You are on page 1of 7

A.

Sejarah perkembangan ilmu fikih


Secara garis besar, sejarah pertumbuhan dan perkembangan hokum Islam dapat dibagi ke dalam
enam periode, yakni periode Nabi, periode Khulafaur Rasyidin, periode tabi’in, periode
keemasan, periode taqlid dan periode era kebangkitan kembali.

1. Hukum Islam Pada Masa Nabi

Perkembangan hukum Islam sebenarnya sudah dimulai pada masa Rasulullah. Era ini merupakan
awal munculnya syari’ah dalam pengertian yang sebenarnya, sekaligus masa pertumbuhan dan
perkembangan fiqh Islam. Era ini berlangsung semasa hidup Nabi Muhammad, terhitung sejak
diwahyukannya al-Qur'an (610M) sampai beliau wafat (632M).Para ahli hukum Islam biasanya
membagi periode ini menjadi dua bagian, yaitu tasyri’ Makkah dan tasyri’ Madinah. Periode
Makkah, berlangsung selama 13 tahun, sejak diangkatnya Nabi SAW. ketika itu umat Islam
masih terisolir, minoritas, lemah dan belum terbentuk satu umat yang memiliki pemerintahan
yang kuat. Karenanya, perhatian Rasulullah lebih diarahkan kepada dakwah tauhid, di samping
membentengi diri dan pengikutnya dari gangguan dan tantangan orangorang yang sengaja
menghalangi dakwah Islam. Sehingga pada fase ini tidak ada kesempatan ke arah pembentukan
hukum-hukum amaliah dan penyusunan undang-undang keperdataan. Singkatnya, periode
Makkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Berbeda dengan periode Makkah,
yang lebih mengarah kepada revolusi akidah, pada periode Madinah pesan-pesan yang
terkandung dalam al-Qur'an berubah menjadi spesifik. Pada periode ini umat Islam bertambah
banyak dan mampu membentuk pemerintahan yang gilang gemilang dan media dakwah pun
semakin lancar. Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan
undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa
lainnya atau dengan negara yang bukan Islam. Untuk kepentingan itulah, maka di Madinah
disyari’atkan hukum, seperti hokum perkawinan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang,
kepidanaan dan lain-lain. Dengan kata lain, periode Madinah dapat disebut periode revolusi
sosial dan politik. Adapun sumber kekuasaan yang digunakan pada masa rasul,
adalah al-Qur'an dan as-Sunnah, sehingga tidak ada ruang bagiperbedaan pendapat. Ini terjadi
karena perbedaan pendapat dapat diatasi oleh wahyu yang otoritatif Kekuasaan tasyri’
(pembuatan undang-undang) hanya dipegang oleh Rasulullah. Apabila ada ijtihad dari sahabat,
itu juga dapat menjadi tasyri’ tetapi setelah mendapat pengakuan dari Rasul. Ada tiga hal yang
berkaitan dengan perkembangan hukum Islam pada periode Nabi yaitu, pertama bahwa Nabi
memegang kekuasaan penuh dalam menghadapi problem yang dihadapi masyarakat dengan
berlandaskan terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Kedua, ayat-ayat hokum yang turun adalah untuk
menjawab setiap peristiwa yang terjadi. Ketiga, hukum Islam diturunkan secara bertahap, tidak
gradual.

2. Periode Sahabat (Khulafaur Rasyidin abad 11 H - 41 H)

Periode ini dimulai setelah Rasul wafat, dan disebut periode sahabat sebab kekuasaan
perundang-undangan dipegang oleh para tokoh sahabat Rasulullah. Dalam menetapkan suatu
hukum, para sahabat menggunakan al-Qur'an dan sunnah Nabi. Mereka mengembalikan setiap
peristiwa kepada kedua sumber tersebut. Jika pada keduanya tidak ditemukan suatu hukum,
maka mereka melakukan ijtihad. Dalam berijtihad, terkadang mereka menggunakan analogi
(qiyas), atau berdasarkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Ijtihad mereka inilah yang
menjamin perkembangan hukum Islam sehingga mampu beradaptasi dengan keragaman
masyarakat. Mereka juga mempunyai metode dan kemampuan yang berbeda-beda dalam
memahami nash hukum. Para sahabat terkenal dalam penggunaannya terhadap ra’y. Dan
diantara mereka selalu terjadi perbedaan pendapat. Tetapi meskipun demikian, mereka juga
terkadang mengadopsi (sepakat dan memakai) pendapat sahabat lain. Dari hal di atas dapat
disimpulkan bahwa pada periode ini ada empat sumber yang dijadikan pegangan oleh para
sahabat, yaitu al-Qur'an, sunnah, qiyas (ra’yu) dan ijma’.

