Bab 2 PDF

You might also like

You are on page 1of 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hidradenitis Suppurativa (HS) atau dikenal juga sebagai Acne inversa dan

Verneuil disease, adalah penyakit inflamasi kronis yang berasal dari kelenjar apokrin

kulit (Jones JM, 2014). Gambaran klinis hidradenitis suppurativa diawali dengan nodul

dan pustul yang berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat

terinfeksi sehingga membentuk abses, fistula dan sinus (Zouboulis CC, Tsatsau F,

2012).

Predileksi dari HS meliputi daerah lipatan kulit (intetriginous area) termasuk

axilla, inguinal, perineal, perianal, mammary dan inframammary, bokong, dada, kulit

kepala, dan kelopak mata. Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan daerah

yang paling sering terkena. Penyakit ini biasanya terjadi setelah pubertas dan empat

kali lebih banyak menyerang wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada orang

yang obesitas (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

2.2 Epidemiologi

Prevalensi HS di Amerika Serikat sebesar 1-2%, sementara prevalensi

Hidradenitis suppurativa dunia adalah sebesar 1% dari populasi umum. Pada penelitian

Revuz JE, tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi di antara orang berusia 55 tahun

dan lebih tua secara signifikan lebih rendah daripada kelompok usia muda (0,5% vs

1,4%) (Jovanovic M, 2016).

3
4

Hidradenitis suppurativa terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pada

pria, dengan rasio 2-5: 1. Lesi genitofemoralis aktif secara signifikan lebih sering

terjadi pada wanita, sedangkan keterlibatan perianal cenderung lebih umum pada laki-

laki. Tidak ada perbedaan jenis kelamin terlihat pada lesi aksila (Jovanovic M, 2016)

Timbulnya hidradenitis suppurativa berkisar antara usia 11-50 tahun, dengan

usia rata-rata pasien adalah 23 tahun. Namun, dalam kasus yang sangat jarang,

hidradenitis suppurativa dapat terjadi sebelum pubertas (Jovanovic M, 2016)

2.3 Etiologi

Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS

memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel dan

pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis menyebabkan

terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi inflamasi pada kelenjar

apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan ruptur pada kulit, fibrosis, dan

pembentukan sinus. Infeksi sekunder oleh bakteri S. Aureus, Streptococcus pyogenes,

dan berbagai bakteri gram negatif lain dapat terjadi (James WD, Elston DM, Berger

TM, 2011).

Menurut (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008), beberapa faktor risiko

terjadinya HS antara lain:

1. Faktor genetik

Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis supurativa

diperoleh pada 26% pasien. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya hubungan

dengan HLA. Namun beberapa studi lainnya menunjukkan adanya penurunan


5

autosomal dominan dengan single gene transmission. Namun, lokus genetik yang

terkait tidak ditemukan.

2. Hormonal

Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika pubertas atau setelah

pubertas menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain itu adanya peningkatan

kejadian yang dilaporkan pada pasien postpartum yang berhubungan dengan

penggunaan pil kontrasepsi oral dan pada periode premenstrual (sekitar 50%

pasien). Terapi antiandrogen juga memperlihatkan keuntungan terapetik pada

beberapa studi. Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat

ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu tidak

seperti kelenjar sebacea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh androgen.

Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian hidradenitissuppurativa masih

belum jelas.

3. Obesitas

Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis suppurativa

namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat melalui peningkatan

gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga memperberat

penyakit ini dengan meningkatkan androgen. Penurunan berat badan dianjurkan

bagi pasien dengan berat badan berlebih dan dapat membantu mengontrol

penyakit.

4. Infeksi bateri

Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa masih belum

jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan bakteri pada
6

terjadinya jerawat. Obat antibakteri biasa digunakan sebagai terapi. Keterlibatan

bakteri terjadi secara sekunder. Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif,

namun sejumah bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus dan

coagulase-negative-staphylococcus adalah yang paling sering diisolasi. Namun,

bakteri lain termasuk Streptococcus, basil gram negatif, dan anaerob, juga dapat

ditemukan.

5. Merokok

Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis suppurativa

dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan bahwa

70% dari 43 pasien dengan hidradenitis suppurativa perineal adalah perokok.

