Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit paru
kronik yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari gejala
klinis bronkitis kronis dan emfisema. PPOK ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi untuk penderita PPOK
dapat diberikan terapi farmakologi dan non farmakologi seperti berhenti merokok,
rehabilitasi, aktivitas fisik. Prognosis PPOK sangat bervariasi, namun pada
umumnya akan memberikan prognosis yang buruk apabila tanpa pengobatan.
Pengenalan dan diagnosis PPOK lebih lanjut khususnya pada kasus-kasus yang
belum menunjukkan keluhan sangat diperlukan sehingga dapat menekan angka
morbiditas dan mortalitas yang tidak diinginkan.1,4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis akibat
adanya hambatan aliran udara di saluran pernapasan yang bersifat progresif non
reversibel atau reversibel parsial. Penyakit tersebut berhubungan dengan respon
inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.
Keadaan yang terjadi pada penyakit ini meliputi hipersekresi mukus, penyempitan
jalan napas, dan hilangnya alveoli paru-paru. PPOK terdiri dari dua kelainan pada
paru berupa bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis
kronik merupakan kelainan pada saluran pernapasan berupa batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-
turut yang tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu
kelainan anatomis pada paru berupa pelebaran rongga udara distal pada
bronkiolus terminalis dan disertai kerusakan dinding alveoli. 1,5
Asap Rokok
Sejak lama telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor resiko
utama mortalitas dari bronkitis kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian telah
menunjukkan terjadinya penurunan yang cepat pada volume udara yang
dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa atau yang disebut
FEV1 dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok. Hal ini
ditunjukkan secara spesifik dalam perhitungan rata-rata jumlah bungkus rokok
yang dihisap per hari dikalikan dengan jumlah total tahun merokok. 1,2 Penentuan
derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) dengan interpretasi hasilnya
antara lain :
2
Derajat ringan (0-200),
Derajat sedang (200-600),
Derajat berat ( >600)4
Kepekaan Jalan Napas
Infeksi Respirasi
Paparan Pekerjaan
Polusi Udara
3
besar populasi, polusi udara adalah faktor resiko yang kurang begitu penting
untuk terjadinya PPOK daripada asap rokok.2
Defisiensi α1 Antitrypsin
Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT) yang berat adalah merupakan faktor resiko
genetik terjadinya PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari penderita-penderita PPOK
yang mewarisi defisiensi α1AT yang berat, namun penderita-penderita ini
menunjukkan bahwa faktor genetik mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti
protease yang diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease
yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan monosit.2
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit PPOK mengacu pada kesepakatan internasional yaitu
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) pada tahun
2017.1 Sistem penilaian PPOK mencakup beberapa aspek meliputi aspek penilaian
keluhan (dinilai dengan mMRC maupun dengan COPD Assessment Test (CAT)),
penilaian derajat hambatan aliran udara (melalui pemeriksaan spirometri pasca
pemberian bronkodilator), penilaian risiko serangan eksaserbasi (riwayat
eksaserbasi dalam satu tahun terakhir), dan penilaian komorbid.1
4
Tabel 1. Klasifikasi PPOK berdasarkan derajat hambatan jalan nafas.
