You are on page 1of 8

Neoliberalisme dan Perang Musuh Perempuan Sedunia

Persoalan mendesak kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, adalah kemiskinan
(neoliberalisme) dan perang terhadap terorisme (militerisme)—yang jalin menjalin dengan
bertahannya sisa-sisa feodalisme demi keberlangsungan kapitalisme. Capaian positif
gerakan perempuan gelombang kedua, yang seharusnya semakin sulit ditarik mundur oleh
pemerintah neoliberal, seperti hak formal untuk upah dan kesempatan bekerja yang sama;
serta kebebasan dari diskriminasi, seakan mati langkah dihadapan neoliberalisme. Sejak
Program Penyesuaian Struktural (SAP) diterapkan, hak-hak kaum perempuan yang sudah
dimenangkan sebelumnya dipreteli. Pemotongan besar-besaran jaminan sosial—pendidikan
dan tunjangan kesehatan—di negeri-negeri maju, menghancurkan kaum perempuan. Lewat
pembenaran hukum-hukum ideologi patriarki, persoalan ekonomi yang menindas kaum
perempuan, seperti mendorong perempuan pada peranan ‘istri yang baik/patuh’ dan
buruh yang murah. Ketiadaan akses terhadap kesehatan (khususnya reproduksi) ini
membuat setiap tahun tingkat produktivitas kaum perempuan di seluruh dunia berkurang
20%.

Neoliberalisme Menghancurkan Tenaga Produktif Kaum Muda dan Perempuan i

Seharusnya, hampir 3 milyar jiwa tenaga produktif kaum muda yang berusia di bawah 25
tahun—jumlah yang terbesar dalam sejarah—dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan
umat manusia dan kaum perempuan pada khususnya. Namun, 85% kaum muda tersebut,
hidup di negeri-negeri miskin—bahkan negeri termiskin memiliki persentase kaum muda
paling tinggi. Dari jumlah itu, 100 juta kaum muda perempuannya dalam 10 tahun
kedepan akan menikah sebelum usia 18 tahun. Sehingga, setiap tahun, 14 juta remaja
perempuan melahirkan yang akan berkonsekuensi meninggal terkait komplikasi kehamilan
meningkat 2 hingga 5 kali dibanding perempuan berusia duapuluhan. Inilah kenyataan
jahat yang dihadapi tenaga produktif perempuan di masa depan dalam neoliberalisme.

Ada 3 milyar orang, 500 juta diantaranya kaum muda, yang hidup kurang dari $2 perhari
(lebih dari 40%) dan menerima hanya 5% saja dari total pendapatan dunia. Ada 600 juta
kaum perempuan diseluruh dunia saat ini dalam keadaan buta huruf. Setiap tahun tak
kurang dari 800.000 orang diperdagangkan (seksual) keluar negeri untuk dieksploitasi, dan
80% nya adalah kaum muda perempuan.

Dihadapan kenyataan-kenyataan diatas, serta 500.000 kaum perempuan yang mati


melahirkan setiap tahunnya, dan 8 juta lebih kaum perempuan yang menderita sakit
jangka panjang akibat komplikasi kehamilan, salah satu butir Milenium Development Goals
(MDG’s) yang ‘menjamin’ kesetaraan dan pemberdayaan kaum perempuan oleh Bank Dunia
dan IMF adalah omong kosong. Setiap tahun 76 juta kehamilan yang tak dikehendaki
terjadi di negeri berkembang saja. 19 juta diantaranya melakukan aborsi illegal Bahkan,
penyebab utama sakit dan kematian pada perempuan yang berusia 15-44 tahun adalah
kondisi kesehatan reproduksinya. Kejamnya lagi, meski hampir pasti dapat dicegah, 99%
dari kematian (ibu) tersebut terjadi di negeri berkembang dan miskin.

