Professional Documents
Culture Documents
Bab I, II Diare Kronis Et Causa KOLITIS ULSERATIF
Bab I, II Diare Kronis Et Causa KOLITIS ULSERATIF
Bab I, II Diare Kronis Et Causa KOLITIS ULSERATIF
PENDAHULUAN
Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak berbentuk atau dalam
konsistensi cair dengan frekuensi yang meningkat, umumnya frekuensi > 3 kali/hari, atau
dengan perkiraan volume tinja > 200 gr/hari. Durasi diare sangat menentukan diagnosis, diare
akut jika durasinya kurang dari 2 minggu, diare persistent jika durasinya antara 2-4 minggu,
dan diare kronis jika durasi lebih dari 4 minggu. Diare merupakan permasalahan yang umum
diseluruh dunia, dengan insiden yang tinggi baik di negara industri maupun di negara
berkembang. Biasanya ringan dan sembuh sendiri, tetapi diantaranya ada yang berkembang
menjadi penyakit yang mengancam nyawa. Diare juga dikatakan penyebab morbiditas,
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) ada 2 miliar kasus diare pada
orang dewasa di seluruh dunia setiap tahun. Di Amerika Serikat, insidens kasus diare
mencapai 200 juta hingga 300 juta kasus per tahun. Sekitar 900.000 kasus diare perlu
perawatan di rumah sakit. Di seluruh dunia, sekitar 2,5 juta kasus kematian karena diare per
tahun. Di Amerika Serikat, diare terkait mortalitas tinggi pada lanjut usia. Satu studi data
mortalitas nasional melaporkan lebih dari 28.000 kematian akibat diare dalam waktu 9 tahun,
51% kematian terjadi pada lanjut usia. Statistik populasi untuk kejadian diare kronis belum
pasti, kemungkinan berkaitan dengan variasi definisi dan sistem pelaporan, tetapi
Diare akut jelas masalahnya baik dari segi patofisiologi maupun terapi. Hal ini
berbeda dengan diare kronis yang diagnosis maupun terapinya lebih rumit dari diare akut.
Bahkan dilaporkan sekitar 20% diare kronik tetap tidak dapat diketahui penyebabnya
adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai
saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis
ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan
dalam kategori indeterminate colitis. Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi
secara intermitten dan remisinya gejala klinik. Insiden penyakit kolitis ulseratif di Amerika
Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi
penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara itu, puncak
kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Kolitis ulseratif adalah proses inflamasi kronis yang mengenai mukosa dan
submukosa kolon dan rektum, sedangkan saluran cerna bagian atas bebas dari penyakit.
kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui,
biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, akut, atau kronis.4
2.1.2 Epidemiologi
Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan mengalami Kolitis
ulseratif (KU) dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000 individu. Sedangkan di
Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000 penduduk dan insidens PC sekitar 5.8
kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai
IBD, data masih didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari
Jakarta pada tahun 2002 melaporkan Secara global dikatakan bahwainsidens IBD adalah 10
kasus per 100.000 penduduk, KU 2.2–14.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC (penyakit
Prevalensi jenis kelamin kolitis ulseratif mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama
besar, dari sumber lain menyebutkan laki-laki sedikit lebih besar berisiko terkena daripada
wanita.
Kolitis ulseratif bisa terjadi pada usia berapapun. Namun, sangat jarang pada anak-
anak di bawah usia 5 tahun. Dalam kebanyakan kasus gejala mulai muncul ketika orang
berusia antara 10-40 tahun, dari sumber lain menyebutkan terjadi antara usia 15-40 tahun.6
2.1.3 Etiologi 3
Pada Kolitis ulseratif (KU), proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke
proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi
biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi hampir tidak
pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis juga terdapat peradangan.
Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada Kolitis ulseratif, tidak adanya skip area yakni
area normal di antara daerah lesi menjadi penanda khas KU. Hingga saat ini, etiologi pasti
A. sistem Imunologik. Setelah menyerang virus dan bakteri, sistem kekebalan tubuh
tidak lantas menjadi nonaktif. sistem kekebalan tubuh terus waspada dan aktif
kekebalan tubuh sebenarnya tidak dipicu oleh serangan bakteri berbahaya tetapi
oleh miliaran bakteri ramah dan tidak berbahaya dalam usus. Hal ini merupakan
70% pasien dengan kolitis ulseratif ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti
dengan kolitis ulseratif memiliki hubungan darah yang memiliki kondisi seperti
ini. Hipotesis genetik juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagian masyarakat
dengan riwayat keluarga kolitis ulseratif lebih berisiko terkena. faktor resiko pada
orang kulit putih keturunan eropa terutama yang berasal dari komunitas yahudi
lebih tinggi, jarang terjadi di antara orang kulit hitam dan orang keturunan asia.
penyakit.
C. Faktor Lingkungan
Kolitis ulseratif lebih umum terjadi di daerah perkotaan terutama di bagian utara
eropa Barat dan Amerika. Ada penelitian yang menunjukkan hubungan kolitis
ulseratif dengan beberapa faktor lingkungan termasuk polus udara, diet dan
kebersihan. Diet khas Barat tinggi karbohidrat dan lemak. Ini sangat
berbeda dari diet Asia yang lebih rendah karbohidrat dan lemak. Metode diet
D. Faktor Infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus
menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh
diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang
dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih
harus dikonfirmasi.
E. faktor Psikologik
gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak
lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan
keluarganya.
2.1.4 Patofisiologi 7
kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa. Kondisi ini ditandai dengan pembentukan
abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat
dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh. Kolitis akut
berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksis, yang ditandai dengan
penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usus-usus besar yang memungkinkan
sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan resiko
peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma insitu atau dispalsia. Secara anatomis
sebagian besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien !uga mengalami mengembangkan
ileitis terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar
sebagai akibat ulserasi. Lesi berlanjut, yang ter!adi satu secara bergiliran, satu lesi diikuiti lesi
yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh
kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat hipertrofi muscular dan
deposit lemak.Proses radang mulai di rektum sebagai radang yang difus, naik ke bagian
proksimal dan seluruh kolon dapat terkena. Ada infiltrasi sel-sel polimorf, sel plasma dan
eosinofil ke lamina propria, ada edema dan pelebaran vaskuler, kelenjar-kelenjar ikut
difus pada keadaan yang ringan dan kelihatan ulserasi pada keadaan yang sedang dan berat.
Dinding usus bisa menjadi tipis dan tidak jarang ini menyebabkan perforasi.Pada waktu
penyembuhan terjadi proses granulasi yang sering berlebihan sehingga menyerupai suatu
polip disebut pseudopolip. Pada kasus yang menahun, usus akan menjadi lebih pendek, sering
timbul penyempitan lumen, walaupun striktura jarang terjadi. Pada sebagian kecil penderita,
proses radang hanya terdapat pada rektum. Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang
didapatkan pada kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang
menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak di!umpai.
Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan
dapat terjadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan ter!adi
kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal,
pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler terutama pada koln distal dan
rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat terjadi
hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversible.Lesi
patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus,
yang !elas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding
usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. edema dapat
menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan,
seperti gesekan ringan pada permukaan.Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses
kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa,
yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula-mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium
yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga
berlangsung lama menyebabkan hiperplasia lamina muskularis mukosa dan bila disertai oleh
megakolon.
