You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gangguan psikiatrik pada anak yang merupakan salah satu masalah utama bagi kesehatan
jiwa anak adalah gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas atau gangguan hiperkinetik atau
“Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)” (Barkley, 1981,1982; Ross & Ross, 1982,
dalam Dwidjo, 2009). Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas dapat di jumpai dalam
kehidupan sehari-hari pada anak usia sekolah sampai remaja, bahkan bisa berlanjut hingga usia
dewasa. Namun sebagian besar masyarakat di Indonesia adanya gangguan ini di tengah
masyarakat belum di sadari, di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah. Di sekolah
anak yang mengalami gangguan hiperkinetik tidak begitu di sadari oleh guru sebagai anak yang
perlu di terima dan segera di tolong dalam mengatasi gangguan tersebut. Sebagian besar guru
menganggap gangguan tersebut adalah sifat buruk yang tidak di terima di lingkungan sekolah.

Anak dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas, menunjukan ciri gejala


utama aktivitas yang berlebihan, tidak dapat diam, selalu bergerak, tidak dapat memusatkan
perhatian dan menunjukan impulsivitas. Gangguan ini adalah gangguan biologis pada fungsi otak
yang bersifat kronis, yang mengakibatkan fungsi kognitif yaitu fungsi eksekutif tidak sesuai
dengan perkembangan usia anak. Fungsi eksekutif adalah persepsi, pemusatan perhatian,
pemrosesan informasi dan respons motoric. Di sekolah gangguan ini merupakan masalah utama Commented [A1]: Menurut gue ini di tinjauan pustaka
yang mengakibatkan anak mengalami kesulitan belajar dan kesulitan dalam berinteraksi dengan
teman dan juga guru. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas memiliki lebih
banyak kesulitan tersebut di banding dengan anak normal (Cantwell, 1996; Barkley, 1998, dalam
Dwidjo, 2009).

Kelemahan di bidang fungsi kognitif yang di timbulkan oleh gangguan ini meliputi
berkurangnya derajat inteligensi anak, penurunan prestasi akademik, pengamatan waktu buruk,
penurunan daya ingat verbal ataupun non verbal. Kesulitan di bidang keterampilan akademik
adalah kesulitan dalam membaca, mengeja, berhitung, dan menulis. Gangguan ini juga
menimbulkan hambatan terhadap perkembangan kemampuan berbahasa (Barkley, 1999, dalam
Dwidjo, 2009).

Anak yang menderita gangguan ini lebih sering mengalami kesulitan dalam
mengendalikan emosi dari pada anak normal, kemampuan bertoleransi terhadap frustasi rendah
dan emosinya mudah meledak. Anak dengan gangguan ini di sekolah menunjukan tingkah laku
di kelas yang disruptif, mengganggu anak lain, 56% membutuhkan lebih banyak bimbingan
belajar, 30% tidak naik kelas, 30-40% memerlukan kelas khusus, 10%-20% di keluarkan dari
sekolah, 46% berhenti melanjutkan sekolah, sebesar 10%-35% tidak mampu tamat sekolah
(Barkley, 1998 ; Plizska et al., 1999, dalam Dwidjo, 2009). Dengan demikian terdapatnya
gangguan ini menyebabkan tingkah laku anak menjadi lebih sulit di kendalikan dan sulit untu
beradaptasi terhadap lingkungannya.

Pada tahun 1982, Pelham dan Bender menyatakan bahwa lebih dari 50% anak dengan
gangguan pemusatan/hiperaktivitas mengalami kesulitan dalam relasi sosial dengan anak lain.
(baik di lingkungan sekolah maupun di keluarga). Dalam relasi sosial, penderita gangguan ini
mengalami kesulitan berelasi dengan orangtua ataupun anak lain sehingga terdapat peningkatan
terjadinya konflif antara orangtua dan anak. Hal ini terjadi karena anak dengan gangguan ini
tidak mampu mengendalikan dan mengatur tingkah lakunya, sehingga mempengaruhi sistem
ekologi sosial dalam keluarga, yaitu hubungan antara anggota keluarga dan antara keluarga
dengan berbagai kondisi lingkungannya. Sebagai akibatnya adalah tingkah laku anak tersebut
berpengaruh buruk terhadap orang lain.

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


BAB IV Bagian Kesatu Pasal 5 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Hal ini menunjukan
bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang tidak membedakan status
sosial dan ekonomi, jenis kelamin, suku, agama, ras, dan tidak terkecuali bagi warga negara yang
berkebutuhan khusus. Bagi warga negara yang berkebutuhan khusus juga di sebutkan di dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 BAB IV Bagian Kesatu Pasal 5 Ayat 2 yang
menunjukan bahwa mereka tetap berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhannya, yaitu “warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Seiring berkembangnya pendidikan di Indonesia, pemerintah memperluas layanan


pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan
inklusif. Di dalam pendidikan inklusif murid reguler dan murid berkebutuhan khusus ada di
dalam suasana proses pembelajaran yang sama. Pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memeberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik umumnya (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 Pasal 1).