Negeri-negeri miskin adalah negeri-negeri dimana ketidakadilan terhadap perempuan


terjadi paling tinggi dan akses terhadap kesehatan dan hak reproduksi paling rendah.
Kehancuran tenaga produktif negeri-negeri miskin akibat neoliberalisme berdampak lebih
besar terhadap 1,7 milyar kaum perempuan berusia antara 15-49 tahun yang merupakan
mayoritas tenaga kerja produktif di negeri miskin.

__________ 1
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
Neoliberalisme Mempreteli Hak-hak Perempuanii

Meskipun semakin banyak kaum perempuan yang memasuki dunia kerja, berbagai bentuk
diskriminsi serta keterbatasan pilihan pekerjaan dan upah yang lebih rendah masih
menjadi persoalan hingga kini. Dalam beberapa kasus, memang, buruh perempuan
memperoleh kemajuan dengan mendapatkan akses pekerjaan yang berupah tinggi, namun
itu tak sebanding dengan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh semakin mendalamnya
jurang antar-kelas.

Di Amerika Serikat, kemuduran gerakan perempuan juga terkait dengan penguatan politik
kanan (konservatif), dan semakin kentara ketika Bush terpilih kembali—mungkin secara
umum bisa disamakan dengan terpilih kembalinya Blair (Inggris) dan Howard (Australia).
Dalam Konvensi Southern Baptist bulan Juni tahun lalu, Bush menegaskan bahwa ia akan
berjuang sekuat tenaga tenaga untuk melarang perkawinan gay dan aborsi.

Menurut Bank Dunia di negeri-negeri maju, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap
dollar yang diperoleh laki-laki, dan di negeri berkembang 73 sen saja. Laki-laki di dalam
pemerintahan Bush menerima $76,624 setahun, sedangkan perempuan rata-rata hanya
$59,917. Gap upah ini terus terjadi diseluruh AS hingga kini. 1.3 juta pekerjaan musnah
sejak resesi ekonomi Maret 2001. Kaum buruh perempuan kehilangan lebih dari 300.000
pekerjaan antara awal Maret 2001 dan Maret 2004.

Di Mexico, migrasi kaum laki-laki akibat tekanan ekonomi membuat kaum perempuan
harus bekerja di ladang sekaligus menjaga anak. Dalam satu abad terakhir, kepala rumah
tangga perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, bertambah dua kali lipat
jumlahnya. Kekerasan rumah tangga dialami oleh 14 perempuan setiap hari, namun hukum
di 8 negara bagian tidak menganggap kekerasan rumah tangga sebagai kejahatan.
Pembunuhan dan pemerkosaan terhadap perempuan muda yang bekerja di pabrik-pabrik
di perbatasan, hanya dianggap sebagai ‘resiko’ demi investasi asing di pabrik-pabrik lepas
pantai yang menyangga perekonomian lokal.

Di Argentina, setiap lima menit seorang remaja perempuan menjadi ibu, sementara
pemerintah melarang aborsi yang memarakkan aborsi illegal sebagai penyebab utama
kematian ibu. Pertumbuhan ekonomi 8,8% dan surplus fiskal sebesar $20 milyar di tahun
2005 tidak menguntungkan kaum perempuan. Setengah penduduk mendapatkan kurang
dari 400 peso ($130,5) sebulan. Dari 18 juta rakyat miskin di Argentina, kaum perempuan
adalah yang termiskin—6 dari 10 perempuan, dengan total 16,6%, hidup miskin dengan
rata-rata pendapatan 221 peso perbulan yang hanya memenuhi 58% dari total kebutuhan
keluarga. Gap upah antara laki-laki dan perempuan mencapai 34% hingga 45,9% di bidang
akademik. Ditambah dengan inflasi, sebetulnya, upah kaum perempuan hilang 32,4% dari
hasil kerja mereka. Memang, sebagian besar program-program sosial ditujukan pada
perempuan, namun pada kenyataannya, 63% nya dikuasi laki-laki. Untuk menerima
Program Keluarga, yang dirancang untuk 230.000 ibu yang memiliki lebih dari 3 anak
kekurangan gizi, memaksa kaum ibu tinggal di rumah dan selalu bersiaga bila tiba-tiba ada
pemantauan dari pengawas pemerintah. Mayoritas organisasi perempuan setuju bahwa ini
adalah bentuk penghancuran militansi kaum perempuan sebagai pejuang di jalan-jalan dan
dapur-dapur umum warga menjadi ibu dibawah kontrol pemerintah dengan 200 peso
perbulan.

