You are on page 1of 5

ETIOLOGI

Penyebab skizofrenia tak diketahui dan merupakan suatu tantangan terbesar bagi pengobatan
kontemporer. Telah banyak diketahui banyak factor predisposisi dan pencetus.

Hereditas. Pentingnya factor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko bagi
masyarakat umum 1 %, orang tua 5%, saudara kandung 8%, dan anak 10%. Gambaran terakhir ini
menetap walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir. Pada kembar monozigot 30-
40%.

Lingkungan. Gambaran pada penderita kembar seperti di atas menunjukkan bahwa faktor
lingkunagn juga cukup berperan dalam menampilkan penyakit pada individu yang memiliki faktor
predsiposisi. Beberapa peneliti mengatakan bahwa skizofrenia bukan suatu penyakit, tetapi suatu
respon terhadap tekanan emosi yang tak dapat ditoleransi dalam keluarga dan masyarakat, tetapi
pandangan ekstrim demikian, meski sesuai dengan amsyarakat, kurang didukung oleh penelitian.
Riset atas peristiwa hidup memperlihatkan bahwa pasien skizofrenia mengalami peristiwa hidup itu
dengan frekuensi tinggi dalam 3 minggu sebelum kambuh.

Emosi yang diekspresikan (EE). Jika keluarga skizofrenia memperlihatkan emosi yang
diekspresikan (EE) secara berlebihan, misalnya pasien sering diomeli atau terlau banyak dikekang
dengan aturan-aturan yang berlebihan, maka kemungkiann kambuh lebih besar. Juga jika pasien
tidak mendapat neuroleptik. Angka kekambuhan di rumah dengan EE rendah dan pasien minum
obat teratur, sebesar 12%; dengan EE rendah dan tanpa obat 42%; EE tinggi dan tanpa obat, angka
kekambuhan 92%.

Kepribadian premorbid. Personalitas pasien sebelumnya sering ’’skizoid’’. Perilaku penarikan diri dan
soliter ini bisa menjelaskan banyak skizofrenia tunggal.

Fisik. Banyak pasien skizofrenia berbadan astenik dan dalam kasus yang telah didiagnosis
pasti, sirkulasi tepinya mungkin buruk, ekstremitas dingin dan amenore.

Biokimia. Psikosis LSD dan psikosis amfetamin mempunyai sejumlah kesamaan dan
skizofrenia; berbagai obat, terutama fenoziatin, efektif untuk mengobati skizofrenia. ”Petunjuk” ini
telah membawa ke banyak riset dan beberapa teori. Defisiensi serotonin – LSD menghambat
reseptor serotonin. Overaktivitas dopamin telah diusulkan, karena amfetamin meningkatkan
pelepasan dopamin dan obat untuk skizofrenia menghambat reseptor dopamin. Peningkatan
sensitivitas reseptor postsinaptik menjadi penjelasan yang lebih mungkin. Teori lain mencakup
degenerasi neuron noradrenalin dan defisiensi monoamin oksidase. Banyak cacat ringan
metabolisme telah ditemukan. Dalam katakonia periodik (keadaan yang jarang ditemukan) timbul
retensi nitrogen.

Imunologi. Ada peranan antibodi otak dalam genesis skizofrenia.

Kerusakan otak. Ada bukti dilatasi ventrikulus cerebri dan disorientasi usia pada skizofrenia
kronika membuat kemungkina ada penyebab organik. Infeksi virus lambat mungkin ada.

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain: sejarah
keluarga, tumbuh kembang di tengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine,
stress yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.
Skizofrenia adalah penyakit gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan
neurotransmitter. Akibat dari penyakit skizofrenia adalah terganggunya kemampuan seseorang
untuk berpikir jernih, berinteraksi dengan orang lain dan berperan secara produktif di masyarakat. Di
Indonesia sendiri diperkirakan terdapat kurang lebih 2 juta orang yang mengalami skizofrenia,
namun hanya sekitar 150 ribu pasien yang berkonsultasi ke dokter. Pada pria kebanyakan penyakit
skizofrenia menunjukkan gejalanya pada usia 16-25 tahun, sedangkan pada wanita pada usia 23-36
tahun.

