Bab I, II Diare Kronis Et Causa KOLITIS ULSERATIF

You might also like

You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak berbentuk atau dalam

konsistensi cair dengan frekuensi yang meningkat, umumnya frekuensi > 3 kali/hari, atau

dengan perkiraan volume tinja > 200 gr/hari. Durasi diare sangat menentukan diagnosis, diare

akut jika durasinya kurang dari 2 minggu, diare persistent jika durasinya antara 2-4 minggu,

dan diare kronis jika durasi lebih dari 4 minggu. Diare merupakan permasalahan yang umum

diseluruh dunia, dengan insiden yang tinggi baik di negara industri maupun di negara

berkembang. Biasanya ringan dan sembuh sendiri, tetapi diantaranya ada yang berkembang

menjadi penyakit yang mengancam nyawa. Diare juga dikatakan penyebab morbiditas,

penurunan produktifitas kerja, serta pemakaian sarana kesehatan yang umum.1

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) ada 2 miliar kasus diare pada

orang dewasa di seluruh dunia setiap tahun. Di Amerika Serikat, insidens kasus diare

mencapai 200 juta hingga 300 juta kasus per tahun. Sekitar 900.000 kasus diare perlu

perawatan di rumah sakit. Di seluruh dunia, sekitar 2,5 juta kasus kematian karena diare per

tahun. Di Amerika Serikat, diare terkait mortalitas tinggi pada lanjut usia. Satu studi data

mortalitas nasional melaporkan lebih dari 28.000 kematian akibat diare dalam waktu 9 tahun,

51% kematian terjadi pada lanjut usia. Statistik populasi untuk kejadian diare kronis belum

pasti, kemungkinan berkaitan dengan variasi definisi dan sistem pelaporan, tetapi

frekuensinya juga cukup tinggi.2

Diare akut jelas masalahnya baik dari segi patofisiologi maupun terapi. Hal ini

berbeda dengan diare kronis yang diagnosis maupun terapinya lebih rumit dari diare akut.

Bahkan dilaporkan sekitar 20% diare kronik tetap tidak dapat diketahui penyebabnya

walaupun telah dilakukan pemeriksaan intensif selama 2-6 tahun. 1


Kebanyakan diare kronis disebabkan oleh Inflammatory Bowel Disease (IBD). IBD

adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai

saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis

ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan

dalam kategori indeterminate colitis. Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi

secara intermitten dan remisinya gejala klinik. Insiden penyakit kolitis ulseratif di Amerika

Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi

penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara itu, puncak

kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan

terjadi pada setiap dekade kehidupan.3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolitis Ulseratif

2.1.1 Definisi

Kolitis ulseratif adalah proses inflamasi kronis yang mengenai mukosa dan

submukosa kolon dan rektum, sedangkan saluran cerna bagian atas bebas dari penyakit.

kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui,

biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, akut, atau kronis.4

2.1.2 Epidemiologi

Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan mengalami Kolitis

ulseratif (KU) dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000 individu. Sedangkan di

Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000 penduduk dan insidens PC sekitar 5.8

kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai

IBD, data masih didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari

Jakarta pada tahun 2002 melaporkan Secara global dikatakan bahwainsidens IBD adalah 10

kasus per 100.000 penduduk, KU 2.2–14.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC (penyakit

chron) 3.1–14.6 kasus per 100.000 penduduk.5

Prevalensi jenis kelamin kolitis ulseratif mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama

besar, dari sumber lain menyebutkan laki-laki sedikit lebih besar berisiko terkena daripada

wanita.

Kolitis ulseratif bisa terjadi pada usia berapapun. Namun, sangat jarang pada anak-

anak di bawah usia 5 tahun. Dalam kebanyakan kasus gejala mulai muncul ketika orang

berusia antara 10-40 tahun, dari sumber lain menyebutkan terjadi antara usia 15-40 tahun.6

2.1.3 Etiologi 3
Pada Kolitis ulseratif (KU), proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke

proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi

biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi hampir tidak

pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis juga terdapat peradangan.

Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada Kolitis ulseratif, tidak adanya skip area yakni

area normal di antara daerah lesi menjadi penanda khas KU. Hingga saat ini, etiologi pasti

IBD belum sepenuhnya dimengerti.

Beberapa hipotesis mengenai penyebab kolitis ulseratif meliputi:

A. sistem Imunologik. Setelah menyerang virus dan bakteri, sistem kekebalan tubuh

tidak lantas menjadi nonaktif. sistem kekebalan tubuh terus waspada dan aktif

mengarah ke peradangan. Beberapa penelitian menun!ukkan bahwa sistem

kekebalan tubuh sebenarnya tidak dipicu oleh serangan bakteri berbahaya tetapi

oleh miliaran bakteri ramah dan tidak berbahaya dalam usus. Hal ini merupakan

manifestasi dari hipotesis autoimun dibalik penyebab kolitis ulseratif.Pada 60-

70% pasien dengan kolitis ulseratif ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti

neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam

pathogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2,

pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.


B. Faktor Genetik

Terdapat studi populasi yang mengungkapkan bahwa setidaknya 1 dari 6 orang

dengan kolitis ulseratif memiliki hubungan darah yang memiliki kondisi seperti

ini. Hipotesis genetik juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagian masyarakat

dengan riwayat keluarga kolitis ulseratif lebih berisiko terkena. faktor resiko pada

orang kulit putih keturunan eropa terutama yang berasal dari komunitas yahudi

lebih tinggi, jarang terjadi di antara orang kulit hitam dan orang keturunan asia.

Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap perkembangan

penyakit.

C. Faktor Lingkungan

Kolitis ulseratif lebih umum terjadi di daerah perkotaan terutama di bagian utara

eropa Barat dan Amerika. Ada penelitian yang menunjukkan hubungan kolitis

ulseratif dengan beberapa faktor lingkungan termasuk polus udara, diet dan

kebersihan. Diet khas Barat tinggi karbohidrat dan lemak. Ini sangat

berbeda dari diet Asia yang lebih rendah karbohidrat dan lemak. Metode diet

kebarat-baratan bisa menjadi kunci untuk penyebab dari kolitis ulseratif.

D. Faktor Infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus

untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk

menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh

diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang

dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih

harus dikonfirmasi.

E. faktor Psikologik
gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak

lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan

dengan adanya stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota

keluarganya.

2.1.4 Patofisiologi 7

kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa. Kondisi ini ditandai dengan pembentukan

abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat

dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh. Kolitis akut

berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksis, yang ditandai dengan

penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usus-usus besar yang memungkinkan

terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukkan pseudopolip pada

sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan resiko

peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma insitu atau dispalsia. Secara anatomis

sebagian besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien !uga mengalami mengembangkan

ileitis terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar

30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh. Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa

superficial kolon dan dikarekteristikkan dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi

menyebar, dan deskuamasasi atau pengelupasan epithelium kolonik. Perdarahan terjadi

sebagai akibat ulserasi. Lesi berlanjut, yang ter!adi satu secara bergiliran, satu lesi diikuiti lesi

yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh

kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat hipertrofi muscular dan

deposit lemak.Proses radang mulai di rektum sebagai radang yang difus, naik ke bagian

proksimal dan seluruh kolon dapat terkena. Ada infiltrasi sel-sel polimorf, sel plasma dan

eosinofil ke lamina propria, ada edema dan pelebaran vaskuler, kelenjar-kelenjar ikut

meradang dan terjadi abses-abses di kripta-kripta Lieberkuhn. Kemudian terdapat destruksi


kelenjar-kelenjar dan ulserasi pada epitel. Makroskopis mukosa kelihatan hiperemis secara

difus pada keadaan yang ringan dan kelihatan ulserasi pada keadaan yang sedang dan berat.

