Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang

You might also like

You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan yang pertama tentang

AIDS.Penelitian mengenai AIDS telah dilakukan secara intensif, dan informasi

mengenai AIDS sudah menyebar dan bertambah dengan cepat.selain berdampak

negative pada bidang medis, AIDS juga berdampak pada bidang lainnya seperti

ekonomi, politik, etika, dan moral.

Berdasarkan data statistik, peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS di

Indonesia begitu cepat.Ternyata dasar penularan awal epidemi ini disebabkan oleh

jarum suntik. Diperkirakan saat ini terdapatlebih dari 1,3 juta penderita HIV/AIDS

akibat jarum suntik. Jika terus berlanjut makan diperkirakan tahun 2020 jumlah itu

akan meningkat menjadi 2,3 juta orang. Dan sebagai mahasiswa keperawatan perlu

memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penatalaksanaannya secara

komprehensif. AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh Human Immuno

deficiency virus HIV.

Banyak isu legal yang terjadi dalam perawatan pasien. perawatan pasien

dengan HIV/AIDS menimbulkan banyak masalah sulit tentang tes HIV, stigma, dan

diskriminasi, masalah di tempat kerja, dan masih banyak masalah yang lain.

penerimaan masyarakat terhadap pasien HIV/AIDS masih kurang disebabkan HIV

banyak dihubungkan dengan mitos-mitos dimasyarakat. Perawat harus selalu

mengevaluasi diri untuk memastikan tindakan telah sesuai dengan prinsip etik dan

hukum. Hukum merupakan proses yang dinamis sehingga tenaga kesehatan juga
harus selalu memperbaharui pengetahuan mereka tentang hukum yang berlaku saat

itu. Prinsipnya, bersikap jujur pada pasien dan meminta informed consent atas semua

tindakan atau pemeriksaan merupakan tindakan yang paling aman untuk

menghindari implikasi hukum.

B. Tujuan

a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Keperawatan

b. Untuk dapat mengerti dan memahami Konsep Dasar HIV/AIDS

c. Untuk dapat mengerti dan memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien

HIV/AIDS.

d. Agar dapat melaksanakan Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV/AIDS

e. Agar mengetahui Konsep Etik dan Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien

HIV/AIDS

C. Ruang Lingkup

Adapun pembahasan makalah ini yaitu, pengertian, etiologi, faktor penyebab, proses

dan penularan dari HIV, pencegahan dan penatalaksanaan, dan Konsep Etik dan

Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS.


BAB III

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus merupakan virus

yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan

menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam

melawan infeksi Yang menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun. AIDS

adalah singkatan dari Acquired imune deficiency syndrome yaitu menurunnya daya

tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena adanya infeksi virus HIV (human

Immunodeficiency virus). Antibodi HIV positif tidak diidentik dengan AIDS, karena

AIDS harus menunjukan adanya satu atau lebih gejala penyakit skibat defisiensi

sistem imun selular.

AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala

atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh

virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae.

AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

B. Etiologi

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human

immunodeficiency virus (HIV).HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983

sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi

retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang

pathogen dibandingkan dengan HIV Maka untuk memudahkan keduanya disebut

HIV. Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada

gejala.

2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.

3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.

4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,

B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.

5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali

ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system

tubuh, dan manifestasi neurologist. AIDS dapat menyerang semua golongan umur,

termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

a. Lelaki homoseksual atau biseks.

b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

c. Orang yang ketagian obat intravena

d. Partner seks dari penderita AIDS

e. Penerima darah atau produk darah (transfusi).

C. Faktor penyebab HIV/AIDS

AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency virus. Secara umum penyebab

penyakit AIDS hanya dibagi dalam 4 kategori umum, yaitu :

1. Penggunaan Jarum Suntik yang tidak Steril. Penggunaan jarum suntik yang

tidak steril sangat mampu mendorong seseorang terkena penyakit AIDS, para

pengguna Narkoba yang terkadang saling bertukar jarum suntik sangat rentan

tertular penyakit ini, karena penularan HIV AIDS sangat besar presentasenya terjadi
karena cairan pada tubuh penderita yang terkena HIV AIDS berpindah ke tubuh

normal (sehat).