PSIKOPATOLOGI

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab Schizophrenia, yaitu
pendekatan biologis (meliputi faktor genetik dan faktor biokimia), pendekatan psikodinamik,
pendekatan teori belajar.

Pendekatan Biologis

Faktor Genetik

Seperti halnya psikosis lain, schizophrenia nampaknya cenderung berkembang lewat keluarga.
Penelitian terhadap munculnya schizophrenia dalam keluarga biasanya diadakan dengan mengamati
penderita schizophrenia yang ada di rumah sakit jiwa dan kemudian meneliti tentang perkembangan
kesehatannya serta mencari keterangan dari berbagai pihak untuk menentukan bagaimana
schizophrenia dan psikosis lainnya muncul di antara keluarga penderita. Dari penelitian yang
dilakukan ditemukan bahwa resiko timbulnya psikosis, termasuk schizophrenia, sekitar empat kali
lebih besar pada hubungan keluarga tingkat pertama (saudara kandung, orang tua, anak kandung)
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.

Semakin dekat hubungan genetis antara penderita schizophrenia dan anggota keluarganya, semakin
besar kemungkinannya untuk terkena schizophrenia. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan
terkena schizophrenia dapat ditularkan secara genetis. Keluarga penderita schizophrenia tidak hanya
terpengaruh secara genetis akan tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua yang
menderita schizophrenia dapat sangat mengganggu perkembangan anaknya. Hal ini menimbulkan
persoalan tentang mana yang lebih berpengaruh : genetis atau lingkungan.Untuk membedakan hal
tersebut, para ahli mengusahakan suatu penelitian terhadap anak kemabar. Kembar identik
(monozygotic) adalah sama/identik secara genetis, karena itu perbedaan antara anak kembar identik
kiranya dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam lingkungan mereka. Jika mereka dibesarkan
bersama, maka kembar identik sama-sama mengalami, baik lingkungan yang sama maupun genetis
yang sama.

Di pihak lain, kembar yang tidak identik meskipun lahir pada saat yang hampir bersamaan tetapi
secara genetis mereka sama halnya dengan dua orang saudara kandung. Jika kembar tidak identik
dibesarkan bersama, mereka akan sama mengalami lingkungan yang sama tetapi latar belakang
genetisnya hanya identik sebesar 50%. Dalam penelitian terhadap anak kembar secara umum,
tingkat kemungkinan terkena schizophrenia di antara anak kembar identik adalah sekitar dua atau
empat kali lebih tinggi daripada antara anak kembar yang tidak identik. Hal ini menunjukkan kuatnya
pengaruh faktor genetis. Akan tetapi, dalam suatu penelitian terhadap kembar identik lainnya
ternyata menunjukkan bahwa tidak satupunh dari anak yang kembarannya terkena schizophrenia
yang juga menderita schizophrenia. Dengan demikian, usaha untuk membedakan pengaruh genetis
dan pengaruh lingkungan masih kabur.

Hasil penelitian terhadap anak kembar belum dapat membedakan pengaruh genetis dan pengaruh
lingkungan karena anak kembar biasanya dibesarkan bersama. Oleh karena itu, apabila anak yang
orang tuanya menderita schizophrenia juga menderita schizophrenia maka ada tiga kemungkinan
jawaban : ibu atau ayah yang menderita schizophrenia mungkin menularkannya secara genetis, atau
anak hidup dalam lingkungan tertentu yang diciptakan oleh orang tua, atau anak itu menderita
schizophrenia akibat dari faktor genetik dan lingkungan yang menekan. Untuk membedakan akibat
gen dan akibat lingkungan tersebut, diusahakan bebagai penelitian terhadap sekelompok anak yang
lahir dari ibu yang menderita schizophrenia tetapi dipisahkan dari ibunya setelah dilahirkan sehingga
tidak ada kontak dengan ibunya

Anak-anak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga lain. Ke;lompok lainnya terdiri dari anak-anak
yang lahir dari ibu yang normal dan juga diadopsi oleh keluarga lain. Dari kelompok anak-anak yang
lahir dari ibu yang terkena schizophreni, ternyata 5 orang menderita schizophrenia dan beberapa
lainnya menderita psikosis lainnya, sedangkan kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang normal,
tidak seorangpun yang terkena schizophrenia. Hal ini mendukung pendapat bahwa schizophrenia
lebih besar kemungkinannya ditularkan secara genetis. Hasil ini juga didukung oleh beberapa
penelitian lain, yaitu bahwa anak-anak dari orang tua schizophrenia mempunyai kemungkinan
terkena schizophrenia dua kali lipat dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang normal,
entah mereka dibesarkan oleh orang tua angkat yang menderita schizophrenia maupun tidak.
Singkatnya hubungan biologis atau genetis dengan penderita schizophrenia nampaknya merupakan
faktor yang paling menyolok untuk menimbulkan schizophrenia.

