You are on page 1of 8

HUKUM PERBURUHAN; SIFAT, PERMASALAHAN, PENYELESAIAN DAN SERIKAT PEKERJA.

A. PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN

Menurut Imam Soepomo, hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis
maupun tidak berkenaan dengan kejadian dimana seorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah.

B. PAYUNG HUKUM DI BIDANG PERBURUHAN;


1. Undang-Undang

 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja /Buruh dan peraturan dibawahnya.
 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
 UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
 UU No. 7 tahun 1981 tentang Waji Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.
 Peraturan lainnya yaitu peraturan yang lebih rendah dengan Undang-Undang.

2. Konvensi Internasional Dibidang Perburuhan;


a. Buruh Anak Dan Kerja Paksa, diantaranya;
- Konvensi ILO 138 tentang usia minimum untuk setiap jenis pekerjaan pada usia 15
tahun.
- Konvensi ILO 182 tentang Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak untuk tujuan
menghindarkan semua orang yang dibawah 18 tahun dari pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, Keselamatan atau moral.
- Konvensi ILO 29 tentang Kerja Paksa, melarang semua pekerjaan atau pelayanan yang
dituntut dari setiap orang yang berada dibawah ancaman hukuman apapun dan dimana
orang tersebut tidak menawarkan dirinya secara sukarela.
- Konvensi 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa seperti lembur paksa dan menahan
upah.

b. Pelarangan Diskriminasi;
- Konvensi ILO 100 tentang Kesetaraan Pengupahan, untuk memastikan bahwa laki-laki
dan perempuan mendapatkan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
- Konvensi ILO 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan dan Jabatan.
c. Pengawas Ketenagakerjaan
- Konvensi Ilo No. 81 tentang Pengawasan Ketenagakejaan telah diratifikasi Indonesia
pada tahun 2004, Dalam Konvensi ini mewajibkan negara untuk menempatkan
pengawas dibawah kendali dan pengawasan badan pusat.

d. Hak Untuk Berserikat

- Konvensi ILO Nomor 98 tentang Berlakunya Dasar-dasar Hak untuk berorganisasi dan untuk
berunding bersama.

Hal. 1 dari 8 Hal


- Konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
berorganisasi.

C. SIFAT HUKUM PERBURUHAN

Pokok-pokok ketenagakerjaan dan tata cara penyelesaiannya diatur dalam UU No. 21 tahun 2000
tentang Serikat Buruh/Pekerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang sebelumnnya pokok-pokok
ketenagakerjaan dan penyelesaiannya diatur dalam UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja, dicabut dengan UU No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan,
UU No. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan serta UU No. 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Sebelum 3 (tiga) paket Undang-undangan Ketenagakerjaan (UU No. 21 tahun 200, UU No. 13 tahun
2003, dan UU No. 2 tahun 2004) berlaku1, Mekanisme yang ditempuh dalam 2 (dua) undang –
undang (UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 12 Tahun 1964) tersebut dimulai ketika gagalnya
perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak mengadukan perselisihan ke dinas
ketenagakerjaan setempat guna untuk diperantai (pemerantaraan) oleh pegawai dinas terkait.

Apabila dalam pemerantaraan tidak menghasilkan suatu kesepakatan, maka pegawai dinas akan
mengeluarkan anjuran. Dan apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pegawai
dinas tersebut secara otomatis akan menyerahkan berkas perselisihan ke Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D).

P4D kemudian mengeluarkan PUTUSAN yang mengikat para pihak, dan bagi pihak yang menolak
putusan P4D dapat meminta permohonan pemeriksaan ulang kepada Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), caranya adalah dengan cara meminta pemeriksaan ulang
tersebut ke kepaniteraan P4D, dan secara otomatis P4D akan menyerahkan berkas perselisihan ke
P4P untuk diperiksa ulang.

Sebagaimana putusan P4D, putusan P4P pun mengikat. Namun bagi pihak yang menolak putusan
P4P dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara2. Nah, disinilah kunci dari
ketegasan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal 55 UU PTUN
menyebutkan, gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
putusan tersebut diterima oleh pihak yang akan mengajukan gugatan.

Dengan demikian pengusaha yang menolak putusan P4P harus mengajukan gugatan dalam waktu
90 hari, apabila tidak maka pengusaha tersebut dianggap menerima putusan P4P, dan demikian
putusan P4P dapat dijalankan (eksekusi). Sedangkan para pihak dalam persidangan TUN, salah

1
Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mulai efektif berlaku tanggal 14 Januari 2006.
2
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam penjelasannya memasukan P4P sebagai banding administrative sehingga putusan
P4P dapat dijadikan objek sengketa PTUN.
Hal. 2 dari 8 Hal
satunya adalah P4P sedangkan yang lainnya bisa dari buruh atau pengusaha, tergantung siapa yang
mengajukan gugatan TUN.

Disini dapat kita lihat bagaimana peran pemerintah dalam keterlibatannya yang ikut serta dalam
mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan. Meskipun tidak dapat kita pungkiri, bahwa
mekanisme yang terdahulu banyak kekurangannya, namun setidak – tidaknya dahulu penyelesaian
perselisihan perburuhan berada diranah hukum publik.

