Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Saraf optik merupakan saraf otak kedua atau Nervus II yang meneruskan
rangsangan pengelihatan dari retina ke otak. Serabut saraf dari retina berjalan
dalam saraf optik masuk ke korteks visual primer. Saraf optik terdiri atas 1,2 juta
akson serabut saraf yang berasal dari 100 juta fotoreseptor di retina. Apabila
terjadi kelainan pada saraf optik ini, tentu saja akan terjadi gangguan dari
pengelihatan. Kelainan pada saraf optik dapat terjadi pada retina, papil saraf optik,
kiasma optik, traktus optik, dan nucleus ganglion genikulatum. Kelainan-kelainan
pada saraf optik antara lain neuropati optik, neuritis optik, iskemik optik
neuropati, defisiensi optik neuropati, neurorenitis, papil edema, dan pseupapil
edema.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang
ke anterior hampir sejauh korpus siliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi
yang tidak rata. Ketebalan retina kira-kira 0,1 mm pada ora serata dan 0,56 mm
pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula lutea yang
berdiameter 5,5 sampai 6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang
dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal.
2
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut :
3
Gambar 2. Lapisan retina
4
fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan penggeseran secara
sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola
adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah kerucut,
dan bagian retina yang paling tipis.
Sistem vena ditemukan banyak kesamaan dengan susunan arteriol. Vena retina
sentralis meninggalkan mata melalui nervus optikus yang mengalirkan darah vena
ke sistem kavernosus.Retina menerima darah dari dua sumber : khoriokapilaris
yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina,
termasuk lapisan fleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoresptor, dan lapisan
epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari sentralis retina, yang mendarahi 2/3
sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah
terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi.
Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang
membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid dapat ditembus.
Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
5
Gambar 3. Normal fundus
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada
retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif. Rhodopsin
merupakan suatu glikolipid membran yang separuh terbenam di lempeng
membrane lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penglihatan skotopik
diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap
6
ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna ini tidak dapat
dibedakan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut,
senjakala oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh
fotoreseptor batang.
Nervus optikus bermula dari optic disk dan berlanjut sampai ke kiasma
optikum, dimana ke dua nervus tersebut menyatu. Lebih awal lagi merupakan
kelanjutan dari lapisan neuron retina, yang terdiri dari axon-axon dari sel
ganglion. Serat ini juga mengandung serat aferen untuk reflex pupil.
Nervus optikus memiliki panjang sekitar 47-50 mm, dan dapat di bagi mejadi 4
bagian :
7
Intracranial (10 mm) : melintas di atas sinus kavernosus kemudian
menyatu membentuk kiasma optikum.
8
Gambar 3. Vaskularisasi nervus optikus
9
Gambar 2. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus
10
Gambar 3. Radiatio Optica
11
2.1.7 Gangguan Pada Nervus Optikus
Penyebab umum dari lesi saraf optik adalah: optik atrofi, trauma pada
saraf optik, neuropati optik, dan neuritis optikus akut.
12
5. Lesi saluran optik.
Ditandai dengan hemianopia homonim terkait dengan reaksi pupil
kontralateral (Reaksi Wernicke). Lesi ini biasanya diahului oleh
atrofi optik pada sebagian akhir nervus optikus dan mungkin
berhubungan dengan kelumpuhan saraf ketiga kontralateral serta
hemiplegic ipsilateral.
13
Gambar 5. Lintasan Impuls visual dan Gangguan Medan Penglihatan Akibat Berbagai
Lesi di Lintasan
14
2.2. PAPILITIS
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
Sekitar 35% kasus neuritis optik ditemukan adanya inflamasi pada anterior
serabut saraf optikus, udema papil, dan tanda-tanda peradangan papil. Neuritis
optik sering terjadi unilateral, pada usia dewasa muda (18 - 45 tahun), dengan usia
rata-rata 30 – 35 tahun, dan lebih sering pada wanita . Insidensi neuritis optik per
tahun adalah 5 per 100.000 penduduk sedangkan prevalensinya 115 per 100.000.
Pada anak lebih umum terkena bilateral, dan timbul papilitis dengan
kecenderungan menjadi sklerosis multipel yang rendah. Kasus neuritis optik pada
anak lebih jarang dibandingkan kasus neuritis optik pada dewasa, kurang lebih
5% kasus.
2.2.3 Etiologi
1. Demielinatif
2. Diperantarai imun
3. Infeksi langsung
15
Papilitis demielinatif dapat terjadi secara idiopatik, atau karena sklerosis
multipel, atau karena adanya neuromielitis optika (Devic’s disease).