Diperkirakan bahwa merokok dapat mempengaruhi kemotaxis sel

polymorphonuclear. Penghentian merokok dapat memperbaiki manifestasi klinis

penyakit ini.

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi HS sebagian besar tidak diketahui dan diduga multifaktorial,

termasuk genetik, infeksi, hormonal dan faktor imunologi. Sekitar sepertiga dari pasien

HS memiliki riwayat keluarga yang menderita HS. HS familial ditrasmisikan dengan

warisan pola autosomal dominan, dan mutasi pada gamma secretase juga dikaitkan

dengan kasus HS familial (Jones JM, 2014)

Hipotesis saat ini menyebutkan bahwa patogenesis awal terjadinya HS adalah

hiperkeratinisasi dari folikuler infundibulum, diikuti dengan oklusi folikel, dilatasi dan

rupture; sehingga menyebabkan penyebaran bakteri yang memicu reaksi inflamasi

lokal (Jones JM, 2014). Oklusi apokrin atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin,
7

menyebabkan dilatasi duktus dan statis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem

apokrin melalui folikel rambut dan terperangkap dibawah sumbatan keratin yang

kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung banyak

nutrisi dan keringat apokrin. Kelenjar dapat rupture, sehingga menyebabkan

penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi Streptococcus,

Staphilococcus, dan organisme lain menyebabkan iflamasi lokal yang lebih luas,

destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis menimbulkan

fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit diatasnya (Prens E, Deckers I, 2015)

Urutan berikut ini dapat menggambarkan dugaan mekanisme pengembangan

lesi: Keratin menyumbat folikel rambut kemudian terjadi dilatasi folikel rambut yang

kemudian melibatkan kelenjar apokrin sehingga terjadi inflamasi  Terjadi

pertumbuhan bakteri dalam saluran folikel  folikel yang mengandung bakteri ini

dapat pecah sehingga terjadi peradangan/ infeksi  terbentuk nanah / kerusakan

jaringan  pembentukan ulkus dan fibrosis, serta pembentukan saluran sinus (Wolff

K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013)

2.5 Manifestasi Klinis

Hidradenitis Suppurativa terjadi pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin.

Aksila dan daerah perineal (termasuk genital, pubis, inguinal, daerah perianal, pantat,

dan tungkai atas) merupakan tempat tersering terjadinya HS. Penyakit ini dapat juga

mengenai payudara wanita, leher, dan meatus auditorius eksterna, sekitar kulit kepala,

dan punggung (Burns T, Breathnach S, Cox N et al, 2010).

Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran 0,5-

2cm). Pustul juga dapat terlihat. Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru
8

berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga

menghasilkan abses inflamasi nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral

dan dapat sembuh atau ruptur spontan, menghasilkan discharge purulent (Wolff K,

Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008)

Gambar 2.1 Nodul pada area genitalia wanita dengan HS

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008)

Gambar 2.2 Pustul dan papul inflamasi pada pasien laki-


laki dengan HS
9

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008)

Gambar 2.3 Abses yang rupture mengeluarkan material


purulent pada individu yang menderita
hidradenitis suppurativa.

Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena inflamasi

periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses penyembuhan

dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis, kontraktur dan peninggian kulit rope-like,

dan double-ended comedones. Sinus juga dapat terbentuk. Sinus telah dilaporkan

melibatkan jaringan yang lebih dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses

kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang mengandung

kelenjar apokrin (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008)

Gambar 2.4 Double ended comedones


10

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008)

Gambar 2.5 Pembentukan sinus pada vulva


seorang wanita penderita
hidradenitis suppurativa.

Perianal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema, discharge

purulent, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai penyakit lain seperti

furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses perianal atau penyakit Crohn. Fistula

pada canalis analis dapat terjadi pada hidradenitis, namun hanya akan terjadi pada

bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin (Wolff

K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

Terdapat tiga stadium dalam perkembangan penyakit ini. Stadium primer

berupa abses yang berbatas tegas, tanpa bekas luka dan tanpa adanya saluran sinus.

