You are on page 1of 46

LAPORAN KASUS

PENGARUH ANESTESI UMUM PADA PASIEN CHOLELITHIASIS

Pembimbing :
Dr. Catur Pradono, Sp. An

Disusun Oleh
Laras Hanum Istiningtias 030.12.147
Nadyapitaloka Purbasari 030.13.135

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 30 APRIL 2018 – 1 JUNI 2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

Penyusun:
Laras Hanum Istiningtias 030.12.147

Nadyapitaloka Purbasari 030.13.135

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Catur Pradono, Sp.An

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik
Departemen Anestesi di RSUD Karawang periode 30 April – 1 Juni 2018

Jakarta, 23 Mei 2018

Pembimbing
dr. Catur Pradono, Sp.An
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus pasien pada kepaniteraan klinik bagian anestesi di
RSUD Karawang.
Tugas laporan kasus ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembimbing yang sudah
meluangkan waktunya dan ilmunya yaitu dr. Ucu Nurhadiat, Sp.An, dr. Ade Nurkacan,
Sp.An, dr. Catur Pradono, Sp.An dan juga kepada seluruh dokter lainnya yang turut
membantu dan membimbing penulis serta teman-teman coass kepaniteraan klinik di bagian
anestesi yang telah membantu dan men-support penulis. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan atas bantuannya selama ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat membantu menambah ilmu
pengetahuan dan pemahaman mengenai materi ini, serta salah satunya untuk memenuhi tugas
di kepaniteraan klinik bagian anestesi RSUD Karawang
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
diharapkan saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan penulisan ini. Demikian
yang penulis dapat sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan digunakan
sebagaimana mestinya.

Penulis

Laras Hanum Istiningtias & Nadyapitaloka Purbasari


DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 5
BAB II ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas Pasien…………………………………………………………
2.2 Anamnesis………………………………………………………………
2.3 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………
2.4 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………...
2.5 Diagnosis……………………………………………………………….
2.6 Kesimpulan…………………………………………………………….
2.7 Persiapan Pre-Operatif…………………………………………………
2.8 Intra Operatif…………………………………………………………..
2.9 Post Operatif……………………………………………………………
2.10 Follow Up…………………………………………………………….
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Cholelithiasis……………………………………………………………………………
3.1.1 Definisi Batu Empedu………………………………………
3.1.2 Etiologi Batu Empedu………………………………………
3.1.3 Epidemiologi Batu Empedu………………………………..
3.1.4 Anatomi Kandung Empedu…………………………………
3.1.5 Fisiologi Kandung Empedu…………………………………
3.1.6 Komposisi Cairan Empedu………………………………….
3.1.7 Patofisiologi Batu Empedu………………………………….
3.1.8 Klasifikasi Batu Empedu…………………………………….
3.1.9 Faktor Resiko Kandung Empedu…………………………….
3.1.10 Manifestasi Klinis Kandung Empedu………………………
3.1.11 Pemeriksaan Penunjang …………………………………….
3.2 Anemia
3.2.1 Definisi Anemia
3.2.2 Etiologi
3.2.3 Gejala Klinis
3.2.4 Tatalaksana Anemia
3.3 Anestesi Umum
BAB IV ANALISIS KASUS………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULAN

Penyakit batu empedu (kholelitiasis) merupakan salah satu penyakit gastrointestinal


sering terjadi, meliputi 10% sampai 20% dari populasi dunia.(1) Kholelitiasis adalah penyakit
batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di
dalam saluran empedu (koledokolitiasis), atau pada kedua-duanya. Kandung empedu
merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat yang terletak
tepat di bawah lobus kanan hati. Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan
memekatkan empedu. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin, yang terdiri dari kalsium bilirubinat, dan batu campuran.⁽²⁾
Penelitian di Jakarta pada tahun 2009, pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada
73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien (menurut divisi Hepatologi, Departemen
IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei 2009), wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena
pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor risiko batu
empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan pria tidak mungkin terkena.
Penderita diabetes mellitus (DM), baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi
batu empedu akibat kolesterol tinggi.⁽³⁾
Prevalensi penderita penyakit batu kandung empedu meningkat sehubungan
dengan usia dan dua kali lebih tinggi pada pada wanita di bandingkan pada pria.
Perbedaan gender ini karena faktor hormon esterogen yang meningkatkan sekresi
kolesterol empedu. Proses kehamilan meningkatkan resiko batu empedu karena
terjadinya gangguan pada proses pengosongan kandung empedu. Gangguan pada proses
ini disebabkan oleh penggabungan pengaruh antara hormon esterogen dan
hormon progesteron. Akibat penggabungan ini meningkatkan hipersekresi kolesterol ke
dalam empedu yang mempengaruhi pembentukan batu empedu.⁽³⁾
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. C
Usia : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 20/07/1969
Alamat : Dusun Kedung Asam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada 15/05/2018 pukul 06.00 WIB
Keluhan Utama: nyeri pada perut kanan atas sejak 2 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang : nyeri pada perut kanan atas dan menjalar ke punggung,
riwayat operasi (-) Hipertensi (+), DM (+), Asma (-),
Alergi (-) muntah (+)
Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (+), DM (+)
Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi (+), DM (+), Asma (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran: Compos mentis
Keadaan umum: Sakit sedang
Antropometri : BB 60kg
TB 165cm
TD : 170/90 mmHg SpO2 : 94%
HR : 93x/min RR : 20x/min
Suhu : 36,8˚C
ASA : II
Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Mulut : Oral hygiene baik
Leher : Dalam batas normal
Thoraks : Paru: SNV (+/+) Ronki (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung: BJ I & II Reg, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Nyeri tekan kuadran epigastrium, bising usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat (+) Oedem (-) Sianosis (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hari Kamis, Tanggal 20/04/2018
 Eritrosit : 4,08 (↑)
 Trombosit : 482 (↑)
 GDS : 123 (↑)
 Monosit : 10%
 MCHC : 32 g/dL (↓)