Gejala utama adalah diare dan ditemukan darah yang berwarna merah terang pada
feses dengan frekuensi sering (antara 5 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah,
akibat adanya iritasi rektum yang meradang. gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum
berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan. Pada penyakit
yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung
Anamnesis
Perhatikan tanda dan gejala, onset usia, keparahan gejala, kemungkinan pemicu flare
up yang diperoleh. riwayat keluarga dimungkinkan adanya faktor herediter dari anggota
Pemeriksaan fisik
kesehatan umum, tanda-tanda kekurangan gizi sangat penting untuk diagnosis dan
manajemen dari kolitis ulseratif. Pasien diperiksa apabila terjadi anemia dan nyeri abdomen.
Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat
pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia,
mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif
dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi.
berhubungan.
Ada dua tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR)
dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan peradangan, merupakan tes
non spesifik namun dan dapat memberikan hasil positif jika ada infeksi dalam tubuh.
Tes darah untuk mencari antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh
ini disebut biomarker. Banyak pasien dengan kolitis ulseratif memiliki antibodi pANCA
dalam darah mereka sementara pasien dengan penyakit Crohn lebih mungkin untuk
memiliki pANCA dalam darah mereka. Namun, tes antibodi ini tidak mutlak. Dalam
beberapa kasus, pasien memiliki kedua antibodi tersebut sementara antibodi mungkin
-Pemeriksaan Feses
untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi pada kolon atau rektum yang disebabkan
Pemeriksaan radiologi
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon.
Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis,
spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat
memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada,
sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi
yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan
tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi
adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral
decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. Foto polos abdomen juga merupakan
-Barium enema
Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema
dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu,
enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung
Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa kolitis ulseratif.
Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan seluruh usus besar, sementara
sigmoidoskopi fleksibel digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih
rendah. Ini melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan kamera
pada u!ungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang menyakitkan dan
dilakukan dengan sedasi . sigmoidoscope ini hanya mampu melihat rektum dan bagian bawah
usus besar sementara kolonoskopi meliputi seluruh usus sampai persimpangan ileocecal.
memeriksa lapisan kerongkongan, lambung, dan duodenum. Hal ini membantu dalam
- CT scan
penyumbatan usus.
Pemeriksaan endoskopi
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara
difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data dari
beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada
rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah.
Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Ulserasi landai, bisa
kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan
kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang
sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik,
Pada tahap awal, edema dan inflamasi infiltrasi menyebabkan perataan dari haustra. pada
tahap aktif ada sebuah koreng yang meluas dan hilangnya haustra. Lebih dalam borok dapat
kolonoskopi harus dilakukan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif dan untuk menentukan luas
membantu untuk menemukan adanya hiperemik, serta rapuh dan berdarah pada rektum dan
kolon, saat disentuh dapat !uga terlihat ulkus dan pseudopolip. Pemeriksaan barium enema
pada stadium dini memperlihatkan iritabilitas kolon kemudian dapat terlihat adanya ulkus
disesuaikan untuk setiap individu. Tujuan dari terapi obat adalah untuk mendorong dan
mempertahankan remisi, serta meningkatkan kualitas hidup pasien kolitis ulseratif. Beberapa
dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, mulas, diare, dan sakit kepala. Agen
yang lain dari 5-ASA seperti olsalazine, mesalamine, dan balsalazide, memiliki pembawa
yang berbeda, efek samping yang lebih sedikit, dan dapat digunakan oleh orang-orang yang
tidak bisa mengkonsumsi sulfasalazine. 5-ASAs diberikan secara oral, melalui enema, atau
supositoria, tergantung lokasi inflamasi pada kolon. Kebanyakan pasien kolitis ulseratif
tingkat mild atau moderate diberikan kelompok obat ini. Jelas obat ini !uga digunakan dalam
kasus kekambuhan.