1
5
Tabel 3. COPD Assessment Test (CAT)1
6
C D
Gambar 1. Kombinasi Alat Penilaian PPOK 1
A B
Diagnosis Derajat Riwayat Penilaian gejala atau
berdasarkan hambatan eksaserbasi risiko eksaserbasi
spirometri jalan napas
≥ 2 atau ≥
Post FEV1 (% 1 dirawat Gejala
diprediksi) di rumah
bronkodilator
FEV 1 / FVC sakit C D
GOLD 1 80
<0,7
GOLD 2 50-79
0 atau 1 A B
GOLD 3 30-49
(tidak
GOLD 4 <30
dirawat di
rumah
sakit)
mMRC 0-1 mMRC ≥ 2
Gejala
2.4 PATOGENESIS
Asap rokok dan partikel gas berbahaya yang masuk ke dalam paru akan
menjadi bahan-bahan yang menyebabkan suatu iritasi kronis. Respon yang akan
diberikan oleh paru dalam kejadian ini adalah reaksi inflamasi. Partikulat asap
rokok dan udara terpolusi akan mengendap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel mukosa meningkat sehingga
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas
silia sehingga timbul gejala batuk kronis dan pengeluaran dahak. Produksi mukus
yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan,
keadaan ini merupakan suatu kontinuitas dengan akibat terjadinya hipersekresi.2,5
7
Dua kejadian penting pada patogenesis PPOK berupa ketidakseimbangan
antara protease dan antiprotease ditambah dengan stres oksidatif 1. Kadar yang
tinggi dari proteinase akan menyebabkan penghancuran dari jaringan ikat paru,
sedangkan tugas dari antiproteinase adalah mencegah terjadinya hal ini. Pada
emfisema paru, akan terjadi destruksi dari elastin, yang merupakan komponen
utama dari jaringan ikat paru sehingga terjadilah emfisema yang bersifat
ireversibel.2,5
Kejadian kedua berupa stress oksidatif yang memiliki peranan penting
dalam proses eksaserbasi akut PPOK. Stres oksidatif timbul apabila terjadi
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, jumlah oksidan yang tinggi
tidak dapat diatasi oleh jumlah antioksidan yang rendah. Kadar oksidan yang
tinggi dapat berasal dari asap rokok dan inhalasi partikel-partikel gas berbahaya
serta ditambah lagi dari sel-sel inflamasi yang berperan dalam peradangan paru
pada PPOK. Perubahan-perubahan ini terjadi di saluran napas bagian proksimal,
bagian distal, parenkim paru, serta pada vaskularisasi paru2,5.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran pernapasan kecil yaitu inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas.5
Faktor
penjamu
Inflamasi paru
Antioksidan Antiproteinase
Protease
Stress oksidatif
Mekanisme
perbaikan
Patologi PPOK
8
Gambar 2. Patogenesis terjadinya PPOK5
2.6 DIAGNOSIS
b. Pemeriksaan khusus
Anamnesis
9
Pada anamnesis dapat ditemukan penderita mengeluh batuk produktif yang
berlangsung sepanjang hari dengan produksi sputum berubah dari yang awalnya
sedikit dengan warna putih kemudian menjadi semakin banyak dengan perubahan
warna menjadi kuning keruh.1,2
Keluhan lain yang dirasakan yaitu adanya sesak yang semakin lama
semakin memberat. Sesak ini dirasakan sepanjang hari dan seringkali dirasakan
lebih berat saat beraktivitas. Keluhan ini dapat disertai dengan bunyi yang tidak
normal seperti mengi ataupun tidak.1,2
Pada umumnya penderita memiliki riwayat terpajan oleh partikel gas dalam
waktu yang lama antara lain merupakan perokok berat maupun mempunyai
riwayat sebagai perokok berat. Hal lain yang dapat mempengaruhi yaitu riwayat
terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja, riwayat penyakit emfisema
pada keluarga, riwayat pada masa anak-anak berupa berat badan lahir rendah,
infeksi saluran napas berulang, sering berada di lingkungan asap rokok dan polusi
udara.1,2
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan
kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru. PPOK dini umumnya tidak
ada kelainan.5
Inspeksi
Pada inspeksi dapat terlihat adanya posisi pursed-lips breathing, yaitu
posisi mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang saat penderita
bernapas. Hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. Beberapa hal yang dapat dilihat
pada inspeksi yaitu bentuk dada barrel chest (diameter antero posterior dan
transversal sebanding), hipertrofi otot bantu nafas, penggunaan alat bantu
nafas, pelebaran sela iga, serta terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai bila mencapai komplikasi berupa gagal jantung kanan.5,6
Penampilan pink puffer juga dapat ditemukan pada penderita PPOK
yang menandakan penderita dengan emfisema dominan,. Penderita tampak
kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing. Tampilan lain
yang dapat ditemukan pula pada penderita PPOK adalah blue bloater.
10
Tampilan ini ditemukan pada bronkitis kronis dominan, yaitu penderita
tampak gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
terdapat sianosis dibagian sentral dan perifer.5,6
Palpasi
Pada palpasi dada penderita PPOK ditemukan vokal fremitus
melemah dan sela iga melebar yang terutama dijumpai pada penderita
dengan emfisema dominan.5,6
Perkusi
Pada perkusi dada ditemukan bunyi hipersonor pada daerah paru yang
sakit. Tanda lain yang dapat menyertai antara lain batas jantung yang
mengecil pada jantung penduler, letak diafragma yang rendah, serta
penurunan letak hepar akibat terdorong kebawah oleh diafragma.5,6
Auskultasi
Pada auskultasi dada didapatkan suara napas vesikuler normal atau
melemah, bronkovesikuler, hingga pernapasan bronkial. Dapat ditemukan
ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa.
