Professional Documents
Culture Documents
03d - Modul Sedimentasi-All
03d - Modul Sedimentasi-All
DAN
SEDIMENTASI 3&4
1.1. TEORI
1.1.1. Prasedimentasi
Unit prasedimentasi merupakan unit dimana terjadi proses pengendapan partikel diskret.
Partikel diskret adalah partikel yang tidak mengalami perubahan bentuk, ukuran, maupun berat pada
saat mengendap. Pengendapan dapat berlangsung dengan efisien apabila syarat-syaratnya terpenuhi.
Menurut Lopez (2007), efisiensi pengendapan tergantung pada karakteristik aliran, sehingga perlu
diketahui karakteristik aliran pada unit tersebut. Karakteristik aliran dapat diperkirakan dengan
bilangan Reynolds dan bilangan Froude (Kawamura, 2000).
Adanya ketidakseimbangan pada zona inlet dapat menyebabkan adanya aliran pendek,
turbulensi, dan ketidakstabilan pada zona pengendapan (Kawamura, 2000). Begitu juga halnya
terhadap zona lumpur. Zona lumpur merupakan zona dimana terkumpulnya partikel diskret yang
telah terendapkan. Apabila terjadi aliran turbulen, partikel diskret yang telah terendapkan dapat
mengalami penggerusan, sehingga partikel yang telah terendapkan dapat kembali naik. Zona outlet
juga mempengaruhi karakteristik aliran, sehingga zona outlet harus didesain untuk meminimalisasi
terjadinya aliran pendek.
Aplikasi teori sedimentasi pada pengolahan air minum adalah pada perancangan bangunan
prasedimentasi. Bak prasedimentasi merupakan bagian dari bangunan pengolahan air minum yang
darmadi Page 1
berfungsi untuk mengendapkan partikel diskret yang relatif mudah mengendap (diperkirakan dalam
waktu 1 hingga 3 jam). Teori sedimentasi yang dipergunakan dalam aplikasi pada bak
prasedimentasi adalah teori sedimentasi tipe I karena teori ini mengemukakan bahwa pengendapan
partikel berlangsung secara individu (masing-masing partikel, diskret) dan tidak terjadi interaksi
antar partikel.
Aplikasi teori sedimentasi pada pengolahan air limbah. Bak prasedimentasi merupakan bagian
dari bangunan pengolahan air limbah yang berfungsi untuk mengendapkan lumpur sebelum air
limbah diolah secara biologis. Meskipun belum terjadi proses kimia (misal koaguasi flokulasi atau
presipitasi), namun pengendapan di bak ini mengikuti pengendapan tipe III dan IV karena lumpur
yang terdapat dalam air limbah tidak lagi bersifat diskret (mengingat kandungan komponen lain
dalam air limbah, sehingga telah terjadi proses presipitasi).
1.1.2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan secara gravitasi untuk
menyisihkan suspended solid. Pada umumnya, sedimentasi digunakan pada pengolahan air minum,
pengolahan air limbah, dan pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan. Pada pengolahan air
minum, terapan sedimentasi khususnya untuk:
1. Pengendapan air permukaan, khususnya untuk pengolahan dengan filter
2. Pasir cepat.
3. Pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring
4. Dengan filter pasir cepat.
5. Pengendapan flok hasil penurunan kesadahan menggunakan soda-kapur.
6. Pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan.
darmadi Page 2
Pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan, sedimentasi ditujukan untuk penyisihan lumpur
setelah koagulasi dan sebelum proses filtrasi. Selain itu, prinsip sedimentasi juga digunakan dalam
pengendalian partikel di udara. Prinsip sedimentasi pada pengolahan air minum dan air limbah
adalah sama,demikian juga untuk metoda dan peralatannya.
Bak sedimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan bentuk lingkaran, bujur
sangkar, atau segi empat. Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter
dan kedalaman 3 hingga 4,3 meter. Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai lebar 10
hingga 70 meter dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter. Bak berbentuk segi empat umumnya
mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76 meter, dan
kedalaman lebih dari 1,8 meter.
Klasifikasi sedimentasi didasarkan pada konsentrasi partikel dan kemampuan partikel untuk
berinteraksi. Klasifikasi ini dapat dibagi ke dalam empat tipe (lihat juga Gambar 1.1), yaitu:
Settling tipe I: pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara individual dan tidak ada
interaksi antar-partikel
Settling tipe II: pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antar-partikel sehingga ukuran
meningkat dan kecepatan pengendapan bertambah
Settling tipe III: pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antarpartikel saling menahan
partikel lainnya untuk mengendap
Settling tipe IV: terjadi pemampatan partikel yang telah mengendap yang terjadi karena berat
partikel
darmadi Page 3
Gambar 1.1 Empat Tipe Sedimentasi (Reynold dan Richards, 1996)
Sedimentasi tipe I merupakan pengendapan partikel diskret, yaitu partikel yang dapat
mengendap bebas secara individual tanpa membutuhkan adanya interaksi antar partikel. Sebagai
contoh sedimentasi tipe I antara lain pengendapan lumpur kasar pada bak prasedimentasi untuk
pengolahan air permukaan dan pengendapan pasir pada grit chamber.
Sesuai dengan definisi di atas, maka pengendapan terjadi karena adanya interaksi gaya-
gaya di sekitar partikel, yaitu gaya drag dan gaya impelling. Massa partikel menyebabkan adanya
gaya drag dan diimbangi oleh gaya impelling, sehingga kecepatan pengendapan partikel konstan.
Gaya impelling diyatakan dalam persamaan:
F1 = (ρS - ρ) g V
dimana:
F1 = gaya impelling
V = volume partikel
g = percepatan gravitasi
Gaya drag diyatakan dalam persamaan:
FD = CD Ac ρ (Vs2/2)
di mana:
FD = gaya drag
darmadi Page 4
CD= koefisien drag
Ac = luas potongan melintang partikel
Vs = kecepatan pengendapan
Dalam kondisi yang seimbang ini, maka FD = FI, maka diperoleh persamaan:
(ρS - ρ) g V = CD Ac ρ (Vs2/2)
atau
atau
dimana Sg adalah specific gravity. Besarnya nilai CD tergantung pada bilangan Reynold.
bila NRe < 1 (laminer), CD = 24 / NRe
bila NRe = 1 - 104 (transisi), CD = 24 / NRe+3 / NRe 0,5 + 0,34
bila NRe > 104 (turbulen), CD = 0,4.
NRe = ρdVs/μ
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menghitung kecepatan pengendapan bila telah
diketahui ukuran partikel, densitas atau specific gravity, dan temperatur air:
1. Asumsikan bahwa pengendapan mengikuti pola laminer, karena itu gunakan persamaan
Stoke's untuk menghitung kecepatan pengendapannya.
2. Setelah diperoleh kecepatan pengendapan, hitung bilangan Reynold untuk membuktikan pola
aliran pengendapannya.
darmadi Page 5
3. Bila diperoleh laminer, maka perhitungan selesai. Bila diperoleh turbulen, maka gunakan
persamaan untuk turbulen, dan bila diperoleh transisi, maka gunakan persamaan untuk
transisi.
Pada kenyataannya, ukuran partikel yang tersuspensi dalam air itu banyak sekali jumlahnya.
Karena itu, diperlukan satu ukuran partikel sebagai acuan, sebut saja do, yang mempunyai
kecepatan pengandapan sebesar Vo (lihat Gambar 3.3). Vo disebut juga overflowrate. Dengan
acuan tersebut, maka dapat dibuat pernyataan sebagai berikut:
a. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih besar dari Vo, maka 100% akan
mengendap dalam waktu yang sama.
b. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih kecil dari Vo, maka tidak semua
akan mengendap dalam waktu yang sama.
darmadi Page 6
Gambar 1.3 Lintasan Pengendapan Partikel
(Reynold dan Richards, 1996)
Jumlah dari keseluruhan partikel yang mengendap disebut penyisihan total (total removal).
Besarnya partikel yang mengendap dapat diperoleh dari uji laboratorium dengan column settling
test (Gambar 1.4). Over flow rate dihitungdengan persamaan:
Vo = H/t
di mana:
R = besarnya fraksi pengendapan partikel total
Fo = fraksi partikel tersisa pada kecepatan Vo
V = kecepatan pengendapan (m/detik)
dF = selisih fraksi partikel tersisa
darmadi Page 7
Berdasarkanbesarnya R tersusun oleh dua komponen, yaitu:
1. (1-Fo) = fraksi partikel dengan kecepatan > Vo
Data yang diperoleh dari percobaan laboratorium adalah jumlah (konsentrasi) partikel yang
terdapat dalam sampel yang diambil pada interval waktu tertentu. Konsentrasi pada berbagai
waktu tersebut diubah menjadi bentuk fraksi. Fraksi merupakan perbandingan antara konsentrasi
partikel pada waktu ke-t terhadapkonsentrasi partikel mula-mula. Selanjutnya dihitung kecepatan
pengendapan partikel pada tiap waktu pengambilan.