2.5 Diagnosis
- Diagnosis Pembedahan : Kholelithiasis
- Tindakan Pembedahan : Laparoskopi
- Kriteria ASA : ASA II dengan Hipertensi, DM, Globulin ↑, Ureum ↓, eritrosit
↓, trombositosis, monosit ↑

2.6 Pre-Operatif
 Diagnosis pre-operasi: Cholelithiasis
 Tindakan operasi: Laparoskopi
 Cek Informed Consent (+)
 Pasien dipuasakan selama 11 jam pre-operatif
 IV line terpasang pada tangan kanan dengan Sodium Chloride 0,9%
 Persiapan obat dan alat anestesi umum
o Menyiapkan meja operasi
o Menyiapkan mesin dan alat anestesi
o Menyiapkan nasal kanul, suction, stetoskop, NIBP, saturasi oksigen
o Menyiapkan obat-obatan (Premedikasi, Induksi, Maintanance, Emergency,
dan Relaxant)
 Keadaan umum
o Kesadaran : Compos mentis
o Kesan sakit : Sakit sedang
 Tanda vital:
Tekanan darah : 150/90 Nadi : 80x/menit
SpO2 : 99% RR : 22x/menit
Suhu : 36,5˚C

2.8 Intra Operatif


Tindakan anestesi
 Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi. Kemudian
diposisikan di meja operasi, dipakaikan topi operasi dan di pasang alat monitoring
 Penilaian pra induksi pada pukul 11.45 WIB. Kesadaran compos mentis, suhu
36,5˚C tekanan darah 145/90, SpO2 99%, Nadi 80x/menit, RR 22x/menit
 Pasien segera ditidurkan dengan diberikan Sedacum 3 mg, Propofol 100 mg,
Fentanyl 100 mcg. Setelah itu pasien dipasangkan nasal kanul

Keadaan Intra operasi


 Diagnosa Pre-Op : Cholelithiasis
 Jenis anestesi : Anestesi Umum
 Jenis operasi : Laparoskopi
 Lama pembiusan : 11.45 – 15.30 (3 jam 45 menit)
 Lama pembedahan : 11.55 – 15.20 (3 jam 10 meit)
 Induksi : Sedacum 3 mg, Propofol 100 mcg, Fentanyl 100 mg,
ondansetron 4 mg, ketolorac 3 mg, tramadol 25 mg
 Teknik dan alat khusus : NIBP, SpO2
 Posisi : Terlentang
 Cairan infus : Sodium Choride 0,9%, Asering
 Keadaan akhir bedah : TD : 120/70 Suhu : 35,8
Nadi : 80x/menit RR : 22x
SpO2 : 99%
2.9 Post Operatif
Operasi berakhir pada pukul 15.30 WIB tanggal 16/05/2018. Diagnosa post operasi
adalah. Adapun instruksi post operasi sebagai berikut:
 Rawat inap
 Observasi keadaan umum, tanda vital, nyeri
 Ceftriaxone 2x1 gr
Selesai operasi pasien dalam kondisi belum sadar lalu dipindahkan ke ruang
pemulihan, melanjutkan pemberian cairan dan di observasi tanda vital pernapasan,
tekanan darah serta nadi setiap 15 menit selama 1 jam pertama. Sesuai instruksi pasca
anestesi jika pasien mengeluh mual atau muntah diberikan ondansetron 4 mg IV. Lalu
pasien dipindahkan ke kamar rawat inap di Teluk Jambe

