You are on page 1of 11

Jurnal Ilmiah ESAI Volume 6, Nomor 1, Januari 2012

ISSN No. 1978-6034

Egg Production and Distribution

Produksi dan Tataniaga Telur Ayam Ras

Fitriani1) Hanung Ismono2) dan Novi Rosanti2)


1)
Dosen Program Studi Agribisnis Jurusan Ekonomi dan Bisnis pada Politeknik Negeri
Lampung Jl. Soekarno Hatta Raja Basa Bandar Lampung
2)
Dosen Fakultas Pertanian pada Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1
Bandar Lampung

Abstract

The average of egg consumption in Lampung reaches 20% through food household
expenditure. It means that egg as important food to supplement protein needs must be
accessible to the community. This research aimed (1) to investigate the egg production
system; and (2) to investigate the distribution chain and marketing efficiency of egg from
production center to consumers in Lampung Province. The research samples were taken by
purposive and snowball sampling, involving egg producers and traders in any level. Egg
production centers in Jati Mulyo District, South Lampung Regency, and trading centers in
Bandar Lampung were chosen as research locations. Descriptive analysis was applied in
investigating the egg production system dan distribution chain. The methods used to
evaluate the efficiency of marketing system were Ratio Profit Margin (RPM) and Price
Transmission Elasticity methods. The research results showed that on average, the egg
production still faced high cost production because of high feeding cost. The egg
distribution margin tended to show inefficient condition because the traders in any level got
different benefit from that of producers. The value of Price Transmission Elasticity was
lower than one. This condition means that the marketing system of egg is inefficient. The
egg marketing tends to be imperfect competition or there is oligopsony or monopsony
practice.

Keywords: egg production, egg distribution chain, marketing system.

Pendahuluan
Peternakan di Propinsi Lampung merupakan salah satu subsektor dalam bidang pertanian yang
terus dipacu pertumbuhan dan perkembangannya, mengingat peternakan sebagai sumber produksi
pangan hewani yang penting bagi kebutuhan masyarakat. Peternakan merupakan kegiatan budidaya
ternak yang dilakukan oleh masyarakat, meliputi: ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba,
juga ternak kecil seperti unggas.
Produk peternakan unggas yang sangat penting dan dikenal secara luas di kalangan
masyarakat sebagai sumber protein hewani yang terjangkau adalah telur. Telur merupakan salah satu
bahan pangan penting bersama kelompok makanan seperti: ikan, daging, dan susu yang berkontribusi
mencapai 16,69% terhadap pangsa pengeluaran rumah tangga, bahkan bagi masyarakat perkotaan
mencapai 20,27% (BPS Propinsi Lampung, 2010). Hal ini menunjukan bahwa permintaan terhadap
produksi telur yang dihasilkan juga akan terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan
konsumsi masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat dari perkembangan produksi telur pada tahun 2005—
2009 dan populasi unggas dan produksi telur berdasarkan kabupaten di Propinsi Lampung pada tabel
di bawah ini.
Tabel 1. Produksi Telur di Propinsi Lampung, 2005-2009

Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)


2005 35,245.05
2006 38,250.32 7.86
2007 38,045.19 -0.54
2008 38,397.68 0.92
2009 46,304.97 17.08

Sumber: BPS Propinsi Lampung, 2010

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi telur mengalami peningkatan meskipun dengan
variasi yang cukup beragam. Pertumbuhan negatif pernah terjadi pada tahun 2007 bersamaan dengan
peristiwa endemik serangan virus flu burung H5N1 yang menyerang peternakan unggas secara luas.
Namun selanjutnya produksi telur menunjukkan pertumbuhan positif dan bahkan pada tahun 2009
mampu tumbuh mencapai 17,08% yang menjadi indikasi tumbuh dan bangkitnya kembali peternakan
unggas di Lampung. Perkembangan populasi unggas dan produksi telur berdasarkan kabupaten dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Populasi dan Produksi Telur Berdasarkan Kabupaten di Lampung, 2010