Plot ke dalam grafik hubungan antara fraksi partikel tersisa dengan kecepatan
pengendapan. Ambil nilai kecepatan pengendapan tertentu sebagai acuan (disebut juga waktu
klarifikasi atau overflow rate = Vo). Dari nilai Vo tersebut dapat diperoleh nilai Fo, yaitu
merupakan batas fraksi partikel besar yang semuanya mengendap dan fraksi partikel lebih kecil
yang mengendap sebagian saja. Besarnya fraksi partikel kecil dapat dicari dari luasan daerah di
atas kurva sampai batas Fo (Gambar 1.5).
Sedimentasi tipe II adalah pengendapan partikel flokulen dalam suspensi encer, di mana
selama pengendapan terjadi saling interaksi antar partikel. Selama dalam operasi pengendapan,
ukuran partikel flokulen bertambah besar, sehingga kecepatannya juga meningkat. Sebagai contoh
sedimentasi tipe II antara lain pengendapan pertama pada pengolahan air limbah atau
darmadi Page 8
pengendapan partikel hasil proses koagulasi-flokulasi pada pengolahan air minum maupun air
limbah.
Kecepatan pengendapan partikel tidak bisa ditentukan dengan persamaan Stoke's karena
ukuran dan kecepatan pengendapan tidak tetap. Besarnya partikel yang mengendap diuji dengan
column settling test dengan multiple withdrawal ports (Gambar 1.6).
Dengan menggunakan kolom pengendapan tersebut, sampling dilakukan pada setiap port
pada interval waktu tertentu, dan data REMOVAL partikel diplot pada grafik seperti pada
Gambar 1.7.
Grafik isoremoval dapat digunakan untuk mencari besarnya penyisihan total pada waktu
tertentu. Tarik garis vertikal dari waktu yang ditentukan tersebut. Tentukan kedalaman H1, H2,
H3 dan seterusnya (lihat Gambar 1.8).
darmadi Page 9
Gambar 1.8 Penentuan Kedalaman H1, H2 dan Seterusnya
(Reynold dan Richards, 1996)
Besarnya penyisihan total pada waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
Grafik isoremoval juga dapat digunakan untuk menentukan lamanya waktu pengendapan
dan surface loading atau overflow rate bila diinginkan efisiensi pengendapan tertentu. Langkah
yang dilakukan adalah:
a. Hitung penyisihan total pada waktu tertentu (seperti langkah di atas), minimal sebanyak tiga
variasi waktu. (Ulangi langkah di atas minimal dua kali)
b. Buat grafik hubungan persen penyisihan total (sebagai sumbu y) dengan waktu pengendapan
(sebagai sumbu x)
c. Buat grafik hubungan persen penyisihan total (sebagai sumbu y) dengan overflow rate
(sebagai sumbu x)
Kedua grafik ini dapat digunakan untuk menentukan waktu pengendapan atau waktu detensi
(td) dan overflow rate (Vo) yang menghasilkan efisiensi pengendapan tertentu. Hasil yang
diperoleh dari kedua grafik ini adalah nilai berdasarkan eksperimen di laboratorium (secara
batch). Nilai ini dapat digunakan dalam mendisain bak pengendap (aliran kontinyu) setelah
dilakukan penyesuaian, yaitu dikalikan dengan faktor scale up. Untuk waktu detensi, faktor scale
up yang digunakan pada umumnya adalah 1,75, untuk overflow rate, faktor scale up yang
digunakan pada umumnya adalah 0,65 (Reynold dan Richards, 1996).
darmadi Page 10
1.1.2.3. Sedimentasi Tipe III dan IV
Sedimentasi tipe III adalah pengendapan partikel dengan konsentrasi yang lebih pekat, di
mana antar partikel secara bersama-sama saling menahan pengendapan partikel lain di sekitarnya.
Karena itu pengendapan terjadi secara bersama-sama sebagai sebuah zona dengan kecepatan yang
konstan. Pada bagian atas zona terdapat interface yang memisahkan antara massa partikel yang
mengendap dengan air jernih. Sedimentasi tipe IV merupakan kelanjutan dari sedimentasi tipe III,
di mana terjadi pemampatan (kompresi) massa partikel hingga diperoleh konsentrasi lumpur yang
tinggi. Sebagai contoh sedimentasi tipe III dan IV ini adalah pengendapan lumpur biomassa pada
final clarifier setelah proses lumpur aktif (Gambar 1.9). Tujuan pemampatan pada final clarifier
adalah untuk mendapatkan konsentrasi lumpur biomassa yang tinggi untuk keperluan resirkulasi
lumpur ke dalam reaktor lumpur aktif.
Gambar 1.9 Pengendapan pada Final Clarifier untuk Proses Lumpur Aktif
(Reynold dan Richards, 1996)
Sebelum mendisain sebuah bak final clarifier, maka perlu dilakukan percobaan laboratorium
secara batch menggunakan column settling test. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi lumpur
pada to hingga t. Data yang diperoleh adalah hubungan antara tinggi lumpur dengan waktu
(Gambar 1.10).
darmadi Page 11
Gambar 1.10 Grafik Hasil percoban Sedimentasi Tipe III dan IV
(Reynold dan Richards, 1996)
darmadi Page 12
Gambar 1.11 Hasil Pengolahan Data Sedimentasi Tipe III dan IV
(Reynold dan Richards, 1996)
Setelah pengolahan data tersebut, parameter yang diperoleh dapat digunakan untuk
endisain bak pengendap lumpur biomassa, yaitu:
1. Luas permukaan yang diperlukan untuk thickening, At dengan menggunakan persamaan:
At = 1,5 (Q+QR) tu/Ho
2. Luas permukaan yang diperlukan untuk klarifikasi (sedimentasi), Ac dengan menggunakan
persamaan:
Ac = 2,0 Q/Vo
di mana:
Q = debit rata-rata harian sebelum resirkulasi, m3/detik
QR = debit resirkulasi, m3/detik
Selain dengan pendekatan waktu tercapainya konsentrasi underflow, disain final clarifier
dapat juga menggunakan pendekatan konsep solid flux. Solid flux adalah kecepatan thickening
solid per satuan luas, dinyatakan dalam kg/jam-m2.
darmadi Page 13
1.1.3. Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude
Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi proses pengendapan adalah overflow rate, v
horizontal (vh), bilangan Reynold partikel, serta karakteristik aliran. Karakteristik aliran diketahui
dari nilai Bilangan Reynolds dan Froude. Namun, kedua bilangan tersebut tidak dapat dipenuhi
keduanya, sehingga perlu ditetapkan suatu acuan.
Studi literatur menghasilkan kesimpulan bahwa acuan yang tepat untuk desain bak
prasedimentasi bentuk rectangular adalah menggunakan bilangan Froude, sedangkan acuan yang
tepat untuk mendesain bak prasedimentasi bentuk circular dengan tipe center feed adalah bilangan
Reynolds. Berdasarkan SNI 6774 tahun 2008 tentang tata cara perencanaan unit paket instalasi
pengolahan air, bilangan Reynolds pada unit prasedimentasi harus memiliki nilai kurang dari
2000, sedangkan Bilangan Froude harus lebih dari 10-5. Kedua persyaratan tersebut seharusnya
terpenuhi, tetapi pada kenyataannya akan sulit memenuhi kedua bilangan tersebut sekaligus
dalam perancangan unit prasedimentasi.
a) Bilangan Reynolds
Penerapan Bilangan Reynolds pada unit prasedimentasi menunjukkan korelasi bahwa fungsi
Bilangan Reynolds adalah untuk menunjukkan kondisi aliran pada unit prasedimentasi
apakah laminer atau turbulen. Kondisi aliran yang laminer diharapkan terjadi di unit
prasedimentasi karena keadaan aliran yang turbulen dapat menurunkan efisiensi kerja unit
prasedimentasi. Oleh karena itu, sesuai dengan SNI 6774 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air, nilai Bilangan Reynolds harus kurang dari
2000. Pengaruh jenis aliran yang terjadi pada prasedimentasi terhadap proses pengendapan
partikel dapat dilihat pada Gambar 1.2.
darmadi Page 14
b) Bilangan Froude
Bilangan Froude terkait dengan kondisi aliran apakah, subkritis, kritis, atau superkritis.
Kondisi aliran subkritis memiliki nilai bilangan Froude kurang dari satu yang menunjukkan
bahwa gaya gravitasi lebih mendominasi daripada gaya inersia, sehingga kecepatan aliran
cukup rendah. Penerapan pada unit prasedimentasi menunjukkan bahwa bilangan Froude
dapat menunjukkan apakah terjadi aliran pendek atau tidak pada unit prasedimentasi.