2.10 Follow Up
Pre-Operasi
Teluk Jambe 15/05/2018
S : Pasien mengeluh nyeri di epigastrium sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat alergi obat
dan makanan disangkal, Asma (-), Hipertensi (+), Riwayat operasi (-), riwayat penyakit
jantung dan paru (-) dan pasien puasa sejak jam 24.00
O : TD : 170/90 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 93x/menit Suhu : 36,8˚C
Sat O₂ : 94%
GDS : 123 (↑) Globulin : 3,92 (↑)
Ureum : 12,5 (↓) Eritrosit : 4,08 (↓)
Trombosit : 482 (↑) Monosit : 10 (↑)
A: ASA II dengan hipertensi, Hipertensi, DM, Trombositosis.
P: Acc operasi
Post-Operasi
Teluk Jambe 17/05/2018
S: Nyeri luka operasi (+), Mual (-), Muntah (-), Demam (-), Batuk (-)
O: TD : 130/80 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 86x/menit Suhu : 36,1
A: Cholelithiasis
P: Observasi tanda vital, Ceftriaxone 2x1 gr, Asering
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Anestesi umum
 Definisi
Anestesia adalah hilangnya sensasi dengan atau tanpa hilangnya kesadaran.
Anestesia umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy, 2011).
Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan hilangnya
kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat
relaksasi otot.(11)

 Stadium
Suatu keadaan anesthesia umum idealnya memiliki karakteristik dari hilangnya
seluruh sensasi termasuk analgesic dan pelumpuh otot. Adanya depresi neuronal pada
area yang spesifik di system saraf pusat bertanggung jawab terhadap keadaan
anesthesia umum tersebut. Guedel pada tahun 1920 membagi tahapan anesthesia
tersebut kedalam empat stadium
 Stadium I : Analgesia
Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit
untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai
tahap induksi
 Stadium II : Delirium
Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Selain itu proses penekanan saraf
inhibitor di formation retikularis menyebabkan esksitasi dari motor
neuronsehingga akan terjadi gerakan otot involunter seperti berkemih,
delirium, pergerakan otot yang tak terkontrol, meningkatnya denyut jantung,
tekanan darah dan respirasi.
 Stadium III : Pembedahan

Pada stadium ini dibagi menjadi 4 planes yaitu hilangnya reflex spinal,
menurunnya reflex otot skeletal, paralisis otot intercostalis, dan yang terakhir
hilangnya tonus otot. Pada stadium ini terjadi pernapasan teratur pada pasien.
 Stadium IV : Paralisis pernapasan
Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi. Secara normal, keadaan ini tidak dialami oleh
pasien karena seorang anestesiologis secara hati-hati memonitor pernapsan
abdominal pasien untuk mencegah terjadinya apneu, tekanan darah untuk
mencegah terjadinya hipotensi, dan denyut jantung untuk mencegah timbulnya
asistol. (12)

Gambar 1. Stadium
Anestesi

 Tahapan Tindakan Anestesi


Tahapan tindakan pemberian obat anestesi terdapat tiga bagian, yaitu :
 Induksi (induction)
Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat
dimulainya anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau
suatu fase dimana pasien melewati dari sadar menjadi tidak sadar. Idealnya
induksi harus berjalan dengan lembut dan cepat, ditandai dengan hilangnya
kesadaran. Keadaan ini dinilai dengan tidak adanya respon suara dan
hilangnya reflek bulu mata dan hemodinamik tetap stabil.
 Konduksi (maintenance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan
opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara
+ O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran
2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

 Pemulihan anestesi (emergence)


Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan meja operasi
dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat terjadi setiap
saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang
pemulihan. Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post
Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan
pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi sampai
dengan keadaan umum pasien stabil.
Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah
pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh
anestesia. 12 Risiko pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan masalah-
masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok :
1) Kelompok I Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan
gangguan hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas kendali
pasca anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini langsung
dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa menunggu
pemulihan di ruang pulih.
2) Kelompok II Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam
kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar
pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya dan kestabilan
kardiovascular.
3) Kelompok III Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan.
Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas
dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa
kembali pulang. (13)

 Sifat Anestesia
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan
baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak
bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung
mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi
di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan
cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.(11)

 Pembagian Obat Anestesia Umum


Obat anesthesia umum dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
 Inhalasi
Beberapa obat anestesi inhalasi yang masih digunakan sampai saat ini adalah
Nitro Oksida (N2O), halotan, isoflurane, desfluran, dan sevoflurane. Obat
halotan dan sevoflurane biasanya digunakan sebagai induksi pada pasien
anak.
Syarat suatu obat anestesi yang ideal adalah: tidak berbau, onset cepat, tidak
mudah larut dalam darah melainkan cepat dibawa ke otak, tidak mudah
terbakar/meledak, cepat dieliminasi dalam tubuh, dan tidak menyebabkan
efek depresi terhadap system kardiovaskular dan pernapasan.
 Intravena
Anestesi umum dapat diinduksi dengan menggunakan obat yang dimasukan
melalui oral, rektal, transdermal, transmukosal, intramuskukar, atau intravena.
Sedasi sebelum operasi pada pasien dewasa biasanya menggunakan obat yang
melalui intravena ataupun oral. Sedangkan untuk tahap induksi lebih sering
menggunakan obat yang dimasukan secara intravena. Obat obat intravena
yang sering digunakan untuk membuat keadaan hypnosis adalah seperti:
barbiturate, benzodiazepine, ketamine, etomidate, dan propofol.
 Kombinasi keduanya. (14)

 Deskripsi Obat
 Nitrogen Oksida
Sering disebut sebagai “laughing gas”. N2O poten digunakan sebagai
anesthesia inhalasi dan tidak cepat larut dalam darah.