3. Periode Tabi’in (Setelah Masa Khulafa al-Rasyidin sampai Awal Abad II H)

Generasi setelah sahabat adalah tabi’in. Mereka melanjutkan tradisi sahabat dalam perjalanan
hukum Islam. Mereka menetapkan hokum berdasarkan apa yang mereka pahami dari nash, baik
dalam al-Qur'an maupun sunnah. Selain itu mereka juga menjalankan ijtihad, seperti yang
dijalankan para sahabat. Aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh para tabi’in ada dua cara. (1)
mereka tidak takut untuk mengutamakan pendapat seorang sahabat daripada sahabat yang
lainnya, bahkan pendapat seorang tabi’in atas pendapat seorang sahabat. (2) mereka sendiri
melakukan pemikiran asli, bahkan pada masa inilah pembentukan hukum yang sesungguhnya
dimulai. Pada periode ini juga ada upaya untuk membukukan hadits, atas inisiatif dari Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini juga terdapat pembagian terhadap aktivitas pemikiran
hukum secara bebas yakni Irak, Hijaz dan Syria imamnya masing-masing. Irak memiliki dua
madzhab yaitu Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua madzhab yaitu Makkah dan Madinah,
namun madzhab Madinah lebih menonjol, sementara di Syria yang kurang populer madzhabnya.
Hal inilah yang kemudian para ulama terbagi menjadi dua aliran, Ahli Ra’yu dan Ahli Hadits.

4. Periode Keemasan (Awal Abad II H – Pertengahan Abad IVH)

Periode ini disebut juga periode kematangan dan kesempurnaan fiqh atau masa pembukuan
sunnah dan munculnya Imam-imam Madzhab (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan
Imam Hambali). Madzhab-madzhab tersebut telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi
bagi kajian hukum yang amat luas dan komprehensif sehingga memberikan peluang dan
kemudahan kepada generasi muslim berikutnya untuk lebih mengembangkan kajian-kajian
hukum dan menjalankan ketentuan-ketentuan syari’ah secara lebih baik. Berkembangnya
madzhab-madzhab tersebut, seharusnya membuat hukum Islam lebih fleksibel, dinamis, karena
kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat akan memunculkan alternatif ketentuan hukum
(dari hasil ijtihad), yang pada akhirnya hukum Islam akan lebih adaptif dan akomodatif terhadap
setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, perkembangan berikutnya justru
sebaliknya. Hukum Islam menemui titik anti klimaksnya dan aktivitas berijtihad berhenti.
Periode ini kemudian disebut dengan periode taqlid atau keterpakuan tekstual.

5. Periode Taqlid (Permulaan Abad Empat Sampai Runtuhnya Kota Bagdad)

Periode taqlid atau era kemandekan ini terjadi setelah masa keemasan. Era ini ditandai dengan
munculnya iklim penjelasan permasalahan yang telah dikaji sebelumnya tanpa memberikan
pemikiran baru, merumuskan kembali metode para pendiri madzhab dan mencapai puncaknya
pada pembelaan fanatik terhadap pendapat para imam madzhab. Faktor lain yang menyebabkan
hukum Islam mengalami kemandekan adalah perselisihan teologis yang mengakar pada
fanatisme madzhab. Kondisi ini diperburuk oleh situasi politik yang tidak stabil yang membuat
para ulama sibuk dalam urusan negara dan melakukan urusan fiqh. Selain itu juga disebabkan
adanya perang salib di bawah arahan Gereja Katolik Romawi, dan serbuan tentara Barbar di
bawah kepemimpinan Holago Khan dari Tartar. Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H,
bersamaan dengan saat beberapa persoalan yang dihadapi, politik, intelektual, moral dan social
yang mempengaruhi prinsip-prinsip kebangkitan mereka dan menghalangi aktivitas mereka
dalam berijtihad. Pada periode ini aktivitas yang dilakukan para ahli hukum Islam adalah,
penta’lilan hukum-hukum (penelitian terhadap illat-illat hukum), Pentarjihan pendapat-pendapat
yang bertentangan dalam madzhab dan Dukungan terhadap madzhab tertentu yang dianut
(fanatisme madzhab).