Aliran pendek dapat terjadi apabila kecepatan aliran cukup besar, sehingga diharapkan
kecepatan aliran pada unit prasedimentasi tidak terlalu besar atau dalam keadaan subkritis,
sehingga aliran pendek sebisa mungkin dapat dihindari. Oleh karena itu, sesuai dengan SNI
6774 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air, nilai
bilangan Froude harus lebih dari 10-5. Unit prasedimentasi dirancang sedemikian rupa agar
mampu memenuhi Bilangan Reynolds dan Froude, sehingga tercapai keadaan aliran yang
sebaik mungkin untuk mendukung proses pengendapan.
Zona inlet berfungsi untuk mendistribusikan air ke seluruh area bak secara seragam,
mengurangi energi kinetik air yang masuk, serta untuk memperlancar transisi dari kecepatan air
yang tinggi menjadi kecepatan air yang rendah yang sesuai untuk terjadinya proses pengendapan
di zona pengendapan. Rostami dkk (2011) melakukan penelitian dengan cara mengatur letak
bukaan inlet dan juga mengatur jumlah bukaan inlet. Bukaan inlet (a) terletak di atas, bukaan inlet
(b) terletak di tengah bak, bukaan inlet (c) terletak di bawah bak, sedangkan bukaan inlet (d) dan
(e) merupakan variasi dari jumlah bukaan inlet. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, apabila
digunakan hanya satu bukaan inlet, circulation zone yang terbentuk yang paling kecil adalah
apabila bukaan inlet diletakkan di tengah. Hasil penelitian tersebut, memberikan kesimpulan
bahwa apabila hanya digunakan satu bukaan saja, maka yang paling baik adalah dengan
meletakkan bukaan inlet pada bagian tengah bak. Namun, akan lebih baik apabila bukaan pada
inlet jumlahnya lebih banyak. Hasil serupa juga dihasilkan dari hasil penelitian Tamayol dkk
(2008). Tamayol dkk (2008) melakukan penelitian serupa dengan memposisikan inlet pada tiga
posisi, yaitu atas bak, tengah bak, dan bawah bak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peletakan bukaan inlet di tengah dapat mengurangi
volume circulation zone yang dapat mempengaruhi kondisi pengendapan. Selain melakukan
pengaturan pada posisi inlet, hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi volume circulation
darmadi Page 15
zone dan mengurangi energi kinetik air adalah dengan memasang baffle. Namun, perlu diketahui
peletakan baffle yang tepat, sebab peletakan baffle yang salah dapat memperburuk kinerja bak.
Hasil penelitian Tamayol dkk (2008) menunjukkan bahwa baffle harus diletakkan tidak jauh dari
letak terjadinya circulation zone. Baffle harus diletakkan dekat dengan terjadinya circulation
zone.
Apabila merujuk pada hasil penelitian Rostami dkk (2011) bahwa semakin banyak bukaan
inlet dapat mengurangi volume circular zone dan hasil penelitian Tamayol dkk (2008) bahwa
penempatan baffle pada posisi yang tepat dapat meningkatkan kinerja bak, maka hal ini akan
berkaitan dengan hasil penelitian Kawamura (2000) tentang perforated baffle. Perforated baffle
merupakan modifikasi dari baffle yang memiliki lubang-lubang pada dindingnya. Adanya lubang-
lubang dengan ukuran seragam pada dinding baffle menyebabkan terjadinya perataan aliran,
sehingga dapat meminimalisasi terjadinya dead zone. Sketsa perforated baffle dapat dilihat pada
Gambar 1.13.
darmadi Page 16
1.1.5. Zona Pengendapan
Proses pengendapan pada zona pengendapan pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu
karakteristik partikel tersuspensi dan hidrolika bak.
a) Karakteristik partikel tersuspensi
Proses pengendapan yang terjadi di unit prasedimentasi merupakan pengendapan partikel
diskret. Partikel diskret adalah partikel yang tidak mengalami perubahan bentuk, ukuran,
maupun berat pada saat mengendap. Pada saat mengendap, partikel diskret tidak terpengaruh
oleh konsentrasi partikel dalam air karena partikel diskret mengendap secara individual dan
tidak ada interaksi antar partikel.
Contoh partikel diskret adalah silika, silt, serta lempung. Partikel diskret memiliki spesifik
gravity sebesar 2,65 dengan ukuran partikel < 1 mm dan kecepatan mengendap < 100
mm/detik. Pengendapan partikel diskret merupakan jenis pengendapan tipe I, yaitu proses
pengendapan yang berlangsung tanpa adanya interaksi antar partikel. Selain pengendapan
partikel diskret, contoh lain pengendapan tipe I adalah pengendapan partikel grit pada grit
chamber. Contoh partikel grit adalah pasir, dengan spesifik gravity antara 1,2-2,65 dengan
ukuran partikel ≤ 0,2 mm dan kecepatan pengendapan sebesar 23 mm/detik.
b) Overflow Rate dan Efisiensi Bak
Proses pengendapan partikel pada bak prasedimentasi aliran horizontal pada dasarnya seperti
yang terlihat pada Gambar 1.14. Partikel memiliki kecepatan horizontal, vH dan kecepatan
pengendapan vS.
darmadi Page 17
𝑣0 𝐷
𝑣𝐻
= 𝐿
... (1)
𝐷
𝑣0 = 𝐿
. 𝑣𝐻 ... (2)
𝐷 𝑄
𝑣0 = 𝐿
. 𝑤𝐷 ... (3)
Sehingga
𝑄
𝑣0 = 𝑤𝐷 ... (4)
Persamaan (4) menunjukkan bahwa overflow rate merupakan fungsi dari debit dan luas
permukaan. Selain persamaan (1) hingga (4), persamaan-persamaan berikut dapat
membuktikan bahwa v0 = Q /Asurface
ℎ0
𝑣0 = ... (5)
𝑡0
𝑉
𝑡0 = 𝑄 ... (6)
Sehingga
ℎ
𝑣0 = 𝑉⁄0𝑄 ... (6a)
Atau
ℎ0 𝑄
𝑣0 = ... (6b)
𝑉
𝑄
𝑣0 = 𝐴 ... (7)
𝑠
Apabila bak prasedimentasi didesain dengan overflow rate, vo, maka partikel yang memiliki
kecepatan pengendapan vs lebih besar daripada vo akan tersisih seluruhnya. Partikel yang
memiliki kecepatan pengendapan lebih kecil daripada vo akan tersisih sebagian, yaitu
partikel yang berada pada kedalaman H2 (Gambar 1.15).
darmadi Page 18
Gambar 1.15 Profil pada Bak Rectangular Ideal
(Reynold dan Richards, 1996)
Untuk menentukan besar penyisihan partikel dengan desain overflow rate v0 pada proses
pengendapan partikel, dapat diketahui dari hasil analisa tes kolom. Hasil tes kolom tersebut
akan menentukan overflow rate serta dimensi bak, sehingga dapat diketahui waktu detensi
yang tepat untuk proses pengendapan. Oleh karena itu, pada dasarnya kriteria desain tidak
dapat digunakan untuk menentukan waktu detensi maupun overflow rate. Kolom yang
digunakan untuk analisa memiliki beberapa kran pada rentang jarak tertentu. Kran-kran
tersebut digunakan untuk mengambil sampel air pada rentang waktu tertentu yang telah
ditetapkan. Sebelum tes dilakukan, terlebih dahulu diambil sampel untuk dikeringkan dan
dianalisis konsentrasinya untuk diketahui konsentrasi awalnya.
Selama proses analisa dengan kolom tes tersebut, setiap rentang waktu tertentu, diambil
sampel air untuk di analisis konsentrasinya. Konsentrasi tersebut akan dibandingkan dengan
konsentrasi awal agar diketahui besar penyisihan partikelnya. Hal tersebut dilakukan selama
rentang waktu tertentu. Untuk menentukan efisiensi penyisihan partikel pada overflow rate
tertentu, fraksi yang tersisihkan terbagi menjadi dua, yaitu yang memiliki kecepatan
pengendapan lebih besar daripada overflow rate dan yang lebih kecil daripada overflow rate.
Partikel yang tersisih karena memiliki kecepatan pengendapan vs > v0 dapat dituliskan
sebagai 1- F0. Partikel yang tersisih karena memiliki kecepatan pengendapan vs < v0 tetapi
berada pada kedalaman tertentu, sehingga dapat terendapkan dapat ditulis sebagai 1
1 𝐹0
∫ 𝑉
𝑉0 0
𝑑𝐹 .
Desain outlet biasanya terdiri dari pelimpah yang dirancang sedemikian rupa untuk
mengurangi terjadinya aliran pendek. Weir loading rate adalah beban pelimpah (dalam hal ini
darmadi Page 19
debit air) yang harus ditanggung per satuan waktu dan panjangnya. Berikut ini adalah beberapa
kriteria desain untuk weir loading rate dari berbagai sumber (Tabel 1.1).
Berdasarkan sejumlah kriteria desain pada beragam sumber mengenai weir loading rate di
atas, dapat dilihat bahwa jika pada bak terjadi density current, weir loading rate diharapkan tidak
terlalu besar karena dapat menyebabkan terjadinya penggerusan pada partikel yang mengendap di
sekitar outlet, sehingga diharapkan weir loading rate dapat sekecil mungkin.