!uga mengurangi peradangan. Jelas obat ini digunakan pada kasus kolitis ulseratif yang
memiliki tingkat moderate sampai severe yang tidak merespon obat 5-ASA Kortikosteroid
juga dikenal sebagai steroid, dapat diberikan secara oral , intra3ena, melalui enema, atau
dalam supositoria tergantung pada lokasi peradangan. Obat ini menimbulkan efek samping
seperti kenaikan berat badan, jerawat, rambut wajah, hipertensi, perubahan suasana hati,
kehilangan massa tulang dan resiko infeksi. 9elas obat ini tidak direkomendasikan untuk
penggunaan jangka panjang, meskipun sangat efektif bila diresepkan untuk penggunaan
Jangka pendek.
mengurangi peradangan dengan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. 2bat ini digunakan
untuk pasien yang tidak merespon 5-ASAs atau kortikosteroid atau ketergantungan pada
kortikosteroid. Imunomodulator diberikan secar oral, namun bereaksi secara lambat sehingga
bisa memakan waktu hingga 6 bulan sebelum merasakan manfaat penuh. Pasien yang
memakai obat ini harus dimonitor untuk komplikasi seperti pankreatitis, hepatitis,
berkurangnya jumlah sel darah putih, dan peningkatan risiko infeksi. siklosporin A dapat
digunakan dengan 6-MP atau azathioprine untuk pengobatan aktif, severe kolitis ulseratif
pada pasien yang tidak lagi merespon kortikosteroid intravena. obat lainnya bisa diberikan
untuk menimbulkan efek rileks pasien atau untuk menghilangkan rasa sakit, diare, atau
infeksi. Beberapa orang memiliki remisi (periode ketika ge!ala hilang) selama berbulan-bulan
- Pembedahan
Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk dilakukan
pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif, penyakit parah, pecahnya
kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan merekomendasikan pemotongan kolon !ika
penatalaksanaan medis gagal atau jika efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam
kesehatan pasien. Pembedahan untuk mengangkat kolon dan rektum, dikenal sebagai
a.Ileostomy
ahli bedah membuat lubang kecil di perut, yang disebut stoma, dan menempel di ileum. feses
dalam usus akan melewati usus kecil dan keluar melalui stoma. stroma terletak di bagian
b.Ileoanal anastomosis
full-through operation yang memungkinkan pasien untuk memiliki gerakan usus normal
karena mempertahankan bagian anus. Dalam operasi ini, ahli bedah mengangkat kolon dan
rektum bagian dalam, meninggalkan otot luar rektum. ahli bedah kemudian menempelkan
ileum ke dalam rektum dan anus, menciptakan sebuah kantong. feses atau kotoran disimpan
dalam kantong dan melewati melalui anus dengan cara biasa. frekuensi buang air besar
mungkin lebih sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan kantong (
2.2.1 Definisi
Post partum adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas
dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ
yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain
2.2.2 Klasifikasi
1. Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan,
dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
2. Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital yang lamanya 6-8
minggu.
3. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama
bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat
Nutrisi dan cairan Pada masa postpartum masalah diet perlu mendapat perhatian yang
serius, karena dengan nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan sangat
mempengaruhi susunan air susu. Diet yang diberikan harus bermutu, bergizi tinggi, cukup
kalori, tinggi protein, dan banyak mengandung cairan. Ibu yang menyusui harus memenuhi
kebutuhan akan gizi seperti mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari, makan dengan diet
berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, dan vitamin yang cukup, dan minum
postpartum. Eliminasi dalam 6 jam ibu post partum harus sudah bisa BAK spontan. Jika
dalam 8 jam postpartum belum dapat berkemih tau sekali berkemih belum melebihi 100 cc,
maka dilakukan kateterisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu 8
jam untuk kateterisasi. Ibu postpartum diharapkan dapat buang air besar setelah hari kedua
postpartum. Bila lebih dari tiga hari belum BAB bisa diberikan obat laksantia. Asupan cairan
yang adekuat dan diit tinggi serat sangat dianjurkan. Personal higiene sangat penting
dilakukan Pada masa post partum, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh karena
itu, kebersihan diri sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Kebersihan tubuh,
pakaian, tempat tidur, dan lingkungan sangat penting untuk tetap dijaga.
