You are on page 1of 9

Case series: cedera kepala pada pasien rawat inap di RSUD Wates

dr. Hendrawan Dian AW, dr Astuti SpS(K), dr Djoko K SpS, dr Anton SpS

Latar belakang dan tujuan

Cedera kepala merupakan salah satu jenis kasus penyebab kematian dan kecacatan utama di
dunia terutama pada individu berusia produktif.1 Terdapat berbagai macam penyebab cedera
kepala, di antaranya kecelakaan lalu lintas, kecelakaan saat olahraga, jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kerja, dan tindakan agresi, termasuk di dalamnya luka tembakan, ledakan, atau luka
akibat senjata lain. Peningkatan dalam perkembangan alat proteksi pengendara kendaraan
mengurangi angka mortalitas.2

Prinsip mekanisme terjadinya cedera kepala dapat dibagi menjadi: (a) kerusakan otak secara
fokal yang disebabkan tipe cedera kontak yang mengakibatkan contusio, laserasi, atau
perdarahan intracranial atau (b) kerusakan otak secara difus akibat tipe cedera akselerasi dan
deselerasi yang mengakibatkan diffuse axonal injury atau edema cerebri. Akibat dari cedera
kepala ditentukan oleh dua tingkat mekanisme: (a) primer (kerusakan primer, kerusakan
mekanikal), yang terjadi pada saat kejadian. Dalam penanganan tipe ini masuk dalam
penanganan preventif tapi tidak masuk dalam penanganan terapeutik. (b) sekunder (kerusakan
sekunder, kerusakan non mekanikal lambat), menggambarkan proses patologi yang dimulai
pada saat cedera terjadi. Contohnya iskemi cerebral dan hipertensi intracranial. Tipe cedera ini
yang menjadi sasaran intervensi terapi.1

Berbagai keluhan dapat muncul mengikuti kejadian cedera kepala, di antaranya nyeri kepala,
kelelahan, depresi, kecemasan, serta gangguan kognitif.3 Untuk mengurangi tingkat keparahan
morbiditas akibat cedera kepala dan meningkatkan pemulihan pasien cedera kepala,
penanganan dengan pendekatan farmakoterapi dengan citicoline menjadi pilihan dalam kasus
cedera kepala, meski beberapa penelitian mempertanyakan peran citicoline ini. 2 Selain citicoline
pilihan farmakoterapi yang lain untuk edema cerebral adalah terapi osmotic dengan pemberian
manitol.4
Studi ini mendeskripsikan beberapa kasus cedera kepala dan perkembangannya dengan terapi
citicoline dan manitol.

Metode

Kasus cedera kepala di RSUD Wates diambil secara purposive sampling. Masing masing kasus
dideskripsikan dengan data dasar usia, jenis kelamin, tipe cedera kepala, mekanisme penyebab
cedera kepala, GCS pada saat masuk di Instalasi Gawat Darurat, fase tidak sadar (lost of
consciousness/LOS), hasil head CT scan, skor TOAG, cedera penyerta, serta tindakan
pembedahan. Dilihat juga terapi yang diberikan pada pasien, terutama pemberian citicolin dan
manitol.

Untuk perkembangan pasien secara klinis diukur orientasi dan amnesia menggunakan Tes
Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG). Pasien yang diambil pada studi ini adalah pasien
dengan nilai TOAG dibawah 75 pada saat masuk, sehingga diharapkan dapat dilihat
perkembangan pasien selama dirawat.

Selain mengamati perkembangan pasien dengan TOAG, penilaian perkembangan pasien diamati
pula dengan skrining fungsi kognitif pasien yang diskrining dengan Short Blessed Test versi
Washington dan perkembangan tingkat dependensi pasien yang dinilai dengan indeks Barthel
yang diukur pada saat masuk dan hari ke lima perawatan.