Pada dasarnya satu pelimpah sudah cukup, namun jika hanya ada satu pelimpah, maka weir
loading rate akan menjadi besar. Hal tersebut dapat mengganggu proses pengendapan, sebab
terjadi aliran ke atas menuju pelimpah dengan kecepatan cukup besar yang menyebabkan partikel
yang bergerak ke bawah untuk mengendap terganggu. Terdapat beberapa alternatif untuk
mendesain pelimpah agar luas yang dibutuhkan untuk zona outlet tidak terlalu besar dan beban
pelimpah juga tidak terlalu besar, antara lain dapat dilihat pada Gambar .
darmadi Page 20
Pemilihan desain outlet sangat tergantung pada lebar bak, debit air yang dialirkan serta weir
loading rate, sehingga pada saat menetapkan bentuk outlet, ketiga hal tersebut harus
dipertimbangkan. Jenis pelimpah yang umumnya digunakan adalah bentuk rectangular dan v-
notch, namun v-notch lebih banyak digunakan karena memiliki kemampuan self cleansing dan
dapat meminimalisasi pengaruh angin. Contoh gambar v-notch dapat dilihat pada Gambar 6
berikut.
darmadi Page 21
dapat direncanakan dengan bahan yang mudah didapatkan sendiri. Tube settler didapatkan dari
suatu fabrikasi sebelum disesuaikan dengan perencanaan unit. Plate settler direncanakan dari
bahan yang tahan karat akibat larutan alum dan susah ditumbuhi alga, seperti bahan dari
polyethylene atau bahan terlapisi plastic.
Waktu yang diperlukan lebih kecil dari waktu detensi semula sehingga overlow rate lebih
besar dan pengendapan lebih banyak. Jika sudut kemiringan besar maka jarak tempuh besar
kemampuan mengendap kecil waktu pengendapan lama serta overflow rate kecil. Seperti
diilustrasikan dengan gambar berikut.
Maka waktu yang diperlukan hanya 1/5 waktu semula, jadi overflow rate menjadi 5 kali
lebih besar dari semula. Namun akan mempercepat proses penumpukan sludge pada dasar semu
tersebut yang memungkinkan akan terbawa keluar oleh aliran efluen.
Maka dengan sedikit modifikasi, membuat tray tersebut dalam posisi miring, sehingga jika
sudut kemiringan (α) besar, maka jarak tempuh besar, kemampuan pengendapan kecil, waktu
detensi besar akibatnya overflow rate kecil. Sudut kemiringan plate settler direncanakan agar
lumpur jatuh dengan sendirinya dan tidak menempel pada plate (45° - 60°), namun biasanya
direncanakan pada sudut 55° dari horizontal.(Schlutz, 1984)
1.2.PERHITUNGAN
Suatu kolam pengendapan sedalam 150 cm dipakai untuk mengendapkan partikel diskret pada
kedalaman 120 cm. Terdapat titik sampling over flow rate 0,025 m/s.
darmadi Page 22
waktu (menit) 0,5 1,0 2,0 4,0 6,0 8,0
frek partikel tersisa (Fo) 0,56 0,48 0,37 0,19 0,05 0,02
kec pengendapan (Vo) (m/s) 0,04 0,02 0,01 0,005 0,0033333 0,0025
darmadi Page 23
Tabel 1.3 Perhitungan Luasan Daerah diatas Grafik Pengendapan Partikel Diskret
Sampai Fo ditentukan
Fo Vo
Kotak Luas
(%) m/s
A 0,035 0,022 0,00077
B 0,05 0,016 0,0008
C 0,05 0,012 0,0006
D 0,125 0,0082 0,001025
E 0,125 0,0052 0,00065
F 0,05 0,004 0,0002
G 0,075 0,0028 0,00021
Σ 0,004255
1 Fo
ᶯ = (1 − Fo) + ∫ Vol F
Vo o
1
ᶯ = (1 − 0,51) + . 0,004255 = 66,02%
0,025
66,02 %
1,3
darmadi Page 24
Dari grafik di atas didapatkan nilai kapasitas nya adalah 1,3.
Hasil dari efisiensi ini dimasukkan kedalam Performance Curves For Settling Basins Of Varying
Didapat
𝑡 𝑉𝑜
= = 1,3
𝑡𝑑 𝑄/𝐴
𝑡 𝑄 𝑉𝑜
= =
𝑡𝑑 𝐴 1,3
𝑡 𝑄 0,025
= =
𝑡𝑑 𝐴 1,3
𝑡 𝑄
= = 0,0192 𝑚/𝑠
𝑡𝑑 𝐴
Kedalaman (Zo)
1
8 2
𝑉ℎ = ( ) . 𝑈𝑡𝑜
𝐹
1
8 2 𝑚 𝑚
𝑉ℎ = ( ) . 0,0192 = 0,31
0,03 𝑠 𝑠
𝑃𝑜
= 12,56
3𝑚
darmadi Page 25
Diketahui : Q = 0,112 m3/s
Uto = 0,025 m/s
Zo = 1,5 m
𝑚3
𝑄 0,112
𝐴𝑠 = = 𝑠
𝑈𝑡𝑜 𝑚 = 4,48 𝑚2
0,025 𝑠
Po : B = 4 : 1
18,84 𝑚
𝐵= = 4,7𝑚
84
𝐵 𝑥 𝑍𝑜 4,71 𝑚 𝑥 1,5𝑚
𝑅= = = 0,97𝑚
𝐵 + 2𝑍𝑜 4,71𝑚 + 2 𝑥 1,5𝑚
𝑄 0,112 𝑚3/𝑑𝑒𝑡 𝑚
𝑉𝑜 = = 𝑚 = 0,0159
𝐵 𝑥 𝑍𝑜 4,7𝑚 𝑥 1,5 𝑠 𝑠
Ketika merancang sebuah tangki pengendapan aliran horizontal, hal untuk menghilangkan
partikel diskrit, faktor utama adalah jumlah debit (Q) dari air harus diolah dan karakteristik
pengendapan dari suspensi dan rasio dihilangkan secara bersamaan dengan menentukan
pembebanan perKolam Prasedimukaan So yang akan diterapkan. Setelah faktor-faktor tersebut
Q
diketahui, luas permukaan yang dibutuhkan yaitu A = S tetap. Dengan penghilangan lumpur
o
secara mekanik, kedalaman akan memenuhi semua persyaratan.
darmadi Page 26
Dengan menggunakan tangki persegi panjang tidak hanya kedalaman, tetapi nilai rasio antara
panjang dan lebar masih perlu ditetapkan. Seperti disebutkan sebelumnya, gerusan umumnya
tidak masalah jika memiliki persyaratan sebagai berikut :
Vo R Vo 2
NRe = υ
< 2000 dan NFr = gR
> 10−5
Perhitungan
Diketahui :
Q = 1,12 m3/det
Akan dirancang 2 bak dengan ukuran yang sama besar, sehingga Q = 0,56 m3/det
So = 0.00037 m/s
Ut = 0,025 m/s
𝑄
𝐴𝑠 =
𝑆𝑜
0.56
𝐴𝑠 = = 1513,5 𝑚2
0.00037
Menghitung panjang dan lebar dengan kriteria desain L:W = 6-10, diambil L:W = 6
L= 6W
Lebar :
As = L x W
As = 6W x W
1513,5 𝑚2 = 6 W2
darmadi Page 27
1513,5
𝑊= √
6
W= 15,8 m
Panjang :
L=6W
L = 6 x 15,8m = 94,8 m
Menentukan kedalaman
1 0.8 1
𝐻= 𝐿 = 94,8 0.8 = 3.17 𝑚
12 12
𝑉𝑜 𝑥 𝑅 0.011 𝑥 2.26
𝑅𝑒 = = = 18977
Ʋ 1.31 𝑥 10−6
Nilai Re tidak memenuhi kriteria desain sehingga alirannya turbulen.
𝑉𝑜 2 0.0112
𝐹𝑟 = = = 5.45 𝑥 10−6
𝑔𝑅 9.81 𝑥 2.26
darmadi Page 28
Bilangan Froude dan Bilangan Reynolds terlalu tinggi, mengurangi efisiensi cekungan oleh
turbulensi dan juga mengakibatkan terjadinya penggerusan. Bila penurunan ini tidak dapat diterima,
lebar yang lebih besar dapat diterapkan (diperbesar 2x lipat).