6. Periode kebangkitan kembali

Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit
kembali. Hal ini terjadi pada abad ke-19 M/13H. kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul
sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukum
Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah. Gerakan ini dipelopori oleh Ibnu Taymiyyah (1263-1328
M) bersama dengan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1292-1356 M). Ia mengatakan bahwa
pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pernah tertutup. Seruan Taymiyyah untuk menghidupkan
kembali tradisi ijtihad atau kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan Hadits
sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam selanjutnya. Pada periode inilah
gerakan-gerakan pembaruan hukum Islam muncul sebagai respon terhadap peristiwa yang terjadi
dalam masyarakat. Pola pemikiran Ibnu Taymiyyah dilanjutkan oleh Muhammad Ibnu Abdul
Wahab (1707-1787) pada yang terkenal dengan sebutan gerakan Wahabi. Usaha ini kemudian
dilanjutkan oleh Jamaluddin al- Afghani (1839-1897) bersama dengan muridnya Muhammad
Rasyhid Ridha terutama di lapangan politik. Dia yang memasyhurkan ayat al- Qur'an (surat 13:
11) yang menyatakan: “Allah tidak akan merubah suatu nasib sesuatu bangsa kalau bangsa itu
sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri”. Ayat ini dipakainya untuk
menggerakkan kebangkitan umat Islam yang pada umumnya dijajah bangsa Barat pada waktu
itu. Ia menilai bahwa kemunduran Islam terjadi akibat dari penjajahan Barat. Gerakan yang
dilakukan Jamaluddin al-Afghani diteruskan oleh Muhammad Abduh (1849-1905M). Gerakan
yang diusung oleh mereka adalah sama yaitu Islam yang dianut umat bukan lagi Islam yang
sebenarnya, inilah yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran. Oleh karena itu,
untuk dapat bangkit kembali umat Islam harus kembali kepada Islam sejati, Islam sebagaimana
dipraktekkan di zaman klasik. Periode inilah yang akhirnya mengantarkan hukum Islam dalam
perkembangannya (zaman modern) menjadi menarik dibicarakan. Sejak
abad ke-19 terjadi kontak antara dunia Islam dengan peradaban Barat.
B. Sumber Ilmu Fikih
Sumber fiqh adalah dalil-dalil yang dijadikan oleh syariat sebagai hujjah dalam pengambilan
hukum. Dalil-dalil ini sebagian disepakati oleh ulama sebagai sumber hukum, seperti Al Qur’an,
Sunnah dan Ijma’. Sebagian besar ulama juga menetapkan Qiyas sebagai sumber hukum ke
empat setelah tiga sumber di atas.

1. Al Quran

Al Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril.
Menurut ulama Ushul Al-qur’an adalah, “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf, berbahasa arab, dinukilkan kepada kita dengan
jalan mutawatir, diawali dari surat Al-Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas dan membacanya
merupakan ibadah. Al Quran menjelaskan rambu-rambu masalah akidah dengan secara rinci,
namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesame dengan cara garis besar. Dalam syariat Islam
Al Quran adalah undang-undang dalam menetapkan aturan social. Ia sebagai tuntutan bagi Nabi
saw. dan pengikutnya. Karenanya, ia merupakan sumber utama dan pertama. Banyak hukum-
hukum mengenai ibadah dalam Al Quran disebutkan secara garis besar seperti hukum-hukum
shalat, puasa, zakat dan tidak dijelaskan secara cara melakukan shalat atau kadar yang
dikeluarkan dalam zakat. Penjelasan rinci mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Sunnah baik
dengan perkataan atau perbuatan Rasulullah saw. Demikian hal dengan perintah Al Quran untuk
memenuhi perjanjian dan akad serta halalnya jual beli dan haram riba disebutkan secara garis
besar. Dalam Al Quran tidak dijelaskan secara terperinci akad dan traksaksi jual beli yang sah
dan dibenarkan oleh syariat dan yang tidak dibenarkan. Namun dalam beberapa hal, Al Quran
memberikan penjelasan terperinci seperti masalah warisan, mekanisme Li'an (suami yang
menuduh istrinya melakukan zina tanpa bukti yang cukup), sebagian hukuman hudud,
perempuan yang haram dinikahi, dan beberapa hukum lainnya yang tidak berubah sepanjang
zaman. Penguraian secara garis besar, terutama dalam masalah hukum-hukum muamalat social,
system politik membantu kita memahaminya dan memudahkan mempraktekknya dalam situasi
yang berbeda dengan tetap berpegang dengan pemahanan yang benar.
Penguraian garis besar juga menegaskan bahwa Al Quran dirinci oleh Rasulullah saw. dalam
menentukan mekanisme hukum, kadarnya, dan batasannya. Karenanya, Al Quran memberikan
isyarat tentang tugas Sunnah dalam hal ini
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah." (Al Hasyr: 7)
Dari sini, maka sunnah adalah pintu masuk memahami Al Quran secara utuh.

