Professional Documents
Culture Documents
STATUSUJIANANAK Febri
STATUSUJIANANAK Febri
ISLAM
INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN STATUS UJIAN (PASIEN BUKAN NEONATUS)
I. IDENTITAS
Nama : An. LT Nama ayah : Tn. K
Umur : 6 th Umur : 55 th
Jenis kelamin :Perempuan Pendidikan : SD
Alamat : kedung banteng Pekerjaan : Petani
RT 19 RW 13 Nama ibu : Ny. P
Masuk RS : 09-03-2015 Umur : 45 th
No. CM :13023130 Pendidikan : SD
Tgl. Diperiksa : 11-03-2015 Pekerjaan : IRT
II. ANAMNESIS
(Dilakukan aloanamnesis terhadap ibu pasien).
A. Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama : nafas sesak
1
aktivitas sebab merasa tidak nyaman. Pasien tidak mengeluh nyeri tenggorokan, tidak
merasakan ada perubahan suara, serta tidak ada keluar cairan dari telinga.
Pasien merasa mual dan pernah muntah 2x sebelum masuk rumah sakit dan 1 x
saat setelah masuk rumah sakit. Nafsu makan pasien berkurang saat sakit, namun minum
masih mau. BAK dan BAB dalam batas normal, tidak ada perubahan warna dan tidak cair.
Ibu pasien mengaku badan pasien terlihat kurus tetapi wajah lebih berisi. Tidak ada
penurunan berat badan. Sekitar rumah tidak ada sakit batuk lama.
2
5. Silsilah/Ikhtisar Keturunan
Keterangan gambar
: perempuan : pasien
: laki-laki : kakek pasien
Kesan:
Pasien tinggal dan dirawat kedua orang tuanya dan memiliki kakek (sudah
meninggal) yang mempunyai riwayat TB sebelumnya
6. Riwayat Pribadi
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat kehamilan :
- Pasien merupakan anak ketiga dari orang tua ini, dan ibu memiliki riwayat
keguguran sebelumnya
- Ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan
- Tidak ada keluhan selama kehamilan
- Tidak ada penggunaan obat-obatan selain obat dari kontrol kehamilan di
bidan atau pun jamu selama hamil.
Riwayat persalinan :
- Pasien lahir secara spontan ditolong bidan dengan indikasi hamil kurang
bulan
- Pasien dilahirkan dengan umur kehamilan 30 minggu (preterm)
- Pasien lahir dengan berat 2700 gram, panjang badan 42 cm, jenis kelamin
perempuan
- Pasien lahir langsung menangis dan lahir tanpa cacat
Riwayat pasca lahir :
- Pasien dilahirkan saat ibu berusia 39 tahun
- Pasien tidak langsung mendapatkan ASI, sebab ASI tidak keluar
Kesan:
Persalinan yang kurang bulan sehingga struktur alveolus paru yang belum matur pada
usia kehamilan 30 minggu.
3
7. Riwayat Makanan
umur Makanan yang diberikan Jumlah perhari
0-7 bulan ASI dan susu formula Sesuka pasien
7 bulan- 1 tahun ASI, susu formula, dan bubur 3 kali sehari
1 tahun- 2 tahun ASI, susu formula, dan nasi 3 kali sehari
2 tahun- 6 tahun Susu formula dan nasi 3 kali sehari
Kesan:
Kualitas dan kuantitas kurang
b. Perkembangan Psikomotor
Motorik kasar
- Pada usia 1 tahun anak dapat bejalan dengan baik
- Pada usia 3 tahun anak dapat melompat, meloncat jauh, berlari
- Pada usia 5 tahun anak dapat mengayuh sepeda dengan baik, melompat dengan 1
kaki
- Pada usia 6 tahun anak dapat berdiri 1 kaki > 5 detik
Motorik halus
- Pada usia 5 tahun anak dapat melingkar dengan baik
- Pada usia 6 tahun anak dapat menggambar orang dengan bagian
- Pada usia 6 tahun anak dapat mencontoh menggambar persegi
Bicara
- Pada usia 3 tahun anak menyebutkan nama lengkap dengan baik tanpa memerlukan
bantuan
- Pada usia 5 tahun anak dapat menyebutkan 4 warna
- Pada usia 6 tahun anak dapat mengartikan 7 kata
Sosial
- Pada usia 3 tahun anak dapat mencuci tangan dengan baik, bermain petak umpet
4
- pada usia 4 tahun anak dapat mengenakan baju sendiri
- pada usia tahun anak dapat menggosok gigi tanpa bantuan
c. Mental/intelegensia
tidak ada kelainan mental
9. Imunisasi
Orang tua mengatakan anaknya sudah imunisasi lengkap di bidan