Dinding usus bisa menjadi tipis dan tidak jarang ini menyebabkan perforasi.Pada waktu

penyembuhan terjadi proses granulasi yang sering berlebihan sehingga menyerupai suatu

polip disebut pseudopolip. Pada kasus yang menahun, usus akan menjadi lebih pendek, sering

timbul penyempitan lumen, walaupun striktura jarang terjadi. Pada sebagian kecil penderita,

proses radang hanya terdapat pada rektum. Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang

didapatkan pada kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang

menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak di!umpai.

Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan

dapat terjadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan ter!adi

kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal,

pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler terutama pada koln distal dan

rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat terjadi

hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversible.Lesi

patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus,

yang !elas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding

usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. edema dapat

menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan,

seperti gesekan ringan pada permukaan.Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses

kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa,

menimbulkan terowongan dalam mukosa. mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah

yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula-mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium

yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga

menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.Proses alteratif ulseratif


superfisialis dan granulasi yang diikuti oleh reepitelisasi bisa menyebabkan ton!olan yang

membentuk polip peradangan (pseudopolip), yang tidak neoplastik. penyakit yang

berlangsung lama menyebabkan hiperplasia lamina muskularis mukosa dan bila disertai oleh

fibrosis pasca peradangan, terjadipemendekan kolon serta mengakibatkan terjadinya

megakolon.

2.1.5 Manifestasi Klinis 8

Gejala utama adalah diare dan ditemukan darah yang berwarna merah terang pada

feses dengan frekuensi sering (antara 5 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah,

akibat adanya iritasi rektum yang meradang. gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum

berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan. Pada penyakit

yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung

sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.

Gambar 2. Klinis dan patologis dari kolitis ulseratif 5


2.1.5 Diagnosis3,5

Anamnesis

Perhatikan tanda dan gejala, onset usia, keparahan gejala, kemungkinan pemicu flare

up yang diperoleh. riwayat keluarga dimungkinkan adanya faktor herediter dari anggota

keluarga yang pernah mengalami kolitis ulseratif.

Pemeriksaan fisik

kesehatan umum, tanda-tanda kekurangan gizi sangat penting untuk diagnosis dan

manajemen dari kolitis ulseratif. Pasien diperiksa apabila terjadi anemia dan nyeri abdomen.

Pemeriksaan laboratorium

Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Bisa terdapat anemia yang

mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik.

Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat

pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia,

mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif

dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi.

Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang

berhubungan.
Ada dua tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR)

dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan peradangan, merupakan tes

non spesifik namun dan dapat memberikan hasil positif jika ada infeksi dalam tubuh.

- Antibody markers and in-depth blood tests

Tes darah untuk mencari antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh

sebagai bagian dari proses peradangan. Pengujian meliputi perinuklear Anti-neutrofil

Antibodies (p-ANCA) dan Anti Saccharomyces Cerevisiae Antibodi (ASCA). Antibodi

ini disebut biomarker. Banyak pasien dengan kolitis ulseratif memiliki antibodi pANCA

dalam darah mereka sementara pasien dengan penyakit Crohn lebih mungkin untuk

memiliki pANCA dalam darah mereka. Namun, tes antibodi ini tidak mutlak. Dalam

beberapa kasus, pasien memiliki kedua antibodi tersebut sementara antibodi mungkin

positif pada pasien tanpa penyakit kolitis ulseratif.

-Pemeriksaan Feses

untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi pada kolon atau rektum yang disebabkan

oleh bakteri, virus, atau parasit.

Pemeriksaan radiologi

Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon.

Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis,

spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat

memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada,

sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam

abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi

yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan

tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi

adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral
decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. Foto polos abdomen juga merupakan

pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema.

-Barium enema

Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema

dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu,

enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung

usus. Hal ini dapat membantu dalam diagnosis.

- sigmoidoskopi dan kolonoskopi

Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa kolitis ulseratif.

Sigmoidoskopi atau Kolonoskopi mendeteksi tingkat dan luasnya peradangan usus.

Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan seluruh usus besar, sementara

sigmoidoskopi fleksibel digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih

rendah. Ini melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan kamera

pada u!ungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang menyakitkan dan

dilakukan dengan sedasi . sigmoidoscope ini hanya mampu melihat rektum dan bagian bawah

usus besar sementara kolonoskopi meliputi seluruh usus sampai persimpangan ileocecal.

-Esophagogastroduodenoscopy yang menggunakan prinsip yang sama untuk

memeriksa lapisan kerongkongan, lambung, dan duodenum. Hal ini membantu dalam

mengesampingkan penyakit Crohn karena kondisi ini dapat mempengaruhi saluran

pencernaan bagian atas juga.

- CT scan

untuk mendeteksi komplikasi kolitis ulseratif termasuk abses, fistula, dan

penyumbatan usus.

Pemeriksaan endoskopi
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara

difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data dari

beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada

rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan

seluruh kolon (pan-kolitis).

Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,

kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah.

Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Ulserasi landai, bisa

kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan

kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang

sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik,

mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip.

Derajat kolitis ulseratif berdasarkan pemeriksaan endoskopi:

- Tahap 0 : kapal mukosa sedikit tertekuk, pucat.

- Tahap 1: eritema, sedikit granularitas

- Tahap 2: individu ulserasi, tidak ada kapal terlihat, perdarahan spontan

- Tahap 3: ulserasi lebih besar, perdarahan spontan, edema mukosa

Pada tahap awal, edema dan inflamasi infiltrasi menyebabkan perataan dari haustra. pada

tahap aktif ada sebuah koreng yang meluas dan hilangnya haustra. Lebih dalam borok dapat

merusak mukosa, yang menyebabkan pengembangan ulserasi khas. Evaluasi dengan

kolonoskopi harus dilakukan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif dan untuk menentukan luas

dan beratnya persentasi kolitis ulseratif. Prosedur pemeriksaan sigmoidoskopi dapat

membantu untuk menemukan adanya hiperemik, serta rapuh dan berdarah pada rektum dan

kolon, saat disentuh dapat !uga terlihat ulkus dan pseudopolip. Pemeriksaan barium enema
pada stadium dini memperlihatkan iritabilitas kolon kemudian dapat terlihat adanya ulkus

yang berisi barium berbulu

2.1.6 Tatalaksana 5,9

Pengobatan untuk kolitis ulseratif tergantung pada beratnya penyakit. Masing-masing

individu memiliki pengalaman kolitis ulseratif yang berbeda sehingga pengobatan

disesuaikan untuk setiap individu. Tujuan dari terapi obat adalah untuk mendorong dan

mempertahankan remisi, serta meningkatkan kualitas hidup pasien kolitis ulseratif. Beberapa

!enis obat-obatan yang tersedia.

-aminosalicylates jelas obat yang mengandung asam 5-aminosalicyclic membantu

mengontrol peradangan. sulfasalazine adalah kombinasi dari sulfapyridine dan 5-ASA.

Komponen sulfapyridine membawa antiinflamasi 5-ASA ke usus. Namun, sulfapyridine

dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, mulas, diare, dan sakit kepala. Agen

yang lain dari 5-ASA seperti olsalazine, mesalamine, dan balsalazide, memiliki pembawa

yang berbeda, efek samping yang lebih sedikit, dan dapat digunakan oleh orang-orang yang

tidak bisa mengkonsumsi sulfasalazine. 5-ASAs diberikan secara oral, melalui enema, atau

supositoria, tergantung lokasi inflamasi pada kolon. Kebanyakan pasien kolitis ulseratif
tingkat mild atau moderate diberikan kelompok obat ini. Jelas obat ini !uga digunakan dalam

kasus kekambuhan.

