You are on page 1of 10

Humaniora, Vol. 20, No.

2 Juni 2008: 158-167 HUMANIORA

VOLUME 20 No. 2 Juni 2008 Halaman 158-167

ORIENTASI NILAI BUDAYA BANYUMAS:


ANTARA MASYARAKAT TRADISIONAL DAN
MODERN
Sugeng Priyadi*

ABSTRACT
This research aims at finding out the human value of Banyumas people as expressed in Babad Pasir.
To achieve this aim, the history method is employed in four steps, (1) heuristic, (2) criticism, (3)
interpretation, and (4) historiography. The historical facts which are interpreted are those mental ones
so that the resulting historiography reflects Banyumanese ideas as the realization of the Banyumas
cultural value system.
The results of the research show that Babad Pasir tends to presents internal conflicts, while Babad
Banyumas is marked more with ascetism. However, both of them show a paradox between positive and
negative values. The relation between the positive values as the thesis and negative ones as the antithesis
resultsinasynthesisintheformof cablaka (straightforwardness) as the value system of the Banyumas
culture. Based on the system it can be seen that the orientation of the value is toward both traditional
and modern society. Banyumas people tend to look at the past, but have the ability to see the future as
a reference in facing the challenging world.

Key Words
Words: nilai-nilai masyarakat, paradoks, asketisme, masyarakat tradisional dan modern.

PENGANTAR Babad Pasir merupakan warisan pergulatan


Teks Babad Pasir tidak hanya merupakan pemikiran manusia Banyumas yang tampaknya
dokumen kebudayaan masyarakat Banyumas, cenderung kontroversial atau paradoksal. Pada
melainkan juga monumen masa lampau yang posisi tersebut memang telah memungkinkan
tidak mungkin dapat dilepaskan dari berbagai manusia Banyumas melakukan justifikasi ter-
kajian tentang Banyumas. Tradisi besar babad hadap pihak yang lain, yang kemudian disusul
tersebut senantiasa menghidupkan kembali jiwa dengan justifikasi kepada diri sendiri atau bahkan
masa lampau untuk dihadirkan dalam suasana tidak ada justifikasi, tetapi yang ada hanyalah
yang berbeda ketika mereka diciptakan. Ada jarak unsur penyeimbang di antara nilai-nilai masyara-
waktu, kondisi sosial-budaya, para penulis babad kat Banyumas. Nilai-nilai yang paradoksal itu
dengan sekarang. Namun, justru kehadiran kedua agaknya menjadi satu ciri yang penting untuk
teks tersebut merupakan aktivitas pembacaan menilai perilaku masyarakat Banyumas, baik
terhadap monumen masyarakat Banyumas yang dalam perspektif masa lampau maupun masa
sarat dengan muatan nilai-nilai yang mungkin kini.
memiliki relevansi dengan masa sekarang.

* Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah, Purwokerto

158
Sugeng Priyadi - Orientasi Nilai Budaya Banyumas: antara Masyarakat Tradisional dan Modern

Benturan antara nilai-nilai paradoksal telah lain secara terus-menerus sehingga tidak ada
menghasilkan suatu sintesis yang cukup mantap gejala statis yang murni dalam kehidupan
dalam kehidupan kebudayaan manusia Banyu- kebudayaan. Kebudayaan senantiasa berubah
mas, yaitu cablaka. Kiranya, cablaka tidak hanya seiring dengan perkembangan pemikiran manu-
menjadi pusat karakter manusia Banyumas, sia. Pemikiran manusia menjadi tolok ukur apa-
tetapi juga menjadi sumbu dari nilai-nilai tersebut. kah suatu kebudayaan itu maju atau tidak dapat
Bagaimanapun juga suatu nilai akan mendasari dilihat fenomenanya pada bentuk kebudayaan
perilaku atau karakter manusia. Cablaka telah berpikir. Berpikir merupakan suatu masalah yang
menempatkan dirinya sebagai hasil sintesis menunjukkan keeksistensian manusia pada
antara tesis dengan antitesis sehingga terdapat umumnya. Tidak semua orang tidak berpikir,
keseimbangan nilai. Nilai cablaka menjadi titik yang membedakannya adalah tingkat kecepatan
pusat sistem yang berinteraksi dengan kompo- manusia berpikir. Faktor inilah yang menyebab-
nen-komponen lainnya. Keseimbangan nilai dan kan suatu kebudayaan akan berkembang dengan
sintesis masyarakat Banyumas itu sesungguh- pesat atau tidak.
nya bertujuan untuk menjaga keserasian kos- Manusia Banyumas dapat dikatakan seba-
mos. Situasi goyah, kacau balau, tidak berbentuk gai makhluk yang disebut homo sapiens melalui
itu harus disingkirkan dengan sintesis dari nilai- hasil-hasil pemikiran yang menjadi dokumen dan
nilai paradoksal tersebut. sekaligus monumen. Bahasa merupakan faktor
Keserasian kosmos memang menjadi tuju- terpenting sebagai alat komunikasi bagi manusia
an utama yang harus diraih karena bagaimana- yang berpikir. Bahasa dialek Banyumasan telah
pun sesuatu yang paradoksal tidak selalu di- ikut memberi sumbangan yang besar untuk
peruncing dalam bentuk benturan fisik yang menopang kehidupan nilai-nilai paradoksal itu
terlalu keras. Benturan pemikiran pun lebih krusial hingga masa sekarang. Bahasa dialek Banyu-
karena pengalaman-pengalaman yang dilalui masan adalah alat yang sangat efektif untuk
secara bersama-sama sebagai suatu komunitas menjiwai karakter manusia Banyumas dalam
akan memantapkan suatu nilai itu dapat diterima kehidupan sehari-hari yang dilandasi oleh sistem
secara umum atau ditolak. Nilai cablaka menjadi nilai budaya cablaka. Cablaka memang suatu
titik pusat sistem budaya. Artinya, cablaka di- alat untuk mengekspresikan bahwa manusia
anggap sebagai suatu nilai yang sangat berharga Banyumas selalu menyatakan dengan tanpa
dalam kehidupan sehari-hari manusia Banyu- tedeng aling-aling meskipun juga telah meng-
mas. Maka dari itu, cablaka menjadi identik alami transformasi dari nilai menjadi tokoh-tokoh
dengan sistem nilai budaya lokal masyarakat sebagaimana dicantumkan dalam kedua teks
Banyumas. babad dari tradisi besar pada masyarakat Banyu-
Untuk membangun pengertian sistem nilai mas.
budaya Banyumasan, Babad Pasir tidak mungkin Sebagai contoh adalah nilai cablaka. Nilai
diabaikan. Keduanya telah mendokumentasikan tersebut dikarakterisasikan menjadi tokoh-tokoh
nilai-nilai yang dianggap berarti dalam hidup pada panakawan atau ksatria yang dinilai tidak memiliki
masa lalu dan selanjutnya dokumentasi itu tidak kemauan untuk berbahasa halus seperti Werku-
hanya berhenti di situ, tetapi perlu dibangun dara, Lingsanggeni, atau Antasena. Tokoh-tokoh
monumen nilai-nilai yang memiliki relevansi untuk ini dinilai tidak memiliki etika dalam pergaulan,
masa sekarang dan mungkin juga masa yang tetapi sesungguhnya mereka adalah manusia
akan datang. yang menunjukkan pemakaian bahasa yang tidak
Nilai-nilai masa lampau manusia Banyumas dalam pengertian artifisial. Jadi, bahasa dialek
memang telah mengalami suatu transformasi Banyumasan adalah fitrah atau karakter yang
budaya yang tidak mungkin dapat dielakkan sangat khas bagi tokoh-tokoh tertentu dalam
karena manusia selalu berinteraksi satu sama pewayangan gagrag Banyumasan.

159
Humaniora, Vol. 20, No. 2 Juni 2008: 158-167

Pada umumnya, teks-teks babad lebih kerajaan itu telah diwariskan dari generasi ke
banyak menyodorkan fenomena personifikasi generasi.
nilai-nilai. Artinya, nilai-nilai itu dianggap sangat Tarik-menarik antara personifikasi dengan
berarti dalam hidup yang kemudian oleh depersonifikasi dalam mempresentasikan
masyarakat pendukungnya diupayakan untuk sebuah nilai sesungguhnya sama saja tujuan-
terus berlanjut dan lestari, maka cara yang sering nya, yaitu sebagai pernyataan untuk menyatakan
ditempuh adalah nilai-nilai itu diorangkan, atau bahwa nilai-nilai tertentu mempunyai fungsi
dimanusiakan agar hidup dan dianggap hidup. dalam kehidupan masyarakat pada masa ter-
Dengan demikian, personifikasi nilai-nilai itu pada tentu. Jika personifikasi memakai bentuk manusia
hakikatnya adalah memanusiakan nilai-nilai untuk melestarikan nilai-nilai, maka depersoni-
sehingga nilai-nilai itu mempunyai ruh yang kuat fikasi merupakan upaya pelestarian perilaku atau
di hadapan masyarakat. Nilai-nilai itu akan karakter manusia dalam bentuk nilai-nilai. Jadi,
menjadi hidup sehingga manusia pada masa kini pada hakikatnya kedua fenomena itu saling me-
sangat sulit untuk membedakan apakah nama ngisi fungsi masing-masing dan seterusnya akan
seseorang itu ialah nilai yang dimanusiakan menjadi dokumen dan monumen sekaligus.
(personifikasi) atau manusia yang dinilaikan Metode yang ditempuh dalam penelitian ini
(depersonifikasi). adalah metode sejarah yang terdiri dari empat
Namun, nama orang adalah sebuah kata langkah, yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi),
yang tidak hanya memiliki arti, tetapi juga (3) Interpretasi (Penafsiran), dan (4) Penulisan
bermakna. Pemberian nama kepada seseorang Sejarah (Notosusanto, 1978:35-43 bdk.
merupakan cara orang untuk mendoakan atau Gottschalk, 1983:34 dan Kuntowijoyo, 1995:89-
paling sedikit mengharapkan hal-hal yang baik 105). Langkah heuristik (pengumpulan sumber)
dalam hidup ini. Sebagai misal, orang Banyumas sudah dilakukan pada penelitian filologi dengan
memberi nama anaknya dengan nama mengumpulkan naskah-naskah yang berasal
Tunggak. Kata ini dapat ditafsirkan sebagai dari lokal Banyumas dan sekitarnya. Selain itu,
tonggak penting dalam kehidupan, baik bagi si naskah-naskah yang telah tersimpan pada
anak maupun orang tuanya. Tunggak juga dapat koleksi-koleksi perpustakaan juga dilakukan
diartikan sebagai batang pohon yang telah dengan cara menelusuri katalog-katalog yang
ditebang. Tunggak pendek kata sama dengan sudah diterbitkan. Begitu pula dengan langkah
sisa. Namun, sisa itu menunjukkan eksistensi kritik yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern.
masa lampau. Buktinya banyak nama tempat Kritik ekstern telah dilakukan ketika peneliti
atau toponim yang memakai nama pohon mendeskripsikan naskah, sedangkan kritik intern
tertentu. ketika peneliti melaksanakan kritik teks dengan
Nama Tunggak yang kelihatan sepele itu membandingkan seluruh teks. Dengan demikian,
dapat memuat arti dan makna yang tidak diduga. telah didapatkan fakta yang berupa fakta mental
Kelihatannya kata itu tidak memiliki makna, atau kejiwaan (mentifact) yang dikandung teks-
sangat terkesan sederhana, bahkan kelihatannya teks Banyumas tersebut. Karena tujuan penelitian
hanya main-main belaka dalam proses pemberi- yang ketiga berusaha untuk menghasilkan
an nama. Itulah yang disebut dengan proses sistem nilai budaya lokal Banyumas (sejarah ide-
depersonifikasi. Manusia yang dinilaikan atau ide), maka kritik teks lebih dipertajam sehingga
manusia yang menjadi nilai seperti Tunggak tadi interpretasi terhadap fakta mental yang dihasil-
sebagai penerus kehidupan orang tuanya, kan pada langkah yang ketiga ini lebih maksimal.
makanya kata nunggak semi merupakan Tujuan penelitian ini berkisar pada sejarah
perwujudan pewarisan atau kelanjutan tradisi nilai yang termasuk pada kawasan sejarah ide-
atau dalam hubungan kekerabatan berarti ide. Oleh karena itu, pada langkah interpretasi