Deskripsi kasus

Kasus 1

Laki-laki usia 21 tahun, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien pengendara sepeda
motor, menabrak bus yang menghindari pengendara sepeda motor yang lain. Pasien sempat
tidak sadarkan diri selama kurang dari 5 menit. Pasien menggunakan helm. Pada saat dirumah
sakit pasien sadar penuh. Keluhan yang diutarakan pasien berupa nyeri kepala intensitas ringan
serta nyeri pada pipi kanan intensitas sedang. Orientasi orang dan tempat baik, sedangkan
orientasi waktu sedikit terganggu. Pasien mengutarakan tidak ingat kejadian maupun
bagaimana cara diantar ke rumah sakit.

Cedera yang dialami berupa cedera kepala ringan, fraktur tertutup os maxilla kanan, perdarahan
subconjunctival mata kanan, laserasi regio palatum yang menyebabkan fistula oronasal, edema
jaringan lunak pada palpebra mata kanan dan sekitar area pipi kanan, serta luka-luka ekskoriasi
pada regio antebrachium dan manus kanan. CT scan kepala menunjukkan edema cerebri dan
fraktur maksila.

Pasien mendapat terapi citicolin sejak hari pertama perawatan dan mendapat manitol mulai
hari ke dua perawatan. Hari ketiga perawatan pasien mengatakan nyeri kepala sudah membaik
dan nyeri pada pipi kanan juga sudah berkurang. Orientasi waktu, tempat, dan orang baik,
pasien inget kejadian, dan cara masuk rumah sakit. Hari ke enam perawatan keluhan nyeri
kepala dikatakan sudah tidak ada. Pasien dioperasi untuk rekonstruksi maxilla pada perawatan
hari ke tujuh dan kemudian boleh pulang pada hari ke sepuluh perawatan.

Kasus 2

Wanita usia 38 tahun, mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien pengendara sepeda motor,
berserempetan dengan sepeda motor lain. Pasien sempat tidak sadar kurang dari lima menit.
Pasien menggunakan helm. Pada saat dirumah sakit pasien sadar penuh. Keluhan yang
diutarakan pasien berupa nggliyer serta nyeri pada rahang bawah kanan intensitas sedang.
Orientasi waktu, tempat, dan orang baik. Pasien mengutarakan tidak ingat kejadian maupun
bagaimana cara diantar ke rumah sakit.

Cedera yang dialami berupa cedera kepala ringan dengan GCS 15, fraktur tertutup os mandibula
kanan, laserasi regio periorbita kanan, serta luka-luka ekskoriasi pada region antebrachium dan
manus kanan. CT scan kepala menunjukkan edema cerebri.

Pasien mendapat terapi citicolin sejak hari pertama perawatan dan mendapat manitol mulai
hari ke dua perawatan. Sampai dengan hari ke enam perawatan pasien masih mengeluh pusing
nggliyer dan baru membaik pada hari ke tujuh. Pasien dioperasi untuk ORIF mandibular pada
perawatan hari ke delapan dan kemudian boleh pulang pada hari ke sepuluh perawatan.
Kasus 3

Laki-laki usia 52 tahun, mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien pengendara sepeda motor,
dikatakan menghindari mobil dan menabrak tiang. Pasien tidak sadar setelah kejadian, dan baru
sadar saat sampai dirumah sakit lebih kurang 15 menit setelah kejadian. Pasien menggunakan
helm. Mengeluh nyeri kepala intensitas sedang dan nyeri dada sebelah kiri intensitas sedang.
Pasien tidak ingat kejadian. Orientasi orang baik, sedangkan orientasi waktu dan tempat sedikit
terganggu.

Cedera yang dialami berupa cedera kepala berat dengan CT scan menunjukkan perdarahan pada
lobus parietal kanan dengan volume lebih kurang 12cc, terdapat jejas berupa memar pada dada
kiri dengan rontgen thorak menunjukkan contusio pulmonum paru kiri, laserasi pada pipi kanan,
dan luka-luka ekskoriasi pada kedua antebrachii dan manus.

