Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Dr. Catur Pradono, Sp. An
Disusun Oleh
Laras Hanum Istiningtias 030.12.147
Nadyapitaloka Purbasari 030.13.135
Penyusun:
Laras Hanum Istiningtias 030.12.147
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik
Departemen Anestesi di RSUD Karawang periode 30 April – 1 Juni 2018
Pembimbing
dr. Catur Pradono, Sp.An
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus pasien pada kepaniteraan klinik bagian anestesi di
RSUD Karawang.
Tugas laporan kasus ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembimbing yang sudah
meluangkan waktunya dan ilmunya yaitu dr. Ucu Nurhadiat, Sp.An, dr. Ade Nurkacan,
Sp.An, dr. Catur Pradono, Sp.An dan juga kepada seluruh dokter lainnya yang turut
membantu dan membimbing penulis serta teman-teman coass kepaniteraan klinik di bagian
anestesi yang telah membantu dan men-support penulis. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan atas bantuannya selama ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat membantu menambah ilmu
pengetahuan dan pemahaman mengenai materi ini, serta salah satunya untuk memenuhi tugas
di kepaniteraan klinik bagian anestesi RSUD Karawang
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
diharapkan saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan penulisan ini. Demikian
yang penulis dapat sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Penulis
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 5
BAB II ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas Pasien…………………………………………………………
2.2 Anamnesis………………………………………………………………
2.3 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………
2.4 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………...
2.5 Diagnosis……………………………………………………………….
2.6 Kesimpulan…………………………………………………………….
2.7 Persiapan Pre-Operatif…………………………………………………
2.8 Intra Operatif…………………………………………………………..
2.9 Post Operatif……………………………………………………………
2.10 Follow Up…………………………………………………………….
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Cholelithiasis……………………………………………………………………………
3.1.1 Definisi Batu Empedu………………………………………
3.1.2 Etiologi Batu Empedu………………………………………
3.1.3 Epidemiologi Batu Empedu………………………………..
3.1.4 Anatomi Kandung Empedu…………………………………
3.1.5 Fisiologi Kandung Empedu…………………………………
3.1.6 Komposisi Cairan Empedu………………………………….
3.1.7 Patofisiologi Batu Empedu………………………………….
3.1.8 Klasifikasi Batu Empedu…………………………………….
3.1.9 Faktor Resiko Kandung Empedu…………………………….
3.1.10 Manifestasi Klinis Kandung Empedu………………………
3.1.11 Pemeriksaan Penunjang …………………………………….
3.2 Anemia
3.2.1 Definisi Anemia
3.2.2 Etiologi
3.2.3 Gejala Klinis
3.2.4 Tatalaksana Anemia
3.3 Anestesi Umum
BAB IV ANALISIS KASUS………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULAN
2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada 15/05/2018 pukul 06.00 WIB
Keluhan Utama: nyeri pada perut kanan atas sejak 2 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang : nyeri pada perut kanan atas dan menjalar ke punggung,
riwayat operasi (-) Hipertensi (+), DM (+), Asma (-),
Alergi (-) muntah (+)
Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (+), DM (+)
Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi (+), DM (+), Asma (-)
2.5 Diagnosis
- Diagnosis Pembedahan : Kholelithiasis
- Tindakan Pembedahan : Laparoskopi
- Kriteria ASA : ASA II dengan Hipertensi, DM, Globulin ↑, Ureum ↓, eritrosit
↓, trombositosis, monosit ↑
2.6 Pre-Operatif
Diagnosis pre-operasi: Cholelithiasis
Tindakan operasi: Laparoskopi
Cek Informed Consent (+)
Pasien dipuasakan selama 11 jam pre-operatif
IV line terpasang pada tangan kanan dengan Sodium Chloride 0,9%
Persiapan obat dan alat anestesi umum
o Menyiapkan meja operasi
o Menyiapkan mesin dan alat anestesi
o Menyiapkan nasal kanul, suction, stetoskop, NIBP, saturasi oksigen