Tanda lain yang dijumpai berupa ekspirasi yang memanjang dan bunyi
jantung terdengar jauh.5,6
Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memperlihatkan secara obyektif adanya
obstruksi pada saluran pernafasan dalam berbagai tingkat. Spirometri harus
digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah
inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga
harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu
detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced
Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga
harus dilakukan (FEV1/FVC) untuk menentukan ada tidaknya obstruksi jalan
11
nafas, nilai normal FEV1/FVC adalah > 70%. Penderita PPOK secara khas akan
menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV 1/FVC < 70%
disertai dengan hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV 1 < 80%
dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai derajat keparahan PPOK dan memantau perjalanan
penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan
tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai
persentase dari nilai prediksi normal.6,7
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah
dengan memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari
20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Uji ini dilakukan saat kondisi penderita PPOK dalam keadaan
stabil.6,7
12
gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel, dan
peningkatan jugular venous pressure.1,4
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada
penderita dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis
dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemia
dengan derajat sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100% dan
ditunjukkan dengan adanya shunt kanan ke kiri. Hiperkapnia dapat ditemukan
pula pada kondisi ini akibat adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan
karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q
ratio) yang nyata.1,4
Pada kondisi emfisema ditemukan rasio V/Q yang tidak begitu terganggu.
Hal ini diakibatkan karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun
disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena
itu, pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan
normoksia atau hipoksia ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke
kiri. 1,4
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat, khususnya
pada saat terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran pernapasan berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.1
13
Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, CT-scan resolusi tinggi, uji provokasi bronkus,
ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.2
Asma
Asma memiliki onset dini dan paling sering pada masa kanak-kanak.
Klinis penderita ini bervariasi dari hari ke hari dan biasanya memburuk
pada malam hari ataupun dini hari. Faktor pencetus yang paling sering
adalah adanya riwayat asma pada keluarga penderita.1
Tuberkulosis
Penyakit paru ini bisa terjadi di semua umur. Pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis penyakit ini berupa tes sputum BTA dan
rontgen thorax. Pada rontgen thorax ditemukan infiltrat pada paru.1
Bronkiektasis
Klinis penderita dengan penyakit ini berupa batuk yang disertai
sputum purulen yang banyak. Pada pemeriksaan rotgen thorax
menunjukkan adanya dilatasi pada bronkus atau penebalan pada
dinding bronkus.1
2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada kasus PPOK yaitu mengurangi gejala,
mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru,
serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Penatalaksanaan terhadap PPOK
yang stabil dilakukan dengan jalan meningkatkan terapi tergantung kepada tingkat
14
keparahan penyakit penderita dengan memberikan edukasi kesehatan,
farmakoterapi, serta terapi non-farmakologi.1,2
1. Farmakoterapi
Farmakoterapi diberikan untuk mencegah dan mengontrol gejala,
menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan dari periode eksaserbasi,
peningkatan status kesehatan, dan meningkatan toleransi beraktivitas. Terapi
diberikan bila diperlukan, dan bukan untuk memperbaiki fungsi dari paru-
paru.1
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pilihan farmakoterapi yang paling utama, baik
saat penggunaan reguler ataupun saat eksaserbasi akut. Obat-obatan yang
digunakan adalah golongan ß2-agonist, antikolinergik, ataupun golongan
xanthine. Pemilihan obat dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya obat
dan respon penderita. Semua jenis bronkodilator di atas dapat
meningkatkan kapasitas beraktivitas namun tidak dapat meningkatkan
fungsi paru. Bronkodilator lebih baik jika digunakan secara reguler. Dapat
pula digunakan secara kombinasi untuk meningkatkan FEV1 seperti
contohnya kombinasi ß2-agonist dan antikolinergik.1,6
b. Glukokortikoid
Terapi farmakoterapi yang lain yang dapat digunakan dengan
penggunaan glukokortikoid terutama pada penderita eksaserbasi yang
berulang. Pilihan pemakaiannya adalah dengan inhalasi yang diharapkan
dapat digunakan untuk menurunkan frekuensi eksaserbasi. Lebih baik lagi
jika digunakan dengan kombinasi bersama ß2-agonist, dan tidak
dianjurkan untuk menggunakan glukokortikoid secara oral yang
berkepanjangan karena memiliki efek samping sistemik berupa steroid
miopati. 7
c. Antibiotika
15
Obat ini hanya diberikan bila terjadi infeksi. Antibiotika yang
digunakan adalah lini pertama (amoksisilin atau makrolid), lini kedua
amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, atau makrolid
baru. Perawatan di rumah sakit dipilih amoksisilin dan asam klavulanat,
sefalosporin generasi I dan II injeksi, atau kuinolon per oral, ditambah
aminoglikosida injeksi, kuinolon injeksi, atau sefalosporin generasi IV
injeksi. 6,7
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Obat
yang digunakan adalah N-asetilsistein dan tidak di anjurkan untuk
pemberian rutin. Obat ini dapat diberikan pada penderita PPOK dengan
eksaserbasi yang sering. 5,7
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis
dengan sputum yang kental. Pemberian mukolitik berguna untuk
mengencerkan dahak sehingga mempermudah pengeluaran dahak.