160
Sugeng Priyadi - Orientasi Nilai Budaya Banyumas: antara Masyarakat Tradisional dan Modern

terhadap fenomena sejarahnya, khususnya dapat saja nilai-nilai yang diakui sangat berarti
mentifact diperlukan pengetahuan yang men- dalam hidup itu mengalami pergeseran. Per-
dalam tentang latar belakang sosial-budaya ubahan bentuk yang kedua ditujukan untuk
masyarakat Banyumas karena karya historiografi meneruskan prestasi manusia masa lampau
tradisional sering cenderung mengaburkan dua untuk kalangan manusia masa yang akan
macam realitas sejarah, yaitu realitas yang datang. Namun, di sini diusahakan untuk dihindari
objektif terjadi dan realitas yang riil dalam diri. Yang gejala kultus individu terhadap tokoh yang
pertama adalah fakta yang merupakan penga- dinilaikan itu. Selanjutnya, hasil interpretasi
laman yang aktual, sedangkan yang kedua adalah tersebut disajikan pada langkah terakhir dalam
fakta yang berupa penghayatan kultural kolektif bentuk karya sejarah berupa sejarah ide-ide
oleh masyarakat pendukung atau pewaris karya Banyumas.
babad tersebut (Abdullah, 1985:22-23).
Penghayatan kultural kolektif menjadi penting ORIENTASI NILAI BUDAYA BANYUMAS
manakala peneliti berusaha memahami makna Cablaka sebagai sistem nilai budaya lokal
pada teks-teks lama karena setiap peristiwa itu menyangkut soal-soal yang paling besar nilainya
selalu dimaknai oleh masyarakat sebagai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1987:25)
penghargaan kepada nenek moyangnya masyarakat Banyumas yang telah berlangsung
sehingga terjalin menjadi pandangan dunia yang ratusan yang lalu. Soal-soal tersebut pada
utuh (Abdullah, 1985:24). Pemaknaan terhadap hakikatnya secara universal selalu ada di seluruh
suatu peristiwa itulah yang dimengerti dan kebudayaan di dunia, termasuk Banyumas, yang
dipahami oleh masyarakat sebagai suatu realitas berisi minimal lima hal seperti yang dinyatakan
yang baru sehingga dapat terjadi perubahan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck (1961:12) dalam
bentuk realitas (metamorfose) pada peristiwa- bukunya yang berjudul Variations in Value
peristiwa, nilai-nilai, dan tokoh-tokoh (bdk. Van Orientation, yaitu (1) makna hidup manusia, (2)
Peursen, 1990: 58). soal makna dari pekerjaan, karya, dan amal
Di sini, dapat terjadi proses personifikasi, perbuatan manusia, (3) persepsi manusia
yaitu perubahan dari ide, nilai, dan norma menjadi tentang waktu, (4) soal makna hubungan
tokoh historis (Abdullah, 1985:26) atau penokoh- manusia dengan alam sekitarnya, (5) hubungan
an seperti yang terjadi pada karya sastra, atau manusia dengan sesama manusia. Lima
sebaliknya terjadi depersonifikasi dari tokoh konsepsi di atas merupakan isi sistem nilai
sejarah menjadi ide, nilai, dan norma. Perubahan budaya yang memberi pemecahan terhadap
bentuk yang pertama tersebut dimaksudkan masalah yang bernilai dalam hidup (Koentjara-
untuk melestarikan nilai-nilai yang berlaku pada ningrat 1990:78) masyarakat Banyumas, baik
periode tertentu untuk periode berikutnya dengan yang tampak pada masyarakat tradisional
cara mengkultuskan individu yang disebutkan maupun masyarakat modern seperti tampak
sebagai tokoh. Namun, pada periode selanjutnya pada Tabel berikut ini.