Papilitis pasca infeksi lebih sering terjadi dan lebih infeksius daripada
papilitis demielinatif, namun tumpang tindih antar keduanya sulit dibedakan.
Penyebab papilitis karena infeksi langsung seperti infeksi oleh HZV (herpes
zoster virus), CMV (cytomegalovirus), sifilis (treponema pallidum), tuberkulosis
(mycobacterium tuberculosis), maupun cryptococcocis.
4. mutasi gen.
16
Gbr 3. a). Demielinisasi; pembengkakan non spesifik tanpa perdarahan atau exsudat. b).
Infektif neuroretinitis; pembengkakan diskus disertai perdarahan dan eksudat macular
(macular star). c). Neuritis optik viral; pembengkakan keseluruhan diskus non spesifik. d).
Neuritis optik sifilis; pembengkakan kepala/pangkal nervus optikus, hiperemia dan
perdarahan. e). Neuritis optik terhubung HIV; pembengkakan kepala/pangkal nervus optikus
masif, exudat yang luas dan perdarahan. f). Neuritis optik toxocara; dengan infiltrat,
pembengkakan dan distorsi masif pada yang kepala/pangkal nervus optikus normal.
17
2.2.5 Klasifikasi
1. Papilitis. Hal ini mengacu pada keterlibatan optik disk akibat gangguan
inflamasi dan demielinasi. Kondisi ini biasanya unilateral tapi kadang-
kadang mungkin bilateral.
2. Neuroretinitis mengacu pada keterlibatan gabungan optik disk dan retina
sekelilingnya pada area macula.
3. Retrobulbar neuritis ditandai dengan keterlibatan saraf optik di belakang
bola mata. Gambaran klinis neuritis retrobulbar akut dasarnya mirip
dengan akut papillitis kecuali untuk perubahan fundus dan perubahan
okular.
2.2.6 Patofisiologi
A. Gambaran akut
19
B. Gambaran Kronik6,8
Walaupun telah terjadi penyembuhan secara klinis, tanda neuritis optik masih
dapat tersisa. Tanda kronik dari neuritis optik yaitu:
A. Anamnesa
1. Pasien mengeluh adanya pandangan berkabut atau visus yang kabur, kesulitan
membaca, adanya bintik buta, perbedaan subjektif pada terangnya cahaya,
persepsi warna yang terganggu, hilangnya persepsi dalam atau kaburnya visus
untuk sementara. Pada anak, biasanya gejala penurunan ketajaman penglihatan
mendadak mengenai kedua mata. Sedangkan pada orang dewasa, seringkali
unilateral.
2. Terdapat riwayat demam atau imunisasi sebelumnya pada anak akan
mendukung diagnosis. Pada orang dewasa, terdapat faktor risiko sklerosis
multipel yang lebih besar.
3. Rasa sakit pada mata, terutama ketika mata bergerak, dapat terjadi sebelum
atau bersamaan dengan terjadinya penurunan tajam penglihatan.
20
4. Adanya penglihatan objek yang bergerak lurus terlihat mempunyai lintasan
melengkung (pulfrich phenomenon) kemungkinan dikarenakan konduksi yang
asimetris antara nervus optikus.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ini segmen anterior mata terlihat wajar atau dalam batas
normal. Namun refleks pupil mata yang terkena menurun, dan biasanya
ditemukan defek pupil aferen atau Marcus Gunn. Pada kasus yang mengenai
kedua mata defek ini biasanya tidak ditemukan.
Secara umum, Pada kasus neuritis optik akut sebagian besar merupakan neuritis
optik retrobulbar, maka papil tampak normal, dengan berjalannya waktu maka
papil akan menjadi pucat karena adanya atrofi papil. Pada kasus neuritis akut tipe
papilitis akan ditemukan papil yang hiperemis dan difus, dengan perubahan pada
pembuluh darah retina, arteri menciut dan vena melebar. Jika ditemukan
gambaran star figure mengarahkan diagnosis pada neuroretinitis.
21
Berdasarkan perjalanan penyakit, Terdapat beberapa stadium perubahan
pada neuritis optikus disertai kelainan pada bilik mata belakang, yaitu:
a. Perubahan awal
Papilitis dapat ditemukan dalam 38 % kasus. Diskus optikus normal
dalam 44% kasus. Pucatnya bagian temporal menunjukkan adanya lesi
optik neuritis yang berat pada mata yang sama, hal ini dijumpai pada
18% dari pasien yang menjalani pemeriksaan. Papilitis tahap awal di
karakteristikkan dengan adanya batas diskus yang mengabur dan
sedikit hiperemis.
c. Perubahan lanjut
Pada neuritis optikus retrobulbar, diskus yang normal dapat dijumpai
selama 4-6 minggu, saat dimana pucat dijumpai. Papilitis yang
berlanjut kadang-kadang didapati gambaran optik atropi sekunder.