2.3.1. Definisi 13
Ruam popok banyak terjadi pada bayi.Ruam popok merupakan gangguan kulit berupa
peradangan di sekitar daerah yang ditutupi oleh popok atau sekitar popok.Peradangan ini
terutama terjadi pada bagian daerah kedua belah paha, bokong, perut bagian bawah, sekitar
2.3.2 Etiologi
Penyebab utama ruam popok adalah kelembaban atau kontak yang terlalu lama
dengan zat amonia yang terkandung dalam urin atau feses.Selain itu, ruam popok bisa juga
disebabkan oleh adanya riwayat alergi, terjadi gesekan berlebihan antara popok dengan kulit,
memakai popok yang terlalu ketat, atau memakai diaper yang terbuat dari plastik atau karet
dalam jangka waktu lama sehingga mengakibatkan iritasi. Orang lanjut usia yang harus
memakai diaper juga dapat terkena ruam popok, tetapi hal ini jarang terjadi karena kulitnya
lebih tebal dari bayi. Ruam popok juga tidak pernah terjadi pada orang dewasa karena orang
dewasa bisa melakukan ritual ke kamar kecil sendiri dan tahu apa yang harus dilakukan untuk
2.3.3. Patofisiologi 14
Terdapat beragam etiologi yang saling berpengaruh. Terdapat hubungan erat antara
keparahan dermatitis popok dan kondisi kulit basah berlebihan, sehingga menimbulkan
maserasi kulit. Kulit lembap akan lebih mudah mengalami abrasi oleh gesekan bahan popok
ketika bergerak. Abrasi yang berkelanjutan merusak stratum korneum, sehingga akan lebih
mudah ditembus oleh iritan, seperti amonia yang berasal dari pemecahan urea oleh urease
feses. Kelembapan berlebih juga memberikan lingkungan yang baik untuk berkembangnya
infeksi bakteri serta jamur. Infeksi bakteri dan amonia meningkatkan pH sekitar lesi,
sehingga akan meningkatkan aktivitas iritasi dari enzim protease, lipase, dan urease dari
meningkatkan permeabilitas garam empedu dan iritan lainnya. Peningkatan Ph juga makin
meningkatkan risiko kolonisasi patogen dan infeksi sekunder. Infeksi oportunistik Candida
albicans menunjukkan lesi kronis dan lebih parah, dengan lesi eritematosa atau pustul satelit
di area perifer lesi. Terdapat kontributor utama, yaitu kombinasi urin dan feses bersama pH
tinggi. Enzim feses dapat menjadi lebih aktif pada pH tinggi. pH tinggi dapat dipengaruhi
oleh oklusi karena pemakaian popok dan peningkatan permeabilitas kulit karena kerusakan
stratum korneum.
Selain itu, status nutrisi/diet dapat mempengaruhi komposisi feses; penggunaan obat-
obatan tertentu seperti antibiotik, serta kondisi medis seperti diare, turut berkontribusi
usia, kurangnya penggunaan krim pelindung, kejadian dermatitis popok saat ini, dan
2.3.4. Tatalaksana 14
Prinsip Formulasi Topikal pada dermatitis Popok terdiri dari 2 bagian, yaitu
vehikulum dan zat aktif. Vehikulum dan zat aktif yang lazim dipakai dan dikenal selama ini
adalah sebagai
berikut:
A. Vehikulum
Vehikulum berperan sebagai substansi inaktif dengan kandungan berbagai bahan aktif
B. Bahan Aktif
Bahan aktif yang dibawa oleh vehikulum berperan dalam pencegahan dan terapi
dermatitis popok. Masing-masing zat aktif memiliki kadar aman. Efektivitas penambahan
vitamin A, D, dan E dalam agen topikal masih belum jelas, sehingga pemakaiannya masih
kontroversial.