Populasi Ayam Produksi Share


Kabupaten Petelur (ekor) Share (%) Telur (ton) (%)
Lampung Barat 766 0.02 591.73 1.28
Tanggamus 58,922 1.69 1,626.90 3.51
Lampung Selatan 2,409,505 68.93 27,753.48 59.94
Lampung Timur 143,139 4.09 3,597.93 7.77
Lampung Tengah 319,712 9.15 3,973.08 8.58
Lampung Utara 56,500 1.62 988.70 2.14
Way Kanan 41,982 1.20 1,360.66 2.94
Tulang Bawang 2,194 0.06 1,266.99 2.74
Pesawaran 165,142 4.72 2,005.31 4.33
Pringsewu 176,781 5.06 1,164.43 2.51
Mesuji 0 0.00 149.85 0.32
Tuba Barat 7,734 0.22 407.80 0.88
Bandar Lampung 80,100 2.29 418.46 0.90

2
Metro 33,100 0.95 999.65 2.16
Propinsi Lampung 3,495,577 100.00 46,304.97 100.00
Sumber: BPS Propinsi Lampung, 2010
Pada Tabel 2 tercermin secara signifikan bahwa Kabupaten Lampung Selatan merupakan
sentra produksi telur di Propinsi Lampung dengan populasi unggas mencapai 68,93% dan pangsa
produksi telur mencapai 59,94%. Hal ini juga berarti terdapat mobilisasi produksi telur dari daerah
sentra produksi ke pusat-pusat pemasaran/permintaan telur di berbagai daerah lain di Propinsi
Lampung.
Aktivitas pendistribusian/tataniaga telur dari produsen hingga ke konsumen secara efektif dan
efisien merupakan kunci/prasyarat ketersediaan produk telur di pasar yang terjangkau oleh konsumen,
baik dari segi ketepatan jumlah, mutu, tempat, dan waktu. Ketersediaan produk di pasaran sangat
tergantung pada keberhasilan jaringan disitribusi dan pasar yang telah terbentuk atau melembaga.
Mekanisme dan pola distribusi/pemasaran suatu komoditas menghasilkan tingkatan harga-harga pada
berbagai tingkatan lembaga yang terlibat di dalam tataniaga tersebut. Dengan demikian, lembaga
yang terlibat dalam penyampaian barang dan jasa pertanian hingga konsumen berperanan penting
dalam penentuan harga dan ketersediaan pasokan di pasaran. Oleh karena itu, penting diketahui
bagaimana kondisi produksi dan tataniaga telur berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk: 1)
mengetahui kondisi basis produksi telur di daerah sentra produksi; 2) mengidentifikasi lembaga
tataniaga yang terlibat dalam tataniaga telur pada dearah sentra produksi hingga konsumen akhir; dan
3) menganalisis efisiensi tataniaga telur melalui pendekatan RPM (ratio profit margin) dan elastisitas
transmisi harga.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sentra produksi dan distribusi telur di Propinsi Lampung. Lokasi
ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan Jati Mulyo Kabupaten Lampung Selatan sebagai
sentra produksi telur serta Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan di Propinsi Lampung.
Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan dan dilaksanakan mulai bulan Desember 2010 sampai
Februari 2011.
Penelitian ini mengambil sampel responden dari berbagai pihak, yaitu peternak telur sebagai
produsen (4 responden), pedagang besar (2 responden) pedagang perantara (2 responden), pedangan
pengecer (6 Responden) tersebar di Pasar Tradisional Panjang, Tugu, SMEP, dan Pasir Gintung.
Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dan snowball sampling atas dasar jumlah
pelaku produksi dan distribusi telur dari tingkat produsen hingga ke pedagang besar dan pengecer.
Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Alat
Analisis yang digunakan meliputi:
1. Kondisi produksi dan data hasil rekapitulasi data awal akan dianalisis menggunakan análisis
statistik deskiptif.

3
2. Kondisi tataniaga telur menggunakan pendekatan pola saluran tataniaga, ratio profit margin
(RPM), dan analisis transmisi harga.

Formula Ratio Profit Margin (RPM) sebagai berikut:

mji = Psi - Pbi atau menjadi mji = bti + πi

Total margin pemasaran


mji = ∑ mji atau mj = P r - Pf
πi
Rasio Profit Margin (RPM) = ------- ........................................ (1)
bti
Keterangan:
mji = margin pemasaran pada lembaga pemasaran tingkat ke-i
Psi = harga jual pada lembaga pemasaran tingkat ke-i
Pbi = harga beli pada lembaga pemasaran tingkat ke-i
bti = biaya pemasaran pada lembaga pemasaran tingkat ke-i
πi = keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
mj = total margin pemasaran
Pr = harga pada konsumen akhir
Pf = harga pada tingkat produsen

Apabila bagian harga yang diterima petani produsen rendah (<60%) dan nilai RPM menyebar tidak

merata, maka saluran pemasaran yang dihadapi relatif tidak efisien.