Perang melawan Teror, Menteror Perempuaniii

__________ 2
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
Perang terhadap terorisme oleh AS menambah kesengsaraan kaum Perempuan di Iraq dan
Afganistan. Sejak pendudukan Amerika dan pergantian rezim, lebih dari 50% kaum
perempuan di Irak kehilangan lebih banyak kebebasan daripada yang sebelumnya sudah
mereka peroleh; pemerkosaan dan kekerasan adalah ancaman sehari-hari. Serupa dengan
kaum perempuan di Afganishtan, perdagangan perempuan meningkat tajam; seperti
halnya juga pemerkosaan, perkawinan paksa, penggunaan obat bius, dan kekerasan. Satu
pertiga perempuan yang tinggal di Kabul tidak dibolehkan keluar dari rumah, tak punya
hak waris, hampir tak mungkin melakukan perceraian, dan sedang berjuang untuk
memperoleh kembali hak kesehatan dan mata pencaharian.

Penghancuran infrastruktur dan peningkatan kekerasan oleh tentara pendudukan AS,


kebangkitan ekstrimis-ekstrimis relijius menjadi ancaman baru bagi kaum perempuan.
Jaringan Women Living Under Muslim Laws (WLUML) menunjukkan ada pola yang sedang
terjadi di Irak dan dalam konteks yang sama mungkin terjadi di Afganistan: kekerasan
terhadap kaum perempuan sebagai sebuah bentuk imtimidasi politik adalah salah satu
strategi kekuatan ekstrim kanan yang sistematis untuk menerapkan hukum dan negara
Islam.

Perang terhadap teror tidak pernah terbukti menghancurkan fundamentalisme—yang


menjadi salah satu penghambat pembebasan perempuan—yang selama ini dijadikan AS
sebagai pembenaran. Yang terjadi sebenarnya hanyalah pergantian rezim fundamentalis
anti AS dengan rezim fundamentalis yang pro-AS. Kebangkitan fundamentalisme selain
oleh karena perang melawan terorisme juga merupakan suatu bentuk ketidakmampuan
gerakan memunculkan alternatif dari tatanan neoliberalisme saat ini. Hal yang disebutkan
oleh Nawal El Saadawi sebagai “situasi kebingungan, tidak menentu dan tidak aman,
banyak orang mencari pemecahan dan kenyamanan di dalam agama. Muncullah apa yang
disebut sebagai kebangkitan agama. Padahal, agama hampir selalu digunakan untuk
tujuan-tujuan politik. Situasi ini dapat menjelaskan tumbuhnya kekuatan
fundamentalisme. Yang berkuasa di India saat ini adalah kelompok fundamentalis Hindu;
di AS, kelompok neokonservatif, kapitalis neoliberal dan fundamentalis; di negara-negara
Asia dan Arab, gerakan Islam fundamentalis tumbuh; di Israel, kelompok fundamentalis
berkoalisi dengan pemerintah”.

Perempuan di Negara Imperialisiv

Kemapanan yang menjadi ciri khas organisasi-organisasi perempuan internasional saat ini
adalah kelanjutan dari mandegnya feminisme gelombang kedua. Gelombang pertama dan
kedua sama-sama bermuara pada eksistensi feminis pada perempuan klas menengah.
Bahkan, di era 80an pimpinan2 gerakan perempuan di dunia maju kerap disuap dengan
kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah, dunia akademik atau
parlementarianisme. Hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan gerakan perempuan
di negeri-negeri maju, selain erat pula kaitannya dengan kemunduran gerakan (kiri) secara
keseluruhan akibat ketidakmampuan melahirkan alternatif dari kapitalisme. Barbara
Epstein dalam Apa yang Telah Terjadi dalam Gerakan Perempuan?v menggambarkan
banyak capaian gerakan perempuan di negeri-negeri induk imperialis. Namun,
keberhasilan tersebut belum membawa kesetaraan jender sesungguhnya.