Pemberian ekspektoran dapat dilakukan untuk membantu mengeluarkan
dahak bila diperlukan.1,4
2. Terapi Oksigen
Manfaat oksigen adalah untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas,
mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, mengurangi
vasokontriksi, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi hipertensi
pulmonal. Indikasi pemberian oksigen adalah PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi
O2 < 90% atau PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai kor
pulmonal, perubahan P pulmonal, hematokrit > 55% dan tanda-tanda gagal
jantung kanan.1,4
3. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik umumnya digunakan pada PPOK eksaserbasi dengan
gagal napas akut, penderita PPOK derajat berat dengan napas kronik, dan
penderita gagal napas akut pada gagal napas kronik. 1,4
16
4. Nutrisi
Nutrisi pada penderita PPOK perlu diperhatikan karena rentan mengalami
malnutrisi. Malnutrisi terjadi akibat kebutuhan energi yang meningkat karena
kerja otot pernapasan yang meningkat akibat dari hipermetabolisme karena
hiperkapni dan hipoksemia kronik. Asupan nutrisi yang seimbang merupakan
hal yang paling penting bagi penderita PPOK. 1,4
5. Rehabilitasi
Pelaksanaan rehabilitasi penting untuk pernderita PPOK karena dapat
memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan toleransi latihan. 1,4
Grup A1
Evaluasi efek
Bronkodilator
Grup B1
LAMA + LABA
Gejala persisten
17
LAMA : Long Acting Muscarinic Agonist
Grup C1
LAMA
Grup D1
Pertimbangkan roflumilast jika Pertimbangkan
FEV1 < 50 % terprediksi dan makrolid pada
penderita bronkitis kronis. mantan perokok.
LAMA +
LABA +
ICS
18
Grup B,C,D : Berhenti merokok dan rehabilitasi pulmoner sebagai pilihan
utama. Program rehabilitasi terdiri dari tiga komponen yaitu
latihan fisik, psikososial, dan latihan pernapasan. Latihan
pernapasan ditujukan untuk mengurangi dan mengontrol sesak
napas penderita. Teknik latihan ini meliputi pernapasan diafragma,
dan pursed-lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan
mensinkronkan kerja otot abdomen dan thoraks. Rekomendasi
yang dapat diberikan berupa aktifitas fisik. Penggunaan vaksinasi
flu dan vaksinasi pneumokokus dapat diberikan, namun tergantung
pada pedoman lokal.