Simpulan :
imunisasi dasar lengkap
5
1. Kesan umum : tampak sadar penuh dan sesak, terpasang infus disebelah kiri
2. Tanda utama
Nadi : 122 x/menit
Pernapasan : 40 x/menit
Tekanan darah :-
Suhu : 36,5 0C
3. Status gizi:
Berat badan : 15 kg
Panjang badan : 102 cm
Lingkar kepala : 46 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Simpulan: status gizi kurang
B. Pemeriksaan Khusus:
1. Kepala :
Bentuk : bulat
Lingkar kepala : 46 cm
Rambut : hitam
Mata : konjungtiva (-), sklera ikterik (-), pupil isokor (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), deformitas (-), sekret (+)
Telinga : kelainan anatomi (-), sekret (-)
Mulut : kelainan anatomi (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-),stomatitis (-)
Tenggorokan : kelainan anatomi (-), peradangan tonsil (-)
Gigi : karies (-)
2. Leher : pembesaran kelenjer tiroid (-), massa (-), nyeri tekan (-),
bruit (-)
3. Dada :
6
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di SIC V
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguller, murmur (-), S3 gallop (-)
Paru-paru :
Inspeksi : gerakan nafas simetris antara kanan dan kiri, retraksi (-)
Palpasi : gerakan nafas simetris
Auskultasi : suara vesikuler seluruh lapang paru(+), wheezing (+), ronkhi (-)
Simpulan : jantung normal, tidak ada kelainan. Paru-paru menunjukkan ada
gangguan pada saluran pernafasan
4. Perut :
Inspeksi : flat, soepel
Auskultasi : bising usus (+) normal,
Palpasi :
Hepar : tidak dilakukan
Limpa : tidak dilakukan
Perkusi : timfani (+) diseluruh lapang abdomen
Simpulan : abdomen normal, tidak ada kelainan
5. Anogenital :
a. Anus : massa (-), kemerahan (-)
b. Genital : perempuan, kelainan anatomis (-)
Simpulan : tidak ditemukan kelainan
6. Anggota Gerak
7
Tungkai Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Kekuatan Normal Normal Normal Normal
Tonus Normal Normal Normal Normal
Trofi - - - -
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis - - - -
Klonus - - - -
Tanda meningeal - - - -
Sensibilitas - - - -
Simpulan :
Semua dalam batas normal tidak ditemukan kelainan
Simpulan:
Terjadi penurunan hematokrit tetapi penurunan tersebut masih dalam batas normal
Feses
Tidak dilakukan
8
- disertai pilek yang kental dan berwarna kekuningan
- badan panas yang hilang timbul
- keluhan sering kambuh sejak pasien berusia 7 bulan, terutama jika pasien sedang sakit
batuk
- keluhan membaik jika pasien dalam posisi duduk
- jika melakukan aktivitas keluhan akan semakin tidak nyaman
- tidak ada keluhan nyeri pada tenggorokan, terdapat sekret di hidung, tidak merasakan
ada perubahan suara serta tidak ada keluhan keluar cairan dari telinga
- nafsu makan agak berkurang
- sudah diberikan pengobatan namun keluhan belum membaik
B. PEMERIKSAAN FISIK
- KU : baik, sadar penuh, tampak sesak, terpasang infus di tangan sebelah
kiri dengan asma bronkial
- Nadi : 122 x/menit
- Pernapasan : 40 x/menit
- Tekanan darah : tidak diukur
- Suhu : 36,5 0C
- Status gizi : sangat kurang
- Kepala : Nafas cuping hidung (-), sekret di hidung
- Leher : Dalam batas normal
- Thoraks : retraksi dinding dada (-), wheezing (+), ronki kasar (-)
- Abdomen : dalam batas normal
- Anogenital : dalam batas normal
- Ektremitas : Akral hangat
C. LABORATORIUM
Darah: hematokrit turun
9
- Batuk liak yang memberatkan
- Pilek dengan cairan kental dan berwarna kekuningan
- Badan panas yang hilang timbul
Masalah inaktif:
- Tempat tinggal yang di pinggir jalan
10
- memberitahu kepada keluarga pasien agar memberi waktu pada anak untuk
istirahat
- memberitahu kepada keluarga untuk memperhatikan asupan gizi pasien untuk
pertumbuhan dan perkembangannya.