2. Seks Bebas serta seks yang kurang sehat dan aman. Berhubungan intim yang

tidak sehat dan tidak menggunakan pengaman adalah peringkat pertama terbesar

penyebab menularnya virus HIV AIDS, transmisi atau penularan HIV (Human

Immunodeficiency Virus) dalam hubungan seksual peluang terjadinya sangat besar,

karena pada saat terjadi kontak antara sekresi pada cairan vagina pada alat kelamin.

Hubungan seksual kurang aman dan tanpa dilengkapi pelindung (Kondom) akan

lebih sangat berisiko dibandingkan hubungan seksual yang tanpa dilengkapi

pelindung (Kondom) dan risiko hubungan seks anal lebih besar dibanding hubungan

seks biasa dan oral seks, meskipun tidak berarti bahwa kedua jenis seks tersebut

tidak beresiko.

3. Penyakit Menurun. Seseorang ibu yang terkena AIDS akan dapat menurunkan

penyakitnya pada janin yang dikandungnya, transmisi atau penularan HIV melalui

rahim pada masa parinatal terjadi pada saat minggu terakhir pada kehamilan dan

pada saat kehamilan, tingkat penularan virus ini pada saat kehamilan dan persalinan

yaitu sebesar 25%. Penyakit ini tergolong penyakit yang dapat dirutunkan oleh sang

ibu terhadap anaknya, menyusui juga dapat meningkatkan resiku penulaan HIV

AIDS sebesar 4%.

4. Tranfusi darah yang tidak steril Cairan didalam tubuh penderita AIDS sangat

rentan menular sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang teliti dalam hal transfusi

darah pemilihan dan penyeleksian donor merupakan tahap awal untuk mencegah

penularan penyakit AIDS, Resiko penularan HIV AIDS di sangat kecil


presentasenya di negara-negara maju, hal ini disebabkan karena dinegara maju

keamanan dalam tranfusi darah lebih terjamin karena proses seleksi yang lebih ketat.

D. Proses Penularan dan penyebaran HIV/AIDS

Syarat utama yang harus dipenuhi dalam penularan HIV untuk bisa masuk kedalam

tubuh melalui aliran darah bisa berbentuk luka, pembuluh darah maupun lewat

membrane mukosa (selaput lender).Virus HIV bisa terdapat pada semua cairan tubuh

manusia, tetapi yang bisa menjadi media penularan hanya ada pada :

a. Darah.

Melalui transfusi darah / produk darah yg sudah tercemar HIV lewat pemakaian

jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan,

misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika Suntikan. Melalui

pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya :

peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya

alat tindik, tato, dan alat facial wajah

b. Cairan sperna (air mani) dan Cairan vagina

Melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa

menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma

dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan

sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus.

Dari tiga cairan tersebut HIV akan menular kepada orang lain jika ada salah satu

jenis cairan orang yang terinfeksi HIV masuk kedalam aliran darah orang yang tidak

terinfeksi HIV. Beberapa kegiatan yang dapat menularkan HIV yaitu :


a. Hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom ) dengan

orang yang telah terinfeksi HIV

b. Penggunaan jarum suntik, tindik, tattoo yang dapat menimbulkan luka dan

tidak disterilkan, dipergunakan secara bersama-sama dan sebelumnya telah

digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV

c. Melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV

d. Ibu hamil yang terinfeksi HIV pada anak yang dikandungnya pada saat :

· Antenatal yaitu saat bayi masih berada dalam rahim, melalui plasenta

· Intranatal yaitu saat prosses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau

cairan vagina

· Post-natal yaitu setelah proses persalinan melalui air susu ibu

· Kenyataanya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang

sudah terinfeksi dinegara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak

yang tertular HIV tertular dari ibunya.