 Isofluran
Isofluren diperkenalkan di Amerika pada tahun 1981 dan merupakan obat
anestesi inhalasi yang poten dengan ciri-ciri tidak mudah terbakar, larut dalam
darah. Efek kardiovaskular dari isofluren lebih rendah dibanding dengan
enfluren dan dapat digunakan secara aman bersamaan dengan epinefrin.
Isofluren memiliki aroma yang tajam sehingga dapat menyebabkan iritasi
saluran pernapasan yang memicu batuk dan spasme laring.

 Propofol
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor
GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan
saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida
transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel
postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol
dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan
laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu
meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh
GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.
Obat anesthesia yang sangat baik untuk induksi dan pemeliharan selama
operasi. Dosis yang diperlukan untuk mencapai keadaan hypnosis adalah 2-
2.5mg/kgBB dan onset waktu 30-60 detik serta durasi kerjanya adalah 5-10
menit. Durasi kerja dari propofol dapat diperpanjang dengan menambah
dosisnya. Efek samping dari obat ini adalah tekanan darah dan denyut jantung
menurun. Propofol berikatan secara kuat dengan protein plasma. Metabolisme
dari obat ini melaui hepar.

 Ketamine
Ketamin termasuk golongan hidroklorida. Durasi kerjanya adalah 10-25 menit.
Ketamine memiliki efek “emergence delirium” atau sering disebut
“dissociative amnesia”. Ketika pasien pulih dari anestesi, pasien akan
mengalami keadaan ilusi secara visual, auditorik dan kesadaran. Halusinasi
dan mimpi buruk juga biasa terjadi dalam 24 jam setelah diberikan ketamine.
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.

 Fentanyl
Fentanyl biasa digunakan sebagai induksi atau pemeliharaan. Dapat
memberikan efek sedasi. Efek samping dapat menyebabkan depresi
pernapasan, rigiditas muscular pada dosis tinggi dan mual muntah pasca
operasi. Namun obat ini tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.

 Rocoronium bromide
Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor
kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil kolin menempatinya,
sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja. Pemberian obat ini adalah
untuk Intubasi trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi
mekanik. Dosis yang diberikan adalah untuk intubasi rutin adalah 0,6 mg/kg.
Untuk induksi cepat dosis rocuronium 1,0 mg/kg, lakukan intubasi setelah 90
detik pemberian rocuronium. Dosis pemeliharaan disarankan 0,15 mg/kg,
untuk inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg. Awitan aksi : 45-90 detik,
efek puncak : 1-3 menit, lama aksi : 15-150 menit (tergantung dosis)

 Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman
genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina
dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Efedrin bekerja pada reseptor α
dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak
langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan
noradrenalin. Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi
akibat induksi dengan propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja
rokuronium. Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol. Pencampuran
efedrin dengan propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan
mencegah nyeri akibat suntikan propofol. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada
orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan
saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi
efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi. Lama kerja terhadap efek
tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral. Efek puncak
efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi.

 Sulfas atropine
Menghambat aksi asetilkolin pada bagian parasimpatik otot halus, kelenjar
sekresi dan SSP, meningkatkan cardiac output. Obat ini diindaksikan untuk
keadaan bradikardi selama masa operasi. Dosis pemberian secara intravena
adalah 300-600mcg. Efek samping anti muskarinik sering terjadi setelah
pemberian obat ini.(15)

H. Tahapan Tindakan Anastesi Umum


 Penilian dan Persiapan Pra Anastesi
Persiapan prabedah yang kurang merata merupakan factor terjadinya
kecelakaan dalam anatesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anastesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak
nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anastesi berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa penelitian sebelumnya menganjurkan obat yang kiranya menimbulakn
masalah dimasa lampau sebaiknya tidak digunakan kembali, misalnya halotan
sebaiknya tidak digunakan dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan
apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan
sejak 1-2 hari sebelum operasi.
Pemeriksaan gigi, tindakan buka mulut, ukuran lidah sangat penting untuk
diketahui apakah menyulitkan pada saat pemasangan laringoskop dalam tindakan
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan tindakan intubasi.
Pemeriksaan umum seperti inpeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara sistemik
tidak boleh dilupakan.
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah rutin dan urinalisis. Pasien yang usianya diatas 50 tahun dianjurkan untuk
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah
yang berasal dari The American Society of Anasthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik
ini bukan alat perkiraan resiko anastesi karena efek samping anastesi tidak bisa
dipisahkan dari efek samping pembedahan. Berikut klasifikasi ASA:
Kelas I : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatri, biokimia
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga akttivita rutin
terbatas. Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat
Kelas IV : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Kelas V : pasien yang sudah dinyatakan mengalami kematian batang otak dan
dilakukan pemebedahan untuk diambil organnya dalam proses donor