Mayoritas organisasi perempuan di negara imperialis masih percaya penyelesaian persoalan


perempuan di bawah syarat-syarat kapitalisme. Padahal persolan yg dihadapi saat ini terus
berputar-putar disekitar; bekerja diluar rumah dengan upah lebih rendah—sehingga
menjadi lebih miskin dari pada laki-laki; tanggung jawab memelihara anak tetap lebih
banyak pada perempuan; dan yang paling gawat, tak ada lagi gerakan massa perempuan.

__________ 3
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
Padahal, tak terhitung jumlah proyek-proyek kaum feminis yang terorganisir, yang
memfokuskan diri pada persoalan-persoalan kekerasan dalam rumah tangga (domosetik),
hak-hak reproduksi dan kesehatan kaum perempuan. Terdapat jaringan (internasional)
kaum perempuan, yang melanjutkan usaha-usaha yang telah dimulai pada pertemuan
kaum perempuan internasional di Beijing pada tahun 1995. Para penulis feminis muda
mempublikasikan buku-buku nya, yang dipersembahkan bagi, atau berbicara pada,
generasi mereka. Namun, feminisme lebih menjadi suatu gagasan ketimbang mejadi
sebuah gerakan, dan itu lah yang menyebabkan nya sering kekuarangan kualitas visi yang
penah dimiliki nya.

Memang, secara umum keterlibatan kaum perempuan didalam aksi-aksi anti perang dan
isu-isu anti kapitalisme dan imperialisme meningkat, seperti bentuk-bentuk aksi yang
dilakukan jaringan World Women March melawan Kekerasan dan Kemiskinan. Tapi belum
terlihat signifikansinya terhadap kemunculan dan pembesaran gerakan perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam isu-isu tersebut bersifat empirik, artinya dukungan/
keterlibatan meningkat setelah mereka merasakan serangan imperialisme dan perang
berdampak langsung pada penurunan hak-hak kesejahteraan mereka. Kondisi ini juga
terkait dengan bertahannya sosial demokrasi yang mengkanalisasi perlawanan rakyat dan
perempuan pada instrumen-instrumen negara borjuis. Diluar kehebohan yang ditampilkan
organisasi-organisasi perempuan di barat, sedikit sekali dari mereka yang memimpin dalam
partai-partai politik progressif.

Perempuan di Negara Miskinvi

Dampak neoliberalisme memupuk perlawanan kaum perempuan di negeri dunia ketiga


bersama-sama dengan sektor masyarakat lainnya. Dalam sejarahnya, radikalisme gerakan
perempuan menyatu dengan gerakan pembebasan nasional dan penggulingan kediktatoran,
seperti di negeri-negeri di Amerika Latin—Nicaragua dan El Savador, Nepal, Philipina
dengan Gabriella, serta Palestina. Di Amerika Latin, setelah kemenangan hak pilih di awal
1930an hingga akhir 1950an, radikalisme dan militansi kaum perempuan berlanjut untuk
perjuangan demokrasi di era 70-80an. Setelah liberalisasi politik, tampak gerakan
perempuan yang berperan sangat besar dalam perubahan politik Amerika Latin hampir-
hampir berhenti pada parlementarianisme, kecuali gerakan massa perempuan yang
menjadi bagian dari dan bertujuan untuk perjuangan menuju sosialisme. Namun, tak
seperti di negara induk kapitalis, situasi itu tidak kemudian mematikan gerakan massa
perempuan. Perubahan politik yang meluaskan semangat anti imperialisme di Amerika
Latin dibawah pimpinan Chavez dan Castro serta Morales, memberi ‘angin segar’ gerakan
perempuan di Amerika Latin.