-kortikosteroid jelas obat seperti prednisone, methylprednisone dan hidrokortisone

!uga mengurangi peradangan. Jelas obat ini digunakan pada kasus kolitis ulseratif yang

memiliki tingkat moderate sampai severe yang tidak merespon obat 5-ASA Kortikosteroid

juga dikenal sebagai steroid, dapat diberikan secara oral , intra3ena, melalui enema, atau

dalam supositoria tergantung pada lokasi peradangan. Obat ini menimbulkan efek samping

seperti kenaikan berat badan, jerawat, rambut wajah, hipertensi, perubahan suasana hati,

kehilangan massa tulang dan resiko infeksi. 9elas obat ini tidak direkomendasikan untuk

penggunaan jangka panjang, meskipun sangat efektif bila diresepkan untuk penggunaan

Jangka pendek.

-Immunomodulators jelas obat seperti azathioprine dan 6-mercapto-purine (6-MP)

mengurangi peradangan dengan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. 2bat ini digunakan

untuk pasien yang tidak merespon 5-ASAs atau kortikosteroid atau ketergantungan pada

kortikosteroid. Imunomodulator diberikan secar oral, namun bereaksi secara lambat sehingga

bisa memakan waktu hingga 6 bulan sebelum merasakan manfaat penuh. Pasien yang

memakai obat ini harus dimonitor untuk komplikasi seperti pankreatitis, hepatitis,

berkurangnya jumlah sel darah putih, dan peningkatan risiko infeksi. siklosporin A dapat

digunakan dengan 6-MP atau azathioprine untuk pengobatan aktif, severe kolitis ulseratif

pada pasien yang tidak lagi merespon kortikosteroid intravena. obat lainnya bisa diberikan

untuk menimbulkan efek rileks pasien atau untuk menghilangkan rasa sakit, diare, atau

infeksi. Beberapa orang memiliki remisi (periode ketika ge!ala hilang) selama berbulan-bulan

atau bahkan bertahun-tahun. Namun, sebagian besar gejala pasien kembali.

- Pembedahan
Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk dilakukan

pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif, penyakit parah, pecahnya

kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan merekomendasikan pemotongan kolon !ika

penatalaksanaan medis gagal atau jika efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam

kesehatan pasien. Pembedahan untuk mengangkat kolon dan rektum, dikenal sebagai

proctocolektomy, diantaranya sebagai berikut:

a.Ileostomy

ahli bedah membuat lubang kecil di perut, yang disebut stoma, dan menempel di ileum. feses

dalam usus akan melewati usus kecil dan keluar melalui stoma. stroma terletak di bagian

abdomen dekstra bawah.

b.Ileoanal anastomosis

full-through operation yang memungkinkan pasien untuk memiliki gerakan usus normal

karena mempertahankan bagian anus. Dalam operasi ini, ahli bedah mengangkat kolon dan

rektum bagian dalam, meninggalkan otot luar rektum. ahli bedah kemudian menempelkan

ileum ke dalam rektum dan anus, menciptakan sebuah kantong. feses atau kotoran disimpan

dalam kantong dan melewati melalui anus dengan cara biasa. frekuensi buang air besar

mungkin lebih sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan kantong (

pouchitis) merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.


2.2. Post partum

2.2.1 Definisi

Post partum adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas

dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ

yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain

sebagainya yang berkaitan saat melahirkan.10

2.2.2 Klasifikasi

Nifas dibagi dalam 3 periode:11

1. Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan,

dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.

2. Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital yang lamanya 6-8

minggu.

3. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama

bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat

sempurna bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan atau tahunan.