Pelayanan pendidikan tersebut di harapkan dapat meningkatkan interaksi antara murid


pada umumnya dengan murid berkebutuhan khusus, dapat mewujudkan kesamaan hak bagi
ABK, serta mengatasi berbagai bentuk perlakuan diskriminatif pada ABK sehingga mereka dapat
lebih di terima secara terbuka oleh murid umum lainnya. Menurut Darma & Rusyidi (2016),
penyelenggaraan pendidikan inklusif meupakan bentuk upaya pemerintah yang di harapkan
dapat mencetak generasi penerus yang bisa memahami dan menerima segala bentuk perbedaan
dan tidak menciptakan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat ke depannya.

Di Indonesia, pada tahun ajaran 2015/2016 sudah sebanyak 9.130 sekolah inklusif yang
di selenggarakan oleh pemerintah (Setiarto, 2016). Sementara itu data yang bersumber dari Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, pada Tahun 2015 pemerintah telah menunjuk
sebanyak 371 sekolah negeri reguler di Jakarta dari mulai TK, SD, SMP dan SMA/SMK yang
menjadi penyelenggara pendidikan inklusif. Sekolah Dasar (SD) menjadi lembaga pendidikan
yang paling banyak menyelenggarakan pendidikan inklusif, yaitu sebanyak 260 sekolah. Dengan
banyaknya jumlah tersebut menunjukan bahwa SD Negeri dengan program inklusif di Jakarta
perlu mendapatkan perhatian yang lebih agar penyelenggaraannya dapat berjalan dengan
optimal. Terlebih lagi, Jakarta sebagai ibukota negara di harapkan dapat menjadi contoh dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi kota-kota di Indonesia lainnya.

Namun, meningkatnya jumlah Sekolah Dasar Negeri inklusif tidak menjamin


meningkatnya kualitas pengajarnya, karena dalam menerapkan pendidikan inklusif tentu tidak
mudah. Berbagai persiapan harus dilakukan agar penyelengaraan pendidikan inklusif dapat
berjalan sesuai dengan mekanisme yang tepat. Selain itu ditemukan juga berbagai kendala dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif khususnya di tingkat SD, terutama masalah pada guru
reguler.

( jadi jelasin kalo di dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang dibutuhkan oleh anak
adhd diperlukan sikap dan pengetahuan dari guru yang mengajar dikarenakan….)

( Dijelasin oleh karena itu pentingnya pengetahuan guru terhadap adhd sangat di
butuhkan dalam membantu anak adhd )

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tarnoto (2016) menunjukan terdapat berbagai


permasalahan pada guru yang muncul dalam pelaksanaan sekolah inklusif di tingkat SD.
Permasalahan yang di keluhkannya diantaranya adalah kurangnya guru pendamping kelas,
kurangnya kompetensi guru dalam menangani anak ABK, kurangnya pemahaman guru tentang
ABK dan sekolah inklusif, latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai, serta rasa tidak
sabar dalam menangani ABK.

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara yang di lakukan pada tanggal 25 Januari 2018
dengan Ibu Lilis yang merupakan wali kelas 2 di SDN Inklusif Kramat 02 Petang, juga
menunjukan kurangnya pengetahuan yang lebih tentang gangguan ADHD pada anak, yang
beliau ketahui anak ADHD itu adalah anak yang tidak bisa diam, sering mengganggu teman
lainnya di dalam kelas dan beliau mengatakan bahwa anak tersebut tidak perlu mendapatkan
perhatian khusus karena menurut beliau anak tersebut adalah anak yang nakal dan tidak patuh.
Beliau mengatakan di kelas 2 di SDN 02 Kramat Petang ini hanya ada 1 anak yang sulit untuk di
atur dan jarang sekali anak tersebut menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai. Peneliti juga
melakukan observasi dengan ikut melihat suasana saat proses pembelajaran berlangsung, disini
peneliti menemukan bahwa guru reguler hanya focus memberikan pembelajaran, tidak pernah
menghampiri anak yang di katakan “nakal” itu sampai pembelajaran berakhir, suasana
pembelajaran saat itu juga sangat tidak kondusif karena ada 1 anak yang tidak betah untuk duduk
diam di kursinya dan anak tersebut menghampiri temannya yang duduk di depannya, namun
guru reguler ini tidak menegur atau memberi perintah untuk anak tersebut untuk duduk kembali
di kursinya, guru reguler tetap melanjutkan proses pembelajaran.

Masalah pada guru reguler di SDN Inklusif juga di temukan berdasarkan wawancara pada
tanggal 26 Januari 2018 dengan Ibu Ria yang merupakan wali kelas 3 di SDN Inklusif 01 Pagi.
Beliau mengatakakan bahwa ia mengalami kesulitan dalam menangani 1 anak yang ada di dalam
kelasnya yang kemungkinan memiliki gangguan ADHD, karena anak tersebut sulit sekali untuk
di atur. Terlebih lagi beliau hanya mengajar sendiri di dalam kelas, tidak ada pendamping khusus
yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa. Beliau juga mempermasalahkan pelatihan
yang seharusnya di berikan oleh pemerintah agar guru reguler memiliki pengetahuan yang lebih
dan paham mengenai cara untuk memperlakukan ABK secara tepat, karena menurutnya di
sekolah tersebut butuh tenaga tambahan yang di berikan oleh pemerintah yang memiliki latar
belakang pendidikan luar biasa.