Salah satu yang berhasil mempertahankan ciri gerakan massa perempuan yang politis, anti
globalisme neoliberal dan tidak sektarian adalah organisasi payung perempuan Gabriella di
Philipina. Perwakilan Gabriella di parlemen Philipina terus melanjutkan tradisi politik
revolusioner Gabriella dengan terus terlibat aktif dalam gerakan anti imperialisme dan
aksi-aksi anti Arroyo baru-baru ini.

Lain dengan Brazil, dimasa kediktatoran, politisasi kaum perempuan di Brazil begitu
cepat. Organisasi perempuan yang pada awalnya hanya membagikan susu pada ibu-ibu
miskin berkembang menjadi gerakan anti kediktatoran yang meluas. Namun angka-angka
yang mencerminkan kemajuan (politisasi) perempuan tersebut, seperti peningkatan 5 kali
lipat kaum perempuan yang masuk Universitas hingga setara dengan jumlah laki-lakinya di
akhir 80an; peningkatan 18, 5% populasi perempuan yang aktif secara ekonomi antara
tahun 1970-1980, masih didominasi oleh perempuan klas menengah dan berkulit putih.
Pada pertengahan 2003, Konfederasi Nasional Kaum Pekerja Pertanian (National

__________ 4
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
Confederation of Agricultural Workers-CONTAG) dan organisasi-organisasi lainnya
mengorganisir 30.000 kaum perempuan Brazil untuk menuntut akses terhadap tanah dan
air, pelayanan kesehatan, kenaikan upah, dan peraturan untuk mencegah kekerasan
seksual.

Di Chile presiden kiri tengah Michelle Bachelet menunjuk 10 perempuan dan 10 laki-laki
dalam kabinetnya, juga Menteri Pertahanan dan staf serta menteri ekonominya. Namun
semua itu belum tentu berarti bagi perjuangan pembebasan perempuan, karena Bachelet
dari awal tak tegas menolak neolibealisme.

Di Bolivia, Presiden Evo Morales, membentuk kabinet yang sebagian besar berasal dari
masyarakat adat, serikat pekerja dan kaum perempuan—sektor-sektor yang paling parah
menjadi sasaran neoliberalisme. Nila Heredia, seorang Professor Universitas dan juga
pejuang pembela hak sipil dipilih sebagai Menteri Kesehatan, dan Casimira Rodriguez
seorang antropologis dan aktivis perempuan menjadi Menteri Kehakiman/Peradilan

Setelah Kuba, Venezuela adalah negeri berikutnya yang sedang berjuang memberikan
basis bagi pembebasan perempuan melalui Revolusi Bolivarian yang demokratik dan anti
imperialisme. Konsitusi Republik Kelima Venezuela yang terkenal sebagai konstitusi paling
baik melebihi Magna Charta, menjamin hak-hak perempuan secara khusus. Bahkan
konstitusi diputuskan melalui referendum setelah sebelumnya kaum perempuan melalui
Front Perempuan Konstitusional Pergerakan Republik Kelima (FCMMVR) mengorganisir
aktivis-aktivis feminis, mantan-mantan pejuang gerilya perempuan, ibu-ibu rumah tangga,
para profesional, dan anggota-anggota organisasi perempuan seperti Women for
Venezuela dan United Women Leaders untuk mendata persoalan perempuan yang harus
dijawab oleh Konstitusi. Hasilnya, konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa perempuan
berhak atas kewarganegaraan penuh, berhak bersuara atas diskriminasi, pelecehan seksual
dan kekerasan rumah tangga. Tak cukup sampai disitu, Konstitusi Venezuela adalah satu-
satunya konstitusi di Amerika Latin yang menyatakan pekerjaan rumah tangga sebagai
sebuah aktivitas produktif secara ekonomi, dan menjamin ibu rumah tangga memperoleh
jaminan sosial (pasal 88).