o Menyiapkan obat-obatan (Premedikasi, Induksi, Maintanance, Emergency,
dan Relaxant)
Keadaan umum
o Kesadaran : Compos mentis
o Kesan sakit : Sakit sedang
Tanda vital:
Tekanan darah : 150/90 Nadi : 80x/menit
SpO2 : 99% RR : 22x/menit
Suhu : 36,5˚C
2.10 Follow Up
Pre-Operasi
Teluk Jambe 15/05/2018
S : Pasien mengeluh nyeri di epigastrium sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat alergi obat
dan makanan disangkal, Asma (-), Hipertensi (+), Riwayat operasi (-), riwayat penyakit
jantung dan paru (-) dan pasien puasa sejak jam 24.00
O : TD : 170/90 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 93x/menit Suhu : 36,8˚C
Sat O₂ : 94%
GDS : 123 (↑) Globulin : 3,92 (↑)
Ureum : 12,5 (↓) Eritrosit : 4,08 (↓)
Trombosit : 482 (↑) Monosit : 10 (↑)
A: ASA II dengan hipertensi, Hipertensi, DM, Trombositosis.
P: Acc operasi
Post-Operasi
Teluk Jambe 17/05/2018
S: Nyeri luka operasi (+), Mual (-), Muntah (-), Demam (-), Batuk (-)
O: TD : 130/80 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 86x/menit Suhu : 36,1
A: Cholelithiasis
P: Observasi tanda vital, Ceftriaxone 2x1 gr, Asering
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Anestesi umum
Definisi
Anestesia adalah hilangnya sensasi dengan atau tanpa hilangnya kesadaran.
Anestesia umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy, 2011).
Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan hilangnya
kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat
relaksasi otot.(11)
Stadium
Suatu keadaan anesthesia umum idealnya memiliki karakteristik dari hilangnya
seluruh sensasi termasuk analgesic dan pelumpuh otot. Adanya depresi neuronal pada
area yang spesifik di system saraf pusat bertanggung jawab terhadap keadaan
anesthesia umum tersebut. Guedel pada tahun 1920 membagi tahapan anesthesia
tersebut kedalam empat stadium
Stadium I : Analgesia
Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit
untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai
tahap induksi
Stadium II : Delirium
Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Selain itu proses penekanan saraf
inhibitor di formation retikularis menyebabkan esksitasi dari motor
neuronsehingga akan terjadi gerakan otot involunter seperti berkemih,
delirium, pergerakan otot yang tak terkontrol, meningkatnya denyut jantung,
tekanan darah dan respirasi.
Stadium III : Pembedahan
Pada stadium ini dibagi menjadi 4 planes yaitu hilangnya reflex spinal,
menurunnya reflex otot skeletal, paralisis otot intercostalis, dan yang terakhir
hilangnya tonus otot. Pada stadium ini terjadi pernapasan teratur pada pasien.
Stadium IV : Paralisis pernapasan
Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi. Secara normal, keadaan ini tidak dialami oleh
pasien karena seorang anestesiologis secara hati-hati memonitor pernapsan
abdominal pasien untuk mencegah terjadinya apneu, tekanan darah untuk
mencegah terjadinya hipotensi, dan denyut jantung untuk mencegah timbulnya
asistol. (12)
Gambar 1. Stadium
Anestesi
Sifat Anestesia
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan
baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak
bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung
mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi
di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan
cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.(11)
Deskripsi Obat
Nitrogen Oksida
Sering disebut sebagai “laughing gas”. N2O poten digunakan sebagai
anesthesia inhalasi dan tidak cepat larut dalam darah.
Isofluran
Isofluren diperkenalkan di Amerika pada tahun 1981 dan merupakan obat
anestesi inhalasi yang poten dengan ciri-ciri tidak mudah terbakar, larut dalam
darah. Efek kardiovaskular dari isofluren lebih rendah dibanding dengan
enfluren dan dapat digunakan secara aman bersamaan dengan epinefrin.