 Premedikasi
Tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah
induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun yang terpenting
adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat proses
pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Selain itu pemberian obat premedikasi
adalah untuk mengurangi kecemasan/ketakutan pasien terhadap proses operasi,
menenangkan pasien, dan memberi efek amnesia terhadap proses operasi tersebut.
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obatan
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer,
dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau kombinasi dari
beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi
itu sendiri.(17)

I. Tatalaksana Jalan Nafas

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:


 Hidung  Menuju nasofaring
 Mulut  Menuju orofaring. Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh
palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.
Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.

A. Manuver tripel jalan napas


Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas
atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring
lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal
airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas
pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas
spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea
lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar.(16)
Indikasi Intubasi Trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita
suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya. (18)

3.2 Cholelithiasis
3.2.1 Definisi Cholelithiasis
Penyakit batu empedu (kholelitiasis) merupakan salah satu penyakit
gastrointestinal sering terjadi, meliputi 10% sampai 20% dari populasi dunia.(1)
Kholelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis), atau pada kedua-duanya. Kandung empedu merupakan
kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat yang terletak
tepat di bawah lobus kanan hati. Fungsi utama kandung empedu adalah
menyimpan dan memekatkan empedu. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu
kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin, yang terdiri dari kalsium bilirubinat,
dan batu campuran.⁽²⁾

3.2.2 Etiologi Cholelithiasis


Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling tampaknya adalah gangguan
metabolism yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, statis empedu dan
infeksi kandung empedu.⁽³⁾
a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting
dalam pembentukan batu empedu karena hatipenderita batu empedu
kolestrol, mengekresi empedu yang sangat jenuh dengankolestrol.
Kolestrol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan

23
cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membebntu batu empedu.
Perubahan komposisi lainnya yaitu yang menyebabkan batu pigmen
adalah terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit
hemolysis yang berkaitan dengan batu empedu adalah sickle cell anemia,
hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia. Selain itu terdapat juga batu
campuran, batu ini merupakan campuran dari kolestrol dan kalsium
bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hamper sekitar 90% pada penderita
kholelithiasis.
b. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progesif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi,
atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon
kholesistokinin dan sekretin) dapat dikaitan dengan keterlambatan
penggosongan kandung empedu.
c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri
dapat berperan sebagai pusat presipitasi atau pengendapan. Infeksi lebih
timbul akibat terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.

3.2.3 Epidemiologi Cholelithiasis


Kholelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di
Amerika Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70%
dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu
dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu saluran empedu ini
nampak semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan
bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun dan
30% yang berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan adanya pembentukan
batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita dibandingkan
pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka
kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.⁽⁴⁻⁷⁾

24
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya
batu duktus sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya
merupakan kasus kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika
Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga
menderita kolesistitis akut. ⁽⁴⁻⁷⁾
Penelitian di Jakarta pada tahun 2009, pada 51 pasien didapatkan
batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien
(menurut divisi Hepatologi, Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei
2009), wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh
hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor
risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan
pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus (DM), baik wanita
maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat
kolesterol tinggi.⁽³⁾

3.2.4 Anatomi Kandung Empedu


a. Vesica Fellea
Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah
advokat yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang
sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup
seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu
tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian
infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartman.⁽⁴⁾
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus
berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar,
dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan
sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu

25
dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk ductus
koledokus.⁽⁴⁾

Gambar 1. Anatomi Kandung Empedu


b. Duktus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm.
Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut
katup spiral Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk
kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum
hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan
batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu
intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut
kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu
melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke
duktus hepatikus di hilus.⁽⁴⁾
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing
antara 1-4 cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat

26
bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus. Duktus
koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan
pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang
terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya
dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara
ditempat yang sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater,
tetapi dapat juga terpisah.⁽⁴⁾

c. Pendarahan
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang
a.hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung ke dalam
vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena-vena juga
berjalan antara hati dan kandung empedu.⁽⁴⁾

d. Pembuluh Limfe dan persarafan


Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica
menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung
empedu berasal dari plexus coeliacus.⁽⁴⁾