Beberapa penelitian tersebut menunjukkan pengaruh faktor genetis dalam menularkan


schizophrenia, namun tetap menjadi pertanyaan : bagaiman penularan genetis terjadi. Beberapa
peneliti mencoba hal itu dengan berbagai model antara lain :

a. Distinct Heterogenity Model.

Model ini menyatakan bahwa schizophrenia terdiri dari sejumlah psikosis, beberapa diantaranya
disebabkan oleh kerusakan gen yang dapat diikuti oleh gen-gen tertentu dan yang hanya disebabkan
oleh faktor lingkungan. Schizophrenia catatonic, misalnya, mungkin merupakan penyakit yang
muncul secara genetis yang akhirnya diikuti ketidaknormalan gen pada kromosom tertntu.

b. Monogenic Model.

Model ini menyatakan bahwa semua bentuk schizophrenia dapat disebabkan olehsuatu gen yang
cacat. Gen yang cacat ini akan menyebabkan schizophrenia pada orangyang menerima gen itu dari
kedua orang tuanya (monozygote), namunkemungkinannya kecil bila hanya dari satu orang tua
(heterozygote).

c. Multifactorial-Polygenic Model.

Model ini menekankan pengaruh nilai ambang. Menurut model ini, schizophrenia disebabkan oleh
pengaruh berbagai gen, trauma biologis prenatal dan postnatal dan tekanan psikososial yang saling
berinteraksi. Aspek schizophrenia muncul bila faktor-faktor itu berinteraksi melebihi batas ambang
tertentu. Model-model lainnya mengkombinasikan ciri-ciri dari ketiga model tersebut.
Schizophrenia, misalnya, muncul sebagai akibat dari interaksi gen tunggal dan tekanan lingkungan.
Model Multifactorial-Polygenic nampaknya lebih banyak diterima.
Faktor Biokimia

Kraeplin telah mengidentifikasikan schizophrenia sebagai akibat dari adanya ketidakseimbangan


kimiawi karena tidak normalnya kelenjar kelamin. Sementara Carl Jung menyebutkan adanya unsur
kimia yang tidak diketahui, yang disebutnya "toxin x". Adanya indikasi pengaruh faktor genetis
setidaknya menunjukkan adanya pengaruh faktor biokimia karena faktor genetis terjadi melalui
proses biologis dan kimiawi tubuh. Para peneliti lain menemukan adanya substansi kimia yang tidak
normal yang disebut taraxein dalam serum darah.

Riset terakhir difokuskan pada dopamine, suatu neurotransmitter yang aktif di wilayah otak yang
terlihat dalam regulasi emosi atau sistem limbik. Hipotesis dopamine menyatakan bahwa
schizophrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamine dalam otak. Kelebihan ini
mungkin karena produksi neurotransmitter atau gangguan regulasi mekanisme pengambilan
kembali yang dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh vestikel neuron parasimpatik.
Kemungkinan lain adalah adanya oversensitif reseptor dopamine atau terlalu banyaknya respon
dopamine. Penelitian terhadap pengaruh dopamine dilakukan dengan menggunakan 3 macam obat
bius, yaitu phenothiazine, L-Dopa, dan amphetamine. Phenothiazine merupakan obat anti psikosis
yang dapat mengurangi tingkat kekacauan pikiran, halusinasi, dan memperbaiki suasanan hati
penderita schizophrenia. Terdapat bukti kuat bahwa phenophiazine mengurangi aktifitas dopamine
dalam otak dengan menghambat penerimaan dalam saraf parasimpatik. L-Dopa biasa digunakan
untuk pengobatan gejala-gejala penyakit parkinson. Tubuh akan mengubah L-Dopa ini menjadi
dopamine dan kadang-kadang menyebabkan gejala-gejala seperti schizophrenia. Sementara
amphetamine merupakan obat perangsang yang meningkatkan kemampuan dopamine dalam otak.
Pemberian amphetamine dalam dosis yang berlebihan ternyata menunjukkan gejala-gejala seperti
schizophrenia. Jika penderita schizophrenia diberi amphetamine, meski dalam dosis rendah,
ternyata gejala-gejala schizophrenianya semakin memburuk.