Konstitusi juga menghindari penggunaan bahasa yang seksis. Contohnya, terkait dengan
sebutan orang, konsititusi menggunakan baik kata presidente(mengacu ada presiden laki-
laki) mauun presidenta (presiden perempuan). Untuk mengatasi 50% kaum perempuan
yang bekerja di sektor informal dan berupah rendah, pemerintah Chavez membentuk Bank
Pembangunan Perempuan (BANMUJER) pada 8 Maret 2001. Bank memberikan pinjaman
berbunga rendah kepada kelompok perempuan untuk berproduksi. Sering kali pinjaman-
pinjaman tersebut tak mampu dikembalikan, namun landasan pembentukan BANMUJER
bukanlah profit, melainkan kemajuan tenaga produktif perempuan.

Hasilnya, partisipan program-program (mission) politik dan komunitas sosial, serta


pertemuan-pertemuan politik lainnya, paling banyak oleh kaum perempuan. Hasil-hasil ini
dipertahankan dengan pembentukan INAMUJER (National Institute for Women) yang
dikoordinatori oleh Maria Leon (bekas pejuang gerilya dan aktivis perempuan). Tujuan
utamanya adalah mempertahankan hak-hak politik yg saat ini sudah diperoleh dan
meluaskannya hingga masyarakat demokratik secara politik sosial dan budaya menjamin
pembebasan perempuan.

Perang Rakyat yang dimulai sejak Februari 1996 sampai saat ini di Nepal, meluas di 73
distrik dari 75 distrik. Mobilisasi kaum perempuan adalah yang terbanyak dalam perang
tersebut. Diantara semua organisasi massa lainnya, organisasi perempuan, ANWA(R)—All
Nepalese Women’s Association, adalah yang paling aktif dan paling militan dibarisan depan
__________ 5
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
pergerakan—bahkan kaum perempuan lebih dulu menyerahkan perhiasan-perhiasan
warisan keluarganya untuk kepentingan perjuangan. Setelah diberlakukannya keadaan
Darurat di bulan November 2001, semakin banyak perempuan yang diperkosa, dibunuh,
dan hilang. Namun situasi ini tidak menyurutkan peningkatan partisipasi perempuan dalan
Perang Rakyat di Nepal. Terkait erat dengan kepemimpinan Partai Komunis Nepal (CPN-
Maois), lapangan perjuangan kaum perempuan adalah di dalam Partai, Ketentaraan, dan
Front Persatuan. Saat ini semakin banyak kaum perempuan memiliki keberanian berontak
melawan perkawinan yang menindas dan secara politik tidak tepat. Juga meningkatnya
kecenderungan perempuan yang menjanda untuk menikah lagi (yang dikutuk oleh tradisi
Hindu ortodok).

Di Palestina, kaum perempuan juga terlibat dalam bermacam bentuk perlawanan,


termasuk perjuangan bersenjata. Bahkan, perjuangan kaum perempuan Palestina adalah
inti dari sejarah keseluruhan perjuangan rakyat Palestina. Pada Intifada pertama (1987),
kaum perempuan berperan penting dalam memimpin demonstrasi, membangun komite-
komite pelayanan rakyat, dan mempelopori kampanye boikot produk-produk Israel di Gaza
dan West Bank. Mayoritas NGO perempuan yang bergantung pada pendanaan NGO
perempuan negeri imperialis sering tak mengaitkan feminisme dengan kehendak
pembebasan nasional perempuan Palestina. Kaum perempuan yang bergerak di jalan-jalan
berkeyakinan bahwa akar penyebab penindasan mereka juga terkait dengan
penjajahan/pendudukan negerinya. Kaum perempuan inilah yang bertahan dalam
pergerakan pada Intifada kedua pasca Oslo. Ratusan kaum perempuan Hamas berperan
besar di dalam berbagai Universitas, termasuk Universitas terbesar di Palestina Al-Najah,
dimana pergerakan memperoleh kemenangan gemilang pada pemilihan dewan mahasiswa.