W = 2 x Wi
W = 2 x 15,8 m = 31,6 m
L = As : W
L = 1513,6 m2 : 31,6 m
L = 48 m
Menentukan kedalaman
1 0.8 1
𝐻= 𝐿 = 480.8 = 1,84 𝑚
12 12
𝑄 0.56
𝑉𝑜 = = = 0,0098 𝑚/𝑠
𝑊𝑥𝐻 31,6 𝑥 1,8
𝑉𝑜 𝑥 𝑅 0,0098 𝑥 1.6
𝑅𝑒 = = = 12024
Ʋ 1.31 𝑥 10−6
𝑉𝑜 2 (0,0098)2
𝐹𝑟 = = = 6.11 𝑥 10−6 →< 10−5
𝑔𝑅 9.81 𝑥 1.6
darmadi Page 29
DIMENSI BAK PRASEDIMENTASI DENGAN MEMBUAT BAFFLE VERTIKAL
Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude masih belum memenuhi kriteria desain. Hasil yang lebih
baik dapat diperoleh dengan menggunakan baffle vertikal.
Lebar trays
Wf = W : 4
Jari-jari Hidrolis
𝑊𝑥 𝐻
𝑅=
𝑊 + 2𝐻
7.9𝑚 𝑥 1.84 𝑚
𝑅= = 1.3 𝑚
7.9 𝑚 + 2𝑥1.84𝑚
Reynolds Number
𝑉𝑜 𝑥 𝑅
𝑅𝑒 =
Ʋ
0.0098 𝑥 1.3
𝑅𝑒 = = 9725 → > 2000 → 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑟𝑏𝑢𝑙𝑒𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
1.31 𝑥 10−6
Froude Number
𝑉𝑜 2
𝐹𝑟 =
𝑔𝑅
(0.0098)2
𝐹𝑟 = = 7,53 𝑥 10−6 →< 10−5 → 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
9.81 𝑥 1.3
Lebar trays
Wf = W : 9
darmadi Page 30
Jari-jari Hidrolis
𝑊𝑓 𝑥 𝐻
𝑅=
𝑊𝑓 + 2𝐻
3.5𝑚 𝑥 1.84 𝑚
𝑅= = 0.89 𝑚
3.5 𝑚 + 2𝑥1.84𝑚
Reynolds Number
𝑉𝑜 𝑥 𝑅
𝑅𝑒 =
Ʋ
0.0098 𝑥 0.89
𝑅𝑒 = = 6658 → > 2000 → 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑟𝑏𝑢𝑙𝑒𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
1.31 𝑥 10−6
Froude Number
𝑉𝑜 2
𝐹𝑟 =
𝑔𝑅
0.0982
𝐹𝑟 = = 1.1 𝑥 10−5 →> 10−5 → 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
9.81 𝑥 0.89
Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude masih belum memenuhi kriteria desain. Hasil yang lebih
baik dapat diperoleh dengan menggunakan baffle Horizontal.
Overflow rate
𝑆𝑜
So’ = 4
0.00037
So’= 4
= 9.25 x 10-5 m/s
Luas Permukaan
darmadi Page 31
𝑄
𝐴𝑠 =
𝑆𝑜′
0.56 ∶ 4
𝐴𝑠 = = 1513.5 𝑚2
9.25 𝑥 10−5
L = 6W
Lebar :
As = L x W
As = 6W x W
1513.5 𝑚2 = 6 W2
1513.5
𝑊= √
6
W= 15.8 m
Panjang :
L = As : W
L = 1513.5 m2 : 15.8 m
L = 95,29 m
Hitung Kedalaman
1
𝐻 = 12 𝐿0.8
1
𝐻 = 12 95,29 0.8 = 3,2 𝑚
Jari-jari HIdrolis
𝑊𝑥𝐻
𝑅=
𝑊 + 2𝐻
15.8 𝑚 𝑥 3,2 𝑚
𝑅= = 2,28 𝑚
15.8 𝑚 + 2𝑥3,2 𝑚
Kecepatan Horizontal
𝑄
𝑉𝑜 =
𝑊𝑥𝐻
darmadi Page 32
0.56 ∶ 4
𝑉𝑜 = = 0.0027 𝑚/𝑠
15.8 𝑥 3,2
Reynolds Number
𝑉𝑜 𝑥 𝑅
𝑅𝑒 =
Ʋ
0.0027 𝑥 2,28
𝑅𝑒 = = 4699,2 → > 2000 → 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑟𝑏𝑢𝑙𝑒𝑛 → 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
1.31 𝑥 10−6
Froude Number
𝑉𝑜 2
𝐹𝑟 =
𝑔𝑅
0.00272
𝐹𝑟 = = 3,25 𝑥 10−7 →< 10−5 → 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑀𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
9.81 𝑥 2,28
Overflow rate
𝑆𝑜
So’ =
7
0.00037
So’= 7
= 5,3 x 10-5 m/s
Luas Permukaan
𝑄
𝐴𝑠 =
𝑆𝑜′
0.56 ∶ 7
𝐴𝑠 = = 10566 𝑚2
5.3 𝑥 10−5
L = 6W
Lebar :
As = L x W
As = 6W x W
10566 𝑚2 = 6 W2
darmadi Page 33
10566 𝑚2
𝑊= √
6
W= 41,96 m ≈ 42 m
Panjang :
L = As : W
L = 10566 m2 : 42 m
L = 251.6 m
Hitung Kedalaman
1
𝐻 = 12 𝐿0.8
1 0.8
𝐻 = 12 251.6 = 6,9 𝑚
Jari-jari Hidrolis
𝑊𝑥𝐻
𝑅=
𝑊 + 2𝐻
42𝑚 𝑥 6,9𝑚
𝑅= = 5.2 𝑚
42 𝑚 + 2𝑥6,9𝑚
Kecepatan Horizontal
𝑄
𝑉𝑜 =
𝑊𝑥𝐻
0.56 ; 7
𝑉𝑜 = = 0.0003 𝑚/𝑠
42 𝑥 6,9
Reynolds Number
𝑉𝑜 𝑥 𝑅
𝑅𝑒 =
Ʋ
0.0003 𝑥 5.2
𝑅𝑒 = = 1095,7 → > 2000 → 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑟𝑏𝑢𝑙𝑒𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
1.31 𝑥 10−6
Froude Number
𝑉𝑜 2
𝐹𝑟 =
𝑔𝑅
darmadi Page 34
(0.0003)2
𝐹𝑟 = = 1,79𝑥 10−9 →< 10−5 → 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
9.81 𝑥 5.2
Dikarenakan tidak memenuhinya Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude dengan berbagai metode,
yaitu memperlebar kolam, membuat trays vertikal maupun horizontal, jadi direncanakan bak
prasedimentasi dengan tipe tilted plate separator atau plate settlers. Dimana Plate settlers ini telah
meiliki ukuran lebar tipa plate-nya yaitu 0,1 m, dan kedalamnya adalah 1 m dengan sudut 600.
Direncanakan W = 0.1 m, H = 1m, α = 600
Dengan 95% removal So = 0.00025 m/s
𝑄 𝑊
𝑆0 =
𝐴 𝐻 cos 𝛼 + 𝑊 𝑐𝑜𝑠 2 𝛼
𝑄 0.1
𝑆0 =
𝐴 1 cos 60 + 0.1 𝑐𝑜𝑠 2 600
0
𝑄
𝑆0 = 0.19
𝐴
𝑄 0,56
𝐴 = 0.19 = 0.19 = 425.6 𝑚2
𝑆0 0.00025
Kecepatan horizontal
𝑄 0.56
𝑉𝑜 = = = 0.0015 𝑚/𝑠
𝐴𝑠 sin 𝛼 425.6 sin 60
Jari-jari hidrolis
𝑊 0.1
𝑅= = = 0.05 𝑚
2 2
Reynolds number
𝑉𝑜 𝑥 𝑅 0.0015 𝑥 0.05
𝑅𝑒 = = = 57 → < 2000 → 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑚𝑖𝑛𝑒𝑟 → 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
𝜐 1.31 𝑥 10−6
darmadi Page 35
Froude number
𝑉0 2 0.00152
𝐹𝑟 = = = 4.6 𝑥 10−6 → < 10−5 → 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑛 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
𝑔𝑥𝑅 9.81 𝑥 0.05
TUBE SETTLER
Dikarenakan tetap tidak memenuhinya Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude dengan berbagai plate
settlers, maka bak prasedimentasi akan dirancang dengan tipe tube separator, dengan tetap
memerhatikan pemenuhan kriteria desain Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude. Dimana Tube
settlers ini telah memiliki ukuran lebar tiap tube (pipa)-nya yaitu 0,05 m, dan kedalamnya adalah 0,9
m dengan sudut 600.