2. As Sunnah:

Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq.
Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi merinci garis besar
Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan
hukum. Sunnah juga merupakan sumber hukum independent (mustaqil) yang tidak ada
hukumnya dalam Al Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan
mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan.
Namun demikian Sunnah mengikut Al Quran sebagai penjelas sehingga sunnah tidak akan keluar
dari kaidah-kaidah umum dalam Al Quran. Maka memahami Sunnah secara umum merupakan
susuatu yang pasti dalam memahami Al Quran karena jika tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa
dipahami dan dipraktikkan dengan benar.
Sunnah sampai ke kita dengan melalui jalan periwayatan secara berantai hingga ke Rasulullah
saw. Sebab masa kenabian sudah usai. Namun krediblititas agama dan moral para perawi
(pembawa hadis) itu sudah melalaui seleksi ketat oleh para ahli hadis. Sehingga keotentikan
hadis dan kebenarannya sudah melalui pembuktian yang ketat. Hadis shahih dan hasan saja yang
bisa dijadikan sumber hukum.
Sementara hadis hadis yang berstatus lemah (dlaif), atau bahkan palsu (maudlu') yang tidak bisa
dijadikan referensi dan sumber hukum syariat. Kitab-kitab hadits yang dijadikan sumber utama
adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kemudian kitab-kitab Sunan Abu Dawud, Sunan An
Nasai, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah. Disamping kitab Al Muwatta' karangan Imam
Malik dan Musnad Ahmad karangan Imam Ahmad memiliki kedudukan penting bagi para ulama
fiqh. Jadi seorang ahli fiqh akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al Quran kemudian dari
Sunnah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal:
Bagaimana kamu memutuskan masalah yang kamu hadapi? Muadz: Saya memutuskan dengan
kitab Allah. Rasulullah: Bagaimana jika kamu tidak menemukan di dalamnya? Muadz: Dengan
Sunnah Rasulullah," Kepada hakim Syuraih, Umar bin Khattab mengirim surat kepadanya yang
berisi,"Hendaklah kamu memutuskan dengan kitab Allah, jika tidak menemukan maka dengan
Sunnah Rasulullah saw."

3. Ijma'

Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah
wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para
ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah
mereka. Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan
semua rukun Islam.
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.
Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah, “Kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu
masalah dalam satu waktu. Apbila telah terjadi ijma’ seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum,
maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak
mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam
menetapkan hukum. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan mengikuti jalan selain
jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)
Rasulullah saw. Bersabda,”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,” dalam riwayat lain
“…dalam kesalahan,” Dalam hadis lain,”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik
di sisi Allah dan apa yang menurut mereka buruk maka buruk di sisi Allah,”
Di hadits lain disebutkan,
”Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja maka ia telah melepaskan
ikatannya dari Islam”
Disamping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam
masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir
(generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun
kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.

4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada
ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu
hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlkukan suatu hukum yang sudah ada
nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan illat. Contoh, Allah
mengharamkan khamar karena memabukan, maka segala makanan dan minuman yang
memabukan hukumnya sama dengan khamar yaitu haram.
Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum
yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai semua ulama di suatu
waktu dan tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-
masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah
disepakati oleh para ulama.
Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al Quran dan Sunnah sangat terbatas, artinya tidak
keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang
membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari
muncul kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari para
ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.
Hukum-hukum jual beli misalnya, Al Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding
dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-
hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini
memiliki kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.

Daftar pustaka:

Buku: 1. Ahmad Sarwat, Lc FIQIH & Syariah


PEMBARUAN HUKUM ISLAM: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
TUGAS ILMU FIQIH

(SEJARAH DAN SUMBER ILMU FIQIH)

NAMA : TRISKA REZKYANTI P.

NIM : 70600116035

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2016

You might also like