161
Humaniora, Vol. 20, No. 2 Juni 2008: 158-167

Tabel Orientasi Nilai Budaya Banyumas

Makna hidup manusia yang terkait dengan dan bermakna sehingga manusia itu harus
masyarakat Banyumas memandang bahwa berupaya sendiri dengan keras. Pandangan ter-
hidup itu penuh dengan keprihatinan, ditentukan sebut menyatakan bahwa Kamandaka berusaha
oleh nasib, dan manusia harus menyadari akan sendiri untuk mencari calon istri yang mirip
dirinya (eling) sehingga kecenderungan untuk dengan ibu kandungnya dengan cara menjadi
melakukan tapa brata atau asketisme seperti maling julig, bertapa, berubah menjadi Lutung
yang dilakukan oleh Kamandaka (Banyak Catra). Kesarung, dan merencanakan pembunuhan
Selain berpandangan tradisional, masyarakat terhadap Raja Pulebahas dari Nusakambangan.
Banyumas juga berpandangan modern bahwa Upaya itu mencapai keberhasilannya dengan
hidup itu merupakan sumber kesenangan, indah, merebut dan menikahi putri Pasirluhur, Dewi

162
Sugeng Priyadi - Orientasi Nilai Budaya Banyumas: antara Masyarakat Tradisional dan Modern

Ciptarasa. Walaupun keberhasilan itu menjadi itu bertemu dengan cinta dan kesetiaan Ciptarasa
faktor kegagalan dalam merengkuh tahta yang juga bermakna.
Pajajaran, tetapi Kamandaka atau Banyak Catra Banyak Catra atau Kamandaka melanggar
dijadikan pengganti kedudukannya sebagai tabu pernikahan dengan wanita Jawa itu
adipati Pasirluhur. Jadi, di satu sisi upaya itu merupakan kepuasan terhadap kualitas hasil
menyebabkan kegagalan di negeri sendiri, di sisi kerja. Tabu sering hanya merupakan mitos yang
lain berbuntut keberhasilan di negeri orang. Apa mengungkung kreasi masyarakat pada masa
yang diperoleh Banyak Catra merupakan lalu. Ketika orang melakukan pelanggaran dan
sesuatu yang bernilai karena idaman atau cita- mendapat hukuman secara sosial, tetapi ia tidak
cita menyunting gadis yang mirip dengan ibunya mendapatkan akibat yang buruk, maka orang-
itu berhasil meskipun disertai dengan kegagalan orang lain akan melakukan penilaian kembali
seorang putra mahkota menduduki tahta Pajajar- terhadap tabu yang sudah dimitoskan. Di sini,
an. Namun, ketika Banyak Catra kehilangan tahta telah terjadi pergeseran dari mitos menuju
Pajajaran itu telah digantikan dengan tahta yang fenomena ilmiah. Mitos itu mungkin secara per-
lain, yakni tahta Pasirluhur. lahan-lahan dan sedikit demi sedikit akan
Banyak Catra sebagai orang luar yang ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya,
mencari perempuan yang mirip dengan ibunya atau bahkan mungkin masih tetap dilestarikan
itu tidak didapatkan di Pajajaran, tetapi justru karena orang tidak mempunyai keberanian untuk
ditemukan di Pasirluhur. Ternyata cinta Banyak melanggar. Banyak Catra adalah contoh manu-
Catra itu tidak bertepuk sebelah tangan karena sia yang mencoba meninggalkan mitos yang
Putri Bungsu adipati Kandha Daha itu juga tidak sudah diyakini ratusan tahun oleh masyarakatnya
pasif, bahkan dapat dikatakan cukup agresif dan orang tidak ada yang mempertanyakan
dengan mengundang Banyak Catra yang kembali atau mengkritisi fenomena tersebut. Hal
menyamar dengan nama Kamandaka itu ke itu memang mencerminkan masyarakat yang
taman sari. Apa yang dilakukan oleh Ciptarasa mengalami kemandekan. Sebaliknya, kecerdas-
merupakan cara yang menyerempet bahaya an individual Banyak Catra akan mengurangi
karena Kamandaka menjadi seorang terdakwa keampuhan mitos itu di mata masyarakat,
maling julig, yaitu maling yang tidak mencuri harta minimal pada keturunannya.
kekayaan, tetapi hati sang putri. Akibatnya, Perubahan atau pergeseran dari mitos ke
Kamandaka menjadi manusia buron yang logos (ilmiah) berdasarkan pengalaman pada
mengalami usaha pembunuhan berulang-ulang. hakikatnya sama dengan perkembangan kognitif
Kabar kematian Kamandaka yang tenggelam homo sapiens sebagai momentum berubahnya
dalam sebuah lubuk atau terbunuh oleh Silihwarni mitos menjadi logos, yang dilanjutkan dengan
dengan bukti hati dan darah tidak menggoyahkan terbentuknya etos, yaitu suatu kompleksitas sikap
cinta Ciptarasa. Namun, selanjutnya dengan berdasarkan nilai-nilai yang menentukan totalitas
muncul kabar bahwa ia masih hidup terus kebiasaan pada komunitas tertentu (Kartodirdjo,
mempersubur rasa cinta itu. Sebaliknya, Kandha 1999:120). Pelanggaran Banyak Catra telah
Daha merasa tertipu luar dan dalam karena ia mengubah mitos menjadi logos, dan mencipta-
ternyata hanya makan hati dan darah anjing, kan etos bahwa mengawini wanita kaluaran dan
bukan darah dan hati Kamandaka yang sangat wanita Jawa (keturunan Majapahit) bukan
dibencinya. Kandha Daha memandang bahwa merupakan gejala yang berakibat buruk, tetapi
Kamandaka itu berlaku seperti anjing, tetapi upaya untuk dapat bekerjasama dengan orang
umpatan itu dibalas dengan tipuan yang dilakukan lain dari berbagai komunitas. Tabu nikah itu
oleh Siliuhwarni atau Gagak Ngampar (adik sesungguhnya merupakan pembatasan gerak
Banyak Catra). Dengan demikian, upaya keras dan kreativitas manusia jika diikuti secara
Banyak Catra atau Kamandaka untuk memper- membabi buta.
oleh calon istri menjadi sesuatu yang bermakna