Direncanakan W = 0.05 m, H = 0.9 m, α = 600
Dengan 95% removal So = 0.00025 m/s
𝑄 𝑊
𝑆0 =
𝐴 𝐻 cos 𝛼 + 𝐵 𝑐𝑜𝑠 2 𝛼
𝑄 0.05 𝑄
𝑆0 = 0 2 0
= 0.108
𝐴 0.9 cos 60 + 0.05 𝑐𝑜𝑠 60 𝐴
𝑄
𝑆0 = 0.108
𝐴
𝑄 0,56
𝐴 = 0.108 = 0.108 = 241.9 𝑚2
𝑆0 0.00025
Kecepatan horizontal
𝑄
𝑉𝑜 =
281 sin 𝛼
0.56
𝑉𝑜 = = 0.0027 𝑚/𝑠
241,9 sin 60
Jari-jari hidrolis
darmadi Page 36
𝑊2 0.052
𝑅= = = 0.0125 𝑚
4𝑊 4 𝑥 0.05
Reynolds number
𝑉𝑜 𝑥 𝑅 0.0027 𝑥0.0125
𝑅𝑒 = = = 26 → < 2000 → 𝑎𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑚𝑖𝑛𝑒𝑟 → 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
𝜐 1.31 𝑥 10−6
froude number
𝑉0 2 (0.0027)2
𝐹𝑟 = = = 5.8𝑥 10−5 → > 10−5 → 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑛
𝑔 𝑥 𝑅 9.81 𝑥 0.0125
→ 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝐾𝐷
Dikarenakan dengan menggunakan Tube Settlers, pengujian Bilangan Reynolds, dan Bilangan
Fraude memenuhi kriteria desain. Maka akan dirancang Bak Prasedimentasi dengan tipe Tube
Settlers. Dengan ukuran ukuran stiap tube (pipa)-nya yaitu 0,05 m, dan kedalamnya adalah 0,9 m
dengan sudut 600 dan kemampuan pemisahan partikel diskret sebesar 95%. Dan ukuran bak yang
digunakan dengan lebar 31,6 m, panjang bak 48 m, dan ketinggian bak 1,84 m.
INLET SISTEM
Cross Area
𝑄 0.56
𝐴𝑐 = = = 0,93 𝑚2
𝑉𝑖 0.6
Kedalaman Inlet
1 1
𝐻𝑖 = 𝐻 = 1,84 = 0,631 𝑚
3 3
Lebar Inlet
𝐴𝑐 0,93
𝑊= = = 1,5 𝑚
𝐻𝑖 0.631
darmadi Page 37
Diameter Hydraulic Total
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝐷ℎ = 4 𝑥
𝑘𝑒𝑙𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝐻𝑖. 𝑊
𝐷ℎ = 4 𝑥
2𝐻𝑖 + 𝑊
0,631 𝑚 𝑥 1,5 𝑚
𝐷ℎ = 4 𝑥 = 1,34 𝑚
(2 𝑥 0,6312 𝑚) 𝑥 1,5 𝑚
𝑊 31,6
𝑛= −1= − 1 = 14,8 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 ≅ 15 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛
𝑥 2
𝑣𝑖 2 𝜆 𝐵 1
∆= (1 − { 𝑥 }− )
2𝑔 3 𝐷ℎ 𝑛
𝑚 2
(0,6 ) 0,04 31,6 𝑚 1
Δ= 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑚 (1 − { 3 𝑥 1,34 𝑚} − 15) = 0,011 m
2 𝑥 9,81
𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 2
𝑧 > 10 ∆
𝑄
𝑄𝑝 =
𝑛
𝑚3
0,56 3
𝑄𝑝 = 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 = 0,037 𝑚
15 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑄𝑝 = 𝜇𝐹 √2𝑔 𝑧
𝑄𝑝
𝜇𝐹 =
√2𝑔𝑧
darmadi Page 38
𝑚3
0,037
𝜇𝐹 = 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 = 2,8 𝑥 10−3 𝑚2
𝑚
√2 𝑥 9,81 𝑥 0,11 𝑚
𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 2
2,8 𝑥 10−3
𝐹=
𝜇
Bila µ = 0,3
2,8 𝑥 10−3
𝐹= = 0,0092 𝑚2
0,3
𝐹 = 𝜋𝑟 2 = 0,0092 𝑚2 𝑚2
0,0092 𝑚2
𝑟= √ = 0,054 𝑚
𝜋
𝐷 = 2𝑟 = 2 𝑥 0,054 𝑚 = 0,11𝑚
𝑣𝑝 = √2𝑔𝑧
𝑚 𝑚
𝑣𝑝 = √2 𝑥 9,81 2
𝑥 0,11 𝑚 = 1,47
𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
OUTLET SISTEM
𝑄
< 5. 𝐻. 𝑆0
𝑛𝐵
darmadi Page 39
𝑚3
0,56
𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 < 5 𝑥 1,84 𝑥 0,0037 𝑚
𝑛 𝑥 10 𝑚 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑛 𝑥 𝑊
𝑄
< 5𝐻𝑆0
𝑛𝐵
𝑄 𝑚
< 5 𝑥 1,84 𝑥 0,0037
𝑛𝐵 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑄 −3
𝑚2
< 3,4 𝑥 10
𝑛𝐵 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
Untuk memenuhi syarat weir loading < 5HS0 maka perlu memasang 6 bukaan di tangki
selebar 189, 6 m
𝑚3
𝑄 0,56 3
𝑞= = 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 = 6,2 𝑥 10−3 𝑚
𝑛𝑖 . 𝑛𝑜 15 𝑥 6 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
5. V-notch
2⁄
𝑞0 5
ℎ= ( )
1,4
2⁄
5
−3 𝑚3
6,2 𝑥 10
ℎ= ( 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 ) = 0,15 𝑚 = 15 𝑐𝑚
1,4
darmadi Page 40
1.2.3. Kolam Sedimentasi Tipe 3&4
Q maximum = 1,12 m3/s
jika digunakan 2 bak, maka Q = 0,56 m3/s
hub H dan T
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
darmadi Page 41
1. Area Clarifier
𝑚3
𝑄 0,56 𝑠
𝐴𝑐 = .2 = = 6109 𝑚2
𝑉𝑜 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚 1 𝑚𝑛𝑡
1,1 𝑠 . 100 𝑚 . 60 𝑠
2. Area Thickening
𝑇𝑢
𝐴𝑇 = (𝑄 + 𝑅) . 1,5
𝐻𝑜
𝑇𝑢
𝐴𝑇 = (𝑄 + 𝑅) . 1,5
𝐻𝑜
60 𝑠
𝑚3 41,25 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . 1 𝑚𝑛𝑡
𝐴𝑇 = (0,56 + 0,196) .
𝑠 1𝑚
75,5 𝑐𝑚 . 100 𝑐𝑚
𝐴𝑇 = 3742,2 𝑚2
Luas area yang akan digunakan adalah luas area yang terluas antara area klarifikasi dengan
area thickening, karena AT < AC maka luas area yang digunakan adalah luas area klarifikasi
4 𝐴𝑐 4 .6109 𝑚2
𝐷=√ 𝜋
=√ 𝜋
=88,19 𝑚2
𝑉𝑜𝑙 = 𝑄. 𝑇𝑑
𝑚3 60 𝑠
𝑉𝑜𝑙 = 0,56 . 41,25 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 . = 1386 𝑚3
𝑠 1 𝑚𝑛𝑡
𝑉𝑜𝑙 1386 𝑚3
𝐻= + 𝐹𝑟𝑒𝑒𝑏𝑜𝑎𝑟𝑑 = 𝑥 1,2 = 0,26𝑚
𝐴𝑐 6109 𝑚2
1.3.GAMBAR
darmadi Page 42
CDAFTAR ISI
MODUL I PRASEDIMENTASI DAN SEDIMENTASI 3&4 ............................................................... 1
1.1. TEORI ......................................................................................................................................... 1
1.1.1. Prasedimentasi ........................................................................................................................ 1
1.1.2. Sedimentasi ............................................................................................................................. 2
1.1.2.1. Sedimentasi Tipe I .............................................................................................................. 4
1.1.2.2. Sedimentasi Tipe II ............................................................................................................. 8
1.1.2.3. Sedimentasi Tipe III dan IV .............................................................................................. 11
1.1.3. Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude ............................................................................... 14
1.1.4. Zona Inlet .............................................................................................................................. 15
1.1.5. Zona Pengendapan ................................................................................................................ 17
1.1.6. Zona Outlet ........................................................................................................................... 19
1.1.7. Tray (Alas Semu) .................................................................................................................. 21
1.2. PERHITUNGAN ...................................................................................................................... 22
1.2.1. Overflow Rate ....................................................................................................................... 22
1.2.2. Kolam Prasedimentasi........................................................................................................... 26
1.2.3. Kolam Sedimentasi Tipe 3&4 ............................................................................................... 41
1.3. GAMBAR ................................................................................................................................. 42
darmadi Page 43
Tabel 1.1 Ragam Weir Loading dari Berbagai Sumber ........................................................................ 20
Tabel 1.2 Data Hasil Uji Pengendapan di Laboratorium ...................................................................... 22
Tabel 1.3 Perhitungan Luasan Daerah diatas Grafik Pengendapan Partikel Diskret Sampai Fo ditentukan
.............................................................................................................................................................. 24
Gambar 1.1 Empat Tipe Sedimentasi (Reynold dan Richards, 1996) .................................................... 4
Gambar 1.2 Grafik Pengendapatn Tipe I pada temperatur 10 0C (Reynold dan Richards, 1996)........... 6
Gambar 1.3 Lintasan Pengendapan Partikel (Reynold dan Richards, 1996) .......................................... 7
Gambar 1.4 Sketsa Column Settling Test Tipe I (Reynold dan Richards, 1996) ................................... 7