Pasien mendapat terapi citicolin sejak hari pertama perawatan dan mendapat manitol mulai
hari pertama perawatan. Pada saat perawatan diruangan pasien mengeluh nggliyer. Keluhan
nyeri kepala, nyeri dada, dan nggliyer baru membaik pada saat hari ke sembilan perawatan dan
pasien boleh pulang dua hari kemudian.

Kasus 4

Laki-laki usia 32 tahun, mengalami kecelakaan lalu lintas, dikatakan pasien saat sedang mau
masuk mobil ditabrak sepeda motor dari belakang. Pasien kemudian tidak sadar kurang lebih
sepuluh menit. Pasien sadar setelah masuk rumah sakit. Orientasi waktu, tempat, dan orang
baik. Pasien mengeluh nyeri kepala intensitas ringan dan nyeri tungkai kiri intensitas sedang.

Cedera yang dialami pasien berupa cedera kepala ringan, fraktur tertutup os tiba dan fibula kiri,
edema pada palpebra kanan, serta ekskoriasi pada pelipis kanan dan kaki kiri. Head CT scan
yang dilakukan menunjukkan gambaran edema cerebri.

Pasien mendapat terapi citicolin sejak hari pertama perawatan dan mendapat manitol mulai
hari ke tiga perawatan. Pasien hanya mengeluhkan nyeri kepala intensitas ringan dan nyeri pada
tungkai kiri intensitas ringan. Nyeri kepala sudah membaik pada saat hari ke tiga perawatan dan
dilakukan tindakan pembedahan ORIF pada hari ke 5 perawatan. Pasien boleh pulang pada hari
ke tujuh perawatan.

Tabel 1. Karakteristik pasien


Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4
Usia (tahun) 21 tahun 38 tahun 52 tahun 32 tahun
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki
Cedera Kepala Ringan Ringan Berat Ringan
Mekanisme KLL KLL KLL KLL
GCS 14 15 13 15
Tidak sadar <5 menit < 5 menit 15 menit 10 menit
Head CT scan Edema Edema ICH lobus Edema
cerebri cerebri parietal cerebri
kanan
Cedera Fraktur Fraktur Contusion Fraktur tiba-
penyerta maksilla mandibula pulmonum fibula
Fistula
oronasal
Tindakan Bedah Hari ke 7 Hari ke 8 Tidak Hari ke 5
Lama dirawat 10 hari 10 hari 11 hari 7 hari

Keempat pasien mendapatkan farmakoterapi citicolin dan manitol. Pemberian citicolin dimulai
pada saat admisi pada semua pasien, sedangkan pemberian manitol menunggu hasil CT scan,
sehingga waktu awal pemberian manitol berbeda-beda pada masing-masing pasien.

Tabel 2. Farmakoterapi pasien


Terapi Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4
Citicolin Ya Ya Ya Ya
Dosis 250mg/12jam 250mg/12jam 250mg/12jam 250mg/12jam
Manitol Ya Ya Ya Ya
Dosis 250cc-125cc- 250cc-125cc- 125cc/6jam 250cc-125cc-
62,5cc-62,5cc 62,5cc-62,5cc tap off/hari 62,5cc-62,5cc

Hasil
Terdapat empat kasus dengan tingkat keparahan yang berbeda. Keempat pasien sama-sama
mendapat terapi citicolin dan manitol. Perkembangan pasien dilihat dengan penilaian TOAG,
indeks Barthel, dan Short Blessed Test.

Tabel 3. Perkembangan skor TOAG pasien


TOAG Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4
Hari I 66 60 68 74
Hari II 90 70 69 94
Hari III 98 91 70 95
Hari IV 100 91 85 100
Hari V 99 94 86 100
Hari VI 100 100 90 100
Hari VII 100 100 90 100

Dari tabel 3 dapat dilihat semua pasien memiliki perbaikan yang diukur dengan TOAG. Pasien 1
dan 4 memiliki skor TOAG diatas 75 sejak hari ke dua. Sedangkan pasien 2 perbaikan skor TOAG
hingga diatas 75 terjadi saat hari ke tiga perawatan. Pasien yang memiliki perbaikan skor TOAG
hingga diatas 75 paling lambat adalah pasien 3 yang terjadi pada hari ke empat perawatan.

