You are on page 1of 5

Ketidakadilan Gender

Realitas yang mendasari pandangan tentang gender adalah nilai-nilai yang sangat berkaitan erat
dengan hak asasi manusia. Menurut Peter Davies (1994) paling tidak ada tiga teori yang dapat
dijadikan kerangka analisis untuk ini, yaitu: teori realitas (realistic theory), teori relativisme
(culture relativism theory), dan teori radikal universal (radical universalism theory)[1].

Pertama, teori realitas yang selalu melihat konteks, bahwa sudah banyak terjadi kekerasan
terhadap perempuan yang merupakan salah satu bentuk dari ketidakadilan gender dan merugikan
perempuan baik secara fisik maupun non fisik. Dari data Menteri Pemberdayaan Perempuan
tahun 2000, diperoleh data dari 217 juta penduduk Indonesia, 11,4% atau 24 juta penduduk
perempuan terutama di pedesaan mengaku pernah mengalami perlakuan kekerasan. Berbagai
bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan di antaranya:

Kekerasan fisik, yaitu kekerasan yang dilakukan secara langsung mengarah pada tubuh.
Misalnya pemukulan, penjambakan, penendangan, penempelengan, dan peludahan.

Kekerasan psikhis atau mental, yaitu kekerasan yang mencederai ruang batin perempuan.
Misalnya dibentak, dihina, dilecehkan, direndahkan, dan dimarahi tanpa alas an.

Kekerasan ekonomi, yaitu kekerasan yang menyebabkan perempuan menjadi miskin atau
termiskinkan karena tiadanya kesejahteraan ekonomi. Misalnya tidak diberi nafkah oleh suami,
istri diperas oleh pasangannya, bahkan pada tahap konstitusional Negara yang gagal
memeberikan kesejahteraan bagi perempuan merupakan kekerasan Negara yang tampak jelas.

Kekerasan seksual, yaitu kekerasan yang mengarah pada penistaan kaum perempuan secara
seksual. Contoh, perkosaan, pemaksaan hubungan seksual, dicole., dan dipelototi pada bagian-
bagian tertentu dalam tubuh perempuan.

Kedua, teori relativisme cultural, teori ini berhubungan dengan kebiasaan, adat istiadat dan
pembentukan formasi social. Nilai-nilai social budaya di dalamnya sangat berpengaruh terhadap
ketidakadilan gender. Konteks teori ini dapat dilihat dalam tradisi dan budaya di banyak
kelompok masyarakat tentang mencari nafkah (rizki), perempuan tidak memiliki kesempatan
sebagaimana laki-laki. Di dalam masyarakat juga ada kebiasaan yang menyingkirkan kaum
perempuan dalam sector ekonomi produktif. Di pabrik-pabrik, perempuan banyak yang bekerja
di bagian rendahan dan berpengaruh terhadap pendapatan/gaji yang lebih rendah daripada laki-
laki. Tunjangan keluarga juga hanya diperoleh melalui laki-laki dan bukan perempuan. Dalam
banyak hal perempuan labih sulit mendapat pekerjaan yang sepadan dengan laki-laki dari
kedudukan maupun pendapatan/gaji.

Ketiga, teori radikal universalitas yang berpandangan bahwa nilai-nilai yang mendasari adanya
ketidakadilan gender ditinjau secara umum sesuai dengan budaya dan lingkungan. Teori ini
dapat dilihat secara kontekstual, misalnya di Padang Pariaman yag memiliki adat/kebiasaan
dalam pernikahannya adalah laki-laki dibeli oleh perempuan. Lalu ada lagi pengalaman Haideh
Moghissi sebagai seorang perempuan tertindas yang hidup di Negara Islam (Iran) dan
disingkirkan. Haideh memiliki pengalaman diperlakukan tidak adil dari suatu budaya, di mana
laki-laki menguasai perempuan baik secara teologis, social, ekonomi, politik, maupun budaya.

Haideh Moghissi menulis gugatannya dengan sangat santun tetapi tegas pada pemihakannya:
“Selama berabad-abad lamanya seksualitas dan tingkah laku perempuan menarik perhatian laki-
laki (muslim), kepentingan-kepentingan dan tulisan-tulisan dari laki-laki telah membatasi
kehidupan perempuan dan partisipasi penuh mereka dari urusan-urusan public…”[2]

Islam dan Gender

Problema menguatnya gugatan mengenai ketidakadilan gender terhadap perempuan di


masyarakat dalam berbagai lapangan kehidupan, merupakan hasil dari gerakan kebangkitan
perempuan di seluruh dunia (Tahrir Al-Mar’ah). Dengan berbagai argumennya, gerakan ini
menyatakan bahwa perempuan telah ditindas oleh sebuah tradisi yang mengutamakan laki-laki
dan menganggap perempuan hanya sekedar makhluk kelas dua yang ditakdirkan mengukuhkan
tradisi tersebut.[3]

Gerakan massif untuk perjuangan bagi kaum perempuan untuk kehidupan yang lebih egaliter dan
adil ini belum menyentuh hati semua kaum perempuan. Mungkin hanya bagi perempuan yang
mengalami kekerasan sajalah yang kadang baru menyadari bahwa dia diperlakukan tidak adil.
Padahal masih banyak lagi realitas ketidakadilan terhadap perempuan yang sebagian
masyarakatnya (khisusnya perempuan) sendiri tidak menyadari akan hal ini.

