You are on page 1of 2

Tom, remaja berusia 18 tahun, menderita penyakit asma.

Sejak 2 hari terakhir penyakit


asma-nya kambuh. Tom tidak lagi mau mengonsumsi obat yang diresepkan dokternya,
karena beranggapan obat resep dokternya tidak memberikan solusi atau tidak
menyembuhkan penyakit asmanya. Kali ini dia mencoba obat asma yang diiklankan di
televisi. namun ternyata setelah memakan obat asma tersebut jantungnya semakin cepat
berdebar.

Ulasan:

Penderita asma mengalami bronkokonstriksi pada saluran nafasnya, yaitu penyempitan


saluran nafas. Gejala yang timbul dari penyakit asma ini, sesak nafas dan berbunyi mengi
setiap bernafas. Untuk itu, dibutuhkan obat yang mampu melonggarkan atau melebarkan
saluran nafasnya. Dan yang dibutuhkan disini adalah obat yang berfungsi sebagai
bronkodilator.

Pada saluran nafas manusia, terdapat reseptor B2 yang berperan atau membawa efek
bronkodilatasi. Logikanya dalam kasus ini dibutuhkan obat yang berikatan dengan reseptor
tersebut supaya memperlebar saluran nafas penderita asma. Jadi sangat baik bila obat
dikonsumsi merupakan obat yang B2-adrenergik.

Pada jantung manusia, bisa ditemukan reseptor B1 yang peranannya bisa menyebabkan
jantung berdebar-debar atau palpitasi. Jika reseptor ini diduduki oleh obat otomatis
dampaknya bisa menyebabkan palpitasi. Obat-obat yang mampu berikatan dengan reseptor
ini tentunya obat yang sifatnya B-adrenergik dan B1-adrenergik. Yang jelas B2-adrenergik
tidak bisa (namun pada beberapa referensi menyebutkan hal ini bisa berbalik jika dosisnya
tinggi).

Dulu, obat B-adrenergik non selektif sangat sering dipakai untuk pengobatan asma. Namun
obat jenis ini berefek samping jantung berdebar-debar. Mengapa? Sebab obat B-adrenergik
non selektif menduduki reseptor B2 di saluran nafas dan reseptor B1 di jantung. Tentu efek
dari obat ini adalah bronkodilatasi pada saluran nafas dan palpitasi pada jantung. Ini yang
menyebabkan Tom mengalami jantung berdebar-debar setelah memakan obat B-adrenergik
non selektif. Dengan catatan dalam hal ini kita berasumsi bahwa Tom telah mengonsumsi
obat B-adrenergik non selektif.

Contoh obat-obat yang kemungkinan dikonsumsi oleh Tom antara lain isoproterenol,
fenilpropanolamin, fenileferin, efedrin dan lainnya. Obat-obat tersebutlah menduduki reseptor
B1 dan B2 dalam tubuh. Palpitasi yang ditimbulkan dalam kasus ini lebih sering disebut efek
samping karena efek utama yang diinginkan adalah efek bronkodilatasi pada saluran nafas
bukan reaksi dari reseptor B1 yang ada di jantung. Untuk itu sangatlah baik bila obat B2-
adrenergik selektif yang digunakan dalam pengobatan asma.

Obat-obat yang sudah disebutkan di atas sebenarnya hanya berfungsi untuk melebarkan atau
melonggarkan saluran nafas dari si penderita, bukan menyembuhkan si penderita asma dari
penyakitnya. Karena itu suatu saat atau dalam kondisi tertentu, penyakit asma juga akan
kambuh.

Selain kasus di atas, ada kasus lain yang ada kaitannya dengan masalah di atas.

Andi, 25 tahun, datang ke dokter karena mengalami keluhan. Sejak dua hari yang lalu Andi
merasakan bahwa jantungnya berdebar-debar sesudah memakan obat flu. Hal ini dialaminya
sesudah penyakit flu-nya menghilang. Setelah diukur, ternyata denyut jantung Andi
mencapai 125 kali per menit.

Untuk kasus ini pembahasannya tidak jauh dari kasus yang pertama. Jantung Andi berdebar
cepat dikarenakan obat yang dikonsumsinya menduduki reseptor B1 di jantung.

Lalu apa kaitannya dengan obat flu? Ada beberapa obat nasal decongestant seperti
fenilpropanolamin dan efedrin (ada juga contoh lainnya) yang sifatnya B-simpatomimetik.

Untuk obat fenilpropanolamin kini sudah ditarik dari peredaran.

Referensi:

-Farmakologi dan Terapi Edisi 5, FKUI.

You might also like