HIV tidak menular melalui :

a. Hubungan kontak sosial biasa dari satu orang ke orang lain dirumah, tempat

kerja atau tempat umum lainnya.

b. Makanan.

c. Udara dan air (kolam renang, toilet, dll).

d. Gigitan serangga/nyamuk.

e. Batuk, bersin, dan meludah.

f. Bersalaman, menyentuh, berpelukan atau cuim pipi.


g. Orang yang sudah terinfeksi HIV tidak dapat dibedakan dengan orang yang

sehat di masyarakat. Mereka masih dapat melakukan aktivitas, badan terlihat sehat

dan masih dapat bekerja dengan baik.

E. Pencegahan penularan HIV

a. Pasang tanda kewaspadaan disemua tempat yang berisiko terjadi pemajanan

dengan darah cairan tubuh, dan sekresi. penerapan standar kewaspadaan yang arif

dapat mencegah penularan HIV takterencana, hepatitis B, dan penyakit infeksius lain

yang ditularkan melalui rute yang sama.

b. Ajarkan pasien, keluarga,pasangan seks dan teman tentang penularan penyakit

dan pencegahan penularan penyakit lebih lanjut pada orang lain.

c. Beri tahu pasien untuk tidak mendonorkan darah, produk darah, organ,

jaringan atau sperma.

d. Bila pasien penyalahgunaan obat suntik, beri tahu pasien untuk tidak saling

berbagi jarum suntik.

e. Beri tahu pasien bahwa perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV bila

terjadi praktik seksual yang melibatkan pertukaran cairan tubuh, seperti hubungan

anal atau vaginal tanpa kondom.

f. Bahas perilaku seks yang aman, seperti berpelukan, bercumbu, masturbasi

bersama, dan hubungan seks yang aman. tidak berhubungan seks adalah cara paling

efektif untuk mencegah penularan HIV

g. Sarankan pasieb wanita berusia subur untuk menghindari kehamilan. jelaskan

bahwa bayi dapat terinfeksi sebelum lahir, selama pelahiran, atau selama menyusui.
F. Penatalaksanaan HIV/AIDS

Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan / rehabilitasi dan

edukasi.

a. Pengobatan.

1. Pengobatan pada pengidapan HIV/AIDS ditujukan terhadap :

· Virus HIV

· Infeksi oportunistik

· Kanker sekunder

· Status kekebalan tubuh

· Simtomatis dan suportif

2. Obat Retrovirus. Yang biasa dipakai secara luas adalah :

· Zidovudine (AZT)

· Didanosine ( ddl ), Videx.

3. Obat-obat untuk infeksi oportunistik

· Pemberian profiklaktik untuk PCP dimulai bila CD4 , 250 mm/mm3. Dengan

kotrimokzasol dua kali/minggu. Dosis 2 tablet, atau dengan aerosol pentamidine

300mg, dan dapsone atau fansidar.

· Prokfilaksis untuk TBC dimulai bila PDD>=5mm, dan pasien anergik.

Dipakai INH 300mg po qd dengan vit.b6, atau rifampisin 600mg po qd bila

intolerans INH.

· Profilaksis untuk MAI (mycobacterium avium intracelulare), bila CD4 ,

200/mm3, dengan frukanazol po q minggu, bila pernah menderita oral kandidiasis,

sebelumnya.
· Belum direkomendasikan untuk profilaksis kandidiasis, karena cepat timbul

resistensi obat disamping biaya juga mahal.

4. Obat untuk kanker sekunder

Pada dasarnya sama dengan penanganan pada pasien non HIV. Untuk Sakorma

Kaposi, KS soliter:radiasi, dan untuk KS multipel: kemoterapi. Untuk limfoma

maligna: sesuai dengan penanganan limfoma paa pasien non HIV.