Selain pasien 3, semua pasien memiliki skor TOAG 100 pada saat pulang. Pasien 3 menyatakan
tidak ingat kejadian setelah trauma karena tidak sadar dan baru bangun saat sampai di rumah
sakit.

Tabel 4. Skor indeks Barthel dan Short Blessed Test


Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Pasien 4
Short Blessed Hari I 8 4 12 2
Test Hari V 0 0 2 0
Indeks Barthel Hari I 95 85 40 55
Hari V 100 100 85 90

Fungsi kognitif pasien diamati dengan Short Blessed Test untuk menyaring adanya gangguan
kognitif. Pada saat hari pertama perawatan didapatkan adanya pasien dengan skor diatas
empat, yaitu pada pasien 1 dan 3 yang memiliki skor 8 dan 12 (berurutan). Namun pada saat
pulang skor keempat pasien semua dibawah empat.
Secara fungsional pasien dinilai dengan indeks Barthel untuk menentukan tingkat kemandirian.
Semua pasien memiliki ketergantungan dengan berbagai tingkat keparahan pada saat hari
pertama perawatan. Pasien 3 memiliki tingkat ketergantungan paling berat dengan skor 40.
Semua pasien memiliki perbaikan dengan hasil akhir pada saat pulang independen (pada pasien
1 dan 2) dan ketergantungan ringan (pada pasien 3 dan 4).

Diskusi dan kesimpulan

Cedera kepala memiliki peran besar dalam mortalitas dan morbiditas, terutama pada pasien
pada usia dibawah 45 tahun.1 Morbiditas dapat diakibatkan cacat fisik, namun penyebab
terbesar dapat disebabkan karena gangguan kognitif paska cedera kepala. Gejala-gejala paska
trauma yang sifatnya kronis juga dapat muncul yang mengganggu aktivitas penderita cedera
kepala, seperti nyeri kepala, kelelahan, dizziness, depresi, sulit konsentrasi, dan kecemasan.
Gejala-gejala ini diperkirakan diderita oleh 1/2 total pasien pada 3 bulan paska trauma, 1/4 total
pasien pada 6 bulan paska trauma, dan 1/8 total pasien pada 12 bulan paska trauma. Keluhan-
keluhan ini belum tentu diakibatkan langsung oleh cedera kepala, karena pada pasien trauma
non cedera kepala juga ditemukan gejala-gejala seperti ini. Namun perlu diperhatikan pula pada
beberapa pasien didapatkan alterasi pada aliran darah otak saat bekerja yang berkaitan dengan
fungsi memori serta perubahan fraksional anosotropi pada MRI.5

Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan pada
cedera kepala, diantaranya: (1) Glasgow Coma Scale (GCS) yang diukur segera setelah kejadian
cedera, (2) durasi hilang kesadaran (loss of consciousness), dan (3) durasi post traumatic
amnesia (PTA/amnesia paska trauma). Durasi PTA dapat digunakan sebagai prediktor hasil akhir
(outcome) pasien cedera kepala. Pada pasien dengan durasi PTA kurang dari satu minggu hasil
akhir diperkirakan baik. Sedangkan pada pasien dengan durasi PTA yang lebih panjang
kemungkinan muncul dependensi lebih besar. Pada durasi PTA lebih dari satu bulan diperkirakan
pasien tidak akan mampu untuk kembali bekerja atau hidup mandiri.5