Elastisitas transmisi harga menggambarkan sejauh mana dampak perubahan harga suatu barang
disuatu tingkat pasar terhadap perubahan harga barang itu di tempat atau tingkat pasar lainnya
(Hasyim, 2003).
Pf = a + b Pr
Et = δPf/ Pf = δPf * Pr
δPr/ Pr δPr Pf

Keterangan :

Et = 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen sama dengan laju perubahan harga di tingkat
petani, pasar yang dihadapi oleh seluruh pelaku pasar adalah bersaing sempurna, dan system
tataniaga yang terjadi sudah efisien.
Et > 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih kecil dari pada laju perubahan harga di
tingkat petani, terdapat kekuatan monopoli atau oligopoly dalam system tataniaga tersebut
sehingga system tataniaga yang berlaku belum efisien.
Et < 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih besar dari pada laju perubahan harga di
tingkat petani, terdapat kekuatan monopsoni atau oligopsoni dalam system tataniaga tersebut
sehingga system tataniaga yang berlaku belum efisien.

Hasil dan Pembahasan


Sistem Produksi

4
Daerah sentra produksi peternakan ayam petelur diwakili oleh Desa Margodadi Kecamatan
Jati Mulyo Kabupaten Lampung Selatan. Rata-rata peternak telah berpengalaman usaha selama lebih
dari 15 tahun. Kandang yang dimiliki tiap-tiap peternak rata-rata 13 buah dengan luasan per kandang
sebesar 215 m2. Kapasitas daya tampung kandang rata-rata sebesar 24.250 ekor.
Ayam petelur mulai berproduksi setelah berumur 20 minggu dengan rata-rata kemampuan
produksi telur sebanyak 1 butir telur/ekor. Rata-rata pemeliharaan ayam ras petelur di daerah
penelitian adalah 315.250 ekor. Ayam ras petelur akan terus berproduksi hingga minggu ke-76 dan
memasuki masa afkir. Ayam afkir umumnya akan dijual sebagai ayam konsumsi di pasar-pasar
terdekat dengan harga Rp 25.000—Rp 30.000,-.
Kemampuan perusahaan peternakan menyiapkan telur siap jual rata-rata sebesar 100 peti atau
1500 kg telur/hari. Aktivitas penjualan telur dilakukan di lokasi peternakan. Pembeli akan
mendatangi peternakan setelah melakukan negosiasi penawaran melalui telpon. Harga jual telur pada
situasi awal Januari 2011 berkisar pada tingkatan Rp 205.000/peti atau Rp 13.666/kg.
Penjualan telur dilakukan dalam partai kecil (minimal 1 peti) dan partai besar (minimal 3
peti). Pembeli telur sebagian besar berasal dari Bandar Lampung dan Lampung Selatan. Salah satu
peternak besar yaitu Sumber Proteina memiliki kantor pemasaran di Jl. Antarasari Bandar Lampung.
Negosiasi dan pembayaran dilakukan di kantor pemasaran sedangkan pengambilan telur dilakukan
langsung ke lokasi peternakan di Kecamatan Jati Mulyo. Pedagang umumnya membeli dalam kisaran
jumlah telur sebanyak 3-5 peti dua kali dalam seminggu untuk partai kecil dan 100 peti/minggu untuk
mitra usaha yang telah menjalin kemitraan penjualan hasil dengan perusahaan.
Pengeluaran (biaya) dalam usaha ayam petelur meliputi pengeluaran untuk membeli sarana
produksi dan upah tenaga kerja (pengeluaran atas biaya tunai). Sarana produksi utama meliputi:
pengadaan DOC (day old chik), biaya pakan, biaya vaksin, biaya kemasan, biaya tetap seperti listrik,
air, dan tenaga kerja. Kebutuhan biaya produksi ayam petelur secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Biaya produksi ayam ras petelur per satu satuan ekor

