manajemen Perpajakan
Studi Kasus Kewajiban Pajak Pada Google
Dosen Pengampu : Dr. Eko Suwardi, M.Sc., Ak., CA, M. Nurkholis, Ak., CA., BKP, Ramzil
Huda, SE., M.Int.Tax., Ak., CA, Sugeng, M.Si., Ak., CA
YOGYAKARTA
2018
1
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan dan manfaat dari perencanaan pajak adalah untuk mengefesiensikan pendapatan
perusahaan dalam mencapai laba maksimal dan pajak terutang dalam posisi seminimal
mungkin serta menerapkan peraturan perpajakan dengan benar tanpa adanya penggelapan
pajak atau penghindaran pajak (Kurniawan, 2017). Wajib pajak melakukan perencanaan
pajak dengan cara tax avoidance maupun tax evasion, guna menghindari sanksi dalam
melakukan perencanaan pajak wajib pajak melakukannya dengan cara yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Dalam hal ini tax avoidance dilakukan dengan cara tidak melanggar
ketentuan yang berlaku yaitu dengan cara memanfaatkan kelemahan yang terdapat dalam
ketentuan yang berlaku. Tax evasion dilakukan dengan usaha aktif wajib pajak dalam hal
mengurangi, menghapus, memanipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri
untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-
undangan cara yang bersifat melanggar ketentuan yang berlaku dan dapat dikenakan sanksi
pidana. Menurut Arnold (2008), secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk memerangi praktik penghindaran pajak, pertama dengan pendekatan tanpa
menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance
doctrine (judicial doctrine) yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan, yang
kedua melalui statutory general anti avoidance rule (GAAR) yaitu ketentuan khusus dalam
peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat
dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai penghindaran pajak.
Sistem perpajakan di Indonesia saat ini menganut sistem self assessment, dimana wajib
pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan diberikan wewenang sepenuhnya untuk
melakukan perhitungan, pembayaran, dan pelaporan jumlah pajak terutang sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku.
Menurut pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (2016), persoalan Google
terkait pajak dan sejumlah perusahaan berbasis teknologi di suatu negara dipicu oleh praktik
perencanaan pajak secara agresif atau aggressive tax planning dengan mencari kelemahan
peraturan pajak, baik dalam tingkat nasional maupun tingkat internasional. Meskipun
perencanaan pajak diartikan sebagai usaha wajib pajak meminimalkan pajak terutangnya,
akan tetapi dalam hal perencanaan pajak secara agresif tidak dapat ditoleransi. Sementara di
2
3
Indonesia, pengenaan pajak bisa dilakukan bila suatu badan usaha merupakan BUT, hingga
saat ini Google menolak disebut BUT, tetapi menurut DJP, Google Indonesia sudah berbentuk
badan hukum dengan statusnya sebagai Penanam Modal Asing (PMA) terhitung sejak 15
September 2011 dan menginduk kepada Google Asia Pasific Pte Ltd. Google mendapat
perintah dari DJP untuk membuka laporan keuangannya, jika ini tidak dilakukan, maka
terhitung bulan Februari 2017 akan dikenakan denda sebesar 400% dari tunggakan pajak
terutangnya. Menurut Kurniawan (2017), permasalahan yang terjadi pada Google merupakan
salah satu fenomena yang bisa saja ditiru oleh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang
Pribadi lain, dimana selama ini Google memanfaatkan kelemahan dari peraturan pajak yang
bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak.
BAB II
3
4
PEMBAHASAN
Menurut Ngantung (2016), Google menggunakan strategi yang dikenal dengan istilah
“Double Irish With a Dutch Sandwich” (lampiran 1), Double Irish with a Dutch
Sandwich merupakan istilah dalam teknik penghindaran pajak yang dilakukan oleh
perusahaan multinasional yang melibatkan penggunaan kombinasi anak perusahaan dari
Irlandia dan Belanda untuk mengalihkan keuntungan yang didapatkan perusahaan ke
yurisdiksi yang rendah agar tidak dikenakan pajak. Menurut Yusuf (2016), Google selama ini
memanfaatkan celah sistem perpajakan di negara lain. Google memilih berada di negara yang
memberikan tarif pajak rendah atau memberikan berbagai fasilitas pajak yang
menguntungkan. Google memilih mentransfer dana pemasukan global ke Irlandia untuk
wilayah operasional Eropa, Timur Tengah, dan Afrika dikarenakan peraturan pajak di negara
tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk menghindari pajak, jika pendapatan
Google ditransfer ke Amerika Serikat maka dapat dikenakan pajak pemasukan perusahaan
sebesar 35 persen.