Stadium sekunder berupa terbentuknya saluran sinus dengan bekas luka akibat bekas

garukan serta abses yang berulang. Stadium tersier menunjukkan lesi yang menyatu,

terbentuk skar, serta adanya inflamasi dan discharge saluran sinus (Wolff K, Goldsmith

LA, Katz SI et al, 2008)


11

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Penyebab hidradenitis suppurativa, salah satunya adalah infeksi

Staphylococcus aureus sehingga pada pemeriksaan laboratorium dapat terjadi

peningkatan Laju Endap Darah (LED) dan C-reactive protein. Jika tanda infeksi cukup

jelas, dapat dilakukan kultur bakteri dengan sampel diambil pada lesi (Zouboulis CC,

Tsatsou F, 2012).

Ultrasonografi dapat dilakukan pada dermis dan folikel untuk melihat formasi

abses dan kelainan bagian profunda dari folikel. Telah berkembang pula pemeriksaan

dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menilai kulit dan

jaringan subkutan (Zouboulis CC, Tsatsou F, 2012).

2.7 Diagnosis
Diagnosis Hidradenitis suppurativa ditegakan berdasar anamnesa, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang, serta telah memenuhi kriteria diagnosis menurut The

2nd International Conference on Hidradenitis supurativa, March 5, 2009, San

Francisco, CA US yaitu:

1. Lesi yang khas : nodul yang nyeri, ‘blind boils’ pada lesi yang akut: abses,

sinus, bridged scars dan double-ended pseudo-comedones pada lesi sekunder

2. Topografi yang khas: pada region axilla, pangkal paha, perineum dan region

perianal, bokong dan area lipatan infra mammae dan intermammary.

3. Kronik dan berulang: inflamasi berulang lebih dari dua kali per enam bulan

dengan nodul, saluran sinus dan skar.

Semua kriteria harus terpenuhi untuk diagnosis yang tepat (Fimmel S,

Zouboulis CC, 2010).


12

Berdasarkan klasifikasi Harley keparahan penyakit hidradenitis suppurativa

dibagi menjadi tiga tingkat untuk masing-masing area (Zouboulis CC, Desai N,

Emtestam L et al, 2015);

Tabel 2.1 Klasifikasi Harley’s


Stage Karakteristik
I Abses soliter atau multiple tanpa sikatriks atau sinus
Abses rekuren, lesi soliter atau multiple yang terpisah jauh, dengan sinus (inflamasi
II yang membatasi pergerakan dan mungkin membutuhkan bedah minor seperti insisi
dan drainase)

III Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan sinus dan abses yang
saling berhubungan (inflamasi berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar
bola baseball; timbul sikatriks. Pasien pada tingkat ini mungkin tidak
dapat berkerja)
(Zouboulis CC, Desai N, Emtestam L, et al, 2015)

Sistem klasifikasi Hurley dinilai tidak dinamis dalam menjelaskan hasil terapi.

Sartorius Score yang menghitung skor keterlibatan regio, nodul, dan sinus, kemudian

dijadikan panduan untuk menilai keparahan penyakit (Zouboulis CC, Desai N,

Emtestam L et al, 2015)

Tabel 2.2 Sartorius Score


Kriteria Poin
Daerah anatomi mencakup
- Aksila 3
- Lipatan paha 3
- Intermamilaris 3
- Lainnya 3
Jumlah dan skor lesi
- Abses/nodul 2
- Fistula 4
- Skar 1
- Lainnya 1
Jarak antar dua lesi
- Jika <5 cm 2
- Jika <10 cm 4
- Jika > 10 cm 8
13

Apakah semua lesi terpisah dari kulit normal?


- Ya 0
- Tidak 6
(Sartorius K, Emtestam L, Jemec GBE, et al, 2009)

Physician Global Assessment (PGA) digunakan untuk mengukur tingkat

kesembuhan dari pengobatan (Zouboulis CC, Desai N, Emtestam L, et al, 2015).

Tabel 2.3 Hidradenitis Suppurativa Physician Global Assesment (PGA) scale.


Tingkatan Deskripsi
Clear 0 abses, 0 fistula, 0 nodul inflamasi, dan 0 nodul tak inflamasi
Minimal 0 abses, 0 fistula, 0 nodul inflamasi, dan ada nodul tak
terinflamasi
Ringan 0 abses, 0 fistula, 1-4 nodul inflamasi, atau 1 abses atau fistula
dan 0 nodul terinflamasi
Sedang 0 abses, 0 fistula, dan ≥5 nodul inflamasi, atau 1 abses atau
fistula dan ≥ 1 nodul terinflamasi atau 2-5 abses atau fistula
dan ≤ 10 nodul terinflamasi
Berat 2-5 abses atau fistula dan ≥ 10 nodul terinfamasi
Sangat berat >5 abses atau fistula
(Zouboulis CC, Desai N, Emtestam L, et al, 2015).