Pengetahuan yang minim tentang ADHD yang di alami oleh guru reguler di sekolah
inklusif tersebut di khawatirkan akan berdampak buruk untuk anak yang memiliki gangguan
ADHD, karena apabila gangguan ini tidak dapat di intervensi sejak dini maka akan
mengakibatkan masalah psikososial yang lebih buruk, seperti kesulitan belajar, prestasi belajar
yang buruk, gagal dalam menyelesaikan sekolah, penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat
adiktif lain, gangguan tingkah laku, kesulitan dalam penyesuaian diri di rumah ataupun sekolah.
Gangguan ini bisa berlanjut sampai usia dewasa yang dapat menyebabkan kesulitan dalam
penyesuaian diri di tempat bekerja taupun dalam hidup berkeluarga. Masalah psikososial yang
lebih buruk tersebut jelas akan menjadi salah satu penghambat dalam upaya pembinaan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia (Dwidjo, 2009, hal 4).

Penelitian yang dilakukan Sarah Mulholland (2016), menunjukan bahwa anak ADHD
sering mengalami banyak kesulitan perilaku dan juga psikososial yang merupakan akibat dari
kurangnya perhatian dari orangtua dan guru. Perilaku anak ADHD dapat memiliki implikasi
pendidikan yang signifikan bagi siswa dan mungkin berkorelasi dengan nilai ujian yang lebih
rendah daripada anak umum lainnya. Gangguan ADHD sangat banyak ditemukan pada anak-
anak usia sekolah dengan angka prevalensi sebesar 5% (American Psychiatric Association)
dimana dapat di artikan bahwa di setiap kelas ada satu siswa yang memiliki diagnosis ADHD.
Disini seharusnya guru menjadi orang pertama yang dapat mendeteksi gangguan ADHD pada
anak usia sekolah, dengan demikian sangat penting guru memiliki tingkat pengetahuan ADHD
yang tinggi dan sikap positif terhadap anak yang memiliki gangguan ADHD untuk menghindari
kegagalan potensial untuk mendeteksi siswa yang memerlukan dukungan pendidikan.
Di Indonesia, belum pernah dilakukan penelitian epidemologis terhadap gangguan ini
pada populasi yang representative. Di Indonesia laporan tentang perkembangan gangguan ini
pada masa anak prasekolah, anak usia sekolah, remaja maupun dewasa belum pernah ada,
demikian pula dampak buruk terhadap perkembangan fungsi kehidupan dan penyesuaian sosial
pada kehidupan anak, remaja ataupun dewasa belum ada (Dwidjo, 2009, hal 4).

Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman,


berdasarkan pancaindra dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada
tataran indrawi dan spontanitas, belum di tata melalui metode yang jelas.Pada intinya,
pengetahuan bersifat spontan, subjektif, dan intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan
kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada
pada objek (Endraswara, 2012).
Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini
terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior).

Berdasarkan pre-eliminary yang telah diperoleh, penulis mendapat kesimpulan bahwa di


sekolah dasar inklusif menunjukan guru memiliki pemahaman yang rendah tentang karakteristik
gangguan ADHD. Guru hanya menganggap anak yang menederita gangguan ini sebagai sifat
buruk semata yang diakibatkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah siswa tidak mau bersikap
patuh, siswa memiliki sifat malas belajar, siswa terlalu senang bermain, dan siswa yang kurang
perhatian dari orangtua. Guru tidak memahami bahwa gangguan tersebut adalah gangguan
neurobiologis yang memiliki latar belakang heterogen.

Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, perhatian yang lebih seharusnya diberikan


oleh pemerintah untuk tenaga pengajar di SD Inklusif di Jakarta, karena SD Negeri merupakan
jenjang pendidikan yang banyak menyelenggarakan sekolah inklusif di Jakarta. Terlebih lagi, SD
merupakan tingkat pendidikan paling awal untuk siswa dapat melanjutkan ke tingkat berikutnya.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan penulis mengenai ( pentingnya ) pengetahuan


guru pada siswa ADHD di SD Inklusif di Jakarta, maka penulis akan melakukan penelitian
tentang gambaran pengetahuan guru pada siswa yang memiliki gangguan ADHD di SD inklusif
di Jakarta.
1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka identifikasi
masalahnya yaitu sebagai berikut :

1.2.1 … ( bagaimana sikap dan peranan guru disekolah dasar inkusif terhadap adhd )

( bagaimana pengetahuan guru ……)

1.3 Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini akan dibatasi pada gambaran
pengetahuan guru pada siswa yang memiliki gangguan ADHD di SD inklusif di Jakarta.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut: “… ?”.

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris gambaran pengetahuan guru
pada siswa yang memiliki gangguan ADHD di SD inklusif di Jakarta.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait baik
secara teoritis maupun praktis.

You might also like