5. Immune restoring agents

Obat-obat ini diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, menambah jumlah

limfosit, sehingga dapat memperbaiki status kekebalan pasien. Bisa dengan

memakai:

- Interferon alpha -ekstrak kelenjar thymus

- Interferron gamma -loprinosin

- Interleukin 2 -Levamisol

Mengganti sel limfosit dengan cara: transfusi limfosit, transplantasi timus dan

transplantasi sumsum tulang.

6. Pengobatan simtomatik supportif

Obat-obatan simtomatis dan terapi suportif sring harus diberikan pada seseorang

yang telah menderita ADIS, antara lain yang sering yaitu: analgetik, tranquiller

minor, vitamin, dan transfusi darah.

b. Rehabilitasi

Rehabilitas ditujukan pada pengidap atau pasien AIDS dan keluarga atau orang

terdekat, dengan melakukan konseling yang bertujuan untuk :

1) Memberikan dukungan mental-psikologis


2) Membantu merekab untuk bisa mengubah perilaku yang tidak berisiko tinggi

menjadi perilaku yang tidak berisiko atau kurang berisiko.

3) Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa

mempertahankan kondisi tubuh yang baik.

4) Membantu mereka untuk menemukan solusi permasalahan yang berkaitan

dengan penyakitnya, antara lain bagaimana mengutarakan masalah-masalah pribadi

dan sensitif kepada keluarga dan orang terdekat.

c. Edukasi

Edukasi pada masalah HIV/AIDS bertujuan untuk mendidik pasien dan keluarganya

tentang bagaimana menghadapi hidup bersama AIDS, kemungkinan diskriminasi

masyaratak sekitar, bagaimana tanggung jawab keluarga, teman dekat atau

masyarakat lain. Pendidikan juga diberikan tentang hidup sehat, mengatur diet,

menghindari kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan, antara lain: rokok,

minuman keras. Narkotik, dsb.

G. Konsep Etik dan Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS

Etik berasal dari Bahasa yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan yang baik atau

yang seharusnya dilakukan. Dalam organisasi profesi kesehatan pedoman baik atau

buruk dalam melakukan tugas profesi telah dirumuskan dalam bentuk kode etik yang

penyusunanya mengacu pada sistem etik dan asas etik yang ada. meskipun terdapat

perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam tata nilai

kehidupan masyarakat secara global, tetapi dasar etik dibidang kesehatan,

“Kesehatan klien senantiasa akan saya utamakan” tetap merupakan asas yang tidak

pernah berubah. Asas dasar tersebut dijabarkan menjadi enam asas etik, yaitu :
1. Asas menghormati Otonomi Klien

Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang

dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi yang cukup.

2. Asas Kejujuran

Tenaga kesehatan hendaknya mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi,

apa yang akan dilakukan serta risiko yang dapat terjadi.

3. Asas Tidak merugikan

Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan

mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan risiko

yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan.

4. Asas Manfaat

Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi klien untuk

mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.

5. Asas Kerahasiaan

Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.

6. Asas Keadilan

Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial ekonomi,

pendidikan, gender, agama, dan lain sebagainya.

Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang, masyarakat, nasional, dan

internasional dalam menghadapi HIV/AIDS adalah :

1. Empati

Ikut merasakan penderitaan sesame termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih

saying dan kesediaan saling menolong.


2. Solidaritas

Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan ketidakadilan yang

diakibatkan oleh HIV/AIDS.

3. Tanggung jawab

Bertanggung jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan pada ODHA.

Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat

dipisahkan dari aspek hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan pokok

yang menyangkut hukum berkaitan dengan maraknya kasus HIV/ AIDS adalah

bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan kepentingan masyarakat

dan kepentingan individu pengidap HIV dan penderita AIDS (Indar, 2010).

Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat penting dan

ikut berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang

dilaksanakan. Telah diketahui bahwa salah satu sifat utama dari fenomena HIV &

AIDS terletak pada keunikan dalam penularan dan pencegahannya. Berbeda dengan

beberapa penyakit menular lainnya yang penularannya dibantu serta dipengaruhi

oleh alam sekitar, pada HIV & AIDS penularan dan pencegahannya berhubungan

dengan dan atau tergantung pada perilaku manusia.

Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi HIV/

AIDS yaitu : hak terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari diskriminasi.

Dibandingkan dengan hak terhadap kesehatan, jalan keluar dari masalah diskriminasi

terhadap penderita HIV/AIDS ini jauh lebih kompleks dan sulit.

Pada banyak kasus, penderita akhirnya bisa berdamai dengan kenyataan

bahwa mereka memang mengidap HIV dan mungkin akan meninggal dengan dan
karena AIDS. Akan tetapi penderitaan yang lebih parah justru dialami karena adanya

stereotype yang dikenakan kepada mereka. Orang terinfeksi acap kali dihubungkan

dengan orang terkutuk (amoral) karena perilakunya yang menyimpang dan memang

harus menanggung penderitaan sebagai karma atas dosa-dosanya.

Tidak hanya dalam bentuk stereotip tetapi di banyak tempat

ditemukan berbagai pelanggaran HAM berupa stigmatisasi dan diskriminasi,

bahkan juga penganiayaan dan penyiksaan. Berbagai pelanggaran HAM dan hukum

sebagai yang tergambar di atas pada akhirnya merupakan fakta sosial yang menjadi

bagian dari penderitaan orang terinfeksi bahkan merupakan penyebab sekunder/non

medis bagi kematian mereka.

Dalam Pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang

berhak atas kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas

kesehatan. Hak atas kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena

terkait dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti

pendidikan dan pekerjaan. Secara garis besar di dalam UU Kesehatan perlindungan

hukum terhadap penderita HIV/ AIDS diatur mengenai :

a. Hak atas pelayanan kesehatan

Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh

masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5 UU

Kesehatan dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan

akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu dan terjangkau.Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga

medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan
pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan menjamin ketersediaan segala

bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat

kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.

b. Hak atas informasi

Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak

mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8.

Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode

pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman

masyarakat mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS,

misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan

informasi mengenaiHIV/AIDS.

c. Hak atas kerahasiaan

Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana setiap

orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No. 29/2004 juga

mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4

tentang rekam medis dan rahasia kedokteran. Rahasia Medis itu bersifat pribadi,

hubungannya hanya antara dokter - pasien. Ini berarti seorang dokter tidak boleh

mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang dipercayakannya kepada

orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya

dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam

mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan


masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan

kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, hak asasi

seseorang harus diindahkan, namun hak asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak.

Pembatasan dari hak asasi seseorang adalah hak asasi orang lain didalam masyarakat

itu. Jika ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah

terhadap kepentingan masyarakat banyak.

d. Hak atas Persetujuan Tindakan Medis

Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis atau

informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed Consent.

Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi

tentang penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak

dilakukan, disamping wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan

masyarakat juga harus dilindungi.

Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien setelah

pasien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes

positif ataupun negatif yang berupa konseling prates.

H. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pre-Post tes HIV

1. Konseling Pre-post Tes HIV

Konseling adalah proses pertolongan di mana seseorang dengan tulus ikhlas

dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk

membantu klien mempelajari dirinya, mengenali, dan melakukan pemecahan

masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Voluntary counseling and

testing (VCT) atau konseling dan tes sukarela merupakan kegiatan konseling yang
bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah di

laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan

menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan

penjelasan yang lengkap dan benar. Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas

yang sangat terlatihh dan memiliki keterampilan konseling dan pemahaman akan

HIV/AIDS. Konseling dilakukan oleh konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka

dapat berprofesi perawat, pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater, atau profesi lain.