2.4.1. Definisi
Albumin (69 kDa) merupakan protein utama dalam plasma manusia (3,4-4,7 g/dL),
dan membentuk sekitar 60% protein plasma total. Sekitar 40% albumin terdapat dalam
plasma, dan 60% sisanya terdapat di ruang ekstrasel. Albumin berperan dalam membantu
mempertahankan tekanan osmotik koloid darah (75- 80% tekanan osmotik plasma), sebagai
protein transpor dari beberapa macam substansi antara lain metal, bilirubin, enzim, hormon,
obat-obatan. 15
keluar dari pembuluh darah, keluar ke dalam jaringan menyebabkan terjadinya “oedema”.
Selanjutnya, banyak penurunan pada syntesis di hepar merupakan kompensasi yang besar
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/di bawah nilai normal (serum <
3,5 g/dl) (2) sedangkan kadar normal albumin berkisar sebesar 3,4-5,5 g/dL. Waktu paruh
albumin dalam plasma berkisar antara 8-20 hari sehingga diperlukan waktu setidaknya 7-10
mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein sehingga mengganggu
2.4.2. Epidemiologi
Kadar serum albumin rendah merupakan prediktor penting dari mordibitas dan
mortalitas. Setiap penurunan 10g/L serum albumin, angka kematian meningkat sebesar 137%
dan morbiditas meningkat 89%. Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-
hipoalbuminemia berat, serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition
dibandingkan dengan orang sehat. Keadaan ini dikarenakan beratnya penyakit yang diderita
yang dimediasi oleh keluarnya sitokin, kondisi hipermetabolik dan fungsi hati yang tertekan
serta status nutrisi yang buruk. Rendahnya kadar albumin pada pasien diyakini berhubungan
2.4.2 Etiologi
(a) gangguan sintesa albumin (penyakit hati, alcoholism, malabsorbsi, starvasi penyakit
kronis),
(c) status gizi jelek, akibat rasio albumin dan globulin rendah (peradangan kronik, penyakit
2.4.3 Terapi 19
a. diet
Tujuan utama terapi diet hipoalbuminemia adalah meningkatkan dan mempertahankan status
gizi dalam hal ini kadar serum albumin serta mencegah seminimal mungkin penurunan kadar
terpenuhi karena apabila asupan energi kurang dari kebutuhan maka bisa terjadi
pembongkaran protein tubuh untuk diubah menjadi sumber energi sehingga beresiko
khususnya dan pasien bedah pada umumnya diberikan diet TKTP, kalau perlu diberikan
Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan hipoalbumin
seperti kasus-kasus di atas dari team medis diberikan transfusi FFP dan atau human albumin.
Untuk pemberian kedua transfusi tersebut pada kasus yang kadar albumin dalam darah ≤ 2,5
gr/dl.
DAFTAR PUSTAKA
1. NGP Cilik Wiryani, I Dewa Nyoman W. Pendekatan diagnostik dan terapi diare
2. Amin, Lukman Zulkifl i.Tatalaksana Diare Akut. CDK.2015 ;42 (7): 504-8.
3. Ariestine ,Dina Aprillia. Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik
6. Ulcerative Colitis edition 7. National Association for Colitis and Crohn`s Disease.
USA:NACC, 2011.
8. Glickman RM. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn).
Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume
medika,2011.
Medika. 2010
12. Saleha, Siti. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika,2009.
13. Heni Frilasari.Derajat diaper rash pada bayi usia 0-12 bulan DI RSUD WAHIDIN
Topikal untuk Manajemen Dermatitis Popok pada Bayi. CDK.2017; 44 (3): 185-
88.
serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis. Jurnal e-
16. Kusnandar S. Prinsip dan manfaat elektroforesis protein serum. Dalam Pendidikan
17. Nurul H S, Tri S. Pemberian ekstra jus putih telur terhadap kadar albumin dan Hb
61.
2(2): 49-55.
19. Hill, G.L. Buku Ajar Nutrisi Bedah (Disorders of Nutrition and Metabolism in
Farmedia,2000.