Dengan diberlakukaknnya UU No. 21 tahun 200, UU No. 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004 ,
maka sifat hukum perburuhan di Indonesia bersifat privat dan publik3.

Bahwa dikatakan bersifat privat, karena melekat prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai
dengan adanya perjanjian kerja antara buruh/pekerja dengan pengusaha/majikan, Sedangkan
hukum perburuhan tersebut dikatakan bersifat publik karena Pemerintah campur tangan dengan
cara mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang hukum ketenagakerjaan,
dimana dalam peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan memuat sanksi pidana,
sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang ketenagakerjaan.

Dalam implementasi UU Perburuhan tersebut, ternyata banyak terjadi permasalahan. Dimana


pengawas ketenagakerjaan, dan Kepolisian, tidak dapat membedakan mana perkara yang masuk
dalam kategori penyelesaian perselihan hubungan industrial (PPHI) (keperdataan) dengan perkara
pidana (publik), maka supaya Pengawas Ketenagakerjaan dan Kepolisian dapat dengan baik dan
benar memilah perkara dibidang ketenagakerjaan yang merupakan wilyah PPHI dan Pidana
memerlukan advokasi dan edukasi dari serikat buruh.

Contoh, Karena ketidaksukaan Pengusaha kepada buruh, maka pengusaha melakukan PHK
terhadap buruh tanpa ada putusan dari pengadilan hubungan industrial yang menyatakan telah
putus hubungan kerja, akibatnya pengusaha tidak memperbolehkan pekerja untuk masuk bekerja
dan tidak membayar upah pekerja tersebut, padahal pekerja/buruh ingin bekerja. Ketika Kasus
tersebut dilaporkan pekerja/buruh kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maka Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan memproses kasus tersebut berdasarkan mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan tindakan pengusaha tersebut bukan merupakan
tindak pidana, dan bila buruh/pekerja melaporkan kepada kepolisian, maka kepolisian akan
menolaknya dengan dalih bahwa kasus tersebut adalah kewenangan Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Padahal Tindakan perusahaan tersebut nyata merupakan tindak pidana yang dapat
diancam dengan pidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,-
(empat ratus juta rupiah).

Dengan adanya UU PPHI maka pelanggaran ketenagakerjaan yang merupakan tindak pidana akan
dilokalisir menjadi perkara perdata, dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan

3
Lihat Prof. DR. Lalu Husni, S.H., M. Hum.; Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Edisi Revisi. PT.
RajaGrafindo Persada. Jakarta. Tahun 2010. Hal. 22-23.
Hal. 3 dari 8 Hal
Industrial (PPHI). Maka dampaknya tidak ada penghukuman bagi pengusaha nakal yang melanggar
hak normatif buruh. Disamping itu bila kasus-kasus pelanggaran hak normatif yang pelanggaran
tersebut merupakan tindak pidana sedang diperselisihkan di PHI, maka pengawas ketenagakerjaan
dan Kepolisian tidak akan memproses perkara pelanggaran hak normatif yang merupakan tindak
pidana sebelum ada putusan dari PHI.

D. PERMASALAHAN PERBURUHAN

Pelanggaran hak para pekerja/buruh, dari tahun ketahun bukan mengalami pengurangan, tapi
semakin bertambah dan terjadi tumpukan masalah. Permasalahan perburuhan yang kerap dialami
oleh para buruh/pekerja, diantaranya;

• Upah Layak.
• Kontrak (PKWT) yang bermasalah;
• Outsourcing.
• Mogok Kerja.
• Perundingan Bersama Mis; Berundingan Bersama Untuk Pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama.
• Diskriminasi Anti Serikat Pekerja.
• Kondisi Kerja tempat kerja yang aman dan sehat; dan memperlakukan pekerja dengan
bermartabat.
• Jaminan Sosial Tenaga Kerja  tidak membedakan antara pekerja permanen, kontrak dan
outsourcing.
• PHK Sewenang-wenang.

E. PENYELESAIAN PERBURUHAN MELALUI PPHI

Dalam UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, telah mengatur
dan membatasi kewenangan pengadilan hubungan industrial. Dimana ada 4 (empat) jenis
perselisihan yang merupakan kewenangan PHI, diantaranya;
a. Perselisihan Hak
Adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan Kepentingan
Adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Adalah Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah
satu pihak.
d. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh
lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Hal. 4 dari 8 Hal


Untuk mengetahui, proses berperkara menurut UU No. 2 tahun 2004 tentang PPHI, maka dapat
digambarkan dalam skema dibawah ini;

Perselisihan
Hubungan Industrial

Perundingan
Bipartit

Perselisihan - Perselisihan
Perselisihan Hak Pemutusan Kepentingan
Hubungan Kerja - Perselihan antar
SP/SB

Mediator Konsiliator Arbiter

Pengadilan Hubungan Industrial

Putusan akhir dan - Kasasi hanya


bersifat tetap untuk; untuk Putusan; Permohonan
• Perselisihan • Perselisihan hak Pembatalan
kepentingan. • Perselisihan PHK Putusan Arbiter
• Perselisihan antar
SP

MAHKAMAH AGUNG

Hal. 5 dari 8 Hal


F. SERIKAT PEKERJA
1. Pengantar

Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. yang menjamin kebebasan pekerja untuk
berserikat. Hal ini merupakan suatu lompatan besar ke depan dan telah memicu banyak
perkembangan baru dalam gerakan serikat pekerja/serikat buruh.