3.2.5 Fisiologi Kandung Empedu


a. Komposisi Cairan Empedu
Asam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen
terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan
garam anorganik.
1. Asam empedu
Pada manusia, asam empedu (garam empedu) yang paling penting adalah
asam cholat, asam chenodeoksikolat, dan asam deoksikolat. Asam empedu

27
disintesis di dalam hati yang disebut “primer” asam empedu dan yang
dibuat oleh bakteri yang disebut “sekunder” asam empedu. Asam empedu
dibentuk dari bahan dasar, yaitu kolesterol. Di dalam hati, pembentukan
primer asam empedu berasal dari kolesterol yang dibentuk melalui 2 jalur,
yaitu classic pathway dan accidic pathway. Pada classic pathway,
kolesterol dikonversi (penambahan gugus OH) menjadi 7α-
hydroxycholesterol dengan bantuan enzim 7α -hydroxylase. Selanjutnya,
7α-hydroxycholesterol dengan bantuan enzim sterol 12α-hydroxylase
dikonversi (penambahan gugus H dan CoA) menjadi cholyl-CoA (asam
kolat). Pada accidic pathway, kolesterol dengan bantuan enzim sterol 27-
hydroxylase dan oxysterol 7 α-hydroxylase dikonversi menjadi
chenodeoxycholyl-CoA (asam chenodeosikolat). Selain melalui accidic
pathway, pembentukan asam chenodeoksikolat juga bisa berasal dari 7-
hydroxycholesterol melalui beberapa tahap konversi. Di
usus, pembentukan sekunder asam empedu berasal dari asam
chenodeoksikolat dengan bantuan dari bakteri flora normal usus. Asam
chenodeoksikolat memiliki dua gugus hidroksil pada posisi 3α dan 7α.
Gugus hidroksil pada posisi 7α dihapus oleh bakteri usus dan dengan
bantuan enzim dehidroksilase diubah menjadi asam litokolat, dimana asam
empedu ini hanya memiliki gugus 3-α-hidroksil. Asam litokolat ini
kemudian dikonversi menjadi asam deoksikolat dengan penambahan
gugus hidroksil di posisi 12α. Dengan cara penghapusan gugus 7α-
hidroksil pada asam chenodeoksikolat oleh bakteri usus inilah akan
dihasilkan semakin banyak asam deoksikolat, dimana sebagai salah satu
jenis asam empedu untuk komponen cairan empedu.

28
Gambar 2. Biosintesis Asam Empedu

Sebagian besar (90%) asam empedu dalam lumen usus akan


diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi asan empedu tersebut
terjadi di segmen distal dari ilium sehingga bila ada gangguan pada
daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
asam empedu akan terganggu. Fungsi asam empedu adalah :
 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam
makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi
partikel- partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin
yang larut dalam lemak.
2. Lesitin

29
Lesitin merupakan suatu senyawa yang dikategorikan sebagai lipid.
Sebenarnya di dalam lesitin tidak hanya terkandung senyawa
fosfatidilkolin, tetapi juga ada senyawa-senyawa yang lain masih
dalam golongan lipid, namun fosfatidil kolin merupakan kandungan
utama dari lesitin. Lesitin memainkan peranan yang cukup signifikan
sebagai agen aktif permukaan dalam proses emulsi. Lesitin ini
diperoleh tubuh melalui makanan terutama yang berasal dari keledai
dan kuning telur.
3. Kolestrol
Kolesterol adalah suatu zat lemak yang terdapat pada seluruh produk
binatang, contohnya seperti daging, produk susu, dan telur. Kolesterol
sangat dibutuhkan bagi tubuh dan salah satunya digunakan untuk
membentuk cairan empedu yang diperlukan dalam mencerna lemak.
Kolesterol dibagi menjadi kolesterol eksogen dan endogen. Kolesterol
eksogen merupakan kolesterol yang diabsorbsi dari makanan di
dalam saluran pencernaan, sedangkan kolesterol endogen dibentuk
oleh sel tubuh. Sebagian besar kolesterol berasal dari kolesterol
endogen. Pada dasarnya, semua kolesterol endogen yang beredar
dalam lipoprotein plasma dibentuk oleh hati, tetapi semua sel tubuh
lain setidaknya membentuk sedikit kolesterol, yang sesuai dengan
kenyataan bahwa banyak struktur membran dari seluruh sel sebagian
disusun dari zat yang berstruktur dasar inti sterol. Sintesis kolesterol
endogen terdiri dari lima tahapan utama, yaitu :
1. Mengubah Asetil CoA menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA (HMG-
Coa)
2.Mengubah HMG-CoA menjadi mevalonate
3.Mevalonate diubah menjadi molekul dasar isoprene, isopentenyl
pyrpphospate (IPP) bersamaan dengan hilangnya CO2
4. IPP diubah menjadi squalene
5. Squalene diubah menjadi kolestero

30
Gambar 3. Biosintesis Kolestrol

4. Bilirubin
Bilirubin Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan
katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme
bilirubin meliputi pembentukan, transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi
bilirubin.
- Fase Pre-hepatik
1. Pembentukan bilirubin. Bilirubin berasal dari katabolisme protein
heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25%
berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme
lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Pembentukannya berlangsung di system retikoloendotelial. Langkah
oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan

31
bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin yang larut dalam air
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut.
2. Transport plasma Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan
diangkut ke hati melalui plasma, harus berikatan dengan albumin
plasma terlebih dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.