163
Humaniora, Vol. 20, No. 2 Juni 2008: 158-167

Manusia Banyumas mengacu kepada terbukti karena si paman melakukan pengkhianat-


kejayaan masa lampau, khususnya Pajajaran an. Namun, pengkhianatan itu tentu disebabkan
dan Pasirluhur. Kejayaan itu berkaitan dengan oleh banyak hal. Salah satunya adalah Banyak
bersatunya keturunan Pajajaran dan Pasirluhur Thole telah melakukan penghinaan secara
yang menciptakan dinasti baru Pasirluhur pribadi kepadanya sebagai orang yang tidak
dengan simbol binatang totem angsa atau jantan dengan ungkapan ora duwe konthol. Thole
banyak. Bagi orang Banyumas, binatang totem jelas merupakan kemenakan yang tidak mem-
ini dijadikan tabu untuk dibunuh dan dikonsumsi punyai etika yang baik kepada orang tua. Yang
karena nenek moyang mereka mengacu kepada paling hakiki adalah kemurtadan Thole yang tidak
masa lalu yang berkaitan dengan masa kini. dapat dimaafkan. Jadi, landasan Thole menabu-
Begitu pula dengan tabu Banyak Thole yang kan paman sebagai patih itu terdapat unsur
melarang orang Pasir untuk mengambil seorang kebencian pribadi kepada pamannya. Padahal,
paman sebagai patih. Tabu tersebut juga didasari kebencian itu seyogyanya tidak baik dipakai untuk
oleh pengalaman yang ditemui ketika pamannya melakukan sesuatu karena orang yang mem-
yang bernama Wirakencana itu berkhianat benci sesuatu seringkali berbuat tidak adil kepada
kepadanya dan lebih setia kepada Sultan Demak. orang lain atau sesuatu yang kita benci belum
Bagi Thole, pengkhianatan pamannya merupa- tentu buruk bagi kita dan sesuatu yang kita
kan kunci kekalahan yang nyata karena keber- senangi belum tentu baik bagi kita sehingga di
hasilan Demak itu merupakan kontribusi Wira- sini juga banyak kemungkinan. Maka dari itu, perlu
kencana yang tidak dilupakan sehingga ber- ada keseimbangan dalam memposisikan antara
dasarkan pengalaman seorang paman itu meng- benci dan senang.
khianati kemenakannya dengan alasan perbeda- Sebaiknya orang bersikap untuk tidak terlalu
an keyakinan mereka. Jadi, pengalaman hidup, benci dan tidak terlalu senang terhadap sesuatu
terutama pengalaman buruk yang dialami Thole sehingga ia dapat memberikan penilaian yang
menjadi catatan pribadi yang penting selalu tidak terlalu subjektif, baik itu terlalu positif maupun
diperhatikan agar tidak berulang dalam kehidupan terlalu negatif. Orang tidak boleh berlarut-larut
masa depan. Menabukan sesuatu berdasarkan dalam kebencian karena rasa tersebut di sam-
pengalaman buruk dapat dipandang sebagai ping melelahkan pikiran, juga merusak hati.
inovasi, tetapi dapat juga dipandang telah men- Ketika pikiran dan hati tidak dapat bekerjasama,
ciptakan kestatisan sejarah yang baru ketika maka hati nurani kita menjadi mati. Akal budi
keturunannya cenderung tidak lagi memper- merupakan upaya untuk menyelaraskan kerja
tanyakan kembali asbabul nusul suatu fenomena antara otak dengan hati agar dapat diputuskan
peristiwa sejarah. Tabu seringkali menjadi feno- sesuatu yang baik. Orang juga tidak boleh larut
mena yang membatu karena orang-orang hanya dalam kesenangan karena orang akan cende-
mengikutinya saja dan tidak mempermasalah- rung menurun kewaspadaannya. Orang dapat
kan pesan atau nasihat, serta hikmah yang bersikap angkuh, sombong, atau tinggi hati dan
terkandung secara implisit di dalamnya. Setelah hal ini juga merusak hati. Kurang waspada dan
Thole di Pasir tidak ada paman sebagai patih. sombong merupakan faktor kehancuran manu-
Manusia yang bijaksana selain cerdas sia pada seluruh peradaban manusia di muka
dalam melihat fenomena sejarah, juga kritis bumi ini. Kurang waspada menyebabkan orang
dalam menganalisis situasi yang menyebabkan tidak kritis. Sesuatu yang buruk kelihatannya baik
peristiwa sejarah itu dapat muncul ke per- atau sangat baik, sebaliknya sesuatu yang baik
mukaan. Tabu yang dianggap baik pada masa kelihatannya buruk atau sangat buruk. Kewas-
lampau atau masa kini, belum tentu baik untuk padaan itu akan mempertanyakan apakah yang
kehidupan masa depan. Oleh karena itu, kalau kelihatan baik itu sungguh-sungguh baik atau
menabukan paman sebagai patih memang yang kelihatan buruk itu benar-benar buruk. Sikap