2.8 Diagnosis Banding

1. Skrofuloderma

Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan

langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk

abses dingin (Cold Abscess) yang makin lama makin membesar dan pecah pada

kulit diatasnya (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

Skrofuloderma paling sering ditemukan di parotidal, submandibular dan

supraclavicular dan dapat pula bilateral. Lesi awal muncul sebagai nodul subkutan

keras, berbatas tegas, dan mudah digerakkan serta asimptomatik. Dengan

bertambah besar lesi, akan terjadi perlunakan. Setelah berbulan-bulan lesi tersebut
14

menjadi cair dan kemudian pecah, menyebabkan timbunya ulkus dan sinus (Wolff

K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

Persamaannya HS dan skrofuloderma yaitu terdapat nodus, abses, dan

fistel. Perbedaannya, pada hidradenitis supurativa pada permulaan disertai tanda-

tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi. Sebaliknya pada skrofuloderma

tidak terdapat tanda-tanda radang akut dan tidak ada gejala konstitusi (Wolff K,

Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008 & Djuanda A, 2010).

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008)

Gambar 2.6 Skrofuloderma pada region


clavicula. Terdapat abses,
ulcerasi dan material
kaseosa.
15

(Wolff K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013)

Gambar 2.6 Skrofuloderma; chest lateral. Dua


ulkus pada chest dan axilla
dikaitkan dengan saluran sinus yang
mendasari.

2. Furunkel dan Karbunkel

Furunkel ialah suatu infeksi nekrotik akut folikel rambut yang dalam.

Jika lebih dari satu disebut furunkulosis. Sedangkan karbunkel ialah kumpulan

furunkel. Karbunkel ialah infeksi bakteri dalam, mengenai beberapa folikel

rambut yang disertai reaksi inflamasi berat di sekelilingnya (Djuanda A, 2010)

Penyebab furunkel adalah bakteri Staphylococcus aureus. Biasanya

furunkel mengenai dewasa muda yang sehat atau mengenai penderita dermatitis

yang terinfeksi sekunder atau dengan nodul merah, sakit dan akut dengan titik

purulent ditengahnya. Lokasi lesi pada muka (bibir atas, hidung, telinga),

kuduk, panggul ketiak, badan dan paha (Djuanda A, 2010).

Nodul dan abses yang nyeri pada hidradenitis supurativa sering memb

uat salah diagnosis dengan furunkel atau karbunkel. HS ditandai dengan abses
16

steril dan sering berulang. Selain itu, daerah predileksinya berbeda dengan

furunkel atau karbunkel yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah

payudara. Walaupun karbunkel juga terdapat pada area yang banyak friksi

seperti aksila dan bokong. Adanya jaringan parut yang lama, adanya saluran

sinus serta kultur bakteri yang negatif memastikan diagnosis penyakit HS dan

juga membedakannya dengan furunkel atau karbunkel (Wolff K, Goldsmith

LA, Katz SI et al, 2008 & Djuanda A, 2010).

(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008) (Wolff K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013)
A B
Gambar 2.7 A; Furunkel di atas bibir. Lesi nodular, dan necrotic plug central
ditutupi crusta purulent. B; Karbunkel. Lesi menunjukkan multiple
furunkel, plak infamasi dan pus.

3. Limfogranuloma venereum (LGV)

Limfogranuloma venerum merupakan penyakit menular seksual yang

disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, L3 yang terutama

menyerang sistem getah bening di daerah genitalia, rectum dan anus (Barakah J,

Lumintang H, Martodiharjo S, 2005).


17

Penyakit ini ditularkan melalui kontak seksual. Tempat masuk mikroorganisme

terutama daerah genital tetapi dapat juga melalui rectum dan faring. Masa inkubasi

berkisar antara 3-20 hari. Lesi primer dapat berbentuk macam-macam (papul,

vesikel, erosi, ulkus dan urethritis (Barakah J, Lumintang H, Martodiharjo S, 2005).

Sindrom inguinale timbul beberapa minggu setelah lesi primer menghilang.

