Professional Documents
Culture Documents
Bab 2 PDF
Bab 2 PDF
Bab 2 PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hidradenitis Suppurativa (HS) atau dikenal juga sebagai Acne inversa dan
Verneuil disease, adalah penyakit inflamasi kronis yang berasal dari kelenjar apokrin
kulit (Jones JM, 2014). Gambaran klinis hidradenitis suppurativa diawali dengan nodul
dan pustul yang berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat
terinfeksi sehingga membentuk abses, fistula dan sinus (Zouboulis CC, Tsatsau F,
2012).
axilla, inguinal, perineal, perianal, mammary dan inframammary, bokong, dada, kulit
kepala, dan kelopak mata. Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan daerah
yang paling sering terkena. Penyakit ini biasanya terjadi setelah pubertas dan empat
kali lebih banyak menyerang wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada orang
2.2 Epidemiologi
Hidradenitis suppurativa dunia adalah sebesar 1% dari populasi umum. Pada penelitian
Revuz JE, tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi di antara orang berusia 55 tahun
dan lebih tua secara signifikan lebih rendah daripada kelompok usia muda (0,5% vs
3
4
pria, dengan rasio 2-5: 1. Lesi genitofemoralis aktif secara signifikan lebih sering
terjadi pada wanita, sedangkan keterlibatan perianal cenderung lebih umum pada laki-
laki. Tidak ada perbedaan jenis kelamin terlihat pada lesi aksila (Jovanovic M, 2016)
usia rata-rata pasien adalah 23 tahun. Namun, dalam kasus yang sangat jarang,
2.3 Etiologi
memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel dan
terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi inflamasi pada kelenjar
apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan ruptur pada kulit, fibrosis, dan
dan berbagai bakteri gram negatif lain dapat terjadi (James WD, Elston DM, Berger
TM, 2011).
Menurut (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008), beberapa faktor risiko
1. Faktor genetik
diperoleh pada 26% pasien. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya hubungan
autosomal dominan dengan single gene transmission. Namun, lokus genetik yang
2. Hormonal
penggunaan pil kontrasepsi oral dan pada periode premenstrual (sekitar 50%
beberapa studi. Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat
belum jelas.
3. Obesitas
gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga memperberat
bagi pasien dengan berat badan berlebih dan dapat membantu mengontrol
penyakit.
4. Infeksi bateri
jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan bakteri pada
6
bakteri terjadi secara sekunder. Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif,
namun sejumah bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus dan
bakteri lain termasuk Streptococcus, basil gram negatif, dan anaerob, juga dapat
ditemukan.
5. Merokok
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan bahwa
penyakit ini.
2.4 Patofisiologi
termasuk genetik, infeksi, hormonal dan faktor imunologi. Sekitar sepertiga dari pasien
warisan pola autosomal dominan, dan mutasi pada gamma secretase juga dikaitkan
hiperkeratinisasi dari folikuler infundibulum, diikuti dengan oklusi folikel, dilatasi dan
lokal (Jones JM, 2014). Oklusi apokrin atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin,
7
menyebabkan dilatasi duktus dan statis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem
apokrin melalui folikel rambut dan terperangkap dibawah sumbatan keratin yang
Staphilococcus, dan organisme lain menyebabkan iflamasi lokal yang lebih luas,
destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis menimbulkan
fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit diatasnya (Prens E, Deckers I, 2015)
lesi: Keratin menyumbat folikel rambut kemudian terjadi dilatasi folikel rambut yang
pertumbuhan bakteri dalam saluran folikel folikel yang mengandung bakteri ini
jaringan pembentukan ulkus dan fibrosis, serta pembentukan saluran sinus (Wolff
Aksila dan daerah perineal (termasuk genital, pubis, inguinal, daerah perianal, pantat,
dan tungkai atas) merupakan tempat tersering terjadinya HS. Penyakit ini dapat juga
mengenai payudara wanita, leher, dan meatus auditorius eksterna, sekitar kulit kepala,
2cm). Pustul juga dapat terlihat. Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru
8
berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga
menghasilkan abses inflamasi nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral
dan dapat sembuh atau ruptur spontan, menghasilkan discharge purulent (Wolff K,
periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses penyembuhan
dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis, kontraktur dan peninggian kulit rope-like,
dan double-ended comedones. Sinus juga dapat terbentuk. Sinus telah dilaporkan
melibatkan jaringan yang lebih dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses
kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang mengandung
purulent, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai penyakit lain seperti
furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses perianal atau penyakit Crohn. Fistula
pada canalis analis dapat terjadi pada hidradenitis, namun hanya akan terjadi pada
bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin (Wolff
berupa abses yang berbatas tegas, tanpa bekas luka dan tanpa adanya saluran sinus.
Stadium sekunder berupa terbentuknya saluran sinus dengan bekas luka akibat bekas
garukan serta abses yang berulang. Stadium tersier menunjukkan lesi yang menyatu,
terbentuk skar, serta adanya inflamasi dan discharge saluran sinus (Wolff K, Goldsmith
peningkatan Laju Endap Darah (LED) dan C-reactive protein. Jika tanda infeksi cukup
jelas, dapat dilakukan kultur bakteri dengan sampel diambil pada lesi (Zouboulis CC,
Tsatsou F, 2012).