(%) biaya
Harga satuan
Komponen biaya Vol (satuan) (Rp) Jumlah (Rp)
Pembelian DOC 1 6850 6,850 3.62
Biaya Pakan
Fase I (0-4 mgg) 1.52 2520 3,830 2.02
Fase II (4--8 mgg) 3.829 2520 9,649 5.10
Fase III (9-76 mgg) 56.28 2520 141,826 74.92
Vaksin 1 1,588 1,588 0.84
Biaya listrik 11 1,458 16,038 8.47
Air 11 209.7938 2,308 1.22
Tenaga kerja 1 136.0825 136 0.07
Kemasan 1 7079.124 7,079 3.74
Total biaya produksi 189,304 100.00

5
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa besarnya biaya pembelian pakan merupakan
komponen biaya utama dalam produksi ayam ras petelur mencapai 82,04% dari total biaya produksi.
Besarnya biaya pakan menyebabkan usaha peternakan ayam ras petelur berbiaya tinggi dan seringkali
menjadi hambatan bagi pengembangan usaha ayam ras petelur secara umum. Besarnya tingkat
penerimaan usaha ayam ras petelur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penerimaan dan pendapatan usaha ayam ras petelur per satu satuan ekor

Harga satuan
Uraian Vol (satuan) Konversi kg (Rp) Jumlah (Rp)
Produksi telur/ekor 320 21 13,666 291,541
Ayam afkir 1 1 27,500 27,500
Total Penerimaan 319,041
Biaya produksi 1 1 189,304 189,304
Pendapatan 129,737
R/C 1.69

Berdasarkan Tabel 4 terlihat nilai R/C ratio usaha peternakan ayam ras petelur sebesar 1,69.
Hal ini berarti setiap Rp 1,00 modal yang diinvestasikan untuk usaha penggemukan sapi akan
memberikan penerimaan sebesar Rp 1,69 sehingga dapat dijelaskan bahwa usaha penggemukan sapi
layak diusahakan. Menurut Soekartawi (1995) apabila nilai R/C ratio > 1 maka usahatani tersebut
layak diusahakan. Oleh karena itu keputusan yang diambil oleh pelaku usaha tepat dan tetap
diusahakan.

Biaya usaha ayam petelur meliputi pengeluaran untuk membeli sarana produksi utama
meliputi: pengadaan DOC (day old chik), biaya pakan, biaya vaksin, biaya kemasan, biaya tetap
seperti listrik, air, dan tenaga kerja rata-rata mencapai Rp 189,304/ekor. Biaya pembelian pakan
merupakan komponen biaya utama dalam produksi ayam ras petelur mencapai 82,04% dari total biaya
produksi. Besarnya biaya pakan menyebabkan usaha peternakan ayam ras petelur berbiaya tinggi dan
seringkali menjadi hambatan bagi pengembangan usaha ayam ras petelur secara umum.

Pakan konsentrat bagi ayam petelur sebagian besar berbahan dasar jagung, dedak/bekatul, dan
tepung ikan. Pasokan bahan baku pakan konsentrat bagi para produsen pakan ternak ayam petelur,
terutama tepung ikan masih tergantung pada pasokan impor. Bahkan 24% kebutuhan jagung industri
pakan ternak di Propinsi Lampung juga didatangkan dari impor (Restiana dan Ismono, 2010).
Ketergantungan bahan baku pakan dari impor menyebabkan ketidakpastian harga dan pasokan bahan
baku. Akibatnya harga bahan baku pakan cenderung fluktuatif dan tergantung pada kondisi
perekonomian global (kurs juga menjadi tidak pasti). Industri pakan ternak menghadapi kondisi
tingginya biaya produksi pakan. Lebih lanjut akan menyebabkan harga jual pakan hingga ke tangan
peternak ayam ras menjadi meningkat. Selain itu, produsen pakan ternak di Propinsi Lampung juga

6
relatif terbatas, sehingga asimetri informasi harga pakan menjadi bias berdasarkan kepentingan
industri. Peternak sebagai penerima harga sangat lemah posisinya, dan tidak berdaya menghadapi
harga pakan yang cenderung terus meningkat. Akibatnya, petani juga turut meningkatkan harga jual
produksi telur ayam ras yang dimilikinya. Kondisi tersebut di atas menjadi lingkaran penyebab
meningkatnya harga telur ayam ras pada tingkatan pelaku pemasaran dan konsumen.