Pada studi ini PTA diukur dengan menggunakan Tes Orientasi dan Amnesia Galveston. Tiga
pasien memiliki skor TOAG diantara 66 dan 75 pada saat masuk yang menunjukkan tanda
gangguan orientasi dan amnesia, dan satu pasien dengan skor dibawah 66 yang menunjukkan
gangguan orientasi dan amnesia. Semua pasien mendapat citicoline yang mulai diberikan pada
saat masuk. Citicoline merupakan agen neuroprotektan yang efektif pada cedera kepala 6. Secara
umum, terapi citicoline pada pasien cedera kepala diasosiasikan dengan perbaikan hasil akhir,
kualitas hidup, dan mengurangi lama perawatan di rumah sakit, serta mengurangi kebutuhan
untuk rehabilitasi berkelanjutan2. Perbaikan didapatkan pada semua pasien dengan skor TOAG
diatas 75 yang didapat pada hari keempat perawatan. Hal ini menunjukkan tidak adanya durasi
PTA yang berkepanjangan yang erat kaitannya dengan dependensi paska trauma.

Gangguan kognitif pada studi ini diskrining dengan menggunakan Short Blessed Test (SBT). Dari
empat pasien, dua didapatkan adanya gangguan pada pemeriksaan hari pertama. Pasien 1
memiliki skor SBT 8 yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk melihat adanya awal gangguan
kognitif, dan pasien 3 memiliki skot SBT 12 yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan adanya gangguan kognitif. Namun pada saat evaluasi hari ke lima perawatan
semua pasien memiliki skor SBT kurang dari 4 yang menunjukkan tidak adanya gangguan
kognitif. Hal ini menggambarkan adanya perbaikan pada pasien yang sebelumnya memiliki skor
SBT lebih dari 4.

Penilaian-penilaian sederhana ini sangat berguna dalam membantu perencanaan


penatalaksanaan pasien serta prediktor prognostik pasien. Karena kasus-kasus diffuse axonal
injury yang memiliki implikasi berat pada pasien yang dapat dilihat dengan MRI tidak terlihat
pada pemeriksaan head CT scan, sedangkan tidak semua rumah sakit memiliki MRI. Sehingga
pemeriksaan orientasi dan amnesia dapat membantu memprediksi kemungkinan adanya cedera
kepala difus jika ditemukan gangguan yang sifatnya menetap sampai lebih dari satu minggu
bahkan satu bulan. Peranan CT scan sendiri masih dibutuhkan, karena meski tidak dapat
mendeteksi adanya diffuse axonal injury namun CT scan merupakan pemeriksaan yang cepat,
dapat mendeteksi luas dan keparahan perdarahan intracranial dan pemeriksaan follow-upnya,
kompatibel dengan alat-alat life-supporting, dan hasilnya dapat digunakan untuk menentukan
tindakan pembedahan7.

Referensi
1. Werner C dan Engelhard K. 2007. Pathophysiology of traumatic brain injury. Br J Anaesth;
99: 4–9
2. Secades JJ. 2014. Citicoline for the Treatment of Head Injury: A Systematic Review and
Meta-analysis of Controlled Clinical Trials. J Trauma Treat; 4: 227. doi:10.4172/2167-
1222.1000227
3. McInnes K, Friesen CL, MacKenzie DE, Westwood DA, Boe SG. 2017. Mild Traumatic Brain
Injury (mTBI) and chronic cognitive impairment: A scoping review. PLoS ONE;
12(4):e0174847
4. Jha SK. 2003. Cerebral Edema and its Manajement. MJAFI; 59 : 326-331
5. Fleminger S. 2010. Neuropsychiatric Effects of Traumatic Brain Injury. Psychiatric Times.
6. Firooz Salehpour., et al. 2015. Citicoline in Patients with Traumatic Brain Injuries. EC
Neurology; 2.2: 87-93.
7. Liu, J., Kou, Z., & Tian, Y. 2014. Diffuse axonal injury after traumatic cerebral microbleeds: an
evaluation of imaging techniques. Neural Regeneration Research, 9(12), 1222–1230

You might also like