IX. DIAGNOSIS:
- Utama : asma bronkial
- Penyerta : common cold
- Komplikasi :-
- Imunisasi : lengkap
- Tumbuh kembang : sesuai dengan usia anak
- Status gizi : sangat kurang
- Social ekonomi : menengah
X. TERAPI
- oksigen
- nebul ventolin 2 x½ amp
-ambroxol 3 x 1 cth
XI. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad sanam : dubia ad bonam
c. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
ASMA BRONKIAL
1. Definisi
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
11
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama
pada malam atau dini hari (GINA, 2009).
Asma merupakan mengi berulang dan/atau persisten dengan karakteristik: timbul
secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas
fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya (IDAI,
2013)
2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA,
2009).
Prevalensi total asma didunia diperkirakan 7,2%(6% pada dewasa dan 10 % pada
anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi dan terdapat perbedaan prevalensi antara
Negara dan bahkan perbedaan juga didapat dari daerah setiap suatu Negara (IDAI, 2013).
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada
anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma
sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma
pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak
SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta
Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius (Baratawidjaja, et al,
2006).
Berdasarkan laporan NCHS pada tahun 2000, terdapat 4487 kematian akibat
penyakit asma atau 1,6 per 100000 populasi. Kematiam pada anak akibat penyakit asma
jarang. Pada tahun yang sama, didapatkan kematian 223 anak usia 0-17 tahun atau 0,3
kematian 100000 anak (NCHS, 2003; IDAI, 2013).
Fungsi saluran nafas bila diukur dengan spirometer atau peak flow meter
menunjukkan peningkatan selama pertumbuhan bayi dan anak, serta mecapai puncaknya
pada usia 20 tahun. Tahanan paru akan menurun dari 25 cm H 2O/L/detik pada bayi yang
12
lahir aterm, menjadi kurang dari 2 cm H2O/L/detik pada saat dewasa, dan asma
menghambat percepatan pertumbuhan paru-paru ini.
Sejumlah faktor anatomi dan fisiologi yang memepermudah bayi dan anak
mengalami obstruksi saluran nafas bagian bawah, yaitu
a. Diameter saluran nafas
Sampai usia 5 tahun, diameter saluran nafas anak relative lebih kecil
dibandingkan dengan orang dewasa, oleh karena itu lebih mudah terjadi obstruksi.
Bila ada suatu edema atau hipersekresi, maka akan memperberat obstruksi.
b. Dinding dada
Dinding dada pada bayi yang kurang kaku akan mempercepat penutupan
saluran nafas, walaupun dalam keadaan bernafas biasa (tidal breathing).
Tulang rawan trakea dan bronkus pada bayi pun masih kurang kaku, sehingga
mempermudah kolpas pada saat ekspirasi.
c. Otot bronkus dan cabangnya
Jumlah otot bronkus dan cabangnya masih sedikit, sehingga bronkodilatr yang
diberikan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
d. Hipersekresi kelenjer utama
Pada dinidng bronkus utama anak ditemukan lebih banyak kelenjer mukosa
dinbandingkan orang dewasa normal, sehingga dapat mengakibatkan
hipersekresi dan mempercepat obstruksi.
e. Insertio diafragma
Pada anak posisinya adalah horizontal, sehingga pada inspirasi diafragma akan
menarik dada ke dalam (retraksi), sedangkan pada orang dewasa posisi tersebut
oblik, sehingga justru memperluas rongga dada.
13
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
3. Faktor lain
a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta
laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang
sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum
diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah
14
kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang
berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga
(serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi
(Augusto, 2008).
5. Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma dibagi menjadi dua menurut santoso (2010) yaitu :
a. Klasifikasi derajat penyakit asma
Asma dibagi menjadi 3, yaitu serangan ringan, serangan sedang dan serangan
berat. Seorang penderita asma persisten sedang atau berat dapat mengalami
serangan ringan saja, sebaliknya orang yang menderita episodik jarang dapat
mengalami serangan berat, bahkan ancaman henti nafas. Tetapi pada umunya anak
dengan asma persisten sering mengalami serangan berat atau sebaliknya.
KNAA membagi asma menurut perjalanan penyakitnya dan berdasarkan parameter
klinis, kebutuhan obat, dan faal paru menjadi 3 derajat penyakit, yaitu:
a. Asma episodic jarang (asma ringan)
b. Asma episodic sering (asma sedang)
c. Asma persisten (asma berat)
15
Pembagian derajat penyakit asma pada anak (Santoso, 2010)
Parameter Asma episodik Asma episodik Asma persisten
klinis, jarang (asma sering (asma (asma berat)
kebutuhan obat, jarang) sedang )
dan faal paru
Frekuensi < 1x/bulan >1 x/bulan Sering
serangan
Lama serangan < 1 minggu ≥1 minggu Hampir
sepanjang tahun
(tidak ada remisi)
Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
serangan
Di antara Tanpa ada gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
serangan malam
Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terga
aktivitas nggu
Pemeriksaan Normal (tidak Mungkin Sangat
fisis diluar ditemukan terganggu terganggu, tidak
serangan kelainan) (ditemukan pernah normal
kelainan)
Obat Tidak perlu Perlu, non Perlu, steroid
pengendali steroid
(anti inflamasi)
Uji faal paru (di PEF/FEV1>80% PEF/FEV160%- PEF/FEV1<60%
luar serangan) 80%
Variabilitas faal Variabilitas Variabilitas 20%- Variabilitas
paru ( bila ada <20% 30% >30%
serangan)
6. Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi
melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh
antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat
dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
16
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast
dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot
polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada
fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16- 24
jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam
patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel
mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi
asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara
dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks
saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yangmenyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif
beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
7. Manifestasi Klinis
Asma pada anak dapat dilakukan anamnesis yang cermat agar didapatkan riwayat
penyakit yang akurat mengenai gejala sulit bernapas, mengi, atau dada terasa berat yang
bersifat episodik dan berkaitan pula dengan musim, serta riwayat asma atau penyakit atopi
pada anggota keluarga (IDAI, 2013).
17
Kemudian tentukan pola gejala yang timbul pada infeksi virus atau timbul sendiri
diantara batuk pilek. Meskipun tidak semua mengi dikatakan asma, tetapi asma merupakan
salah satu penyebab mengi. Maka, mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa semua mengi
adalah asma sampai dibuktikan bukan asma (IDAI, 2013).
8. Diagnosis
Asma pada anak umumnya hanya menunjukkan batuk. Mendiagnosis asma
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis asma
berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Rengganis,
2008 ).
a. Anamnesis
Ada beberapa yang harus diketahui pada pasien asma, antara lain riwayat hidung
ingusan atau mampet (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi),
batuk yang sering kambuh (kronis) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan
musim atau pergantian cuaca, ada hambatan beraktifitas karena disebabkan masalah
pernafasan, sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga asma, rhinitis atau alergi
lainnya, memelihara binatang didalam rumah, banyak kecoa, dan terdapat bagian lembab
didalam rumah. Untuk mengetahui tungau debu dalam rumah dapat ditanyakan apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, atau banyak barang di kamar
tidur. apakah sering sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga,
apakah ada yang merokok atau apakah ada obat yang sering digunakan.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pasien asma sering ditemukan perubahan pada cara bernafas, dan terjadi
perubahan bentuk anatomis thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan nafas cepat, kesulitan
bernafas, menggunakan otot nafas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi
dapat ditemukan mengi serta ekspirasi memanjang.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak flow meter / PEF
Alat pengukur faal paru sederhana untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jumlah jasmani dapat normal, dalam
menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/
FEV1 atau PFM)
3. X-ray thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE
18
Uji skin prick test untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik pada kulit.