Setelah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tersebut, maka pada tanggal 4 Agustus 2000, Indonesia
membuat UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB). UU SP/SB
dibuat dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan
mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan
bertanggungjawab. Diharapkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjadi sarana untuk
memperjuangkan, melindungi dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta
keluarganya serta mewujudkan hubungan industrial hubungan industrial yang harmonis, dinamis
dan berkeadilan.

2. Pengertian, Fungsi dan Kewajiban Serikat Pekerja/Serikat Buruh

a. Pengertian Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya 4.

b. Fungsi Serikat Pekerja

Fungsi Serikat Pekerja, yang diatur dalam UU SP/SB5, diantaranya;

a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan
industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.

4
Lihat. Pasal 1 Ayat 1 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
5
Lihat Pasal 4 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Hal. 6 dari 8 Hal
Apabila serikat pekerja telah mempunyai nomor bukti pencatatan, maka Serikat Pekerja/Serikat
Buruh mempunyai kewajiban diantaranya 6.;

a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan


kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga.

Secara sederhana, pentingya para buruh/pekerja untuk berserikat, yaitu

a. Serikat pekerja/serikat buruh akan menjadi wadah untuk menyatukan pekerja. dimana
Serikatpekerja/serikat buruh menyatukan kepentingan dan hak pekerja dengan satu suara
bulat untuk menekan pengusaha, misalnya dalam perjuangan upah minimum dan perbaikan
kondisi kerja.
b. Seorang pekerja tidak akan sanggup berjuang sendirian melawan kesewenang-wenangan
perusahaan, misalnya pekerja dipecata secara semena-mena. Tetapi ketika buruh/pekerja
menjadi anggota serikat pekerja maka serikat pekerja, menjadi garda terdepan melawan
penindasan yang dilakukan oleh perusahaan. Dimana bentuk perlawanannya bukan lagi
individual tetapi sudah menjadi perlawanan bersama.
c. Pekerja/buruh yang berserikat tidak akan mudah dipecah belah oleh pengusaha. karena
dengan adanya serikat pekerja akan mudah menyatukan kepentingan bersama.

G. PENUTUP

Dengan demikian, Jika ingin berjuang untuk kemenangan dan perubahan besar, maka buruh harus
bersatu melalui serikat pekerja/buruh. Buruh kuat karena bersatu, dan bila Buruh bersatu tidak bisa
dikalahkan.

SESI DISKUSI

1. S adalah karyawan PT. Asal Senang yang mengabdi sejak tahun 1998 (14 Tahun) dengan
jabatan terakhir adalah staf ahli direksi. Pada akhir tahun 2011 S terpilih menjadi ketua
umum Serikat Pekerja. Sebelumnya hubungan kerja antara S dengan Direksi PT. Asal Senang

6
Lihat Pasal 27 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Hal. 7 dari 8 Hal


Harmonis, namun Pasca tepilihnya S sebagai Ketua SP, dan melakukan berbagai kegiatan
serikat pekerja diantaranya; melakukan advokasi terhadap pekerja yang terlanggar haknya
dan mewujudkan perusahaan yang bersih. Sejak itu Dirut PT. Asal, melakukan penghalang-
halangan terhadap untuk menjalankan kegiatan Serikatnya, dimana S didemosi kemudian di
PHK, yang mengakibatkan Sdr. S tidak dapat menjalankan kegiatan Serikat Pekerja (Persero).
Disamping itu pula Direksi PT. Asal Senang melakukan mutasi terhadap beberapa
pengurus/anggota serikat pekerja.
Pertayaan;
- Identifikasi permasalahan?
- Langkah-langkah apa yang harus dilakukan?
2. M buruh, sudah bekerja di PT. Angin Ribut selama 8 (delapan) tahun, dikontrak berulang-
ulang tanpa ada kejelasan, gajinya dipotong untuk jamsostek, bekerja tidak memenuhi
keselamatan dan kesehatan kerja, yang akhirnya M di PHK tanpa ada pesangon. Kemudian
M ingin mengambil dana jamsosteknya, setelah diperiksa, iuran jamsostek (Jaminan Hari
Tua) hanya disetorkan beberapa bulan, kemudian M pulang untuk memikirkan apa yang
harus dilakukan supaya perusahaan memberikan haknya.
Pertayaan;

- Identifikasi permasalahan?
- Langkah-langkah apa yang harus dilakukan?

Hal. 8 dari 8 Hal

You might also like