Infrastruktur jalan yang rusak parah yang harus ditempuh dalam menyalurkan telur ayam ras
dari daerah sentra produksi ke lokasi pemasaran menyebabkan tingkat kerusakan telur sangat tinggi
dan menimbulkan kerugian mencapai ±3%. Selain itu, intensitas pengiriman menjadi berkurang
(memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk setiap kali pengiriman) dan meningkatnya biaya
transportasi. Hal ini juga turut berkontribusi dalam meningkatkan harga jual telur hingga ke tingkat
konsumen akhir.

Sistem Tataniaga

Rantai tataniaga telur ayam ras yang terbentuk berawal dari pedagang pengecer di Bandar
Lampung langsung memperoleh telur dari perusahaan besar peternakan atau peternak perseorangan.
Pedagang pengecer di Bandar Lampung memperoleh pasokan telur ayam ras dari (1) PT. Sumber
Protena (Perw. Jl Antasari cp: Bp Rukmin); Desa Margodadi Karang Anyar; (2) PT. Simpur Farm
Negeri Sakti; (2) PT. SP Farm Karang Anyar; (3) Lestari Farm Group Desa Margo Lestari Jati Agung;
dan (4) Peternak dari Desa Sukamaju Tanjung Bintang, Jati Agung, Gading Rejo, Natar, Bergen.
Sistem pembayaran yang berlaku antara perusahaan dan pedagang adalah konsinyasi 1-2 minggu dan
tunai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran tataniaga yang terbentuk pada komoditas telur
ayam ras ada dua macam saluran. Saluran tataniaga yang pertama melibatkan seluruh lembaga
tataniaga telur ayam ras. Saluran tataniaga yang kedua tidak melibatkan pedagang besar. Secara
ringkas kedua macam saluran tataniaga tersebut adalah sebagai berikut:

I: (84%) : Peternak ayam --- pedagang besar telur ayam ras --- pedagang
pengecer telur ayam ras --- konsumen akhir

II: (16%) : Peternak ayam --- pedagang pengecer telur ayam ras --- konsumen
akhir

Saluran tataniaga yang paling banyak dilalui dalam sistem pemasaran telur ayam ras adalah
saluran pertama, yaitu sebanyak 84% dan saluran pemasaran yang paling sedikit dilalui adalah saluran
kedua, yaitu sebanyak 16%. Akibat dari saluran pemasaran telur ayam ras tersebut, maka terjadi
keragaman harga telur ayam ras di tingkat konsumen. Gambaran tentang saluran pemasaran telur ayam
ras yang terbentuk di Propinsi Lampung tersaji pada Gambar 1.

7
II: 16%

Pedagang Konsumen
Peternak Ayam Pedagang Besar Pengecer Telur Akhir
Telur Ayam Ras Ayam Ras

I: 84%

Gambar 1. Saluran pemasaran telur ayam ras di Propinsi Lampung

Pada pelaksanaan kegiatan usahanya, para pedagang pengecer telur ayam ras menghadapi
beberapa persoalan utama yang berkaitan dengan penentuan harga jual mereka, yaitu: (1) jalan rusak
menyebabkan resiko telur pecah mencapai lebih dari 3%; (2) persaingan antar pedagang tinggi; (3)
harga pembelian telur ayam ras fluktuatif; (4) konsumen telur ayam ras kurang ramai/sepi pembeli; (5)
keterbatasan modal menyebabkan keterbatasan jumlah pembelian; dan (6) adanya pungutan liar
(preman) di lokasi usaha.

Konsumen telur ayam ras di pasar adalah sekitar 70% berasal dari kalangan toko dan warung
kecil, dan sekitar 30% berasal dari kalangan rumah tangga. Marjin keuntungan kotor yang diperoleh
para pedagang pengecer berkisar antara Rp1.000-1.100 setiap kilogramnya. Rata-rata harga
pembelian telur adalah Rp 12.477/kg, dan rata-rata harga jual telur mereka adalah Rp 13.550/kg.