164
Sugeng Priyadi - Orientasi Nilai Budaya Banyumas: antara Masyarakat Tradisional dan Modern

kritis manusia itu akan bermuara kepada penya- dunia, manusia itu akan tampil unik sesuai
daran bahwa kehidupan dunia ini penuh dengan dengan ia bertempat tinggal. Ketika manusia
tipuan. Tipuan tersebut akan menjerumuskan kemudian saling berinteraksi untuk menghadapi
manusia ke jurang kehidupan yang merugikan, alam sekitarnya, tercipta kebudayaan yang khas
baik dunia maupun akhirat. dari masing-masing masyarakat itu sehingga
Ketika manusia hidup di bumi, maka ia akan pemahaman lingkungan sosial juga akan ber-
selalu memandang langit sebagai satu-kesatu- lanjut ke pemahaman yang ketiga, yaitu lingkung-
an. Langit dan bumi adalah pasangan yang tidak an kultural yang jauh lebih unik.
dapat diabaikan karena manusia tergantung dari Ketika manusia mencari keselarasan dan
situasi keduanya, bahkan rizki manusia dapat keserasian dengan alam, ketiga pemahaman itu
diperoleh dari Yang Maha Kuasa melalui peran- harus diraih meskipun pengetahuan kita baru
taraan langit dan bumi. Bumi adalah tempat kaki pada tingkat penyesuaian atau di permukaan. Di
berpijak, sedangkan langit merupakan harapan sini, aktivitas manusia lebih cenderung pasif
dan cita-cita, serta arah untuk kembali ke asal- karena terpana dengan gejala-gejala alam yang
mula. Dua pandangan ini memang harus direkam tidak dapat dilawan oleh manusia. Manusia hanya
dalam akal budi manusia. Bumi dan langit adalah mampu untuk tunduk dan mencari keselarasan
kunci manusia untuk memahami Sang Pencipta atau keserasian dengan alam sehingga peristiwa
melalui tiga tahap pemahaman, yaitu (1) ling- alamiah dilihat selalu bermakna. Bagi manusia
kungan alam, (2) lingkungan sosial, dan (3) yang berpikiran maju, aktivitas untuk tunduk dan
lingkungan kultural. Pemahaman pertama adalah menyelaraskan diri dengan alam bukanlah
terhadap langit dan bumi sebagai cikal-bakal yang sesuatu yang memuaskan. Pengetahuan yang
kita sebut sebagai alam. Pemahaman terhadap hanya berkisar di permukaan harus diteruskan
alam semesta berarti harus mencari cara-cara untuk menjajaki rahasia-rahasia yang terwujud
bagaimana manusia dapat menyesuaikan pada ketiga lingkungan di atas.
dengan alam. Di sini, manusia tidak berusaha Penjelasan hubungan antarsesama
untuk melawan alam karena menyadari berbagai manusia orang Banyumas dari berbagai periode
faktor kelemahannya. Cara yang lain adalah mengacu kepada tokoh-tokoh senior dan golong-
dengan mencari sebab-sebab yang timbul, yang an sosial tinggi yang berbeda. Pada periode
mengakibatkan peristiwa alam itu terjadi sebagai Pasirluhur, Prabu Siliwangi menjadi tokoh penting
gejala alamiah. karena putranya yang bernama Banyak Catra
Pemahaman dengan mencari keselarasan menjadi adipati Pasirluhur. Banyak Catra
dan keserasian antara manusia dengan alam (Kamandaka) menyunting putri Pasirluhur Dewi
dilakukan oleh Kamandaka dengan DAS Ciptarasa sehingga keturunan mereka dianggap
Logawa-Mengaji. Pemahaman asketisme yang sebagai keturunan campuran antarsuku dan
dilakukan keduanya menunjukkan bahwa alam antarbudaya.
semesta dapat dijadikan kawan yang baik dengan Pada periode Demak, raja-raja yang sudah
cara tidak merusaknya. Selanjutnya, pemaham- memeluk Islam menjadi acuan bagi adipati
an alam semesta atau lingkungan alam akan Pasirluhur Banyak Belanak dan patihnya yang
berlanjut kepada pemahaman yang kedua, yaitu bernama Wirakencana, yaitu Sultan Patah dan
pemahaman lingkungan sosial. Komunitas atau Trenggana. Tampaknya senioritas dan golongan
masyarakat selalu berinteraksi dengan alam sosial tinggi menjadi acuan bagi manusia
semesta sehingga akan dipahami bahwa Banyumas pada khususnya atau manusia Jawa
manusia itu mempunyai karakter yang di- pada umumnya. Hal itu merupakan salah satu
pengaruhi oleh alam sekitarnya. Manusia ciri khas dari masyarakat yang masih men-
diciptakan sama oleh Yang Maha Kuasa, tetapi junjung patronase (Legg, 1983:42-47; Mulder,
ketika ia dilahirkan di berbagai tempat di penjuru 2001:84).