Isofluren memiliki aroma yang tajam sehingga dapat menyebabkan iritasi
saluran pernapasan yang memicu batuk dan spasme laring.
Propofol
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor
GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan
saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida
transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel
postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol
dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan
laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu
meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh
GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.
Obat anesthesia yang sangat baik untuk induksi dan pemeliharan selama
operasi. Dosis yang diperlukan untuk mencapai keadaan hypnosis adalah 2-
2.5mg/kgBB dan onset waktu 30-60 detik serta durasi kerjanya adalah 5-10
menit. Durasi kerja dari propofol dapat diperpanjang dengan menambah
dosisnya. Efek samping dari obat ini adalah tekanan darah dan denyut jantung
menurun. Propofol berikatan secara kuat dengan protein plasma. Metabolisme
dari obat ini melaui hepar.
Ketamine
Ketamin termasuk golongan hidroklorida. Durasi kerjanya adalah 10-25 menit.
Ketamine memiliki efek “emergence delirium” atau sering disebut
“dissociative amnesia”. Ketika pasien pulih dari anestesi, pasien akan
mengalami keadaan ilusi secara visual, auditorik dan kesadaran. Halusinasi
dan mimpi buruk juga biasa terjadi dalam 24 jam setelah diberikan ketamine.
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
Fentanyl
Fentanyl biasa digunakan sebagai induksi atau pemeliharaan. Dapat
memberikan efek sedasi. Efek samping dapat menyebabkan depresi
pernapasan, rigiditas muscular pada dosis tinggi dan mual muntah pasca
operasi. Namun obat ini tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
Rocoronium bromide
Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor
kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil kolin menempatinya,
sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja. Pemberian obat ini adalah
untuk Intubasi trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi
mekanik. Dosis yang diberikan adalah untuk intubasi rutin adalah 0,6 mg/kg.
Untuk induksi cepat dosis rocuronium 1,0 mg/kg, lakukan intubasi setelah 90
detik pemberian rocuronium. Dosis pemeliharaan disarankan 0,15 mg/kg,
untuk inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg. Awitan aksi : 45-90 detik,
efek puncak : 1-3 menit, lama aksi : 15-150 menit (tergantung dosis)
Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman
genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina
dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Efedrin bekerja pada reseptor α
dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak
langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan
noradrenalin. Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi
akibat induksi dengan propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja
rokuronium. Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol. Pencampuran
efedrin dengan propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan
mencegah nyeri akibat suntikan propofol. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada
orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan
saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi
efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi. Lama kerja terhadap efek
tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral. Efek puncak
efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi.
Sulfas atropine
Menghambat aksi asetilkolin pada bagian parasimpatik otot halus, kelenjar
sekresi dan SSP, meningkatkan cardiac output. Obat ini diindaksikan untuk
keadaan bradikardi selama masa operasi. Dosis pemberian secara intravena
adalah 300-600mcg. Efek samping anti muskarinik sering terjadi setelah
pemberian obat ini.(15)
Premedikasi
Tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah
induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun yang terpenting
adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat proses
pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Selain itu pemberian obat premedikasi
adalah untuk mengurangi kecemasan/ketakutan pasien terhadap proses operasi,
menenangkan pasien, dan memberi efek amnesia terhadap proses operasi tersebut.
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obatan
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer,
dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau kombinasi dari
beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi
itu sendiri.(17)
Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya. (18)
3.2 Cholelithiasis
3.2.1 Definisi Cholelithiasis
Penyakit batu empedu (kholelitiasis) merupakan salah satu penyakit
gastrointestinal sering terjadi, meliputi 10% sampai 20% dari populasi dunia.(1)
Kholelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis), atau pada kedua-duanya. Kandung empedu merupakan
kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat yang terletak
tepat di bawah lobus kanan hati. Fungsi utama kandung empedu adalah
menyimpan dan memekatkan empedu. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu
kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin, yang terdiri dari kalsium bilirubinat,
dan batu campuran.⁽²⁾
23
cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membebntu batu empedu.