Ini untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
5. Uji hiperaktifitas bronkus (HRP)
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90% dapat dibuktikan dengan tes
provokasi. Provokasi bronchial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak
alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran nafas pada penderita
yang sensitive. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis
jika dibandingkan dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik dapat dilakukan
dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamine, dan
metakolin.
Beratnya derajat serangan asma menentukan terapi yang akan diterapkan, national
asthma education and prevention program (NAEP) melakukan pembagian derajat asma
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium
seperti berikut:
Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman
Klinis, Fungsi Henti Nafas
Paru,
Laboratorium
Aktivitas Berjalan bayi: Berbicara Istirahat
menangis bayi: tangis bayi:
keras pendek dan berhenti
lemah makan
Bicara kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
teragitasi teragitasi teragitasi
Sianosis Tidak ada Tidak ada ada nyata
Mengi Sedang, hanya Nyaring, Sangat Sulit/tidak
pada akhir sepanjang nyaring, terdengar
respirasi ekspirasi + erdengar
inspirasi tanpa
stetoskop
Otot Bantu Biasanya Biasanya ya ya Gerakan
Nafas tidak paradoks
19
torakoabdomin
al
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilang
retraksi ditambah ditambah
intercostal retraksi nafas cuping
suprasternal hidung
Laju Nafas meningkat meningkat meningkat menurun
Laju Nadi normal takikardi takikardi bradikardi
Pulsus Tidak ada 10-20 mmHg >20 mmHg Tidak
Paradoksus ada(kelelahan otot
nafas)
PEFR atau % nilai dugaan/ % nilai terbaik
FEV1
- prabronkodilator >60% 40-60% <40%
-pascabronkodilator
>80% 60-80% <60%
SaO2% >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal >60 mmHg <60mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
Untuk anak-anak yang sudah besar (>6 tahun) sebaiknya dilakukan pemeriksaan
faal paru. Uji fungsi paru yang paling sederhana atau dengan peak flow meter , atau lebih
canggih dengan spirometer. Penunjang diagnosis dapat dilakukan juga ujia provokasi
bronkus dengan histamine, metakolin, latihan dengan lari bebas (exercise), udara dingin
dan kering, atau dengan salin hipertonis. Ada 3 macam pemeriksaan yang berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak, yaitu:
a. variabilitas PEFR atau FEV1≥20%
b. kenaikan ≥20% PEFR/FEV1 setelah pemberian bronkodilator inhalasi
c. penurunan ≥20% PEFR/FEV1 setelah provokasi bronkus
20
GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan
berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan.
Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat
dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
21
Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau
terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
22
• Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
• Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi
23
24
Obat-Obatan
a. Agonis β2-adrenergik
Merupakan bronkodilator, β2- agonis adalah obat yang paling poten, bekerja
cepat, dan paling banyak dipakai untuk mengatasi serangan asma. Ada 2 golongan β 2-
agonis yang tersedia di Indonesia, yaitu yang bekerja cepat dan yang bekerja lambat.
Tersedia dalam bentuk inhalasi (metered dose inhaler), dengan nebulizer, atau serbuk yang
dihirup (dry powder inhaler). Selain bekerja sebagai bronkodilatasi, β2-agonis
meningkatkan fungsi clearance silia, mengurangi edema dengan menghambat kebocoran
kapiler, dan menghambat kerja sel mast. Efek sampingnya adalah tremor, takikardi, cemas,
dan semua ini akan berkurang jika diberikan lewat inhalasi.
Untuk serangan asma dipakai β2-agonis dengan kerja cepat seperti salbutamol,
terbutalin atau pirbeterol, sedangkan salmeterol dan formeterol digunakan sebagai
pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini bersama steroid inhalasi.
b. Metilxatin
Yang termasuk dalam golongan ini adalah teofilin dan aminofilin. Cara kerjanya
dengan menghambat kerja enzim fosfodierterase dan menghambat pemecahan cAMP
menjadi 5’AMP yang tidak aktif. Obat ini dapat digunakan sebagai pengganti β 2-agonis
untuk mengatasi serangan asma atau dikombinasi dengan β 2-agonis, baik oral maupun
inhalasi. Aminofilin juga dapat diberikan secara paranteral pada asma berat.