2.2.3 Kebutuhan Dasar Perawatan Postpartum 12

Nutrisi dan cairan Pada masa postpartum masalah diet perlu mendapat perhatian yang

serius, karena dengan nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan sangat

mempengaruhi susunan air susu. Diet yang diberikan harus bermutu, bergizi tinggi, cukup

kalori, tinggi protein, dan banyak mengandung cairan. Ibu yang menyusui harus memenuhi

kebutuhan akan gizi seperti mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari, makan dengan diet

berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, dan vitamin yang cukup, dan minum

sedikitnya 3 liter air setiap hari


Ibu postpartum sudah diperbolehkan bangun dari tempat tidur dalam 24-48 jam

postpartum. Eliminasi dalam 6 jam ibu post partum harus sudah bisa BAK spontan. Jika

dalam 8 jam postpartum belum dapat berkemih tau sekali berkemih belum melebihi 100 cc,

maka dilakukan kateterisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu 8

jam untuk kateterisasi. Ibu postpartum diharapkan dapat buang air besar setelah hari kedua

postpartum. Bila lebih dari tiga hari belum BAB bisa diberikan obat laksantia. Asupan cairan

yang adekuat dan diit tinggi serat sangat dianjurkan. Personal higiene sangat penting

dilakukan Pada masa post partum, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh karena

itu, kebersihan diri sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Kebersihan tubuh,

pakaian, tempat tidur, dan lingkungan sangat penting untuk tetap dijaga.

2.3. Diaper Rash

2.3.1. Definisi 13

Ruam popok banyak terjadi pada bayi.Ruam popok merupakan gangguan kulit berupa

peradangan di sekitar daerah yang ditutupi oleh popok atau sekitar popok.Peradangan ini

terutama terjadi pada bagian daerah kedua belah paha, bokong, perut bagian bawah, sekitar

kelamin serta area di sekitar atas bokong dan punggung bawah.

2.3.2 Etiologi

Penyebab utama ruam popok adalah kelembaban atau kontak yang terlalu lama

dengan zat amonia yang terkandung dalam urin atau feses.Selain itu, ruam popok bisa juga

disebabkan oleh adanya riwayat alergi, terjadi gesekan berlebihan antara popok dengan kulit,

memakai popok yang terlalu ketat, atau memakai diaper yang terbuat dari plastik atau karet

dalam jangka waktu lama sehingga mengakibatkan iritasi. Orang lanjut usia yang harus

memakai diaper juga dapat terkena ruam popok, tetapi hal ini jarang terjadi karena kulitnya

lebih tebal dari bayi. Ruam popok juga tidak pernah terjadi pada orang dewasa karena orang
dewasa bisa melakukan ritual ke kamar kecil sendiri dan tahu apa yang harus dilakukan untuk

menjaga kebersihan diri.13

2.3.3. Patofisiologi 14

Terdapat beragam etiologi yang saling berpengaruh. Terdapat hubungan erat antara

keparahan dermatitis popok dan kondisi kulit basah berlebihan, sehingga menimbulkan

maserasi kulit. Kulit lembap akan lebih mudah mengalami abrasi oleh gesekan bahan popok

ketika bergerak. Abrasi yang berkelanjutan merusak stratum korneum, sehingga akan lebih

mudah ditembus oleh iritan, seperti amonia yang berasal dari pemecahan urea oleh urease

feses. Kelembapan berlebih juga memberikan lingkungan yang baik untuk berkembangnya

infeksi bakteri serta jamur. Infeksi bakteri dan amonia meningkatkan pH sekitar lesi,

sehingga akan meningkatkan aktivitas iritasi dari enzim protease, lipase, dan urease dari

feses. Enzim-enzim tersebut akan mendegradasi protein di stratum korneum, juga

meningkatkan permeabilitas garam empedu dan iritan lainnya. Peningkatan Ph juga makin

meningkatkan risiko kolonisasi patogen dan infeksi sekunder. Infeksi oportunistik Candida

albicans menunjukkan lesi kronis dan lebih parah, dengan lesi eritematosa atau pustul satelit

di area perifer lesi. Terdapat kontributor utama, yaitu kombinasi urin dan feses bersama pH

tinggi. Enzim feses dapat menjadi lebih aktif pada pH tinggi. pH tinggi dapat dipengaruhi

oleh oklusi karena pemakaian popok dan peningkatan permeabilitas kulit karena kerusakan

stratum korneum.