Perubahan komposisi lainnya yaitu yang menyebabkan batu pigmen
adalah terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit
hemolysis yang berkaitan dengan batu empedu adalah sickle cell anemia,
hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia. Selain itu terdapat juga batu
campuran, batu ini merupakan campuran dari kolestrol dan kalsium
bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hamper sekitar 90% pada penderita
kholelithiasis.
b. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progesif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi,
atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon
kholesistokinin dan sekretin) dapat dikaitan dengan keterlambatan
penggosongan kandung empedu.
c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri
dapat berperan sebagai pusat presipitasi atau pengendapan. Infeksi lebih
timbul akibat terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
24
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya
batu duktus sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya
merupakan kasus kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika
Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga
menderita kolesistitis akut. ⁽⁴⁻⁷⁾
Penelitian di Jakarta pada tahun 2009, pada 51 pasien didapatkan
batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien
(menurut divisi Hepatologi, Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei
2009), wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh
hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor
risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan
pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus (DM), baik wanita
maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat
kolesterol tinggi.⁽³⁾
25
dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk ductus
koledokus.⁽⁴⁾
26
bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus. Duktus
koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan
pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang
terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya
dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara
ditempat yang sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater,
tetapi dapat juga terpisah.⁽⁴⁾
c. Pendarahan
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang
a.hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung ke dalam
vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena-vena juga
berjalan antara hati dan kandung empedu.⁽⁴⁾
27
disintesis di dalam hati yang disebut “primer” asam empedu dan yang
dibuat oleh bakteri yang disebut “sekunder” asam empedu. Asam empedu
dibentuk dari bahan dasar, yaitu kolesterol. Di dalam hati, pembentukan
primer asam empedu berasal dari kolesterol yang dibentuk melalui 2 jalur,
yaitu classic pathway dan accidic pathway. Pada classic pathway,
kolesterol dikonversi (penambahan gugus OH) menjadi 7α-
hydroxycholesterol dengan bantuan enzim 7α -hydroxylase. Selanjutnya,
7α-hydroxycholesterol dengan bantuan enzim sterol 12α-hydroxylase
dikonversi (penambahan gugus H dan CoA) menjadi cholyl-CoA (asam
kolat). Pada accidic pathway, kolesterol dengan bantuan enzim sterol 27-
hydroxylase dan oxysterol 7 α-hydroxylase dikonversi menjadi
chenodeoxycholyl-CoA (asam chenodeosikolat). Selain melalui accidic
pathway, pembentukan asam chenodeoksikolat juga bisa berasal dari 7-
hydroxycholesterol melalui beberapa tahap konversi. Di
usus, pembentukan sekunder asam empedu berasal dari asam
chenodeoksikolat dengan bantuan dari bakteri flora normal usus. Asam
chenodeoksikolat memiliki dua gugus hidroksil pada posisi 3α dan 7α.
Gugus hidroksil pada posisi 7α dihapus oleh bakteri usus dan dengan
bantuan enzim dehidroksilase diubah menjadi asam litokolat, dimana asam
empedu ini hanya memiliki gugus 3-α-hidroksil. Asam litokolat ini
kemudian dikonversi menjadi asam deoksikolat dengan penambahan
gugus hidroksil di posisi 12α. Dengan cara penghapusan gugus 7α-
hidroksil pada asam chenodeoksikolat oleh bakteri usus inilah akan
dihasilkan semakin banyak asam deoksikolat, dimana sebagai salah satu
jenis asam empedu untuk komponen cairan empedu.
28
Gambar 2. Biosintesis Asam Empedu
29
Lesitin merupakan suatu senyawa yang dikategorikan sebagai lipid.