- Fase Intra-Hepatik
3. Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan
sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit melalui
ssistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk pengambilan
albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan
dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut sebelum dikonjugasi.

4. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak
terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang
dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim
uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T)
membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke
dalam kanalikulus empedu.

- Fase Post-Hepatik
5. Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai
oleh protein membran kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance
associated protein-2 (MRP-2).

32
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung
empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu bilirubin
terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida dikeluarkan
oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan bilirubin kemudian
direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna
yang disebut urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil
urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk
siklus urobilinogen enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen yang tak
berwarna dan dibentuk di kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi
urobilin (senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja.

Gambar 4. Metabolisme Bilirubin

a. Sekresi empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran

33
ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum. Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak


karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pancreas. Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-
sel hati.

b. Penyimpanan dan Pemekatan Empedu


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari.
Empedu yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam
kandung empedu sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung
empedu hanya 30-60 ml. Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam
(biasanya sekitar 450 ml) dapat disimpan dalam kandung empedu karena air,
natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terus menerus
diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan zat-zat empedu lainnya,
termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorpsi
ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan
keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat
terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan
cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat.

34
c. Pengosongan Kantung Empedu
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu
dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal
duktus koledokus dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Proses
koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Hormonal
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon
ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu
2. Neurogen
 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Secara normal
pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung selama
sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan
neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam
perkembangan inti batu.

3.2.6 Patofisiologi Batu Empedu


Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
(1) Pembentukan empedu yang supersaturasi
(2) Nukleasi atau pembentukan inti batu

35
(3) Berkembang karena bertambahnya pengendapan.

Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam


pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin)
dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu.
Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air.
Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari
garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar
asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang
litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol
keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.
Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel
sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai
benih pengkristalan.

3.2.7 Klasifikasi Batu Empedu


Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu
empedu digolongkankan atas 3 golongan :
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol). Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan
prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan
permukaannya halus. Empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol
bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian
besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling
sedikit 75 % kolesterol

36
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu,
senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah
relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan
kolesterol.
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap :
 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
 Pembentukan nidus.
 Kristalisasi/presipitasi.
 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol
dan senyawa lain yang membentuk matriks batu.

2.Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang mengandung
< 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen
cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.
Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur,
operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu,
khususnya E. Coli, kadar enzim B glukoronidase yang berasal dari bakteri
akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi
bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi

37
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraks. Batu pigmen hitam adalah
tipe batu yang banyak ditemukan pada penderita dengan hemolisis kronik
atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivate
polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.
Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril.

c. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung
kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar
dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu
kolesterol.

Gambar 5. Klasifikasi Batu Empedu

38
3.2.8 Faktor Resiko Batu Empedu
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan usia yang lebih muda dikarenakan tubuh
cenderung mengeluarkan lebih banyak kolesterol kedalam cairan tubuh.

c. Berat Badan Index (BMI)


Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
terjadi kholelithiasis dikarenakan mereka lebih banyak mengeluarkan
kolesterol ke dalam empedu. Sebab mereka lebih banyak mencerna dan
mensitesis kolesterol.

d. Makanan
Intake rendah klorida dan kehilangan berat badan yang cepat (seperti
setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.

39
e. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kholelithiasis mempunyai resiko lebih
besar disbanding dengan tanpa riwayat keluarga. Dimana ABCG8 D19H
genotipe heterozigot atau homozigot telah meningkatan risiko terjadinya
batu empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan
penyerapan kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan
sintesis kolesterol di hati tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi
insulin.

f. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya kholelithiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi.

g. Penyakit Usus Halus


Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kholelithiasis adalah Crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi Intravena Jangka Lama


Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi karena tidak ada makanan atau nutrisi yang
melewati intestinal sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

40
3.2.9 Manifestasi Klinis Batu Empedu
1. Asimptomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimptomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kholesistitis, nyeri
billier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan
penyakit sampai 50% dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya. Kurang dari 25% dari pasien yang benar-benar
mempunyai batu empedu asimptomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kholesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu
empedu asimptomatik.⁽⁸⁻⁹⁾
2. Simptomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik billier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan. ⁽⁸⁻⁹⁾

3.2.10 Pemeriksaan Fisik


a. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu,empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekandengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.⁽²⁾

41
b. Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.⁽²⁾

3.1.11 Pemeriksaan laboratorium


Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium.Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi lekositosis. Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amylase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut(