2. Informed Consent untuk tes HIV/AIDS

Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah

seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi

adanya antibody HIV di dalam sampel darahnya. Hal ini perlu dilakukan setidaknya

agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kessehatan dirinya, terutama

menyangkut risiko dari perilakunya selama ini. Tes HIV harus bersifat :

a. Sukarela : bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah

berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan/tekanan orang lain ini

juga berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja

yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes HIV, serta apa

saja implikasi dari hasil positif ataupun negative tersebut.

b. Rahasia : apapun hasil tes ini (baik positif maupun negative) hasilnya hanya

boleh diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.

c. Tidak boleh diwakilkan kepada siapapun baik orangtua/pasangan, atasan atau

siapapun.
Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien

diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi hasil tes positif atau

negative yang berupa konseling prates. Dalam menjalankan fungsi perawat sebagai

advokat bagi klien, sedangkan tugas perawat dalam informed consent adalah

memastikan bahwa informed consent telah meliputi tiga aspek penting, yaitu ;

a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.Persetujuan harus diberikan oleh

individu yang mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk memahami.

b. Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup sebagai

pertimbangan untuk membuat keputusan.

c. Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya,

persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan

perawatan lain. persetujuan juga sebaiknya dalam bentuk tertulis, karena persetujuan

secara verbal memungkinkan pasien untuk menyangkal persetujuan yang telah

diberikannya dikemudian hari

3. Aspek Etik dan Legal Tes HIV

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas

dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien

tersebut (Permenkes, 1989). Dasar dari informed consent yaitu;

a. Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi yang

memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan

terhadapnya.

b. Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16: dalam melaksanakan


kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan meminta persetujuan

tindakan yang akan dilakukan

c. PP No. 32 tahun1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1: bagi tenaga

kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan meminta

persetujuan.

d. UU No. 23 tahun 1992 tentang tenaga kesehatan pasal 15 ayat 2: tindakan

medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan atas

keluarga.

4. Kerahasiaan Status HIV

Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik asas kerahasiaan

yaitu kerahasiaan klien harus dihorma! meskipun klien meninggal. Untuk itu tenaga

kesehatan mempunyai kewajiban untuk melindungi hak klien tersebut dengan tetap

merahasiakan apapun yang berhubungan dengan klien. Hak klien atas kerahasiaan

ini juga dilindungi oleh hukum sehingga apabila kita melanggarnya kita bisa terkena

sanksi hukum. Terdapat perkecualian di mana pasien HIV/AIDS bisa dibuka yaitu

bilamana:

a. Berhubungan dengan administrasi .

b. Bila kita dimintai keterangan dipersidangan.

c. Informasi bisa diberikan kepada seseorang yang merawat atau memberikan

konseling dan informasi diberikan dengan tujuan untuk merawat, mengobati, atau

memberikan konseling pada klien.


d. Informasi diberikan kepada Depkes. Berdasarkan Instruksi Menkes no.

72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala

AIDS: petugas kesehatan yang mengetahui atau menemukan seseorang dengan

gejala AIDS wajib melaporan kepada sarana pelayanan kesehatan yang di teruskan.

e. Informasi diberikan kepada partner seks/keluarga yang merawat klien dan

berisiko terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau menginformasikan pada

keluarga/pasangan seksnya dan melakukan hubungan seksual yang aman. Hal ini

berkaitan dengan tugas tenaga kesehatan untuk melindungi masyarakat. keluarga dan

orang terdekat klien dari bahaya tertular HIV. dalam hai ini, Petugas kesehatan boleh

membuka status HIV pasien hanya jika petugas mengidentifikasi keluarga/partner

seks klien berisiko tinggi tertular, pasien menolak memberi tahu pasangannya atau

melakukan hubungan seks yang aman, pasien telah diberi konseling tentang

pen!ngnya memberi tahu pasangan/keluarganya dan melakukan hubungan seks yang

aman, tenaga kesehatan telah memberitahu klien bahwa klien berkewajiban

melindungi orang lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien tetap menolak

memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status penyakitnya.