165
Humaniora, Vol. 20, No. 2 Juni 2008: 158-167

Prinsip patronase atau patron client adalah sekarang sudah masuk dalam katagori uang
raja atau orang yang berpangkat tinggi dianggap haram atau uang suap karena tidak diatur seperti
sebagai pelindung bagi bawahan dan rakyatnya halnya pajak dan si pemberi berharap akan
sehingga hubungan mereka itu seperti seorang mendapatkan keuntungan. Jadi, upeti itu adalah
ayah yang melindungi anak-anaknya. Suatu sistem perpajakan yang pernah hidup pada
prinsip yang sudah berumur cukup tua dan hal masyarakat masa lampau dan sekarang
itu sudah hidup di Jawa sebelum mendapat kedudukannya digantikan sistem perpajakan
pengaruh India ketika kepala desa pada masa yang dibawa orang Barat, khususnya Belanda
lampau itu dipilih oleh rakyat (anak wanua) ber- ke Indonesia. Akhirnya, upeti bergeser kedudukan
dasarkan prinsip yang terbaik di antara sesama- dari pajak resmi menjadi ilegal. Kiranya salah
nya atau primus interpares (Christie, 1989:5; Nas, satu efek negatif dari patronase adalah sistem
2007:281). Kriteria terbaik itu menyangkut upeti yang ilegal itu menjadi suatu kebiasaan
kemampuan, kesaktian, kekayaan, senioritas, pada masyarakat. Masyarakat dapat memper-
dan lain-lain sehingga layak menjadi pejabat rama oleh keuntungan, tetapi dapat pula hanya
atau kepala desa. Selanjutnya, dari pejabat- mendapatkan kebuntungan.
pejabat rama dari berbagai desa dipilih menjadi Efek lain adalah gangguan mental masya-
raka atau raja Jawa (raja kecil). Pemilihannya rakat terhadap ketergantungan yang mematikan
juga berlangsung secara demokratis karena kreativitas. Rakyat tidak berusaha memecahkan
pada waktu sebelum Jawa Kuna itu sistem masalah yang dihadapi. Mereka selalu meminta
dinasti belum masuk ke Jawa. Meskipun pemilih- bantuan dan perlindungan dari orang kuat.
an kepala desa itu berlangsung secara demo- Orang-orang kuat yang baik tidak akan
kratis, tetapi hubungan antara rakyat dengan menimbulkan persoalan, tetapi kalau orang kuat
kepala desa menunjukkan hubungan patron itu adalah sejenis preman, maka dapat timbul
client yang lekat sekali. Di situ, rakyat memiliki pemerasan terhadap orang-orang lemah.
ketergantungan yang sangat besar kepada Preman itu sering menarik pajak secara ilegal
patronnya sehingga menimbulkan efek yang yang lama-kelamaan dilegalkan. Dapat jadi pajak
kurang baik karena rakyat akan cenderung resmi yang berlaku pada masa sekarang
bertindak sendika dhawuh dan secara perlahan- merupakan penetapan yang dilakukan oleh
lahan kreativitias masyarakat menjadi lemah dan pemerintahan preman yang terorganisasi seperti
mati. negara.
Ketergantungan apa pun bentuknya merupa- Dalam pemerintahan memang sering terjadi
kan kondisi yang memungkinkan munculnya tarik-menarik antara sistem yang berlaku dengan
tindakan korupsi, kolusi, manipulasi, nepotisme, pemimpin yang memerintah. Sering muncul
dan efek-efek negatif lain pada kalangan orang pertanyaan apakah sistem baik atau pemimpin
berpangkat, golongan sosial tinggi, atau senior yang baik? Keduanya memang harus baik. Tidak
yang sedang memerintah. Memang ada per- ada gunanya sistem baik, tetapi diselenggarakan
sepsi yang berbeda antara masyarakat masa oleh pemimpin yang buruk, atau pemimpin yang
lampau dengan masa sekarang. Apa yang baik, tetapi menyelenggarakan pemerintahan
sekarang disebut korupsi, kolusi, manipulasi, dan tanpa sistem yang baik. Jadi, harus ada kese-
nepotisme sebagai suatu tindakan yang negatif, rasian sama baiknya antara sistem yang berlaku
pada masa lampau hal itu merupakan sesuatu dengan pemimpin yang menyelenggarakannya
yang lumrah. Rakyat membayar upeti merupa- sehingga penyimpangan dan penyelewengan
kan suatu kewajiban yang memang sudah dapat dieliminasikan.
masuk dalam sistem birokrasi sama halnya Nilai kemandirian orang Banyumas ditonjol-
dengan kewajiban manusia modern membayar kan oleh Banyak Thole dan Yudanegara IV.
berbagai macam pajak. Upeti pada masa Mereka berusaha keras untuk melepaskan diri