Rujuk ke
rumah Perburukan tanda /
sakit gejala
2.9 KOMPLIKASI
19
Beberapa komplikasi kasus PPOK yang ditemui merupakan suatu bentuk
perjalanan penyakit yang progresif antara lain :
a. Gagal nafas
-
Gagal nafas akut pada kondisi gagal nafas kronik ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa adanya sianosis, produksi sputum yang
bertambah banyak dan konsistesi yang berubah menjadi lebih purulen,
adanya demam, dan disertai kesadaran menurun.4
-
Gagal nafas kronik ditandai dengan hasil analisis gas darah PO 2< 60
mmHg dan PCO2 > 60 mmHg disertai pH normal. Penatalaksanaan
kasus ini adalah menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2, memberikan
bronkodilator yang adekuat, memberikan terapi oksigen yang adekuat
seperti pada waktu latihan dan waktu tidur, memberikan antioksidan
dan latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.4
b. Cor pulmonale (Gagal Jantung Kanan)
Kejadian pertukaran udara yang buruk pada kasus PPOK dapat
menimbulkan penurunan jumlah oksigen di dalam darah. Hal ini
menyebabkan timbulnya reflex spasme pada percabangan kecil arteri
pulmonalis (hypoxic vasoconstriction). Semua hal ini menyebabkan
tahanan perifer dalam paru demakin tinggi sehingga ventrikel kanan harus
bekerja lebih keras, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Setelah
ventrikel ini tidak dapat mengkompensasi peningkatan tahanan perifer
intrapulmonal, maka akan terjadi gagal jantung kanan.4
c. Infeksi berulang
Produksi sputum yang semakin banyak menyebabkan terbentuk koloni
kuman pada penderita PPOK. Kejadian ini menyebabkan infeksi berulang
dan diperparah dengan imunitas tubuh yang lebih rendah pada keadaan
yang sudah kronik. Imunitas yang lebih rendah ditandai dengan kadar
limfosit darah yang menurun.4
2.10 PROGNOSIS
20
Penderita PPOK dapat hidup lebih lama dengan keadaan eksaserbasi, namun
penderita tetap memerlukan bantuan oksigen dari ventilasi mekanik sebelum
akhirnya meninggal akibat penyakit tersebut. Banyak kasus mortalitas dari
penyakit ini akibat komplikasi pada sistem pernapasan dan penyakit penyerta
lainnya. Pada kasus PPOK yang disertai kanker paru ditemukan lebih sering
menyebabkan kematian padahal kasus PPOK tersebut tergolong ringan. Penderita
dengan osteoporosis, depresi maupun gangguan cemas, dan penyakit obstruksi
sleep apnea merupakan komorbid untuk kasus PPOK dan dihubungkan dengan
status kesehatan yang rendah dan prognosis.1
BAB III
21
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk
Penderita juga mengeluh sesak nafas sejak ± 1 bulan yang lalu dan dirasakan
memberat sejak seminggu terakhir. Sesak dirasakan hilang timbul dan memberat
saat beraktifitas berat. Sesak nafas dirasakan hingga dada terasa sedikit nyeri.
Sesak dirasakan sedikit membaik dengan beristirahat. Sesak nafas dikatakan tidak
disertai suara ngik-ngik.
Penderita tidak mengeluh adanya mual dan muntah. Penderita menyangkal adanya
berkeringat pada malam hari tanpa aktivitas dan demam. Penderita juga
menyangkal adanya batuk yang memberat pada malam ataupun pagi hari dan
disertai darah. BAK penderita dikatakan biasa, dengan frekuensi berkemih sekitar
4-5 kali dalam sehari, volume tiap berkemih ± ½ hingga ¾ gelas, warna jernih
22
kekuningan. BAB normal dengan frekuensi 1 kali sehari dengan warna kuning
kecoklatan dan konsistensi padat.
b. Riwayat pengobatan
Penderita hanya membeli obat batuk di apotek untuk meredakan keluhannya,
namun keluhan tidak membaik.
23
BMI : 22.86 kg/m2
Status general :
Mata : Anemis -/- , ikterus -/- , refleks pupil +/+ isokor, edema
palpebral (-)
THT :
Telinga : bentuk normal, tanda radang (-/-), bekas luka (-/-)
Hidung : bentuk normal, tanda radang (-), ekskoriasi
(-),kongesti (-)
Tenggorok : tonsil (T1/T1), faring hiperemis (-)
Mulut : sianosis (-), atrofi lidah (-) pursed-lips breathing (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), JVP PR + 1 cmH 2O, pembesaran
tiroid (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi dinding dada (-), barrel chest (-), sela iga
melebar (-)
Cor
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-)
Perkusi : Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung 2 cm medial dari MCL kiri ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus N N
N N
N N
24
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), meteorismus (-),epigastrial pulsation (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-),ballotment (-)
Hepar / lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)
Ekstremitas:
Akral hangat + + Edema - -
+ + - -
Kesan:
- Bronkopneumonia kanan
- Dilatation et elongatio aortae
- Cor dalam batas normal
25
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
3.6 PENATALAKSANAAN
Erdostein sirup 3 x 30 mg
Lansoprazole 1 x 30 mg
Metiprednisolone 2 mg, Salbutamol 4 mg, CTM 1 mg, Ranitidine 150 mg
(dipuyer dengan dosis 1 x 1 kapsul)
a. Rencana diagnostik:
- Pemeriksaan darah lengkap
- Sputum gram / kultur / sensitivity test
- Ekokardiografi
b. Rencana monitoring:
- Tanda vital
- Keluhan
3.7 PROGNOSIS
At Vitam : dubia at bonam
At Fungsionam : dubia at bonam
At Sanasionam : dubia at bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 DIAGNOSIS
26
Pada kasus ini laki-laki dengan usia 56 tahun datang ke Poliklinik RSAL
Manokwari dengan keluhan utama batuk. Batuk dirasakan sejak ± 3 bulan yang
lalu dan memberat sejak seminggu terakhir ini. Batuk dirasakan hilang timbul dan
tidak pernah berhenti sepenuhnya. Batuk dikatakan disertai dahak yang berwarna
putih bening yang semakin hari semakin kental dan banyak. Warna dahak awalnya
putih dan semakin lama menjadi kekuningan. Dahak dikatakan sulit untuk
dikeluarkan. sesak nafas sejak ± 1 bulan yang lalu dan dirasakan memberat sejak
seminggu terakhir. Sesak dirasakan hilang timbul dan memberat saat beraktifitas
berat. Sesak nafas dirasakan hingga dada terasa sedikit nyeri. Sesak dirasakan
sedikit membaik dengan beristirahat.