Hasil survai menunjukkan bahwa rata-rata biaya penjualan pedagang pengecer sebesar Rp
453, 61/kg, dengan frekuensi pembelian telur ayam ras ke peternak 2—3 kali per minggu. Umumnya
para pedagang pengecer telur ayam ras di Bandar Lampung melakukan pembelian dengan rata-rata
volume pembelian 50-100 peti. Selanjutnya rata-rata volume penjualan adalah 10-20 peti/hari.
Gambaran secara rinci tentang komponen biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer tersaji pada
Tabel 5.

Tabel 5. Komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengecer

No Komponen biaya Jumlah biaya


1 Biaya angkut per 1 kali jalan Rp90.000,00
2 Biaya bongkar Rp1.000,00/peti
4 Biaya salar pasar Rp30.000/bulan
5 Biaya keamanan Rp30.000/bulan
6 Biaya kebersihan Rp30.000/bulan
7 Biaya listrik Rp30.000/bulan
8 Sewa kios Rp6-10 juta/tahun
9 Pajak Rp200.000/tahun

Marjin tataniaga merupakan selisih harga antara harga jual petani dengan pelaku pasar yang
terlibat dalam pemasaran. Marjin tataniaga berpengaruh langsung terhadap pembentukan harga di

8
tingkat produsen. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa peternak telur ayam ras tidak mengeluarkan biaya
pemasaran. Hal ini terjadi karena pedagang besar yang datang langsung ke peternak untuk membeli
telur ayam ras. Pedagang besar mendapatkan marjin tataniaga yang paling tinggi dibandingkan
pelaku pasar lainnya, yaitu Rp 1.044,00. Hal ini dikarenakan resiko susut dan pecah telur ditanggung
oleh pedagang besar serta modal yang digunakan untuk usahanya cukup besar. Besarnya bagian
harga yang diterima peternak telur ayam ras, marjin pemasaran, marjin keuntungan (profit margin),
dan Ratio Profit Margin (RPM) tataniaga telur ayam ras di Propinsi Lampung tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis Marjin Tataniaga Telur Ayam Ras di Propinsi Lampung

No. Uraian Harga (Rp/kg) Share (%) RPM


1 Peternak Telur Ayam Ras
Harga jual 11.750 81,63
2 Pedagang Besar
Biaya Pemasaran:
- Biaya Muat dan Angkut 200 1,39
- Bongkar 66,67 0,46
- Susut dan pecah 264,89 1,84
- Lain-lain 35,55 0,25
Harga Jual telur ayam ras 13.361,11 92,82
Marjin Pemasaran 1.611,11 11,19
Profit Marjin 1.044 7,25 1,841
3 Pedagang Pengecer
Biaya Pemasaran:
- Biaya Muat dan Angkut 100 0,69
- Bongkar 66.67 0,46
- Susut dan pecah 34,56 0,24
- Lain-lain 24,56 0,17
Harga Jual telur ayam ras 14.394,44 100
Marjin Pemasaran 1.033,33 7,18
Profit Marjin 807,54 5,61 3.577

Nilai Ratio Profit Marjin (RPM) tertinggi ada pada pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp
4,577/kg telur ayam ras. Hal ini berarti setiap Rp1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
keuntungan sebesar Rp3,577/kg telur ayam ras. Nilai RPM yang tinggi dikarenakan keuntungan yang
didapat pedagang pengecer lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkannya. Pedagang pengecer telur
ayam ras hanya mengeluarkan biaya muat dan angkut sebesar Rp100,00/kg telur ayam ras, biaya
bongkar sebesar 66,67/kg, biaya susut dan pecah sebesar Rp34,56/kg, dan biaya lain-lain sebesar
Rp24,56/kg. Distribusi marjin tataniaga dan nisbah marjin keuntungan telur ayam ras pada masing-
masing lembaga tataniaga tidak merata, sehingga dapat dikatakan bahwa saluran tataniaga telur ayam
ras di Propinsi Lampung belum efisien. Menurut Saefudin dan Hanafiah (1982), margin tataniaga
yang diperoleh masing-masing tingkatan pasar dalam pola distribusi suatu barang mencerminkan
tingkat efisiensi operasional dan efisiensi ekonomis dari suatu tataniaga komoditas. Hal ini sesuai
dengan Azaino (1982) bahwa apabila besarnya rasio keuntungan menyebar tidak merata pada masing-