166
Sugeng Priyadi - Orientasi Nilai Budaya Banyumas: antara Masyarakat Tradisional dan Modern

dari kungkungan kekuasaan raja Demak dan kepuasan terhadap kualitas hasil kerja (maju).
Kasunanan Surakarta. Banyak Thole mungkin Ketiga, hubungan manusia dengan waktu,
ingin mengembalikan kemerdekaan Pasirluhur manusia Banyumas sebagai masyarakat tradi-
dari zaman Kandha Daha hingga zaman sional lebih banyak mengacu pada kejayaan
sebelum ayahnya yang tidak terikat sebagai masa lampau, tetapi juga mengacu ke masa
bawahan. Ayahnya yang bernama Banyak depan (maju). Keempat, relasi manusia dengan
Belanak adalah adipati Pasirluhur yang menyata- alam, manusia Banyumas di samping mencari
kan sebagai taklukan Demak ketika Islam datang keselarasan dengan alam (tradisional), juga
ke tanah Jawa (De Graaf, 1985: 73). Bagi Thole, mencoba menjajaki rahasia-rahasia alam (maju);
apa yang diperbuat ayahnya itu dianggap sebagai dan Kelima, hubungan manusia dengan sesama-
tindakan yang memalukan sehingga Thole nya, manusia Banyumas mengacu kepada
membalasnya dengan tindakan yang kelihatan golongan sosial tinggi dan bergotong-royong
sangat bengis dan kejam, yaitu mengubur hidup- (tradisional), tetapi juga bersikap mandiri dan
hidup ayahnya. Penguburan ayah oleh Thole maju.
sebagai manifestasi ketidaksetujuan atas
keputusan pendahulunya untuk menghilangkan DAFTAR RUJUKAN
atau menetralkan kesalahan. Thole juga me-
Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia.
ngembalikan dirinya ke alam Buddha sebagai
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
bentuk kontradiksi atau paradoksal eksistensi Christie, Jan Wisseman. 1989. “Raja dan Rama: Negara
Demak yang Islam. Kemandirian Thole ternyata Klasik di Jawa,” dalam Lorraine Gesick. Pusat, Simbol,
tidak mendapat sambutan hangat pamannya dan Hirarki Kekuasaan: Esai-esai tentang Negara Klasik
yang berwarna Wirakencana yang cenderung di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
akomodatif kepada Demak. Gerakan separatis- De Graaf, H. J. 1985. Awal Kebangkitan Mataram.Jakarta:
me Thole menemui kegagalan sehingga Thole Grafitipers.
De Graaf, H. J. & Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-
berke-dudukan sebagai orang yang kalah dalam
kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke
sejarah dan terusir dari tanah kelahirannya (De
Mataram.Jakarta:Grafitipers.
Graaf & Pigeaud 1985:64). Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Terjemahan
Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI-Press.
SIMPULAN Kartodirdjo, Sartono. 1999. Multidimensi Pembangunan
Orientasi nilai budaya Banyumas menunjuk- Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan.
Yogyakarta: Kanisius.
kan bahwa masyarakat Banyumas dapat
Kluckhohn, F. & F.L. Strodtbeck. 1961. Variations in Value
menyesuaikan diri, baik sebagai masyarakat Orientation. Evanston, Ill: Row, Peterson & Company.
tradisional maupun masyarakat modern. Ada Koentjaraningrat. 1987. “Orientasi Nilai Budaya dalam
lima relasi manusia dengan makna hidup, kerja, Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas,11Maret.
waktu, alam, dan sesama manusia. Pertama, ————-. 1990. Sejarah Teori Antropologi II.Jakarta:UI-
hubungan manusia dengan makna hidup sebagai Press.
masyarakat tradisional, manusia Banyumas Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
cenderung hidup dengan keprihatinan, sedang- Bentang Budaya.
Legg, Keith R. 1983. Tuan, Hamba, dan Politisi.Jakarta:
kan sebagai masyarakat maju manusia Banyu-
Sinar Harapan.
mas memandang hidup itu bermakna dan harus Nas, Peter J.M. 2007. Kota-kota Indonesia: Bunga Rampai.
berupaya sendiri. Kedua, pada hubungan manu- Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
sia dengan kerja, manusia Banyumas di satu sisi Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah
berpandangan bahwa bekerja untuk mencari Kontemporer.Jakarta:Idayu.
makan dan bereproduksi (tradisional), sedang- Van Peursen, C.A. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. tentang
kan di sisi lain mencipta karya-karya agung dan Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika.Jakarta:
Gramedia.

167

You might also like