Selain itu, status nutrisi/diet dapat mempengaruhi komposisi feses; penggunaan obat-

obatan tertentu seperti antibiotik, serta kondisi medis seperti diare, turut berkontribusi

memicu dermatitis popok.Kejadian dermatitis popok berulang dikaitkan dengan pertambahan

usia, kurangnya penggunaan krim pelindung, kejadian dermatitis popok saat ini, dan

rendahnya frekuensi pergantian popok.

2.3.4. Tatalaksana 14
Prinsip Formulasi Topikal pada dermatitis Popok terdiri dari 2 bagian, yaitu

vehikulum dan zat aktif. Vehikulum dan zat aktif yang lazim dipakai dan dikenal selama ini

adalah sebagai

berikut:

A. Vehikulum

Vehikulum berperan sebagai substansi inaktif dengan kandungan berbagai bahan aktif

dan bahan tambahan di dalamnya.

B. Bahan Aktif

Bahan aktif yang dibawa oleh vehikulum berperan dalam pencegahan dan terapi

dermatitis popok. Masing-masing zat aktif memiliki kadar aman. Efektivitas penambahan

vitamin A, D, dan E dalam agen topikal masih belum jelas, sehingga pemakaiannya masih

kontroversial.

Gambar 2.1 Topikal untuk dermatitis popok


2.4. Hipoalbumin

2.4.1. Definisi
Albumin (69 kDa) merupakan protein utama dalam plasma manusia (3,4-4,7 g/dL),

dan membentuk sekitar 60% protein plasma total. Sekitar 40% albumin terdapat dalam

plasma, dan 60% sisanya terdapat di ruang ekstrasel. Albumin berperan dalam membantu

mempertahankan tekanan osmotik koloid darah (75- 80% tekanan osmotik plasma), sebagai

protein transpor dari beberapa macam substansi antara lain metal, bilirubin, enzim, hormon,

obat-obatan. 15

Penurunan kadar albumin dalam darah (hipoalbuminemia) mengakibatkan cairan

keluar dari pembuluh darah, keluar ke dalam jaringan menyebabkan terjadinya “oedema”.

Selanjutnya, banyak penurunan pada syntesis di hepar merupakan kompensasi yang besar

dengan penurunan katabolisme. 16

Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/di bawah nilai normal (serum <

3,5 g/dl) (2) sedangkan kadar normal albumin berkisar sebesar 3,4-5,5 g/dL. Waktu paruh

albumin dalam plasma berkisar antara 8-20 hari sehingga diperlukan waktu setidaknya 7-10

hari untuk mencapai kadar albumin plasma normal kembali. Hipoalbuminemia

mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein sehingga mengganggu

sintesis albumin serta protein lain oleh hati.17

2.4.2. Epidemiologi
Kadar serum albumin rendah merupakan prediktor penting dari mordibitas dan

mortalitas. Setiap penurunan 10g/L serum albumin, angka kematian meningkat sebesar 137%

dan morbiditas meningkat 89%. Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-

50% pasien mengalami hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya

hipoalbuminemia berat, serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition

menunjukkan 90% lebih lama daripada pasien dengan gizi baik.15


Pada pasien sakit kritis akan memiliki kadar serum albumin yang lebih rendah

dibandingkan dengan orang sehat. Keadaan ini dikarenakan beratnya penyakit yang diderita

yang dimediasi oleh keluarnya sitokin, kondisi hipermetabolik dan fungsi hati yang tertekan

serta status nutrisi yang buruk. Rendahnya kadar albumin pada pasien diyakini berhubungan

dengan gangguan kapasitas absorpsi GIT.18

2.4.2 Etiologi

Albumin serum akan menurun (hipoalbuminemia) pada keadaan :

(a) gangguan sintesa albumin (penyakit hati, alcoholism, malabsorbsi, starvasi penyakit

kronis),

(b) kehilangan albumin (sindroma nefrotik, luka bakar, dll.)

(c) status gizi jelek, akibat rasio albumin dan globulin rendah (peradangan kronik, penyakit

kolagen, kakeksia, infeksi berat).