Sebenarnya di dalam lesitin tidak hanya terkandung senyawa
fosfatidilkolin, tetapi juga ada senyawa-senyawa yang lain masih
dalam golongan lipid, namun fosfatidil kolin merupakan kandungan
utama dari lesitin. Lesitin memainkan peranan yang cukup signifikan
sebagai agen aktif permukaan dalam proses emulsi. Lesitin ini
diperoleh tubuh melalui makanan terutama yang berasal dari keledai
dan kuning telur.
3. Kolestrol
Kolesterol adalah suatu zat lemak yang terdapat pada seluruh produk
binatang, contohnya seperti daging, produk susu, dan telur. Kolesterol
sangat dibutuhkan bagi tubuh dan salah satunya digunakan untuk
membentuk cairan empedu yang diperlukan dalam mencerna lemak.
Kolesterol dibagi menjadi kolesterol eksogen dan endogen. Kolesterol
eksogen merupakan kolesterol yang diabsorbsi dari makanan di
dalam saluran pencernaan, sedangkan kolesterol endogen dibentuk
oleh sel tubuh. Sebagian besar kolesterol berasal dari kolesterol
endogen. Pada dasarnya, semua kolesterol endogen yang beredar
dalam lipoprotein plasma dibentuk oleh hati, tetapi semua sel tubuh
lain setidaknya membentuk sedikit kolesterol, yang sesuai dengan
kenyataan bahwa banyak struktur membran dari seluruh sel sebagian
disusun dari zat yang berstruktur dasar inti sterol. Sintesis kolesterol
endogen terdiri dari lima tahapan utama, yaitu :
1. Mengubah Asetil CoA menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA (HMG-
Coa)
2.Mengubah HMG-CoA menjadi mevalonate
3.Mevalonate diubah menjadi molekul dasar isoprene, isopentenyl
pyrpphospate (IPP) bersamaan dengan hilangnya CO2
4. IPP diubah menjadi squalene
5. Squalene diubah menjadi kolestero
30
Gambar 3. Biosintesis Kolestrol
4. Bilirubin
Bilirubin Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan
katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme
bilirubin meliputi pembentukan, transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi
bilirubin.
- Fase Pre-hepatik
1. Pembentukan bilirubin. Bilirubin berasal dari katabolisme protein
heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25%
berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme
lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Pembentukannya berlangsung di system retikoloendotelial. Langkah
oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
31
bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin yang larut dalam air
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut.
2. Transport plasma Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan
diangkut ke hati melalui plasma, harus berikatan dengan albumin
plasma terlebih dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.
- Fase Intra-Hepatik
3. Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan
sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit melalui
ssistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk pengambilan
albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan
dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut sebelum dikonjugasi.
4. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak
terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang
dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim
uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T)
membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke
dalam kanalikulus empedu.
- Fase Post-Hepatik
5. Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai
oleh protein membran kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance
associated protein-2 (MRP-2).
32
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung
empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu bilirubin
terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida dikeluarkan
oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan bilirubin kemudian
direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna
yang disebut urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil
urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk
siklus urobilinogen enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen yang tak
berwarna dan dibentuk di kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi
urobilin (senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja.
a. Sekresi empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran
33
ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum. Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
34
c. Pengosongan Kantung Empedu
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu
dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal
duktus koledokus dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Proses
koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Hormonal
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon
ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu
2. Neurogen
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Secara normal
pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung selama
sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan
neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam
perkembangan inti batu.
35
(3) Berkembang karena bertambahnya pengendapan.
36
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu,
senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah
relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan
kolesterol.
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap :
Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Pembentukan nidus.
Kristalisasi/presipitasi.
Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol
dan senyawa lain yang membentuk matriks batu.
2.Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang mengandung
< 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen
cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.
Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur,
operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu,
khususnya E. Coli, kadar enzim B glukoronidase yang berasal dari bakteri
akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi
bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi
37
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraks. Batu pigmen hitam adalah
tipe batu yang banyak ditemukan pada penderita dengan hemolisis kronik
atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivate
polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.
Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril.
c. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung
kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar
dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu
kolesterol.
38
3.2.8 Faktor Resiko Batu Empedu
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan usia yang lebih muda dikarenakan tubuh
cenderung mengeluarkan lebih banyak kolesterol kedalam cairan tubuh.
d. Makanan
Intake rendah klorida dan kehilangan berat badan yang cepat (seperti
setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
39
e. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kholelithiasis mempunyai resiko lebih
besar disbanding dengan tanpa riwayat keluarga. Dimana ABCG8 D19H
genotipe heterozigot atau homozigot telah meningkatan risiko terjadinya
batu empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan
penyerapan kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan
sintesis kolesterol di hati tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi
insulin.
f. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya kholelithiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi.
40
3.2.9 Manifestasi Klinis Batu Empedu
1. Asimptomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimptomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kholesistitis, nyeri
billier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan
penyakit sampai 50% dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya. Kurang dari 25% dari pasien yang benar-benar
mempunyai batu empedu asimptomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kholesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu
empedu asimptomatik.⁽⁸⁻⁹⁾
2. Simptomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik billier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan. ⁽⁸⁻⁹⁾
41
b. Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.⁽²⁾
42
BAB IV
ANALISIS
43
mengeluarkan propofol dari plasma. Propofol akan dikonjugasi menjadi
glucuronide dan sulfat sehingga menjadi larut dalam air dan kemudian
diekskresikan melalui ginjal (metabolit inaktif).
Midazolam dapat dengan cepat diabsorbsi dari saluran cerna dan cepat
melalui sawar darah otak. Durasi kerja yang singkat dari pemberian tunggal
dikarenakan kelarutan yang tinggi terhadap lemak, cepat berdistribusi kembali
dari otak ke jaringan melalui bersihan melalui hati, sedangkan efek dari obat
fentanyl durasi dan kerja dosis tunggal fentanyl yang cepat, mengakibatkan
distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti
jaringan lemakdan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi
obat dalam plasma.
Dilanjutkan dengan pemberian obat ondansentron sebanyak 4mg
sebagai antiemetic, obat ini melakukan reaksi dengan melakukan blok pada
reseptor 5HT3 yang akan menghambat serotonin sehingga membuat tidak
terjadinya mual dan muntah.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Ndraha S, Fabiani H, Tan TH, et al. Profil Kolelithiasis pada Hasil USG di
Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta: J.Kedokt Meditek.
2014.20(53):7-11.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W.Kholelithiasis. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. 2004. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.560-93.
3. Lesmana, L. Batu empedu. Dalam: Sudoyo A W, Setiyahadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi I. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2009.hal.721-
25.
4. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42. 3.
5. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J
Long Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
6. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009 8.
7. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
8. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Doagnosis & Treatment Surgery
13th edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies, p544-55.
9. Townsend DM. Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 18th edition. Pennsylvania : Elsevier. 2008.
10. Morgan and Mikhail. Clinical Anesthesiology. 5th ed. McGraw Hill:
USA.2013
11. Maher J.T. Anesthetic Agents: General and Local Anesthetics. Chapter 16.
12. Derek M. Steinbacher. Propofol: A Sedative-Hypnotic Anesthetic Agent
for Use in Ambulatory Procedures. Anesth Prog 48:66-71. 2001.
American Dental Society of Anesthesiology
45
13. Dachlan R, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
14.Stoelting RK, Miller, RD. Basics of Anesthesia, 5th Ed. Philadelphia:
Elsevier Health Sciences, 2007
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi
kedua. Jakarta: Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
16. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh.
Jakarta: EGC
17. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan
Jaya Cemerlang. 2010.p.24-36.
18. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and
pharmacology. Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.
19. Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3rd. Post operative
management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S
46