Pada keadaan ini batas diskus dapat mengabur, mungkin terdapat
jaringan glial pada diskus, dan pucatnya diskus bagian stadium akhir
optik neuritis. Pada stadium ini, serabut saraf atropi dapat diamati
pada retina dengan perangkat lampu hijau merah.
22
Gambar 5. Edema nervus optikus pada neuritis optikus
2. Uji Ishihara untuk melihat ada tidaknya gangguan pada penglihatan warna. Jika
ada biasanya gangguan terjadi pada penglihatan warna merah.
D. Pemeriksaan Anjuran
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging), untuk melihat nervus optikus dan korteks
serebri. Hal ini dilakukan terutama pada kasus-kasus yang diduga terdapat
sklerosis multiple
3. Pungsi lumbal dan pemeriksaan darah, Dilakukan untuk melihat adanya proses
infeksi atau inflamasi.
23
2.2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding tersering adalah edem papil dan iskemik optik neuropati, dapat
dibedakan menjadi: (tabel 1)
25
Ciri khas Papilloedema Papilitis Ischemic Optic
Neuropathy
(vi) Retinal exudates -Macular star bisa ada -Macular Fan bisa ada -Tidak ada
(vii) Makula
4.Lapangan -Membesar -Central Scotoma -Central scotoma
-Blind spot
26
5.Fluorescein Angiography -Vertical oval pool zat -kebocoran zat kontras -ada kebocoran
kontras akibat yang sedikit zat kontras di
kebocoran peripapillary
2.2.9 Penatalaksaaan
27
3. Dengan tidak ada lesi demielinasi dari hasil MRI :
a. Risiko terjadi MS rendah, kemungkinan terjadi sekitar 22% setelah 10
tahun kemudian
b. Intravena steroid dapat digunakan untuk mempercepatkan pemulihan
visual
c. Biasanya tidak dianjurkan untuk terapi kecuali muncul gangguan
visual pada mata kontralateral
d. MRI lagi dalam 1 tahun kemudian
1. Observasi
2. Memeriksa pasien pada minggu ke 4-6 setelah muncul gejala dan
pemeriksaan ulang tiap 3-6 bulan kemudian
3. Pasien yang berisiko tinggi MS atau demielinisasi sistem saraf pusat dari
hasil MRI sebaiknya dirujuk ke spesialis neurologi untuk evaluasi dan
terapi lanjutan.
2.2.10 Komplikasi
Neuritis optik yang disebabkan oleh sklerosis multipel memiliki ciri khas
kekambuhan dan remisi. Disabilitas yang menetap cenderung meningkat pada
setiap kekambuhan. Peningkatan suhu tubuh dapat memperparah disabilitas
(fenomena Uhthoff) khususnya gangguan penglihatan.
28
2.2.11 Prognosis
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek
Setiowulan, Neuritis Optik. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jilid I. Ed. III.
Jakarta, Penerbit, Media Aesculapius: 2001. hal; 65 – 66
2. Prof. dr. H. Sidarta Ilyas, Sp. M, Neuritis Optik. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III.
Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI: 2006. hal; 179 -182
3. Paul Riordan-Eva, John P. Whitcher, Neuritis Optik. Vaughan & Asbury
Ophtamologi Umum. Ed. 17, EGC: 2009. p; 266 – 274
4. A.K. Kurana. Comprehensip Ophthalmology 4th Edition dalam Chapter 12– New
Age International 2007. P 288-96.
5. Froetscher M & Baehr M. Duus Topical Diagnosis in Neurology. 4th edition.
2005. Stuttgart : Thieme. p 130 – 137.
6. Guyton AC, Hall JE. Neurofisiologi Penglihatan Sentral. Dalam : Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. 1997. Jakarta : EGC. p 825.
7. Erhan Ergene, MD. Adult Optic Neuritis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1217083 tanggal 29 maret 2011.
8. Osborne B, Balcer LJ. Optic neuritis: Pathophysiology, clinical features,
and diagnosis. Disitasi pada tangal 29 Maret 2011. Dapat diperoleh dari
URL: http://www.uptodate.com/opticneuritis.
9. The Wilis Eye Manual : Office and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease. 2008. P 250-52.
10. American academy of ophthalmology. Section 5 Neuro-Opthalmology. San
Fransisco : LEO. 2008-2009. Page 25-26.
30