Untuk memcapai fungsi paru yang baik, diperlukan konsentrasi aminofilin dalam
darah antara 5-15 µg/ml dan efek samping terjadi bila kadar aminofilin dalam darah
berada diatas 20 µg. bila dengan obat-obat standar diatas belum ada perbaikan, berikan
loading dose 4-5 mg/kgBB diencerkan dengan NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan
dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,7-0,9 mg/KgBB/jam atau 5-6
ml/KgBB/8 jam. Efek samping yang sering dijumpai adalah iritasi lambung, insomnia,
gugup, nausea, vomiting, anoreksia, nyeri kepala, palpitasi dan pada dosis yang berlebihan
dapat terjadi konvulsi
c. Kortokosteroid
Merupakan obat anti inflamasi yang paling poten untuk pengobatan penyakit asma.
Kerja obat ini melalui berbagai cara, antara lain menghambat kerja sel inflamasi,
menghambat kebocoran pembuluh darah kapiler, menurunkan produksi mucus, dan
meningkatkan kerja reseptor β-reseptor.
25
d. Steroid inhalasi
Pemberian steroid secara inhalasi walaupun memiliki efek samping yang minimal,
pada pemberian yang lama dan dosis tinggi akan menghambat pertumbuhan sekitar 1-1,5
cm pertahun untuk bulan-bulan pertama pemakaian. Pada pemberian jangka panjang
ternyata tidak berpengaruh banyak pada pertumbuhan. Walaupun demikian, dapat
dipertimbangkan untuk dikombinasi dengan β-agonis kerja lambat, teofilin kerja lambat
atau leokotrian reseptor antagonis. Bila untuk penggunaan jangka panjang pasien resisten
terhadap steroid inhalasi dosis perlu ditingkatkan.
Anti inflamasi:
kortikosteroid inhalasi
(dosis rendah atau dosis
tinggi)
Persisten sedang Anti inflamasi: salah satu Bronkodilator kerja
dari kortikosteroid cepat: β2-agonis
26
inhalasi (dosis rendah) inhalasi untuk
atau cromolyn atau mengatasi gejala.
nedokromil (anak-anak Meski demikian,
biasanya dimulai dari penggunaan β2-agonis
cromolyn atau lebih dari 3-4 kali
nedokromil) perhari atau
Jika diperlukan : penggunaan teratur
setiap hari
Bronkodilator jangka
mengindikasikan
panjang: salah satu dari
perlunya pengobatan
β2-agonis inhalasi atau
tambahan.
tablet kerja jangka
panjang, theophylline
sustained-release atau
leukotriene receptor
antagonist (LRA)
Episode ringan Tidak diperlukan terapi Bronkodilator kerja
harian cepat: β2-agonis
inhalasi untuk
mengatasi gejala.
Intensitas terapi
bergantung pada
seringnya eksaserbasi
β2-agonis inhalasi,
cromolyn sebelum
olahraga.
PEMBAHASAN
Dari identitas pasien terdapat faktor resiko terjadinya keluhan tersebut. Faktor
resiko dilihat dari usia pasien yaitu 6 tahun, pada umunya kebanyakan kasus asma
27
presisten terjadi pada usia muda, yaitu beberapa tahun pertama kehidupan. Dari beberapa
penelitian yang telah dilakukan di Australia dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma
presisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan
mengi pertama pada usia 3 tahun. Hanya sekitar 5 % anak yang terbebas dari asma
presisten pada usia 28-35 tahun.
Faktor resiko selanjutnya adalah jenis kelamin, diketahui bahwa pasien ini berjenis
kelamin perempuan. Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa
prevalensi asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5-2 kali lipat
dibandingkan perempuan. Namun pada orang dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding
antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun. Peningkatan risiko pada laki-laki
mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan
mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon
bernafas. Selanjutnya didukung oleh adanya perbedaan ratio diameter saluran udara laki-
laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkana perubahan rongga
dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan (Wayne, 2004)
Sesak nafas pada pasien ini disebabkan oleh adanya peningkatan kerja pernafasan
akibat penyempitan saluran pernafasan. Hal ini terjadi karena pasien asma yang
disebabkan oleh reaksi alergi yang dimana saat terpapar alergen, terjadi fase sensitasi dan
antibodi IgE akan meningkat dan melekat pada permukaan sel mast pada intertisial paru,
yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang digunakan adalah
histamine, leukotrin, faktor kemotaktik,faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin
sehingga menimbulkan efek local pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mucus yang
kental kedalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos brounkiolus sehingga
menyebabkan inflamasi saluran nafas. Inflamasi saluran nafas inilah yang menyebabkan
terjadinya penyempitan saluran nafas (Rengganis, 2008).