I. Isu Etik Khusus

Karena keterkaitannya yang erat dengan perilaku seksual, penggunaan obat-obatan

terlarang, dan penurunan kondisi fisik dan kematian, AIDS menimbulkan stigma

sosial, menurut pernyataan sikap ANA, kewajiban moral untuk merawat klien yang

terinfeksi HIV tidak dapat di kesampingkan, kecuali jika resikonya melebihi

tanggung jawab. “bukan hanya asuhan keperawatan yang harus diberikan, tetapi

perawat harus diberi tahu juga mengenai resiko dan tanggung jawab yang mereka
hadapi dalam memberikan asuhan keperawatan menerima resiko pribadi yang

melebihi batasan tugas bukan kewajiban moral, melainkan pilihan moral” (ANA,

1998 dalam buku Kozier, 2010).

Isu etik lainnya berpusat pada pemeriksaan untuk mengetahui status HIV dan

adanya AIDS pada professional kesehatan klien muncul pertanyaan mengenai

apakah semua penyedia pelayanan kesehatan dan pasien wajib atau secara sukarela

menjalani pemeriksaan ini dan apakah hasil pemeriksaan tersebut harus diberikan

kepada perusahaan asuransi, pasangan seksual, atau pemberi asuhan. sama halnya

dengan semua dilematik, terdapat dampak positif dan negative setiap

kemungkinan bagi individu tersebut.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

AIDS adalah singkatan dari Acquired imune deficiency syndrome yaitu

menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena adanya infeksi virus

HIV (human Immunodeficiency virus). Antibodi HIV positif tidak diidentik dengan

AIDS, karena AIDS harus menunjukan adanya satu atau lebih gejala penyakit skibat

defisiensi sistem imun selular.HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada

kelompok rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu :

1. Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan

2. Pengguna narkoba suntik

3. Pasangan seksual pengguna narkoba suntik

4. Bayi yang ibunya positif HIV

Penularan HIV/AIDS. Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak

terlindungi (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV;

1. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian

2. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV

3. Ibu penderita HIV Positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan

atau melalui air susu ibu (ASI)

HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti jabatan tangan,

bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan dan minum,

gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang sama
atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Tanda dan gejala

klinis penderita HIV/AIDS;

1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan

2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3. Demam berkepanjangan lebih dari1 bulan

4. Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis

5. Dimensia/HIV ensefalopati

6. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Pencegahan HIV/AIDS. HIV dapat dicegah dengan memutus rantai penularan,

yaitu ;

1. Menggunakan kondom pada setiap hubungan seks berisiko,

2. Tidak menggunakan jarum suntik secara bersam-sama

Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan / rehabilitasi dan

edukasi.Kepercayaan merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi

kesehatan harus menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan

selalu dijaga kerahasiaannya, pasien mungkin akan menahan informasi pribadi yang

dapat mempersulit dokter dalam usahanya memberikan intervensi efektif atau dalam

mencapai tujuan kesehatan publiktertentu. Ada banyak kesulitan yang timbul didalam

menjaga kerahasiaan informasi pasien yang sensitif HIV AIDS terutama pada

masyarakat r yang memiliki kecenderungan untuk berbagi informasi. Namun dengan

sosialiasi dan penanganan yang baik petugas kesehatan dan medis diharapkan dapat

memberikan pengertian terutama pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Cipto, Susilo. 2006. Pengaruh Penyuluhan terhadap Penurunan

Stigma Masyarakat tentang HIV/AIDS. Skripsi. Surabaya, PSIK FK Unair.

2. Nursalam dkk. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV dan

AIDS. Jakarta: Salemba Medika.

3. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, Penularan, Pencegahan,

dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga Medical Series.

4. Hanwari, D.2009.Global Effect HIV/AIDS Dimensi Psikoreligi.Jakarta:FKUL.

5. Sudoyo, Aru W. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

6. Kozier. 2010. Fundamental Keperawatan Vol.1. Jakarta:EGC

7. Indar. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Makassar : Lembaga Penerbitan

Universitas Hasanuddin (Lephas).

You might also like