Google memiliki dua anak perusahaan yang berada di Irlandia, salah satunya bertugas
untuk mengumpulkan pendapatan dari berbagai wilayah di dunia dan yang lainnya
memegang hak atas paten serta properti intelektual google. Anak perusahaan pertama yang
bertugas untuk mengumpulkan pendapatan akan menyalurkan dana tersebut sebagai
“pembayaran royalti” ke anak perusahaan kedua yang memegang paten di irlandia karena
irlandia memajaki royalty lebih rendah dibandingkan pemasukan jenis lain, akan tetapi dana
tersebut tidak langsung di transfer melainkan di alihkan ke anak perusahaan yang berada di
Belanda guna menghindari pajak penghasilan di Irlandia. Regulasi yang berlaku di Irlandia
tidak mengenakan pajak untuk pembayaran royalti tertentu ke perusahaan yang berbasis di
negara sesama anggota Uni Eropa (Belanda). Sebagian besar dana kembali ditransfer ke anak
perusahaan kedua yang berada di Irlandia sebagai pemegang royalti, walaupun anak
perusahaan kedua Google terdaftar di Irlandia namun anak perusahaan ini tidak berkantor di
Irlandia melainkan di Bermuda yang di kenal sebagai negara tax haven karena tidak
mengenakan pajak pemasukan korporasi sama sekali. Dengan demikian Google menghindari
pembayaran pajak pemasukan perusahaan di Irlandia sebesar 12,5 persen yang sudah lebih
kecil dibandingkan Amerika Serikat sebesar 35 persen atau di Inggris sebesar 28 persen
dengan memanfaatkan skema “Double Irish with a Dutch Sandwich” (Zubir, 2016).
4
5
Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik
yang terletak di Singapura. Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak
perlu membayar pajak seperti yang diduga pemerintah Indonesia. Pada dasarnya,
permasalahan yang dihadapi Google sama halnya dengan perusahaan sejenisnya yaitu
Facebook, Twitter dan Yahoo dimana terdapat kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan
kepada pemerintah, sebab perusahaan telah menarik keuntungan dari aktivitas bisnis di
Indonesia. Untuk itu, Ditjen Pajak perlu berkomunikasi langsung dengan perusahaan akan
tetapi Google menolak melakukan komunikasi dengan mengirimkan surat pada bulan
September 2016 yang disampaikan langsung oleh Direktur Financial Planning and Analyst
Asia Pasifik, Marco Borla, kepada kantor pajak khusus Badan Orang Asing (Badora), Jakarta.
Google juga menolak ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) (Jefriando, 2017).
Sementara itu, Google harus menjadi BUT karena selama ini telah menerima penghasilan dari
dalam negeri, terutama dari iklan perusahaan lain. Dengan Google tidak menjadi BUT, maka
Google tidak melakukan pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pembayaran Pajak
5
6
Penghasilan (PPh) badan. Ditjen Pajak kemudian menerbitkan Bukti Permulaan yang
menandakan bahwa proses penyidikan telah dimulai. Kantor Google di Indonesia dan di
Singapura sempat didatangi oleh petugas pajak. Ditjen Pajak juga berulang kali memanggil
jajaran Google untuk menghadap ke Indonesia (Jefriando, 2017).
Pada awal Desember 2016, salah satu Direksi Google datang ke Ditjen Pajak yang
kemudian membuka catatan tunggakan pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Google. Pihak
Google melakukan penolakan, dikarenakan penghasilan yang berasal dari Indonesia tidak
sebesar yang disampaikan. Akan tetapi, Google masih mencoba mengelak dengan alasan
butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan dokumen pembukuan keuangan, hal tersebut
terasa janggal bagi Ditjen Pajak, sebab perusahaan sekelas Google tidak mungkin mengalami
persoalan tersebut (Jefriando, 2017).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
6
7
Indonesia sebagai negara yang berdaulat mempunyai suatu kekuasaan yang dilakukan
untuk mengatur negara dengan melalui lembaga negara dan sebagai alat perlengkapan negara
apabila sering dibutuhkan. Direktorat Jendral Pajak sebagai lembaga negara yang berwenang
terkait dengan pajak berhak memungut pajak yang berasal dari wajib pajak pribadi maupun
wajib pajak badan yang beroperasi serta berpenghasilan di Indonesia. Sesuai dengan pasal 2
ayat (4b) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menjelaskan terkait subjek pajak luar
negeri, yaitu:
“orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.”
7
8
LAMPIRAN
8
9