Bunyi ngik-ngik pada pasien ini disebabkan oleh banyaknya udara yang masuk
tidak seimbang dengan udara yang keluar. Hal ini terjadi karena saat inspirasi tekanan
intratorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernafasan dan perbedaan waktu inspirasi
dan ekspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktus alveolus
dan menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian tengah pernafasan
akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan kapasitas residu
fungsional dan dibutuhkan tekanan intratorakal untuk ekpirasi karena komplians dan
resistensi meningkat. Sehingga penyempitan saluran nafas ini menyebabkan udara
mengalami turbulensi dan terjadi wheezing (IDAI, 2013).
28
Pada pasien terdapat keluhan memburuk saat malam hari ketika batuk hingga
pasien tidak dapat tidur, pada penelitian yang dilakukan biopsi bronchial pada pasien asma
jam 04.00 dengan hasil biopsi transbronkial telah terbukti dengan ditemukannya
akumulasi eosinofil dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari.
Hubungan yang saling berpengaruh antara saluran nafas dan parenkim paru yang sangat
penting, yang menunjukkan adanya gangguan pada pasien asma saat tidur dengan posisi
supine dibandingkan saat bangun (IDAI, 2013).
Dari riwayat penyakit dahulu diketahui pasien pernah mengalami keluhan serupa
sejak usia 7 bulan, kemudian pernah dirawat di Rumah Sakit pada usia 7 bulan dan sering
mengkonsumsi obat untuk meredakan sesak nafasnya jika kambuh. Dari riwayat keluarga
tidak ada yang memiliki keluhan yang sama, hanya saja kakek dari pasien tersebut
memiliki riwayat TB dan telah meninggal dunia jadi tidak ada kaitan dengan keluhan
pasien tersebut.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan takikardi dan takipneu. Selain itu ditemukan
nafas cuping hidung dan penambahan otot bantu pernafasan. Hal tersebut terjadi karena
penyempitan saluran pernafasan pada pasien asma yang menyebabkan kesulitan bernafas,
sehingga usaha bernafas akan lebih banyak dilakukan. Sedangkan penambahan otot bantu
pernafasan terjadi karena ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktus alveolus dan
menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan dan bagian tengah akan
terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan kapasitas residu fungsional
dan dibutuhkan tekanan intratorakal untuk ekspirasi karena komplians dan resistensi
meningkat. Tekanan intratorakal inilah yang menyebabkan adanya tambahan dari otot
bantu pernafasan.
Serta pada hidung ditemukan sekret, sekret mukus pada saluran nafas pasien tidak
hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Perbedaan kualitas dan kuantitas dapat timbul baik akibat infiltrasi sel inflamasi maupun
terjadi perubahan patologis sel sekretori, pembuluh darah epitel saluran nafas dan lapisan
submukosa (IDAI, 2013).
Dilihat dari riwayat kehamilan pasien termasuk dalam bayi premature. Pada bayi
premature struktur alveolus paru belum matur secara sempurna sehingga mempengaruhi
sistem pernafasan pada pasien kedepannya (IDAI, 2013).
29
DAFTAR PUSTAKA
30
Augusto, A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the inception of disease
JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.
Baratawidjaja, K.G., Soebaryo, R.W., Kartasasmita, C.B., Suprihati,
Global Initiative for Asthma (GINA), 2009. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Available from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411
[Accessed at 22 February 2010]
PDPI, 2003. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Pedoman
dokter paru Indonesia.
Rengganis, I., 2008. Diangnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: IDI
Santoso, H., 2010. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Jakarta: IDAI.
Sundaru, H., Siregar, S.P., et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh
WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas
Medical Publishers; 2006.707-36.
Wayne JM. Result Of a Home – Base Environmental Intervention Among Urban children
with Asthma. The New England Journal of Medicine, 2004 ; 351 : 1068 – 80.)
31