Definisi PPOK adalah penyakit paru kronis akibat adanya hambatan aliran
udara di saluran pernapasan yang bersifat progresif non reversibel atau reversibel
parsial. Penyakit tersebut berhubungan dengan respon inflamasi paru yang
abnormal terhadap partikel berbahaya atau gas beracun. PPOK biasanya muncul
pada individu diatas umur 40 tahun. Diagnosis PPOK dari anamnesis dapat
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala antara lain :
b. Batuk kronis yaitu batuk hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
d. Riwayat paparan pada faktor risiko misalnya merokok, asap dari dapur
dan pembakaran BBM serta debu dan zat kimia di tempat kerja.
27
Kebiasan merokok merupakan salah satu faktor resiko terjadinya PPOK.
Partikulat asap rokok ini yang kemudian terakumulasi berpuluh-puluh tahun dan
selanjutnya mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus,
sehingga menghambat aktivitas silia. Hal inilah yang menyebabkan INC
mengalami batuk. Iritasi pada sel mukosa tersebut juga merangsang hipersekresi
mukus oleh kelenjar mukosa dan terjadilah pengeluaran dahak. Asap rokok
memiliki prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan
fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks Brinkman).
Berdasarkan Indeks Brinkman (IB), maka penderita dalam kasus ini dapat
dikategorikan sebagai perokok sedang.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada penderita ini yaitu laju
pernafasan meningkat yaitu 24 kali/menit dan pada auskultasi ditemukan ronki
minimal pada bagian bawah paru.
28
peningkatan corakan bronkovaskuler, jantung pendulum dan ruang retrosternal
melebar. Baku emas penegakan diagnosis PPOK dan untuk melihat progresifitas
penyakit adalah uji spirometri untuk menilai FEV1 dan FEV1/FVP.
4.1.1.5 Klasifikasi
4.2. PENATALAKSANAAN
29
BAB V
SIMPULAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis akibat
adanya hambatan aliran udara di saluran pernapasan yang bersifat progresif non
reversibel atau reversibel parsial. Faktor resiko dari penyakit ini adalah asap
30
rokok, kepekaan jalan napas, infeksi respirasi, paparan pekerjaan, polusi udara,
paparan rokok pasif, dan defisiensi α1 Antitrypsin. Gejala klinis yang timbul
berupa batuk yang awalnya hilang timbul lalu berlangsung lama dan bersifat
produktif, sesak dirasakan memberat saat melakukan latihan (exercise) dan pada
saat mengalami eksaserbasi akut, dan memiliki riwayat terpajan partikel gas.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Penatalaksanaan PPOK dilakukan secara farmakologi maupun non
farmakologi.
Pada kasus, penderita di diagnosis PPOK sesuai dengan temuan klinis dan
pemeriksaan penunjang berupa foto thorax yang dilakukan. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah rawat jalan karena penderita masih dalam keadaan stabil.
Farmakoterapi yang diberikan berupa obat-obatan oral dan non farmakologi
berupa edukasi dan diskusi. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Menggunakan obat
secara tepat, mengenal tanda dan mengatasi eksaserbasi dini, dan program latihan
fisik juga diperlukan untuk meningkatkan angka harapan hidup penderita PPOK.
31