Ultrasonografi dapat dilakukan pada dermis dan folikel untuk melihat formasi
abses dan kelainan bagian profunda dari folikel. Telah berkembang pula pemeriksaan
dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menilai kulit dan
2.7 Diagnosis
Diagnosis Hidradenitis suppurativa ditegakan berdasar anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, serta telah memenuhi kriteria diagnosis menurut The
Francisco, CA US yaitu:
1. Lesi yang khas : nodul yang nyeri, ‘blind boils’ pada lesi yang akut: abses,
2. Topografi yang khas: pada region axilla, pangkal paha, perineum dan region
3. Kronik dan berulang: inflamasi berulang lebih dari dua kali per enam bulan
dibagi menjadi tiga tingkat untuk masing-masing area (Zouboulis CC, Desai N,
III Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan sinus dan abses yang
saling berhubungan (inflamasi berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar
bola baseball; timbul sikatriks. Pasien pada tingkat ini mungkin tidak
dapat berkerja)
(Zouboulis CC, Desai N, Emtestam L, et al, 2015)
Sistem klasifikasi Hurley dinilai tidak dinamis dalam menjelaskan hasil terapi.
Sartorius Score yang menghitung skor keterlibatan regio, nodul, dan sinus, kemudian
1. Skrofuloderma
langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk
abses dingin (Cold Abscess) yang makin lama makin membesar dan pecah pada
supraclavicular dan dapat pula bilateral. Lesi awal muncul sebagai nodul subkutan
bertambah besar lesi, akan terjadi perlunakan. Setelah berbulan-bulan lesi tersebut
14
menjadi cair dan kemudian pecah, menyebabkan timbunya ulkus dan sinus (Wolff
tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi. Sebaliknya pada skrofuloderma
tidak terdapat tanda-tanda radang akut dan tidak ada gejala konstitusi (Wolff K,
Furunkel ialah suatu infeksi nekrotik akut folikel rambut yang dalam.
Jika lebih dari satu disebut furunkulosis. Sedangkan karbunkel ialah kumpulan
furunkel mengenai dewasa muda yang sehat atau mengenai penderita dermatitis
yang terinfeksi sekunder atau dengan nodul merah, sakit dan akut dengan titik
purulent ditengahnya. Lokasi lesi pada muka (bibir atas, hidung, telinga),
Nodul dan abses yang nyeri pada hidradenitis supurativa sering memb
uat salah diagnosis dengan furunkel atau karbunkel. HS ditandai dengan abses
16
steril dan sering berulang. Selain itu, daerah predileksinya berbeda dengan
furunkel atau karbunkel yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah
payudara. Walaupun karbunkel juga terdapat pada area yang banyak friksi
seperti aksila dan bokong. Adanya jaringan parut yang lama, adanya saluran
sinus serta kultur bakteri yang negatif memastikan diagnosis penyakit HS dan
(Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008) (Wolff K, Jhonson RA, Saavedra AP, 2013)
A B
Gambar 2.7 A; Furunkel di atas bibir. Lesi nodular, dan necrotic plug central
ditutupi crusta purulent. B; Karbunkel. Lesi menunjukkan multiple
furunkel, plak infamasi dan pus.
menyerang sistem getah bening di daerah genitalia, rectum dan anus (Barakah J,
terutama daerah genital tetapi dapat juga melalui rectum dan faring. Masa inkubasi
berkisar antara 3-20 hari. Lesi primer dapat berbentuk macam-macam (papul,
sehingga terjadi perlekatan satu kelenjar dengan yang lainnya, kulit diatasnya
merah, teraba panas dan sakit bila disentuh. Perbesaran kelenjar femoral juga
mengalami hal yang serupa. Diantara kedua kelenjar limfe terdapat ligamentum
Martodiharjo S, 2005).
limfadenitis pada LGV. Perbedaan yang penting adalah pada LGV terdapat riwayat
kontak seksual. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes Frei
positif (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI et al, 2008 & Djuanda A, 2010).
18
2.9 Pentalaksanaan
primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti sikatriks atau
Lesi yang timbul paling awal sering kali sembuh dengan cepat dengan
pemberian terapi steroid intralesi, dan sebaiknya dicoba untuk memulai kombinasi
dengan cleocin topikal atau tetracycline atau minocycline oral (James WD, Berger TG,
Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan
triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (3-5 mg/mL)
19
intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral yang dapat
minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi klindamisin 2
x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg2 kali perhari) selama beberapa minggu.
Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari
selama 2-3 hari, diturunkan (tapered off) selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral
tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit
untuk mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi (Wolff
menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan
Pada kondisi adanya drainase sinus, klutur pus mungkin akan menunjukkan
didasarkan pada sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada beberapa kasus.
Pada sebuah studi isotretinoin diberikan dengan dosis 0,56 mg/kg selama 4 sampai 6
memuaskan maka pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat dapat
Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul
20
fibrotik dan sinus. Pada penyakit yang luas dan kronik, dibutuhkan eksisi komplit pada
aksila atau area yang terlibat. Eksisi dalam hingga lapisan fascia membutuhkan
penutupan skin grafting. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk
yang lebih sering diberikan pada pasien muda, namun efek samping jangka panjang
2.10 Komplikasi
Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh infeksi lokal
yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis dapat terjadi namun
genitofemoral dapat mengakibatkan striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra
juga dapat terjadi. Selain itu dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan
skrotum, atau limfedema vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan.
Limfedema ini diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous
cell carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan sikatriks
kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS yang terjadi
selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di region anogenital (Wolff K,
2.11 Prognosis
Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya mengalami gejala
ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak berobat. Penyakit ini
21
biasanya mengalami remisi spontan pada usia >35 tahun. Pada beberapa individu,
gejalanya dapat menjadi progresif, dengan morbiditas yang nyata terkait pada penyakit
kronis, pembentukan sinus, dan sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak (Wolff