Dengan demikian, obat yang dapat menghambat penerimaan dopamine (seperti phenothiazine)
dapat mengurangi gejala-gejala schizophrenia, sementara obat lain yang meningkatkan kemampuan
dopamine (seperti amphetamine dan L-Dopa) dapat menyebabkan atau memperburuk gejala-gejala
schizophrenia. Hal ini memperlihatkan bahwa kelebihan dopamine dapat menyebabkan gejala-gejala
schizophrenia. Akan tetapi penemuan ini belum seluruhnya tepat. Pemberian phenothiazine
terhadap penderita schizophrenia memperlihatkan bahwa seperempat dari mereka memberi respon
yang sangat kecil atau tidak sama sekali, bahkan seperempatnya memberikan respon negatif.
Sementara, sepertiga penderita yang diberi amphetamine tidak mengalami gejala yang makin
memburuk. Hal ini memperlihatkan bahwa seharusnya ada penyebab lain selain dari kelebihan
dopamine.

Perlu disadari bahwa schizophrenia merupakan sekelompok psikosis dengan efek yang bermacam-
macam. Teori dopamine perlu dicermati secara hati-hati karena mungkin terlalu sederhana dalam
mencari penjelasan dengan memusatkan persoalan hanya pada aktifitas dopamine semata tanpa
memperhitungkan interaksi fungsi otak dengan sistem biokimia secara menyeluruh. Penyumbatan
dopamine mungkin mempengaruhi gejala-gejala schizophrenia, tetapi tidak menjadi penyebab
munculnya penyakit tersebut. Perubahan aktifitas dopamine mungkin terjadi setelah munculnya
psikosis dan bukan sebelumnya.

Otak
Sekitar 20-35% penderita schizophrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan otak (Sue, et al.,
1986). Penelitian dengan CAT (Computer Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imagins)
memperlihatkan bahwa sebagian penderita schizophrenia memiliki ventrikel serebral (yaitu ruangan
yang berisi cairan serebrospinal) yang jauh lebih besar dibanding dengan orang normal. Itu berarti
jika ventriker lebih besar dari normal, jaringan otak pasti lebih kecil dari normal. Pembesaran
ventrikel berarti terdapat proses memburuknya atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak.
Bebebrapa penelitian memperlihatkan bahwa lobus frontalis, lobus temporalis, dan hipokampus
yang lebih kecil pada penderita schizophrenia (Atkinson, et al., 1992). Penelitian dengan PET
(Positron Emission Topography, yaitu pengamatan terhadap metabolisme glukosa pada saat
seseorang sedang mengerjakan tes psikologi, pada penderita schizophrenia memperlihatkan tingkat
metabolisme yang rendah pada lobus frontalis. Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan sebagai
akibat dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang masuk otak. Infeksi ini dapat terjadi selama
perkembangan janin. Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi pada masa awal perkembangan
seseorang, pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis ini baru muncul pada masa dewasa.
Weinberger mengatakan bahwa luka pada otak saling mempengaruhi dengan proses perkembangan
otak yang normal. Lobus frontalis merupakan struktur otak yang terlambat matang, khususnya pada
usia dewasa. Dengan demikian, luka pada daerah tersebut belum berpengaruh pada masa awal
sampai lobus frontalis mulai berperan dalam perilaku.

PATOLOGI

Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak terjadi proses penyampaian
pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan meneruskan pesan sekitar otak. Pada penderita
skizofrenia, produksi neurotransmitter-dopamin- berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut
berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar dopamin
tidak seimbang–berlebihan atau kurang– penderita dapat mengalami gejala positif dan negatif
seperti yang disebutkan di atas.

Penyebab ketidakseimbangan dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti sepenuhnya.
Pada kenyataannya, awal terjadinya skizofrenia kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-
faktor tersebut.

Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain: sejarah
keluarga, tumbuh kembang ditengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres
yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.

You might also like