Misalnya pada sebuah kekerasan dalam rumah tangga yang berbentuk fisik. Kejadian seperti ini
sudah jelas terlihat ketidakadilannya. Tetapi masih ada jenis kekerasan pada kaum perempuan
yang jauh lebih besar, yaitu kekerasan batiniyah. Artinya seorang istri yang tersakiti hatinya
dalam rumah tangga yang tidak tampak. Padahal kekerasan batin susah pemulihannya dan
membutuhkan waktu serta kesabaran, bahkan sepanjang hidupnya tidak bisa lupa. Apakah
kesabaran (pasif) adalah solusi bagi perempuan-perempuan yag tertindas dan mengalami tindak
kekerasan fisik ataupun batin? Jawabannya jelas, itu bukan solusi yang tepat.

Kalau kita merujuk kepada konsep hak-hak asasi manusia dalam Islam, tentu itu sangat
bertentangan. Karena Islam menjunjung tinggi hak-hak manusia termasuk bagi kaum
perempuan.[4] Dalam sebuah hadits disebutkan: “Dulu pada masa jahiliyah kami tidak
memperhitungkan kaum perempuan sama sekali, kemudian ketika dating Islam dan Allah
menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kami baru tahu bahwa mereka mempunyai hak
terhadap kami” (HR. Bukhari).
Dalam hadits lain dinyatakan sebagai berikut: “Tidaklah yang memuliakan perempuan kecuali
mereka yang mulia dan tidaklah yang menghina (melecehkan) perempuan kecuali mereka yang
hina” (HR. Ibn Asakir).

Al-Qur’an menyebutkan tentang hak-hak perempuan dan seruan perilaku yag ma’ruf terhadap
perempuan cukup banyak, di antaranya: “Laki-laki mukmin adalah mitra perempuan
mukmin….” (QS. At-Taubah:71); “Hak-hak (untuk perempuan) seumpama kewajiban di atas
pundaknya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah:288).

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas cukup untuk menegaskan Islam sesungguhnya membawa
ajaran yang meninggikan derajat dan martabat perempuan. Sayangnya ajaran yang luhur itu
seringkali ditafsirkan secara dangkal, sehingga tidak jarang ditemukan penafsiran keagamaan
yang justru merendahkan perempuan. Misalnya mengenai ketaatan perempuan, sering ditafsirkan
dalam bentuk yang serba membatasi gerak dan aktifitasnperempuan dalam masyarakat. Ibadah
perempuan yang dianggap terbaik adalah yag hanya dalam ruang lingkup rumah tangganya saja.
Selain ituu, ketaatan seorang perempuan muslim kepada Allah SWT diukur ketaatannya kepada
suami. Karenanya, menjadi tidak mungkin bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya,
kecuali sebagai istri dan seorang ibu yang baik dalam rumah tangganya.

Oleh karena itu, dalam menafsirkan setiap firman Allah SWT semetinya selalu melihat konteks
social dan kemaslahatan. Sehingga ajaran yang mulia tidak tergelincir pada penafsiran yang
sebaliknya.

Melumpuhkan atau Memajukan Perempuan

Globalisasi yang mengikis habis batas-batas teritori di jagat ini, melalui kemajuan industrialisasi
dan informasi bagi perempuan diyakini juga sebagai ambigu. Kapitalisme yang menempatkan
semua hal pada bingkai komersialisasi, juga menggerus aktivitas-aktivitas produktif manusia
(perempuan). Mereka melakukan rasionalisasi pasar, memisahkan yang domestic-privat dari
yang public dan social.

Pada saat yang sama dorongan yang kuat akan keberhasilan mengabaikan cita-cita tentang
penghasilan keluarga yang bertumpu pada laki-laki serta memaksa perempuan (dan anak-anak)
dari kelas bawah untuk bekerja. Situasi seperti ini sebetulnya bukannya memeberi peluang bagi
kaum perempuan untuk lebih terpenuhi hak-haknya, tetapi justru kaum perempuan dijadikan
obyek eksploitasi yang sangat komersial oleh system kapitalisme dan industry modern.