Gambar 1.5 Grafik Pengendapan Partikel Diskret .................................................................................. 8
Gambar 1.6 Sketsa Kolom Sedimentasi Tipe III .................................................................................... 9
Gambar 1.7 Grafik Isoremoval (Reynold dan Richards, 1996) .............................................................. 9
Gambar 1.8 Penentuan Kedalaman H1, H2 dan Seterusnya (Reynold dan Richards, 1996) ................. 10
Gambar 1.9 Pengendapan pada Final Clarifier untuk Proses Lumpur Aktif (Reynold dan Richards, 1996)
.............................................................................................................................................................. 11
Gambar 1.10 Grafik Hasil percoban Sedimentasi Tipe III dan IV (Reynold dan Richards, 1996) ...... 12
Gambar 1.11 Hasil Pengolahan Data Sedimentasi Tipe III dan IV (Reynold dan Richards, 1996) ..... 13
Gambar 1.12 Pengendapan Partikel pada Aliran Laminer dan Turbulen (Huisman, 1997) ................. 14
Gambar 1.13 Sketsa Perforated Baffle .................................................................................................. 16
Gambar 1.14 Pergerakan Partikel pada Bak Prasedimentasi Aliran Horizontal ................................... 17
Gambar 1.15 Profil pada Bak Rectangular Ideal (Reynold dan Richards, 1996) ................................. 19
Gambar 1.16 Beragam Susunan Pelimpah pada Outlet (Qasim, 1985) ................................................ 20
Gambar 1.17 Contoh v-notch (Fair dkk., 1981) .................................................................................... 21
Gambar 1.18 Ilustrasi Dasar Semu (Tray) pada Bak Pengendap .......................................................... 22
Gambar 1.19 Grafik Perbandingan Waktu Terhadap Ketinggian Permukaan Lumpur ........................ 41
darmadi Page 44
DESAIN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BIOFILTER UNTUK MENGOLAH
AIR LIMBAH POLIKLINIK UNIPA SURABAYA
Email:rhenny.ratnawati@yahoo.com
Abstrak:
Poliklinik menghasilkan air limbah domestik yang bersifat infeksius. Oleh karenanya air limbah
tersebut harus diolah agar memenuhi baku mutu lingkungan sehingga tidak mengakibatkan terjadinya
penyakit. Aplikasi biofilter untuk mengolah air limbah domestik poliklinik dapat mereduksi beban organik
terlarut sehingga menghasilkan efluen yang layak dibuang ke badan air. Efluen yang dihasilkan dapat
ditingkatkan sebagai air baku untuk air bersih. Tujuan dalam penelitian ini adalah merencanakan
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah air limbah poliklinik UNIPA Surabaya dengan
menggunakan biofilter. Teknologi biofilter dipilih karena keunggulannya dalam meremoval pencemar
organik dengan tingkat efisiensi tinggi sampai dengan 95%. Biofilter tidak membutuhkan lahan yang luas
serta menggunakan media yang sangat murah menjadikan kelebihan tersendiri dari teknologi ini. Metode
penelitian ini menggunakan data dokumentasi dan observasi lapangan bangunan gedung poliklinik
UNIPA Surabaya. Data kebutuhan air bersih diprediksikan berdasarkan kebutuhan air yang digunakan
untuk operasional poliklinik. Hasil penelitian ini berupa desain IPAL Biofilter yang meliputi dimensi
bangunan dan gambar teknik IPAL serta perhitungan biaya yang siap diaplikasikan untuk mengolah air
limbah yang dihasilkan oleh poliklinik UNIPA Surabaya.
darmadi Page 45
Kata kunci: air limbah poliklinik, biofilter, IPAL
1. PENDAHULUAN
Rumah sakit atau poliklinik merupakan fasilitas sosial yang keberadaannya sangat penting bagi
masyarakat. Air limbah yang berasal dari limbah poliklinik merupakan salah satu sumber pencemaran air
yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena air limbah poliklinik mengandung senyawa organik
yang cukup tinggi juga kemungkinan mengandung senyawa-senyawa kimia lain serta mikroorganisme
patogen yang dapat menyebabkan penyakit terhadap masyarakat di sekitarnya. Oleh karena potensi
dampak air limbah poliklinik terhadap kesehatan masyarakat sangat besar, maka setiap poliklinik
diharuskan mengolah air limbahnya sampai memenuhi persyaratan standar yang berlaku (Ahmadi dan
Fahmi Umar, 1995) .
Poliklinik Universitas PGRI Adi Buana (UNIPA) Surabaya sebagai salah satu unit pelaksanaan di
UNIPA Surabaya dibangun untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar setrata pertama kepada
masyarakat secara langsung di wilayah kampus Dukuh Menanggal Surabaya dan sekitarnya. Poliklinik
UNIPA Surabaya dibangun sebagai sarana laboratorium kebidanan bagi mahasiswa serta
pengembangan enterpreneur lulusan. Berbagai kegiatan poliklinik yang meliputi aktivitas domestik
(kerumah tanggaan) maupun aktivitas pelayanan kesehatan pada masyarakat dapat menjadi sumber
pencemar limbah cair, padat dan gas yang berbahaya bila tidak ditangani secara benar. Sumber limbah
cair poliklinik dapat berasal dari kamar mandi, dapur, ruang periksa, laboratorium, ruang operasi dan
ruangan lain yang mengandung bahan berbahaya serta kuman penyakit. Adapun karakteristik air limbah
poliklinik dengan rawat inap atau rawat jalan hampir secara keseluruhan memiliki kesamaan dengan air
limbah rumah sakit, yang meliputi: limbah domestik yakni buangan kamar mandi, dapur, air bekas cucian
pakaian; limbah cair klinis yakni limbah dari kegiatan klinis misalnya air bekas cuci luka, cucian darah dan
lain – lain; air limbah laboratorium; dan lainnya. Kapasitas air limbah poliklinik relatif kecil sehingga perlu
di kembangkan teknologi pengolahan air limbah yang murah, mudah operasinya serta harganya
terjangkau.
Kep-MENLH/12/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan Rumah Sakit mengharuskan
setiap rumah sakit harus mengolah air limbah sampai standart yang diijinkan. Menurut Kepgub Jatim 61/
1999 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan Rumah Sakit di Propinsi Daerah Tingkat I Jatim,
menyebutkan bahwa dalam rangka penanganan masalah limbah cair, harus memenuhi ketentuan-
ketentuan antara lain:(1) membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air, sehingga
tidak terjadi perembesan ke tanah dan di alirkan ke IPAL serta terpisah dengan saluran limpahan air
hujan, (2) melakukan pengolahan limbah cair secara fisika, kimia dan biologi, sehingga mutu limbah cair
yang di buang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair bagi Rumah Sakit yang telah
ditetapkan. Bagi rumah sakit besar umumnya dapat membangun IPAL sendiri karena mempunyai dana
yang cukup, tetapi bagi rumah sakit kecil termasuk poliklinik dan puskesmas maka kebutuhan akan
teknologi pengolahan air limbah yang layak secara teknis,ekonomis dan memenuhi standart lingkungan
sangat diperlukan.
Teknologi pengolahan air limbah sederhana dengan kinerja yang tinggi yang telah dikembangkan
saat ini adalah dengan biofilter. Menurut Metcalf & Eddy (2004) biofilter (Submerged Filter) adalah suatu
istilah dari reaktor yang dikembangkan dengan prinsip mikroba tumbuh dan berkembang pada suatu
media filter dan membentuk lapisan biofilm (attached growth). Biofilm merupakan salah satu pengolahan
limbah cair secara biologis, proses kerjanya memanfaatkan kehidupan mikroorganisme untuk
menguraikan polutan. Adapun beberapa keunggulan antara lain pengoperasiannya mudah, lumpur yang
dihasilkan sedikit, tahan terhadap fluktuasi jumlah air limbah maupun fluktuasi konsentrasi serta dapat
darmadi Page 46
menghilangkan padatan tersuspensi dengan baik. Teknologi biofilter mampu meremoval kandungan
bahan organik sampai tingkat efisiensi 95%.
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah merencanakan IPAL biofilter anaerob-aerob
yang meliputi ukuran dimensi utama bangunan berdasarkan prediksi peningkatan kunjungan dan
pengembangan poliklinik untuk 10 tahun mendatang.