9
masing lembaga tataniaga maka pasar yang terjadi cenderung tidak bersaing sempurna atau sistem
tataniaga yang terjadi cenderung tidak efisien.
Analisis elastisitas transmisi harga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengetahui besarnya dampak perubahan harga di tingkat produsen terhadap perubahan harga di
tingkat konsumen. Hasil perhitungan elastisitas transmisi harga di tingkat produsen dan konsumen
pada tataniaga telur berdasarkan perhitungan diperoleh hasil sebesar 0,054. Nilai elastisitas
transmisi lebih kecil daripada satu, hal ini berarti bahwa perubahan harga telur ayam ras di tingkat
pedagang pengecer telur ayam ras sebesar satu persen akan diikuti perubahan harga telur ayam ras
sebesar 0,054 persen di tingkat peternak atau dapat juga diartikan bahwa laju perubahan harga di
tingkat peternak sedikit lebih kecil daripada di tingkat pedagang pengecer.
Nilai elastisitas transmisi harga untuk komoditas telur ayam ras nilainya kurang dari satu, hal
ini berarti bahwa laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih kecil dibanding dengan laju
perubahan harga di tingkat produsen. Keadaan ini berarti bahwa sistem tataniaga yang berlaku untuk
komoditas telur ayam ras belum efisien dan pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga komoditas
tersebut adalah bersaing tidak sempurna, dan diduga terdapat kekuatan monopsoni atau oligopsoni
dalam sistem tataniaganya (Hasyim, 2003).

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

1. Kondisi produksi telur ayam ras beras di Propinsi Lampung rata-rata menghadapi persoalan
tingginya biaya pakan sebagai komponen utama biaya produksi, mencapai 82,04% dari total
biaya produksi. Besarnya biaya pakan menyebabkan usaha peternakan ayam ras petelur berbiaya
tinggi dan seringkali menjadi hambatan bagi pengembangan usaha ayam ras petelur secara umum.
2. Distribusi marjin tataniaga dan nisbah marjin keuntungan telur ayam ras pada masing-masing
lembaga tataniaga tidak merata, sehingga dapat dikatakan bahwa saluran tataniaga telur ayam ras
di Propinsi Lampung belum efisien.
3. Nilai elastisitas transmisi harga untuk komoditas telur ayam ras nilainya kurang dari satu, hal ini
berarti bahwa laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih kecil dibanding dengan laju
perubahan harga di tingkat produsen. Keadaan ini berarti bahwa sistem tataniaga yang berlaku
untuk komoditas telur ayam ras belum efisien dan pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga
komoditas tersebut adalah bersaing tidak sempurna.

Saran

1. Penguatan industri pakan ternak di Propinsi Lampung melalui kecukupan pasokan bahan baku
berbasis sumberdaya lokal penting menjadi prioritas dalam meminimalkan biaya pakan yang

10
tinggi dan tergantung pada impor. Penguatan basis produksi bahan baku pakan ternak lokal
menjadi kunci pengembangan industri di sektor peternakan.
2. Pemerintah daerah perlu memperbaiki kondisi infrastruktur jalan yang ada di seluruh wilayah
Lampung untuk menjamin mobilitas hasil produksi ke konsumen akhir dapat berjalan lancar,
tepat waktu, tepat mutu, tepat tempat, dan jumlahnya.

Daftar Pustaka

Azzaino, Zulkifli. 1980. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. 2010. Lampung Dalam Angka. Pemerintah Daerah
Propinsi Lampung. Bandar Lampung.

Hasyim, Ali Ibrahim. 2000. Struktur dan Keterkaitan Pasar Lada Dunia: Suatu Kajian Empiris. Sosio
Ekonomika. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Volume 6 No. 2.

_______. 2003. Pengantar Tataniaga Pertanian: Diklat Kuliah Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 50 hlm.

Restiana dan Ismono. 2011. Pola Distribusi dan Efisiensi Pemasaran Jagung di Kabupaten Lampung
Selatan. Jurnal Ilmiah ESAI Volume 5, Nomor 1, Januari 2011. Politeknik Negeri Lampung

Saefudin dan Hanafiah, 1982. Tataniaga Hasil Pertanian. Universitas Indonesia. Jakarta.

11

You might also like