Dunia sekarang sungguh ironis, pada satu sisi kaum feminis memperjuangkan hak-haknya,
sedangkan di sisi lain kaum kapitalisme dan industry modern justru memanfaatkan kaum
perempuan. Sehingga seakan-akan kaum kapitalis dan industry modern adalah pro kaum feminis
perempuan, padahal di balik itu mereka mendapatkan profit yang melimpah dengan
komersialisasi produktif kaum perempuan.
Kurang lebih sembilan puluh satu tahun silam, tepatnya tanggal 21 April 1921, telah lahir
seorang Srikandi Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Putri bangsawan Jepara ini adalah pelopor
pejuang perempuan yang menjunjung hak-haknya di masa penjajahan. Karyanya yang
sangatterkenal “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan hasil perjuangannya dalam membela
haknya sebagai perempuan untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana yang diperoleh kaum
laki-laki pada waktu itu. Dari sudut pandang pemikirannya dalam membela haknya kemudian
muncul istilah emansipasi perempuan. Dan tidaklah heran jika ada orang tua yang hidup di
zaman Kartinini yang sekarang masih hidup, ia tidak bisa membaca dan menulis. Sebabnya jelas,
jangankan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, untuk sekedar belajar membaca dan
menulis itu sangatlah dipersulit oleh kaum penjajah (dan tradisi) yang menghendaki kebodohan
bagi rakyat Indonesia terutama kaum perempuannya. Padahal kebodohan merupakan wajah
nyata kemiskinan.

Jika meninjau lebih jauh lagi sebelum tahun 1921, menurut Aristoteles adalah wajar bahwa laki-
laki menguasai budak-budak, anak-anak, dan wanita.[5] Itu berarti ketidakadilan bagi perempuan
sudah ada sejak zaman dahulu kala. Adanya gerakan-gerakan emansipasi perempuan (di
Indonesia), gerakan-gerakan feminis (di Amerika), dan gerakan-gerakan perempuan lainnya
menunjukan bahwa pada hakekatnya kaum kaum perempuan di belahan bumi manapun tidak
menghendaki adanya hegemoni pada hak-haknya.

Fenomena-fenomena yang menyudutkan dan memposisikan perempuan pada kedudukan yang


rendah atau lemah sehingga lebih cenderung mendapatkan perlakuan yang tidak adil adalah
konstruksi social tentang hakikat perempuan yang hanya ditinjau dari teori nature atau teori
seksualitas saja tanpa adanya point of vieuw bahwa perempuan pun tidak luput dari
pembentukan kultur, tradisi, adat istiadat dan lingkungan.[6]

Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis tidak bisa ditolak karena
memang bersifat kodrati. Perbedaan ini tidak menjadipersoalan sejauh tidak merugikan salah
satu pihak, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an bahwa semua manusia mengemban
amanah sebagai khalifah di bumi.

Kemajuan di segala bidang yang telah dicapai umat manusia, pada kenyataannya tidak
menempatkan kaum perempuan pada derajat yang mulia. Perdagangan perempuan (trafiking),
upah pekerja perempuan yang lebih rendah dari lakilaki, pemilahan secara ekstern wilayah kerja
laki-laki dengan perempuan, dan seterusnya menyebabkan perempuan berada pada dunia yang
masih belum terang.

Misi kekhalifahan bagi seluruh umat manusia, pada kenyataan social terjadi ketimpangan.
Terjadinya berbagai tafsir agama yang tidak adil, terjadinya kekersan, ketidakadilan, sub-
ordinasi terhadap perempuan merupakan bentuk nyata dari penafikan atas ajaran suci Allah
SWT. Oleh karena itu, sudah semestinya ayat-ayat Allah dimaknai dan ditafsirkan secara lebih
membumi untuk keadilan dan kesejahteraan bagi semua umat manusia. Wallahu’alam.

Referensi

[1] Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Prenada Media: 2003, Jakarta, hlm. 217-218.

[2] Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS-ICIP:2005, Yogyakarta


2005, hlm.V.

[3] Uraian tentang gerakan perempuan dalam Islam (tahrirul mar’ah) dapat dibaca dalam
beberapa buku misalnya Fiqh Perempuan (KH. Husein Muhammad), Muslimah Reformis (Siti
Musdah Mulia), Pembebasan Perempuan (Asghar Ali Engineer).

[4] Hak Asasi Manusia dalam Islam oleh Al-Ghazali diuraikan sebagai hak yang melekat pada
setiap orang dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Hak-hak tersebut diistilahkan dengan
Adzharuriyyah al-Khams (lima hak dasar), hifdhud din (perlindungan dalam beragama), hifdhun
nafs (perlindungan nyawa), hifdhul mal (perlindungan kekayaan), hifdhul ‘aql (perlindungan
pemikiran), dan hifdhun nasl (perlindungan keturunan). Uraian lengkap tentang ini dapat dibaca
dalam beberapa buku, misalnya buku karya Muslim Abdurrahman, Islam dan Pluralisme
(Serambi:2007, Jakarta)

[5] Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Gramedia Pustaka Utama:1981, Jakarta,
hlm. 8.

[6] Ibid hlm 3-7

Artikel ini menjadi juara kedua dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah se-Wilayah III Cirebon yang
diselenggarakan oleh STAIN Cirebon Jawa Barat Tahun 2010.

Penulis adalah mantan ketua LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Latar Institute Studi Islam
Fahmina (ISIF) priode tahun 2008-2011 dan aktivis Bayt Al Hikmah Fahmina Cirebon.

You might also like