2. METODA PENELITIAN
Profil poliklinik
Layout poliklinik
Fasilitas pelayanan
Q1 = x. Q
darmadi Page 47
a. Bak equalisasi/ Bak pengumpul terbuat dari pasangan batu bata, bentuk persegi panjang dilengkapi
dengan Bar Screen berupa kawat yang terbuat dari stainlies.
b. Bak Sedimentasi/ Bak pengendapan awal terbuat dari pasangan batu bata dan tertutup yang dilengkapi
dengan lubang kontrol, bak berbentuk persegi panjang, air limbah masuk melalui pipa inlet secara
gravitasi, pemeliharaan dengan cara pengurasan manual.
c. Reaktor Biofilter Anaerob, reaktor ini dipasang secara seri terhadap reaktor biofilter aerob, dengan bahan
pasangan batu bata berbentuk persegi panjang tertutup, media filter yang digunakan batu apung dan
kerikil/pecahan batu kali dengan diameter 2-3 cm, fluida/ air limbah dialirkan secara down flow dan
upflow.
d. Kebutuhan oksigen :
Kebutuhan oksigen di dalam reaktor biofilter aerob sebanding dengan jumlah BOD yang dihilangkan.
Aerasi dilakukan dengan menghembuskan udara dari blower melalui Perforated Pipe diffuser yang
dipasang di dalam air dengan buka – tutup secara otomatis. Jika suplai udara dihentikan maka diffuser
akan tertutup secara otomatis (Siregar, 2005).
Bak pengendap akhir terbuat dari pasangan bata dan tertutup dilengkapi lubang kontrol, bentuk bak
persegi panjang dengan pipa inlet dan outlet secara gravitasi. Bak ini berfungsi sebagai pengendap akhir
sesuai kebutuhan dan air limpasan masuk ke bak khlorinator.
darmadi Page 48
Klorinasi direncanakan dengan alat dosing pump/infuse chlorinator, dimana larutan klorin pada
konsentrasi yang terukur dialirkan ke dalam air limpasan IPAL melalui saluran selang yang dilengkapi
pengatur aliran/kran (Said, 2006).
a. Perhitungan perencanaan dimensi bangunan utama pengolahan air limbah berdasarkan kriteria
perencanaan dan debit air limbah yang direncanakan.
b. Desain perencanaan berupa gambar teknik IPAL Biofilter.
c. Perhitungan biaya pembangun IPAL biofilter disesuaikan dana yang ada dengan menggunakan
perhitungan analisis biaya konstruksi/bangunan (Zainal. Z. 2005) dan pedoman standart harga
barang/jasa Kota Surabaya tahun 2014.
Untuk mengetahui perencanaan IPAL yang diinginkan, maka terlebih dahulu harus diketahui sumber
– sumber limbah yang dihasilkan dari proses pengoperasian Klinik UNIPA Surabaya. Berikut diagram
proses pengolahan limbah cair Polikinik UNIPA Surabaya seperti yang terlihat pada Gambar 3.1.
darmadi Page 49
SUMBER AIR LIMBAH
Dapur
Laundry
Perkantoran
Ruang Bersalin
Air limpasan
Tangki septik
Laboratorium
Bak
Kontrol
Pemisah Lemak
Bak
Kontrol
Bak
Kontrol
Bak
Kontrol
Bak
Kontrol
Pengolahan Fisik-Kimia
Penampungan
Penampungan
Penampungan
Penampungan
darmadi Page 50
Air Hujan
Dibakar Incenerator
Pengolahan Limbah B3
Bak
Equalisasi
Sistem
Anaerob - Aerob
Bak
Khlorinasi
Dibuang
Kesaluran Umum
Dibuang
Kesaluran Umum
Proses
Biologis Terlekat
darmadi Page 51
darmadi Page 52
Gambar 3.1. Diagram Proses Pengolahan Limbah Poliklinik UNIPA Surabaya
darmadi Page 53
3.3 Desain Teknis IPAL Poliklinik UNIPA Surabaya.
Kapasitas IPAL Domestik yang direncanakan pada Poliklinik UNIPA Surabaya alaha sebagai berikut:
Bak pemisah lemak/minyak (grease removal) yang direncanakan adalah dengan aliran gravitasi
sederhana. Bak ini dilengkapai dengan bar screen pada bagian inletnya.
Kapasitas Pengolahan : 20 m3/hari = 0,83 m3/jam = 13,83 liter/menit
Kriteria perencanaan : Retention time = ± 60 menit
Dimensi Bak direncanakan :
Panjang : 1,0 m
Lebar : 1,0 m
Tinggi : 1,0 m
Ruang bebas (Free board) : 0,2 m
Volume efektif : 1,0 m3
Tebal dinding : 15 cm
Desain bak pemisah lemak/minyak ditunjukan pada Gambar 3.2.
Waktu tinggal di dalam bak (HRT) = 2 - 8 jam (JWWA dalam Said, 2006)
Ditetapkan : waktu tinggal (td) limbah di dalam bak equalisasi = 2 jam
Dimensi Bak direncanakan :
Panjang : 1,4 m
Lebar : 1,2 m
Tinggi : 1,0 m
Ruang bebas (Free board) : 0,2 m
Volume efektif : 1,6 m3
Tebal dinding : 15 cm
Chek
jadi, waktu tinggal (td) di dalam bak = 2 jam, sesuai dengan kriteria.
Pompa Air Limbah = 20 m3/hari = 0,83 m3/jam = 13,83 liter/menit
Desain bak equalisasi ditunjukan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Bak Equalisasi/Sumur Pengumpul
I-54
Debit Air Limbah : 20 m3/hari
: 0,83 m3/jam
: 13,83 liter/menit
BOD masuk : 300 mg/liter
Efisiensi : 20 %
BOD keluar : 240 mg/liter
Waktu tinggal di dalam bak (HRT) = 2 - 4 jam (JWWA dalam Said, 2006)
Ditetapkan : waktu tinggal (td) limbah di dalam bak equalisasi = 2 jam
Jadi,
Dimensi Bak direncanakan :
Panjang : 1,4 m
Lebar : 1,2 m
Tinggi : 1,0 m
Ruang bebas (Free board) : 0,2 m
Volume efektif : 1,6 m3
Tebal dinding : 15 cm
Chek :
jadi, waktu tinggal (td) di dalam bak = 2 jam sesuai dengan kriteria.
Waktu tinggal pada saat beban puncak = 1 jam (asumsi jumlah limbah 2 x jumlah rata-rata)
Beban permukaan (surface loading) rata-rata = 12,5 m3/m2.hari
Beban permukaan pada saat puncak = 25 m 3/m2.hari
Beban permukaan = 20 - 50 m3/m2.hari
Desain bak pengendapan awal/ sedimentasi ditunjukan pada gambar 3.4 berikut.
Gambar 3.4. Bak Pengendapan Awal/ Sedimentasi Awal
I-55
Standar high rate tricling filter : 0,4 – 4,7 Kg BOD/m3.hari (Ebie Kunio, 1995)
F. Kebutuhan Oksigen
Kebutuhan oksigen di dalam reaktor biofilter aerob sebanding dengan jumlah BOD yang dihilangkan.
Jadi, kebutuhan teoritis = jumlah BOD yang dihilangkan yaitu 1,44 Kg/hari
Faktor keamanan di tetapkan ± 2,0
Kebutuhan oksigen teoritis = 2 x 1,44 Kg/hari
= 2,88 Kg/hari
Sehingga,
Efisiensi difuser = 5%
Jika kapasitas blower adalah 100 liter/menit dan terdiri dari 2 unit, maka transfer total udara = 200
liter/menit
I-56
Gambar 3.5. Bak Biofilter Anaerob-Aerob
Waktu tinggal pada saat beban puncak = 1 jam (asumsi jumlah limbah 2 x jumlah rata-rata)
Beban permukaan (surface loading) rata-rata = 12,5 m3/m2.hari
Beban permukaan pada saat puncak = 25 m 3/m2.hari
Beban permukaan = 20 - 50 m3/m2.hari
Gambar 3.6. Bak Sedimentasi Akhir
Berdasarkan perhitungan analisis perencanaan diperoleh rekap dimensi IPAL seperti pada tabel 3.1
berikut.
Dimensi Bak
No Nama Bak
Vol. yg P L T Free Board Vol. Efektif
diperlukan (m3) (m) (m) (m) (m) (m3)
I-57
a. Ruang Aerasi 1,7 0,4 1,2 1,0 0,2 1,7
Total 10
4. KESIMPULAN
Perencanaan pembangunan IPAL Poliklinik UNIPA Surabaya akan dibangun pada lahan
seluas 12 m2 dengan panjang total IPAL yaitu 10 m dan lebar 1,2 m. Bangunan IPAL Poliklinik terdiri
dari bak pre treatment dengan dimensi 1 m x 1 m x 1 m, bak pemisah minyak/lemak dengan dimensi
1 m x 1 m x 1 m, bak equalisasi dengan dimensi 1,4 m x 1,2 m x 1 m, bak pengendapan awal dengan
dimensi 1,4 m x 1,2 m x 1 m, bak biofilter anaerob dengan dimensi 1,4 m x 1,2 m x 1 m, bak biofilter
aerob dengan dimensi 1,4 m x 1,2 m x 1 m dan bak pengendapan akhir dengan dimensi 1,4 m x 1,2
mx1m
I-58