Kelenjar limfe inguinal besar dan sakit (limfadenitis) disertai perilimfadenitis

sehingga terjadi perlekatan satu kelenjar dengan yang lainnya, kulit diatasnya

merah, teraba panas dan sakit bila disentuh. Perbesaran kelenjar femoral juga

mengalami hal yang serupa. Diantara kedua kelenjar limfe terdapat ligamentum

inguinal pouparti sehingga membentuk cekungan yang disebut sign of groove.

Pembesaran kelenjar femoral, inguinal superfisial dan profunda menyebabkan

bentuk seperti tangga yang disebut ettage bubo (Barakah J, Lumintang H,

Martodiharjo S, 2005).

Hidradenitis supurativa yang terdapat di lipatan paha kadang mirip dengan

limfadenitis pada LGV. Perbedaan yang penting adalah pada LGV terdapat riwayat

kontak seksual. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang

berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes Frei

positif (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008 & Djuanda A, 2010).
18

(Wolff K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013)

Gambar 2.8 Lymphogranuloma venerum;


Groove Sign.

2.9 Pentalaksanaan

Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan antibiotik

sistemik hanyalah merupakan bagian dari program penatalaksanaannya. Kombinasi

dari pengobatan glukokortikoid intralesi, pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin

perlu digunakan (Wolff K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013).

Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan lesi

primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti sikatriks atau

pembentukan sinus (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

Lesi yang timbul paling awal sering kali sembuh dengan cepat dengan

pemberian terapi steroid intralesi, dan sebaiknya dicoba untuk memulai kombinasi

dengan cleocin topikal atau tetracycline atau minocycline oral (James WD, Berger TG,

Elston DM, 2011).

Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan

triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (3-5 mg/mL)
19

intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral yang dapat

digunakan adalah erythromycin (250-500 mg qid), tetracycline (250-500 mg qid), atau

minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi klindamisin 2

x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg2 kali perhari) selama beberapa minggu.

Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari

selama 2-3 hari, diturunkan (tapered off) selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral

tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit

untuk mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi (Wolff

K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013).

Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri, chlorhexidine solution

atau benzoyl peroxide penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan

menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan

mencegah timbulnya keringat berlebih dengan menggunakan aluminium klorida

topical (James WD, Berger TG, Elston DM, 2011).

Pada kondisi adanya drainase sinus, klutur pus mungkin akan menunjukkan

Stafilococcus aureus atau organisme gram negative. Pemilihan antibiotik harus

didasarkan pada sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada beberapa kasus.

Pada sebuah studi isotretinoin diberikan dengan dosis 0,56 mg/kg selama 4 sampai 6

bulan (James WD, Berger TG, Elston DM, 2011).

Apabila penatalaksanaan dengan obat-obatan tidak memberikan hasil yang

memuaskan maka pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat dapat

dijadikan sebagai modalitas pengobatan. Rekurensi postoperative dapat terjadi.

Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul
20

fibrotik dan sinus. Pada penyakit yang luas dan kronik, dibutuhkan eksisi komplit pada

aksila atau area yang terlibat. Eksisi dalam hingga lapisan fascia membutuhkan

penutupan skin grafting. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk

ablasi jaringan. (James WD, Berger TG, Elston DM, 2011).

Beberapa penelitian melaporkan kesuksesan radioterapi dalam pengobatan HS

yang lebih sering diberikan pada pasien muda, namun efek samping jangka panjang

perlu diperhatikan (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

2.10 Komplikasi

Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh infeksi lokal

yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis dapat terjadi namun

tidak signifikan (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks yang membatasi mobilitas. Inflamasi

genitofemoral dapat mengakibatkan striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra

juga dapat terjadi. Selain itu dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan

skrotum, atau limfedema vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan.

Limfedema ini diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous

cell carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan sikatriks

kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS yang terjadi

selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di region anogenital (Wolff K,

Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008).

2.11 Prognosis

Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya mengalami gejala

ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak berobat. Penyakit ini
21

biasanya mengalami remisi spontan pada usia >35 tahun. Pada beberapa individu,

gejalanya dapat menjadi progresif, dengan morbiditas yang nyata terkait pada penyakit

kronis, pembentukan sinus, dan sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak (Wolff

K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013).

You might also like