2.4.3 Terapi 19
a. diet

Tujuan utama terapi diet hipoalbuminemia adalah meningkatkan dan mempertahankan status

gizi dalam hal ini kadar serum albumin serta mencegah seminimal mungkin penurunan kadar

albumin untuk mencegah komplikasi. Kebutuhan energi pada hipoalbuminemia diupayakan

terpenuhi karena apabila asupan energi kurang dari kebutuhan maka bisa terjadi

pembongkaran protein tubuh untuk diubah menjadi sumber energi sehingga beresiko

memperburuk kondisi hopoalbuminemia. Oleh karena itu pada pasien-pasien hypoalbumin

khususnya dan pasien bedah pada umumnya diberikan diet TKTP, kalau perlu diberikan

ekstra putih telur, ekstra ikan gabus.


b. medis

Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan hipoalbumin

seperti kasus-kasus di atas dari team medis diberikan transfusi FFP dan atau human albumin.

Untuk pemberian kedua transfusi tersebut pada kasus yang kadar albumin dalam darah ≤ 2,5

gr/dl.
DAFTAR PUSTAKA

1. NGP Cilik Wiryani, I Dewa Nyoman W. Pendekatan diagnostik dan terapi diare

kronis. J Peny Dalam.2007; 8 (1): 66-79.

2. Amin, Lukman Zulkifl i.Tatalaksana Diare Akut. CDK.2015 ;42 (7): 504-8.

3. Ariestine ,Dina Aprillia. Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik

Dan Patogenesa. USU e-Repository.2008 ;1(1): 1-12.

4. Graber, mark A. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC, 2006.

5. Mohammad AF. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan

Imflammatory Bowel Disease. CDK.2013; 40 (4): 247-52.

6. Ulcerative Colitis edition 7. National Association for Colitis and Crohn`s Disease.

USA:NACC, 2011.

7. Yamada T. Inflammatory Bowel Disease. Handbook of Gastroenterology. 2nd ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.

8. Glickman RM. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn).

Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume

4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.

9. sodikin. Gangguan sistem gastrointestinal dan hepatobilier. Jakarta: salemba

medika,2011.

10. Suherni dkk. Perawatan Masa Nifas. Jogjakarta: Fitramaya,2009.

11. Ambarwati, E. R. Wulandari, D. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Nuha

Medika. 2010

12. Saleha, Siti. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika,2009.

13. Heni Frilasari.Derajat diaper rash pada bayi usia 0-12 bulan DI RSUD WAHIDIN

SUDIRO HUSODO KOTA MOJOKERTO. Surya.2016; 8(3):16-21.


14. Agustinu,Oktatika P, Wignjosoesastro, Cintyadewi, Angeline, Daniela. Formulasi

Topikal untuk Manajemen Dermatitis Popok pada Bayi. CDK.2017; 44 (3): 185-

88.

15. Putri ,Tiffany D, Mongan ,Arthur E, Memah,Maya F. Gambaran kadar albumin

serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis. Jurnal e-

Biomedik.2016; 4(1): 173-77.

16. Kusnandar S. Prinsip dan manfaat elektroforesis protein serum. Dalam Pendidikan

berkesinambungan patologi klinik 2005. Editor Marzuki S. Jakarta: Departemen

Patologi Klinik FKUI,2005.

17. Nurul H S, Tri S. Pemberian ekstra jus putih telur terhadap kadar albumin dan Hb

pada penderita hipoalbuminemia. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.2015; 12 (2) :54-

61.

18. Setiyarini,Sri, Hakimi,Mohammed, Pusorowati,Nunuk. Faktor-faktor risiko

intoleransi gastrointestinal pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik. JIK.2007;

2(2): 49-55.

19. Hill, G.L. Buku Ajar Nutrisi Bedah (Disorders of Nutrition and Metabolism in

Clinical Surgery : Understanding and Management) (Alih Bahasa). Jakarta :

Farmedia,2000.

You might also like