Kaum perempuan Hamas menghendaki kesempatan yang sama untuk menyebarluaskan


ideologi pergerakan ke sebanyak mungkin rumah rakyat Palestina—mereka melakukan
kunjungan rutin ke rumah-rumah di distrik-distrik ratusan keluarga Palestina. Peran besar
mereka dan rekor pelayanan sipil, kesehatan dan bakti-bakti sosial untuk masyarakat tak
bisa dikalahkan laki-laki.

Hasilnya, kemenangan Hamas pada Pemilu di Palestina Januari lalu, serta ada pemilu
tingkat kabupaten, dimana jumlah pendukung Hamas dari kalangan perempuan jauh lebih
besar dibandingkan dari kalangan laki-laki dan Hamas menempatkan enam orang
perempuan di parlemen. Rakyat mengakui bahwa ”Sebelum Hamas (menjalankan
programnya), perempuan tidak melek situasi politik. Hamas-lah yang menunjukkan dan
menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Perempuan sekarang jauh lebih sadar.”

Kesimpulan

1. Krisis neoliberalisme yang menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan


mempreteli hak-hak ekonomi dan politik yang sempat dimenangkan sebelumnya. Solusi
ala MDG adalah retorika imperialis untuk sekadar membuat negeri-negeri berkembang
dan miskin yang bergantung pada hutang berdaya sebatas bisa membayar cicilan
hutang kembali. Sehingga pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk kampanye
melawan kekerasan, dan pemberdayaan perempuan didalam kerangka neoliberalisme
(MDG) tidak akan pernah menyelesaikan persoalan mendasar perempuan.
2. Perjuangan melawan neoliberalisme dan perang melawan teror, sebagai penyebab
kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif, adalah persoalan mendesak kaum
perempuan seluruh dunia saat ini. Terfragmentasinya kelompok-kelompok perempuan
kedalam isu-isu seperti HAM, aborsi dan lingkungan adalah akibat dari krisis dan hasil
dari perbedaan pendapat berbasis klas di dalam pergerakan perempuan yang sedikit
demi sedikit mulai terkikis oleh kenyataan bahwa semakin fragmentatifnya tuntutan
__________ 6
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
perempuan semakin jauh ia dari kemenangan sejati. Fragmentasi isu dapat digunakan
sebagai taktik untuk kemenangan kecil namun bukan strategi. Kemandegan kelompok-
kelompok perempuan di negara imperialis membuktikan bahwa isu yang
fragmentatifpun tak bisa lagi dipenuhi oleh pemerintah imperialis.
3. Ditengah kemunduran gerakan perempuan internasional secara umum, terdapat
sebuah celah dimana konsolidasi gerakan perempuan (seharusnya) menemukan
momentum. Kebutuhan alternatif atas model ekonomi neoliberalisme yang sudah
bangkrut ini adalah momentum bagi kebangkitan gerakan. Bangkitnya perlawanan
hingga berwujudnya sebuah pemerintahan dan sistem alternatif diluar neoliberalisme
semakin nyata di Amerika Latin, dan kaum perempuan berada di barisan terdepan. ***

__________ 7
Dokumen I Situasi Internasional Hasil Konferensi Nasional 22 Maret 2006
“Neoliberalisme dan Perang; Musuh Perempuan Sedunia”
Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
i
Data-data diambil dari UNFPA on Women Condition September 2005.
ii
Data-data diambil dari www.thetruthaboutgeorge.com/ dan 20th National Women's Encounter, Mar del Plata Olga
Cristóbal, serta Womens Rights Eroding in Latin America oleh Laura Carlsen.

iii
Data-data dari Green Left Weekly; Monthly Review; Kompas
iv
Lihat pamflet Setara yang diterbitkan LPMIS dan Kalyanamitra 2004
v
vi
Data-data dari Green Left Weekly; tulisan Women Right to Employment and Fair Wages Miriam Nobre; Bolivia,
Indigenous Leaders, Women Head New Cabinet, oleh Franz Chávez.

You might also like