42
BAB IV
ANALISIS

Seorang pasien perempuan yang berusia 48 tahun dengan berat badan 60


kg datang ke RSUD Karawang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 2
minggu SMRS. Nyeri menjalar kepunggung dan semakin berat, tidak terdapat
demam, pasien memiliki tekanan darah tinggi dan diabetes melitus, pasien tidak
memiliki riwayat operasi sebelumnya. Diagnosis pasien ini adalah kholelithiasis
dan direncanakan tindakan laparoskopi pada tanggal 15 mei 2018
Saat dilakukan pemeriksaan preoperatif didapatkan tanda vital tekanan
darah 145/90, nadi 93x/menit , suhu 36,8 c dan respirasi rate 20x/menit. Status
generalis didapatkan murphy sign (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
eritrositosis dengan nilai eritrosit 4,8juta/ul, trombositosis dengan nilai trombosit
482.000/ul, GDS meningkat dengan nilai GDS 123mg/dl, monositosis dengan
nilai monosit 10%, MCHC menurun dengan nilai MCHC 32g/dl. Pada
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pasien ini
adalah USG.
Pada pasien ini dapat disimpulkan bahwa pasien termasuk dalam ASA II
yaitu keadaan pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang yang tidak
mengganggu aktivitas. Pada pasien juga didapatkan kelainan berupa hipertensi,
DM, eritrositosis, trombositosis, monositosis. Hal tersebut dikarenakan
didapatkan kelainan berupa nyeri perut kanan atas yang merupakan manifestasi
dari batu empedu serta pada pasien juga didapatkan kelainan berupa hipertensi,
DM, eritrositosis, trombositosis, monositosis.
Pembiusan pada pasien ini dilakukan dengan menggunakan anestesi
umum dan diberikan Sedacum 3 mg, Propofol 100 mcg, Fentanyl 100 mg,
ondansetron 4 mg, ketolorac 30 mg, tramadol 100 mg.
Propofol memiliki kelarutan yang tinggi dalam lemak, sehingga onset
kerjanya cepat. Metabolisme propofol terdiri dari hepatik dan ekstra hepatik.
Propofol dimetabolisme dengan cepat di hati Clearance propofol dari dalam
plasma melalui hepatic blood flow. Citocrome P-450 berperan penting dalam

43
mengeluarkan propofol dari plasma. Propofol akan dikonjugasi menjadi
glucuronide dan sulfat sehingga menjadi larut dalam air dan kemudian
diekskresikan melalui ginjal (metabolit inaktif).
Midazolam dapat dengan cepat diabsorbsi dari saluran cerna dan cepat
melalui sawar darah otak. Durasi kerja yang singkat dari pemberian tunggal
dikarenakan kelarutan yang tinggi terhadap lemak, cepat berdistribusi kembali
dari otak ke jaringan melalui bersihan melalui hati, sedangkan efek dari obat
fentanyl durasi dan kerja dosis tunggal fentanyl yang cepat, mengakibatkan
distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti
jaringan lemakdan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi
obat dalam plasma.
Dilanjutkan dengan pemberian obat ondansentron sebanyak 4mg
sebagai antiemetic, obat ini melakukan reaksi dengan melakukan blok pada
reseptor 5HT3 yang akan menghambat serotonin sehingga membuat tidak
terjadinya mual dan muntah.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Ndraha S, Fabiani H, Tan TH, et al. Profil Kolelithiasis pada Hasil USG di
Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta: J.Kedokt Meditek.
2014.20(53):7-11.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W.Kholelithiasis. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. 2004. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.560-93.
3. Lesmana, L. Batu empedu. Dalam: Sudoyo A W, Setiyahadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi I. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2009.hal.721-
25.
4. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42. 3.
5. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J
Long Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
6. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009 8.
7. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
8. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Doagnosis & Treatment Surgery
13th edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies, p544-55.
9. Townsend DM. Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 18th edition. Pennsylvania : Elsevier. 2008.
10. Morgan and Mikhail. Clinical Anesthesiology. 5th ed. McGraw Hill:
USA.2013
11. Maher J.T. Anesthetic Agents: General and Local Anesthetics. Chapter 16.
12. Derek M. Steinbacher. Propofol: A Sedative-Hypnotic Anesthetic Agent
for Use in Ambulatory Procedures. Anesth Prog 48:66-71. 2001.
American Dental Society of Anesthesiology

45
13. Dachlan R, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
14.Stoelting RK, Miller, RD. Basics of Anesthesia, 5th Ed. Philadelphia:
Elsevier Health Sciences, 2007
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi
kedua. Jakarta: Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
16. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh.
Jakarta: EGC
17. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan
Jaya Cemerlang. 2010.p.24-36.
18. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and
pharmacology. Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.
19. Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3rd. Post operative
management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S

46

You might also like